Saturday, December 15, 2007

peta kecil dana pensiun

Oleh Anugerah Perkasa
996 words



KABAR TAK menyenangkan berhembus dari lantai enam Gedung A Departemen Keuangan, kawasan Dokter Wahidin Jakarta Pusat. Ini adalah tempat Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, mengerjakan tugasnya. Memantau industri dalam mengelola dana pekerja. Dan kali ini memang buruk: ambrolnya dana pensiun dalam sembilan tahun terakhir.

“Kebanyakan yang bubar adalah dana pensiun pemberi kerja,” ujar Mulabasa Hutabarat, Kepala Biro Dana Pensiun. “Jumlahnya sekitar seratusan.”

Ini sama sekali bukan angin segar. Namun Mulabasa mengingatkan bubarnya dana pensiun tak hanya pengaruh krisis moneter sampai perusahaan bangkrut, melainkan juga pengalihan program. Dalam industri tersebut dikenal dua program yaitu program pensiun Manfaat Pasti (PPMP) dan program pensiun Iuran Pasti (PPIP).

PPMP adalah program pensiun yang manfaatnya dihitung dengan rumus penghasilan dasar pensiun, masa kerja serta faktor prestasi. Sedangkan PPIP merupakan pemupukan iuran karyawan ditambah hasil investasi. Biro Dana Pensiun mencatat— usai krisis moneter hingga kini—terdapat 228 dana pensiun pemberi kerja (DPPK) dengan program PPMP, 38 DPPK dengan program PPIP dan 25 dana pensiun lembaga keuangan (DPLK), mengelola PPIP.

Mulabasa tak meributkan mana yang paling baik. Sebagai regulator, dirinya mempersilakan perusahaan untuk menentukan program paling sesuai dengan kemampuan pemberi kerja beserta karyawan. “Simulasi juga dapat dilakukan,” ujarnya dalam sebuah seminar, “jadi perusahaan tahu mana yang paling cocok.”

Namun dua program itu membuat gusar pemerintah. Sekretaris Menteri Negara BUMN Said Didu bersikeras agar badan usaha milik negara mengubah PPMP menjadi PPIP. Alasannya lebih meringankan perusahaan. Program pertama dinilai memberatkan, karena memiliki potensi past service liabilities (PSL), atau pembayaran manfaat pensiun yang berlaku surut.

Potensi PSL diakibatkan tidak cukupnya pendanaan dana pensiun guna membayar manfaat para pensiunan. Biasanya terjadi akibat inflasi yang lebih tinggi dari perhitungan pengurus. “Ini memberatkan perusahaan, karena mereka harus menombok kekurangan dana,” tegas Said.

Kekhawatiran itu tak omong kosong. Dana pensiun Perkebunan, misalnya. Ketua Forum Serikat Pekerja Perkebunan Syahruddin Ali melihat potensi ketidakcukupan dana dapat terjadi kurang dari lima tahun mendatang. Menurut dia, hal tersebut disebabkan dengan membesarnya jumlah pensiunan yang mencapai sekitar 115.000 orang, sedangkan pekerja aktif hanya 200.000 lebih. Syahruddin meyakinkan itu merupakan ancaman besar.

Tunggu dulu. Ini hanyalah satu dari sekian problem.

Masalah lainnya adalah bagaimana membesarkan industri. Minimnya jumlah kepesertaan, sedikitnya perusahaan yang mengikuti program dana pensiun juga menjadi perhatian utama. Regulator mencatat hanya sekitar 1,98 juta pekerja di Indonesia yang mengikuti program dana pensiun padahal Biro Pusat Statistik menyatakan ada sekitar 97 juta tenaga kerja aktif. Salah satu tantangan, papar Mulabasa, adalah rendahnya partisipasi masyarakat.

Maklum saja, UU No.11/1992 tentang Dana Pensiun menyatakan program tersebut dilakukan sukarela, tidak diharuskan macam jaminan sosial tenaga kerja. “Apalagi,” tutur Yusman, Kepala Bagian Analisis Penyelenggaraan Program Biro Dana Pensiun, “sumber dana perusahaan terbatas, sehingga memprioritaskan yang wajib dulu.”

Namun, para praktisi DPLK optimistis pemupukan peserta dapat dilakukan melalui promosi serta harmonisasi program pemerintah lainnya: Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ketua Asosiasi DPLK Nicky Theng memproyeksikan upaya kedua tidak hanya menambah jumlah peserta, namun juga membengkakkan dana kelolaan. Potensinya, Rp22 triliun.

DPLK merupakan salah satu penyelenggara yang ditunjuk pemerintah, untuk mengelola setoran perusahaan ke dalam program tersebut. Ini dilakukan bersama-sama dengan usaha asuransi jiwa dan PT Jamsostek. Rencananya, Peraturan pemerintah soal Jaminan PHK diterbitkan pada akhir tahun atau awal 2008.

“Peraturan tersebut,” tegas Nicky, “akan memberi efek positif terhadap dunia ekonomi, khususnya ketersediaan dana jangka panjang.”

Data regulator menyatakan saat ini sekitar 1,04 juta pekerja menjadi peserta DPPK dan 984.812 orang pada DPLK. Dana kelolaaan masing-masing program hingga pertengahan 2007 diperkirakan mencapai Rp70 triliun lebih dan sekitar Rp8 triliun.

