Oleh Anugerah Perkasa
714 words
LEMBARAN KERTAS itu diletakkan Susilo Sudjono di meja bundar berwarna cokelat. Ini bukan kertas biasa. Di dalamnya berisi setumpuk peraturan baru soal perusahaan pembiayaan. Regulasi itu baru saja diterbitkan Departemen Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 84/2006 pada September 2006.
"Kami menyambut baik peraturan ini. Ada beberapa hal penting seperti soal pinjaman luar negeri, izin baru dan lain-lain," ujar Susilo sambil membolak-balik kertas tersebut di kantornya pada Oktober.
Susilo bukan orang baru di industri pembiayaan. Dia menjabat sebagai Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) untuk 2004-2007. Jabatan lainnya, Presiden Direktur PT Surya Artha Nusantara Finance, perusahaan yang membiayai peralatan berat dan merupakan kelompok usaha PT Astra International Tbk.
Susilo menunjuk Pasal 25 pada lembaran itu. Ini adalah soal pinjaman. Dalam peraturan tersebut dinyatakan perusahaan pembiayaan dapat mendapatkan pinjaman dari institusi nonbank minimal Rp1 miliar dengan tenor minimal satu tahun. Mekanisme ini disebut private placement.
Private placement merupakan penawaran saham terbatas institusional dari badan usaha dan merupakan langkah kebalikan dari penawaran saham ke publik. Instrumennya dapat berupa perjanjian utang maupun medium term note (MTN).
Jumlah pinjaman juga dibatasi maksimal 10 kali dan tidak dibatasi pinjaman dalam negeri berjumlah 10 kali, sedangkan luar negeri hanya lima kali, seperti aturan sebelumnya.
Menurut Susilo, PMK No.84/2006 dapat mendorong perusahaan pembiayaan meningkatkan pendanaannya dari luar negeri, terutama bagi perusahaan gabungan lokal-asing.
Pendanaan asing, dinilai menciptakan lahan investasi baru bagi industri pembiayaan. Dana yang terkumpul dapat disalurkan ke pelbagai bidang. Ada sektor riil. Ada sektor usaha kecil mikro menengah. Intinya, tambah Susilo, membantu memperbaiki kondisi ekonomi yang terpuruk pada 2006.
Mekanisme private placement juga menjadi sumber pendanaan alternatif. Bagi Sekretaris Jendral APPI Dennis Firmansjah peraturan tersebut merupakan cita-cita lama yang ingin diwujudkan. Tak lagi tergantung pada pemberian kredit perbankan.
"Kami selama ini seperti anak tiri perbankan. Peraturan ini sangat positif, dan merupakan cita-cita sejak lama," ujar Dennis belum lama ini.
Tak heran Dennis berkata demikian. Pendanaan perusahaan pembiayaan memang selama ini didominasi bank dalam rangka memperluas penyaluran kredit. Sumber dana lainnya melalui pasar modal. Dengan lahirnya PMK No.84/2006, demikian Dennis, perusahaan pembiayaan dapat menggali sumber dana alternatif.
Lain private placement asing lain pula pinjaman asing. Data Departemen Keuangan pada Desember 2006 menunjukkan pinjaman luar negeri hanya mempunyai selisih sekitar Rp1 triliun dibandingkan lokal yaitu Rp32 triliun berbanding Rp33,2 triliun.
Pada 2004 justru pendanaan asing justru mencapai Rp24,8 triliun sedangkan lokal hanya Rp24,1 triliun. Tahun berikutnya juga meningkat: asing Rp31,4 triliun dan lokal Rp29,7 triliun.
Sekretaris Perusahaan PT Wahana Ottomitra Multiartha (WOM) Finance Fenfira Tedja mengatakan pinjaman tersebut tak sekadar menguntungkan perusahaan pembiayaan dari tingkat bunga pinjaman yang rendah, namun juga soal perluasan jaringan.
Dia tak sekadar bicara. WOM beberapa kali mendapatkan pinjaman asing selama 2006 untuk mencapai target pembiayaan kredit kepemilikan sepeda motor. Ada dari International Finance Corporation (IFC) US$20 juta, Deutsche Investitions und Entwicklungsgesellschaft mbH (DEG) US$25 juta, serta sindikasi enam institusi keuangan asing US$66 juta.
Bahkan untuk tahun ini, dia memperkirakan, pendanaan asing justru akan lebih besar dan semakin kompetitif dalam pemberian bunga. Dia mengakui memang lembaga keuangan luar negeri sangat ketat dalam melihat portofolio perusahaan pembiayaan. "Uji kelayakannya hingga enam bulan."
Mantan Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Ngalim Sawega membenarkan pendanaan asing akan lebih besar lagi, karena bank lokal terbentur pada batas maksimum pemberian kredit (BMPK).
Tak cukup hanya itu. Menurut Ngalim, kecilnya proporsi pemberian kredit bank atau pemodal lokal terhadap perusahaan pembiayaan juga dilandasi ketidakpercayaan. Ini justru menguntungkan kreditor asing. Apalagi, lanjut dia, kebutuhan dana perusahaan pembiayaan semakin lama semakin bertambah.
Ngalim juga bicara soal private placement-yang menjadi pendanaan alternatif-tahun depan. Harapannya, perusahaan pembiayaan dapat memberikan bunga murah kepada konsumen dalam penyaluran kreditnya saat memakai mekanisme itu.
Namun, harapan saja tak akan pernah cukup.
Keluhan datang dari Sekretaris Perusahaan PT Mandala Multifinance Poedji Goesarianto. Mereka ingin memakai mekanisme tersebut tahun ini. Mereka tahu bahwa regulator pun mendukung langkah perseroan. Masalahnya, tutur Pudji, belum adanya peraturan yang jelas mengenai instrumen private placement beserta pajaknya.
Mandala pun telah ambil ancang-ancang. Poedji menjelaskan perseroan itu sudah mendekati sejumlah dana pensiun karena kesamaan jenis investasi yang bersifat jangka panjang. Namun, dia bungkam soal dana pensiun mana saja yang diajak kerja sama.
Ini tak hanya dirasakan oleh Poedji. Direktur Keuangan PT Adira Multifinance Hafid Hadeli mengungkapkan pihaknya masih mengkaji apakah perseroan akan memakai mekanisme tersebut atau tidak.
"Semuanya," tutur Hafid, "masih dipersiapkan." (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)
No comments:
Post a Comment