Investasinya pun macam-macam. Bagi DPPK, dominasi terletak pada obligasi korporasi dan surat utang negara, sedangkan DPLK pada deposito. Jika separuh lebih dana kelolaan ditempatkan pada instrumen tertentu, itulah dominasi.

Tak hanya itu, kedua asosiasi juga meminta regulator untuk memperluas instrumen investasi. Penambahan tersebut, papar mereka, tidak saja menguntungkan para pensiunan, melainkan juga menyokong dana pemerintah untuk membangun. Sayangnya, sejumlah instrumen baru belum diatur dalam ketentuan investasi dana pensiun.

Namun jangan salah, bukan hanya soal mengerti investasi. Ketidaktahuan pun menyebabkan masalah.

Menjelang akhir tahun, regulator menemukan sedikitnya lima dana pensiun, berinvestasi namun tak proporsional. Hasilnya beragam. Dari pemberian imbal yang tak maksimal kepada peserta hingga dugaaan melanggar batas.

Kepala Bagian Pemeriksaan Biro Dana Pensiun Dumoly Pardede mengungkapkan pihaknya menemukan dana pensiun yang menempatkan dana kelolaan pada instrumen tak produktif. Macam saham tak likuid serta properti pasif. “Indikasinya performa mereka menurun,” ujar dia, “pelanggaran terjadi karena minimnya pengetahuan.”

Rekomendasi atas pemeriksaan pun diterbitkan. Pertama, dengan memberi kesempatan para pengurus untuk memperbaiki investasi selama enam bulan. Atau kedua—lebih ekstrim—dikeluarkannya investasi tersebut dari kekayaan dana pensiun dalam membayar kewajiban. Rekomendasi terakhir, tutur Dumoly, diberikan pada tiga dana pensiun.

Ini bisa jadi pelajaran buat regulator maupun pelaku industri. Harus ada antisipasi. Mungkin inilah yang menyebabkan otoritas pasar modal menerbitkan Surat Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor Kep-136/BL/ 2006 tentang Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun, pada akhir 2006. Tujuannya meningkatkan mutu manajemen dana pensiun, termasuk dalam berinvestasi. Nama lainnya, good pension fund governance yang akan diterapkan awal 2008.

Kalangan praktisi dana pensiun menyambut hal itu. Mereka mengatakan siap untuk mengaplikasikan tata kelola melalui pedoman regulator.

“Jangan ditunda-tunda lagi,” ujar Eddy Praptono, Ketua Asosiasi Dana Pensiun Indonesia, “ini penting agar pendiri maupun pengurus dana pensiun mengetahui porsinya masing-masing.”

Dia sulit untuk tidak mengakui. Masih ada pendiri—dalam hal ini manajemen perusahaan—yang ikut campur urusan pengurus dana pensiun dalam berinvestasi. Dengan pedoman tata kelola, tegasnya, benturan-benturan kepentingan dapat dihilangkan sehingga kualitas manajemen pun membaik.

Namun Eddy meminta perlakuan khusus terhadap dana pensiun skala kecil. Ini adalah dana pensiun yang memiliki uang maupun pengurus berjumlah minim. Regulator diminta mempertimbangkan kondisi tersebut.Tidak bisa disamaratakan.

Dana pensiun macam Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), mungkin salah satunya. Dulunya, LAI memakai mekanisme PPMP, namun beralih ke PPIP sejak 2003. Sekretaris LAI Satya Moddhana mengatakan sebagai organisasi nirlaba, program awal dinilai membebani. Bahkan terlalu berat.

Tapi omong-omong, berapa banyak jumlah pengurusnya?
“LAI organisasi kecil,” ujar Satya, “Ada ketua, sekretaris dan bendahara. Kami hanya bertiga di sini.” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Tuesday, October 30, 2007

cakap kecap tabungan premi

Oleh Anugerah Perkasa
997 words

KESIBUKAN PERTAMA Adi Purnomo usai libur massal adalah menjawab surat-surat elektronik yang menumpuk. Hampir semuanya berkaitan dengan soal administrasi yang tertunda untuk direspon. Dari urusan antar-kantor regional di Singapura dan Kanada, hingga perbankan.

“Ini termasuk menjawab pertanyaan Anda,” ujarnya kepada saya, sambil tertawa. “Saya langsung full, hari ini.”

Adi bekerja di PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, sebagai Wakil Presiden Direktur sejak 1985, namun bergelut di sektor asuransi sejak 1976. Manulife Indonesia –anak perusahaan Manulife Financial Corporation yang berbasis di Toronto, Kanada—memutuskan untuk mengikuti cuti yang ditetapkan pemerintah pada 12-19 Oktober 2007 dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri yang jatuh pada 13-14 Oktober 2007. Senin pekan ini merupakan hari pertama aktif kembali.

Selain bekerja di perusahaan itu, sejak Mei Adi ditunjuk secara tak resmi sebagai Ketua Kelompok Kerja Asuransi yang mengurusi keikutsertaan asuransi dalam program Jaminan pemutusan hubungan kerja (PHK). Tugasnya, berdiskusi dengan pemerintah dan kalangan dunia usaha soal partisipasi industri tersebut.

Pemerintah, melalui Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sejak awal tahun menggarap rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Program Jaminan PHK guna menjamin pembayaran pesangon karyawan. Dalam rancangan tersebut, pengelola dana dimandatkan kepada tiga penyelenggara: PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), asuransi dan dana pensiun lembaga keuangan (DPLK).

Namun debat terakhir dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia pada Agustus diputuskan, metode penjaminan bukan melalui asuransi melainkan tabungan premi. Asuransi kerugian, tidak mau menanggung risiko pemecatan karyawan yang diakibatkan merger, pailit atau perubahan status perusahaan. Iuran pun ditetapkan 3% dari gaji, serta akan diinvestasikan.

“Program itu akhirnya difokuskan pada saving,” ujar Adi. “DPLK dan asuransi jiwa menjadi pengelola, sehingga perusahaan dapat melakukan pendekatan masing-masing. Kesiapan industri juga dilihat dari ketersediaan produk.”

Adi melihat secara umum industri asuransi jiwa siap untuk mengelola program Jaminan PHK. Menurutnya, sejumlah perusahaan sebenarnya sudah memiliki produk serupa dengan program yang akan diwajibkan tersebut, baik individual atau kumpulan. Selain itu, persoalan infrastruktur seperti tersedianya sistem informasi juga menjadi syarat utama. “Sangat penting bagi pekerja untuk melihat perkembangan dananya,” urai Adi.

Dia tak hanya menegaskan kesiapan industri asuransi jiwa. Namun Adi juga menginginkan tabungan premi akan dikelola oleh pengelola tak tunggal. Harus banyak pilihan untuk konsumen. Dengan demikian, lanjutnya, akan terjadi produk, harga dan pelayanan yang kompetitif.

Tapi, siapa yang menghembuskan isu monopoli pengelolaan sebelumnya?

Hotbonar Sinaga, adalah jawaban yang dapat dirunut. Pada Agustus, setidaknya dia menegaskan kembali Jamsostek sebagai institusi paling tepat untuk mengatur tabungan premi, sesuai dengan performa badan usaha milik negara (BUMN) tersebut. Pengalaman, jaringan pelayanan hingga basis data yang dimiliki, adalah keunggulan yang kian digaungkan.

Hotbonar adalah Direktur Utama Jamsostek sejak Februari 2007. Dia juga bukan orang baru di industri asuransi, karena sebelumnya aktif sebagai Ketua Dewan Asuransi Indonesia 2002-2005. Hotbonar menggantikan Iwan Pontjowinoto, komandan Jamsostek yang dipecat Kementrian Negara BUMN akibat pertikaian internal.

Dia justru mempertanyakan apakah lembaga lain sudah pantas untuk mengelola tabungan premi. Hotbonar ingin Jamsostek sendirian, walau diterjang rumor tak sedap soal transparansi dana kelolaan. Jamsostek dulu, menurut dia, lain dengan sekarang. “Kami kini lebih terbuka.”

Direktur Operasional dan Pelayanan Jamsostek Ahmad Ansyori mengakui pemulihan citra BUMN itu masih terus dilakukan menyusul produk yang dikelolanya tak kasat mata. Dia menegaskan program jaminan sosial sangat memerlukan gambaran yang baik agar tak menimbulkan kesalahpahaman pada masyarakat terhadap lembaga tersebut.

Tapi, Ansyori juga punya alasan mengapa Jamsostek harus mengambil alih urusan ini. Pertama, perusahaan berskala kecil dan wilayah terpencil, tidak akan menjadi kecenderungan badan penyelenggara karena yang dipilih adalah sebaliknya.

Dia menyatakan program Jaminan PHK sangat sarat dengan urusan administrasi sehingga membutuhkan perhitungan upah yang terus berubah. Singkat kata, unit bisnis yang lebih besar akan menjadi favorit sang pengelola program. “Tak dapat dihindari,” urainya, “perusahaan padat karya dengan data elektronik, akan lebih mudah dikelola.”

Soal wilayah terpencil, Ansyori menilai tidak semua calon badan penyelenggara memiliki cabang hingga ke wilayah tertentu. Menurut dia, tempat-tempat semacam itu tidak akan tertangani dengan baik karena keterbatasan jumlah unit pelayanan dan bukan prioritas pengelolaan.

Namun itu tidak berlaku bagi Jamsostek. Dia menandaskan BUMN tersebut punya keunggulan jaringan lebih luas: delapan kantor wilayah, 118 kantor cabang serta kemudahan membuka unit pelayanan bila diperlukan embrio. Sebagai lembaga jaminan sosial, ungkapnya, kapasitas pendanaan juga lebih besar dibanding entitas bisnis lainnya.

Tentu saja, ada yang tak sepaham dengan Ansyori.

Bagi Ricky Samsico, Ketua bidang Investasi Asosiasi DPLK, kekhawatiran tersebut tidak cukup kuat dan berlebihan. Para pebisnis, tuturnya, justru akan melebarkan usahanya ke wilayah yang potensial dan bukan sebaliknya. Pasar yang terbuka, jauh lebih baik dibandingkan monopoli karena tersedianya beragam pilihan.

Pada September, Asosiasi DPLK menegaskan dukungan mereka terhadap finalisasi rancangan peraturan Program Jaminan PHK. Mereka menilai hal tersebut adalah solusi dalam soal ketenagakerjaan, terutama saat karyawan diberhentikan. Selain itu, asosiasi juga menyokong penuh soal pengelolaan yang dilakukan oleh pelbagai lembaga. Bukan satu pengelola. “DPLK sudah siap,” tegas Ricky, “sekarang bukan zamannya lagi monopoli.”

Dia menilai Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK)—selaku regulator—akan membuat peraturan yang memungkinkan terciptanya harmoni dana pensiun yang bersifat sukarela dengan program Jaminan PHK yang diwajibkan pemerintah. Dana pensiun diatur dalam UU No.11/1992 tentang Dana Pensiun.

Harapan Ricky tak sia-sia. Berdasarkan catatan Biro Dana Pensiun Bapepam-LK, hampir 2 juta tenaga kerja saja yang menjadi peserta dana pensiun dari sekitar 97 juta tenaga kerja aktif. Regulator melihat industri tersebut masih punya potensi pasar luas menyusul minimnya kepesertaan. Harmonisasi peraturan—termasuk partisipasi dana pensiun dalam program Jaminan PHK—menjadi agenda regulator dalam meningkatkan pertumbuhan.

Kesiapan lainnya datang dari Tri Joko Santoso, Wakil Presiden Direktur PT Asuransi Jiwa Panin Life Tbk. Dia menegaskan perseroan jauh-jauh hari telah memperkuat infrastruktur dan sumber daya manusia, khusus untuk program Jaminan PHK. “Sekarang,” tuturnya, “tinggal menunggu kapan peraturan tersebut diterbitkan.”

Namun tak semuanya serupa dengan Ricky maupun Santoso. Ada yang siap, ada pula yang belum paham benar.

Direktur Utama PT Asuransi Jiwa Eka Life Sugeng Wibowo mengaku belum mengerti secara detil soal RPP Program Jaminan PHK. Menurut dia, belum ada sosialisasi dari asosiasi maupun regulator. Mungkin ini cukup beralasan. Namun, sambil Sugeng menunggu sosialisasi bergulir, yang lain justru menanti, kapan peraturan tersebut diteken orang nomor satu Republik ini. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Thursday, October 4, 2007

kekalahan pertama muraoka

Oleh Anugerah Perkasa
1.049 words



KAMIS PEKAN lalu menjadi hari yang tak terlupakan bagi Revasatia Suhartono. Putusan atas gugatan Suhartono bersama 72 karyawan melawan manajemen di mana dia bekerja, The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd (BTMU) di Jakarta, akan dibacakan. Bersama lima orang rekannya, halaman gedung Pengadilan Hubungan Industrial, kawasan MT Haryono Jakarta Selatan, mulai dijajaki.

“Jadwalnya jam 10, tapi mungkin giliran yang lain dahulu. Sidang sebelumnya, saya pernah menunggu hingga 05.30 sore,” ujarnya. Namun hari itu, Suhartono beruntung tak perlu menunggu persidangan hingga senja.

Suhartono adalah Ketua Serikat Pekerja Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ (SK-BTM) sejak 2004, selain sebagai Indonesia Corporate Marketing Officer di BTMU pada tahun ini. Dia bekerja di bank asal Jepang itu sekitar 17 tahun. Pada Juli, SK BTM menggugat BTMU, karena tak memenuhi hak karyawan akibat tak diberlakukannya Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2004-2006.

Sementara bank asal Jepang tersebut, dikenal sebagai salah satu lembaga keuangan beraset raksasa, sekitar US$1,7 triliun lebih, setelah merger dilakukan antara The Bank of Tokyo-Mitsubishi Ltd dengan UFJ Bank Ltd pada Juni 2005. Di Indonesia, kantor cabang BTMU berpusat di Mid-Plaza Building, Jendral Sudirman Jakarta Pusat, sementara anak cabangnya berlokasi di Surabaya dan Bandung.

Pukul 15.20 WIB. Sidang dimulai dan putusan dibacakan oleh majelis hakim pimpinan Heru Pramono. Di dalam ruang sidang, suara pengunjung nyaris senyap memperhatikan setiap ucapan hakim. Ada pula yang lalu-lalang.

Kini, lembaran kertas pada Saut Christianus Manulu, hakim anggota yang membacakan pertimbangan majelis, berganti ke tangan Heru. Dia membaca kalimat-kalimat akhir putusan setelah memperhatikan fakta yang terungkap di pengadilan selama Juli-September 2007.

“Mengadili, mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Menyatakan Perjanjian Kerja Bersama antara The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd dengan Serikat Pekerja The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd, berlaku untuk penggugat.”

Ada tepuk tangan. Ada pula yang mengucap syukur. Salah satu kuasa hukum SK BTM Indra Yana, tersenyum. Keputusan itu, mengharuskan manajemen BTMU memenuhi kewajibannya untuk memberlakukan PKB 2004-2006 yang selama ini tidak diterapkan pada SK BTM pimpinan Suhartono. “Ini adalah keputusan yang luar biasa,” kata Indra.

Majelis hakim juga memerintahkan penggugat, SK BTM untuk berunding ke pihak manajemen BTMU, selaku pihak tergugat mengenai besaran hak karyawan yang belum dipenuhi. Dalam gugatan, kalkulasi yang sudah dihitung adalah Rp10,52 miliar untuk 73 karyawan dan karyawati. Majelis berpendapat bahwa belum ada diskusi kedua belah pihak untuk menentukan besaran hak tersebut.

Usai sidang, sejumlah anggota SK BTM tertawa lepas. Mereka berkumpul. Ada yang diwawancarai reporter televisi swasta. Ada pula yang sibuk menelepon. Saya mewawancarai Indra dengan senyumnya yang tak berhenti, bersama wartawan media digital. Menurut dia, SK BTM akan segera mengabarkan putusan itu kepada manajemen sehingga hak karyawan selama dua tahun, segera terpenuhi.

Dalam rincian gugatan, tidak diterapkannya PKB 2004-2006 oleh manajemen, mempengaruhi pendapatan karyawan akibat tak dipenuhinya sejumlah hak. Ini terdiri dari pembayaran atas tunjangan pangkat dan fungsional, kenaikan upah karyawan berdasarkan indeks harga konsumen, providential fund (manfaat pensiun), tunjangan hari raya, tunjangan cuti tahunan serta pembayaran bonus.

“Jumlah yang digugat,” demikian Indra, “adalah jumlah minimal. Bisa saja, kalkulasi berikutnya lebih dari itu.”

Indra adalah advokat dari Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek), sebuah federasi serikat pekerja di level nasional. Sejak Juni 2007, dia bersama enam advokat lainnya mendampingi Suhartono untuk menggugat bank korporasi tersebut.

Langkah hukum ditempuh, setelah mediasi melalui Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Pusat pada Januari 2006, gagal. Isi anjurannya, agar PKB 2004-2006 diberlakukan kepada seluruh karyawan. Namun itu tak diindahkan Satoshi Ando, Manajer Umum BTMU. Ando bekerja di Jakarta sejak 2004 dan sekitar Juni 2007 digantikan oleh Takashi Muraoka, pengganti sekaligus mewarisi kasus tersebut.

Usai anjuran terbit, SK BTM juga menyampaikan empat kali surat kepada manajemen hingga April 2007, menuntut pemberlakuan peraturan serupa kepada semua karyawan. Ini pun nihil.

Tapi, mengapa manajemen bersikeras?

Kuasa hukum BTMU, Kemalsjah Siregar dari firma Kemalsjah & Associates menyatakan PKB yang disepakati merupakan peraturan yang dibuat antara manajemen dengan serikat pekerja Niaga, Bank, Jasa dan Asuransi (SP Niba) BTMU, organisasi pekerja yang berdiri 1978, jauh sebelum SK BTM. “PKB itu tidak berlaku bagi karyawan yang tidak terdaftar sebagai anggota.”

Manajemen BTMU menyatakan karena SK BTM bukanlah anggota SP Niba BTMU, maka organisasi tersebut tidak memiliki hak untuk menuntut apa yang tercantum di dalam PKB 2004-2006. Kalau ingin PKB berlaku bagi SK BTM, maka harus lebih dulu mengajukan permohonan untuk mengubah PKB antara manajemen dan SP Niba BTMU, yang awalnya bernama SP Unit Kerja Bank of Tokyo-Mitsubishi. SK BTM baru tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Pusat pada Maret 2005.

Di sisi lain, manajemen juga memberlakukan peraturan human resource policy (HRP), pedoman kepegawaian untuk karyawan yang tidak termasuk dalam SP Niba BTMU sejak 1 Juli 2005. Namun ini ditolak oleh SK BTM, karena mengabaikan hak yang tertera dalam PKB 2004-2006.

“Itu jelas,” ucap Suhartono, “HRP hanya mengatur hal-hal normatif, seperti jumlah hari kerja atau cuti. Hanya hal-hal umum.”

Menurutnya, HRP justru melanggar UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan karena seharusnya perusahaan hanya menerapkan satu peraturan, bukan mendua. Namun, manajemen tetap saja tak berubah.

“Mengapa Anda tidak bergabung ke serikat pekerja?” tanya saya.
“73 orang itu tidak boleh bergabung masuk. Karena itu kami membuat SK BTM,” ujar dia.

Persoalannya memang tak sederhana. Menurut Evrizon Anwar, Ketua SP Niba BTMU, manajemen memang tidak menginginkan semua karyawan masuk ke dalam organisasi buruh tersebut. Pada 2002, lanjutnya, bahkan beberapa orang hengkang dari serikat pekerja karena ditawari tunjangan dan jabatan sebagai professional officer, petugas yang memiliki otoritas untuk memutuskan transaksi perbankan. Saat itu manajemen dibawahi Tsutomu Nakagawa, yang bekerja selama 2000-2003, sebelum digantikan Satoshi Ando.

Namun, ada angan yang terbelah. Beberapa orang yang ditawari jabatan, justru tak mendapatkan apa yang dijanjikan manajemen. “Sehingga banyak yang kecewa,” lanjut Evrizon, “Sebagian mereka kemudian bergabung ke Suhartono.”

Kini perundingan tinggal mengintai waktu. Saya menghubungi Ghufron Halim, Wakil Manajer Umum BTMU melalui telepon selularnya malam itu. Tujuannya, ingin mengetahui apa yang ingin dilakukan Muraoka—sebagai atasannya—dan, kalau bisa, berapa jumlah yang ditawarkan untuk pembayaran hak-hak karyawan. Telepon diangkat.

“Ya,” ujarnya, suara berat itu membenarkan namanya. Saya mulai menerangkan identitas dan maksud menelepon. Tiba-tiba, Ghufron setengah berteriak.

“Halo. Halo, halo, halo.”
“Ya, Pak Ghufron,” ujar saya, agak keras. “Halo Pak?”
“Halo, halo, halo.”

Klik. Saya memutus hubungan dan memijit kembali nomer serupa. Suara beratnya, tak lagi terdengar. Telepon selular itu, mati.(anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

This article was translated in English and Japanese language for BTMU internal use. It was also submitted to its headquarter in Tokyo, Japan.

Tuesday, September 18, 2007

detik akhir aturan pesangon

Oleh Anugerah Perkasa
1.003 words



AHMAD DARYOKO merampungkan santap siang di kantornya, kawasan Trunojoyo Jakarta Selatan. Di tangannya, tak ada lagi sendok dan garpu, melainkan beberapa lembar dokumen tipis. Dia meletakkannya di atas meja. Kertas-kertas itu adalah kopi surat yang ditujukan ke Presiden dan Wakil Presiden, soal keberatannya tentang rancangan peraturan pemerintah (RPP) Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja dan Perubahan Perhitungan Uang Pesangon.

“Dua rancangan itu omong-kosong,” ujar Daryoko. “Sekarang, karyawan PLN jadi resah.”

Daryoko geram dengan kedua rancangan peraturan tersebut. Sejak 2003, dia menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan kali ini menemukan ancaman serius dari anggotanya: pengunduran diri massal jika kedua RPP itu diterbitkan.

Dua aturan yang dimaksud memang kontroversial. Salah satunya, yang dikatakan Daryoko, adalah pembatasan upah terhadap karyawan sebagai perhitungan hak pesangon saat terjadi pemberhentian. Ini menyebabkan kalkulasi jumlah pesangon karyawan PLN, mengecil.

Dalam RPP Perubahan Perhitungan Uang Pesangon pasal 2, disebutkan bahwa perhitungan pesangon berdasarkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yaitu Rp1,1 juta dikalikan lima kali lipat, atau hanya Rp5,5 juta. “Artinya, orang yang bergaji lima juta ke atas tetap dihitung sama. Ini berdampak drastis, apalagi orang yang ingin merintis karirnya, percuma.”

Daryoko mengkhawatirkan perusahaan akan kehilangan banyak orang di level menengah, dengan rata-rata gaji di atas Rp5 juta. Khawatir, karena posisi terbawah belum siap menggantikan dan berimbas pada kinerja. Pengunduran itu, lanjutnya, berasal dari 2.000 orang di seluruh unit.

“Tapi, bagaimana jika peraturan ini akan tetap turun?” tanya saya.
“Kami akan melakukan mogok massal. PLN akan bubar,” ujarnya, mengancam.

Ini adalah ancamannya yang kedua, setelah akhir Agustus lalu. Pada awal September, organisasi itu kembali menegaskan sikapnya, menolak kedua rancangan peraturan tersebut, sekaligus mengancam mogok.

Melalui Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, pemerintah menyatakan kedua draf tersebut merupakan upaya melindungi pekerja yang berpenghasilan di bawah Rp5,5 juta, untuk mendapat pesangon. Jumlah pekerja jenis itu mencapai 95% dari total 97,50 juta.

Sementara RPP Program Jaminan PHK pasal 1 memaparkan, program tersebut akan dikelola oleh aneka penyelenggara, PT Jamsostek, dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) atau asuransi jiwa serta kerugian, dengan membentuk Pool Asuransi Nasional. Tugasnya, mengelola iuran dana cadangan dan menginvestasikannya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan kesepakatan jumlah iuran pun tercapai yaitu 3% per bulannya dengan metode tabungan (saving). Apindo menilai, besaran iuran tersebut realistis.

Keputusan ini diperoleh setelah tenggat yang diberikan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Soeparno pada Juni, molor dua bulan. Tak hanya dari pengusaha, persetujuan juga datang dari Jamsostek, kalangan asuransi dan DPLK sebagai calon pengelola dana.

Tapi, mengapa tabungan?

Ketua Kelompok Kerja Asuransi Adi Purnomo menjelaskan asuransi kerugian tak mau menanggung risiko membayar pesangon karyawan akibat perusahaan mengalami perubahan status seperti peleburan atau pergantian kepemilikan saham, dan perusahaan bangkrut. “Dapat dilakukan, jika jumlah premi diperbesar,” tuturnya.

Sebaliknya, asuransi jiwa menanggung risiko yang lebih ringan, membayar pesangon karena karyawan sakit atau kecelakaan kerja. Oleh karena itu, papar Adi, Pool Asuransi Nasional, berpotensi tak terbentuk akibat tak masuknya asuransi kerugian dalam bisnis tersebut. Hanya asuransi jiwa yang memiliki produk tabungan.

Namun, konsep tersebut ditentang keras Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), salah satu organisasi pekerja. Presiden OPSI Yanuar Rizky mengatakan buruh tetap saja tidak akan mendapatkan perlindungan, karena konsep yang dipakai adalah tabungan, bukan asuransi.

“Dua peraturan ini menyesatkan,” tegas Yanuar. “Pemerintah menipu buruh habis-habisan dengan mengatakan perlindungan terhadap si papa.”

Tabungan, urainya, tak menjamin apapun kepada buruh, bahwa pesangonnya akan dibayarkan. Ini berbeda prinsip dengan asuransi. Menurut Yanuar, kedua rancangan peraturan itu seperti himbauan kepada pengusaha untuk menabung. “Kalau asuransi, prinsipnya saling menolong. Jika Anda memerlukan, maka dana kelolaan akan mensubsidi.”

Kedua draf tersebut, bagi Yanuar, menjadi cerminan cara berpikir pemerintah soal sistem jaminan sosial. Jika ingin menerapkan asuransi pengangguran, maka harus ada kontribusi dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Tapi, selain pemerintah tak mengiur, dia menegaskan, pembatasan upah buruh menunjukkan diskriminasi.

Anehnya, tutur dia, RPP tersebut dinilai tidak mengacu peraturan umum sebagai referensi, yaitu UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang tak mengenal pembatasan upah dalam pemberian pesangon. “RPP ini,” ujarnya, “sama sekali tidak melindungi.”

Bagi dia, posisi OPSI jelas. Organisasi itu akan menggugat dua peraturan tersebut jika tetap diterbitkan. Menurut Yanuar, pengkastaan pekerja berdasarkan upah sehingga tak melindungi buruh, merupakan perbuatan melawan hukum. Uji materiil ke Mahkamah Agung adalah langkah selanjutnya.

Namun apa yang ditentang Daryoko dan Yanuar, tak lantas membuat Jamsostek tak bergeming. Direktur Utama Jamsostek Hotbonar Sinaga menegaskan aturan itu diperlukan selama tak ada ketentuan yang mewajibkan pendanaan untuk pesangon. Tentu, melalui tabungan bukan asuransi.

“Jamsostek,” demikian Hotbonar, “tak punya pengalaman di sana.”

Dia memaparkan jika sistem asuransi yang dipakai, maka asuransi kerugian tak akan memiliki kecukupan dana untuk menutupi risiko. Mereka hanya mau mengganti pesangon, lanjutnya, jika perusahaan tutup akibat bencana alam, bukan karena merger atau pailit. Dalam konsep ini, kekurangan pembayaran pesangon tetap menjadi tanggungan pengusaha, bukan pengelola dana.

Bagi Hotbonar, yang menjadi perhatiannya kini bukanlah soal premi, melainkan penyelenggaraan. Jamsostek tak pusing soal jumlah iuran. Dia menyindir apakah program ini perlu dikelola badan lain selain Jamsostek. “Apa itu pantas?” tanya dia.

Dia mengakui pendapatnya subjektif. Tetapi Jamsostek, lanjutnya, suka atau tidak suka, punya fasilitas dari segi jaringan, pengalaman hingga basis data. Suka atau tidak pula, Hotbonar mengakui ‘kue’ yang direbutkan pada program Jaminan PHK tergolong besar. Potensinya triliunan.

Asumsinya, jumlah peserta program Jaminan PHK setara dengan jumlah peserta aktif jaminan hari tua (JHT) Jamsostek, yang mencapai 7,8 juta orang dan mengiur 5,7% dari upah. Dengan catatan, tak semuanya bayar tepat waktu.

Jumlah dominan gaji program JHT diperkirakan mencapai tiga kali PTKP, sehingga hasil kalkulasi tak berbeda jauh dengan iuran 3% pada program jaminan PHK, lima kali PTKP.

Asosiasi DPLK tak menyetujui Hotbonar. Ketua Asosiasi DPLK Nicky Theng menegaskan beragam pilihan tetap yang terbaik, karena perusahaan dapat memilih sesuai kemampuannya. Dia ingin mekanisme pasar yang berlaku, bukan monopoli.

Dua orang ini akan segera bersaing. Nicky mempresentasikan keuntungan program Jaminan PHK pada konferensi pers akhir Agustus lalu, dan Hotbonar berkoar tentang keunggulan lembaga pimpinannya. Mereka menanti kapan RPP ini diturunkan.

“Bagaimana kesiapan Anda soal ini?” tanya saya pada Hotbonar.
“Saya santai saja,” ujarnya, sambil tertawa. “Whatever will be, will be." (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

This article was published in Bisnis Indonesia with title ‘RPP Pesangon Dibayangi Sejumlah Kontroversi’.

Tuesday, July 31, 2007

sejuta kondom di orchard road

Oleh Anugerah Perkasa
785 words



JIKA ANDA ingin menyusuri senja di Orchard Road, Singapura, maka bersiaplah menjadi salah satu bagian dari kehiruk-pikukan di sana. Anda tak hanya menjumpai deretan mal atau jejeran kafe untuk bersantai, melainkan arloji yang tersusun rapi, perhiasan yang memikat hingga baju obralan. Di antara keramaian itu, mungkin ada tempat yang tak boleh terlewatkan untuk urusan paling intim: House of Condom.

Toko ini terletak di lantai dasar Lucky Plaza, sebelah barat kawasan belanja tersebut. House of Condom tepat berada di tengah-tengah dua bangunan, yaitu minimarket Seven Eleven dan kios telepon selular 'Ring-ring'.

Lucky Plaza berdiri di sisi yang sama dengan Ngee Ann City, Tang Plaza atau Paragon. Di seberang jalannyaterlihat sebuah mal besar, Wisma Atria .

"Pembeli paling ramai datang sekitar 07.30-09.30 malam. Setiap hari seperti ini," ujar Juhanna Juma'at. "Tapi yang paling ramai adalah akhir pekan, Kamis hingga Minggu."

Juhanna adalah salah satu pelayan House of Condom. Dia warga negara Singapura dan telah bekerja di toko tersebut sejak enam bulan lalu. Umurnya baru 19 tahun. Di House of Condom, hanya terdapat tiga pelayan dan satu manajer toko selama Senin sampai Rabu. Tapi untuk hari-hari berikutnya, biasanya dua pelayan tambahan akan didatangkan. Pemilik bisnis itu adalah David Wong-pengusaha asal Malaysia namun menetap di Singapura- yang merintisnya sejak 1991.

Juhanna mengaku menyenangi pekerjaannya. Dia sampai hafal di luar kepala, mana produk kondom terbaru atau yang paling disukai pembeli. Misalnya ada produk 003 Akamoto. Ini adalah kondom terbaru dari Jepang. Harganya bervariasi. S$7,90 untuk satu kotak yang berisi empat kondom dan S$17,90 untuk yang berisi sepuluh.

"Ini kondom dengan bahan yang lebih tebal," kata dia.

Juhanna kemudian mengajak saya ke rak di depan pintu masuk toko. Ada kondom dengan pelbagai variasi, seperti butiran di sekeliling bagian depan kondom. Dia menyebutnya permata. Kondom ini dikenal dengan nama French Sleeve. Warnanya pun banyak ragam: putih bening atau semburat ungu.

Menurut Juhanna, kondom jenis ini tergolong mahal. Harganya mulai dari S$39 hingga S$69. "Biasanya," urai dia, "yang membeli kondom ini adalah orang yang sudah cukup tua. Sekitar 40-an tahun."

Saya mulai mengelilingi rak lainnya. Juhanna juga masih melayani pembeli di sela-sela wawancara. Lembaran catatan kecil saya berganti halaman. Ada penetrators, kondom yang menyala saat gelap. Ada pelbagai macam game untuk pasangan sebelum berhubungan intim. Ada pulpen berbentuk tubuh perempuan bugil. Penabur garam dan merica berbentuk penis. Selain itu, ada pula yang menarik perhatian saya.

"Condom for small peckers?" tanya saya.

Juhanna menjawab rasa penasaran itu. Yang dimaksud adalah kondom mainan yang dipasang di jari-jari tangan. Ini hanya untuk guyon. Keterangan ini sekaligus membantah asumsi saya sebelumnya: kondom untuk alat kelamin pria berukuran mini. Juhanna tergelak.

Dia juga memaparkan bahwa dirinya bertemu banyak dengan orang Indonesia yang berbelanja di House of Condom. Hal tersebut diketahuinya saat melayani mereka dengan percakapan bahasa Melayu.

Benar saja. Saya kemudian bertemu Rudi Iskandar, pria asal Malang, Jawa Timur. Umurnya sekitar 35 tahun. Di tangannya, terdapat keranjang kecil dengan beberapa kondom di dalamnya. Rudi mengatakan kondom ini hanya untuk dikoleksi. Bukan untuk digunakan. "Kan bagus tuh, kalau dipajang," ujar? dia, sambil tertawa.

Juhanna menjelaskan penjualan di House of Condom mencapai S$3.000-S$4.000 per hari. Menurut dia, kondom masih merupakan penyumbang terbesar penjualan. Ada yang membelinya dalam jumlah banyak atau ada pula yang satuan. Selain kondom dan pernak-pernik lainnya, toko itu juga menjual dildo atau penis buatan serta vagina palsu. "Paling besar produk itu berasal dari Amerika Serikat. Sekitar 10% adalah buatan Cina."

Pengunjung toko itu tak sekadar orang yang berumur. Ada gerombolan remaja. Mereka tertawa-tawa sendiri, melihat koleksi kondom maupun dildo di rak-rak dalam toko. Saya tidak tahu apakah mereka diizinkan membeli barang-barang itu. Yang saya tahu, ada papan larangan yang bertuliskan: strictly for 25 years above, di salah satu sisi dindingnya.

Saya menemui dua perempuan yang baru saja keluar dari toko tersebut, untuk wawancara. Namun sebelum tujuan saya tercapai, salah seorang dari mereka mengibaskan tangan. Menolak. Saya maklum saja.

John Jackson, asal Louissiana Amerika Serikat, bersedia saya wawancarai. Jackson berusia 59 tahun. Dia tak membeli apa pun dari House of Condom. "Sekedar ingin tahu saja," timpalnya, sambil tersenyum. "Saya dan isteri menggunakan kondom untuk mengontrol kelahiran. Saya tak menggunakannya di luar pernikahan."

Pengunjung tetap berdatangan. Juhanna pun tetap sibuk membantu manajer tokonya, sambil menjelaskan sejumlah produk kepada saya. Kali ini soal vibrator. Juhanna memaparkan produk yang paling anyar adalah yang paling lengkap teknologinya. Tak sekedar bergetar, tapi juga bisa bergerak naik-turun dan rotasi.

Selain itu, urai dia, vibrator generasi baru dilengkapi dengan LCD Screen yang menunjukkan bagaimana alat itu bekerja. Menurut Juhanna, dibandingkan produk sebelumnya, vibrator lama tak hanya memiliki layar kecil peraga, namun juga terbatas kemampuannya. Hanya bergetar. Minus gerakan rotasi atau pun naik-turun.

"Lantas, mana yang menjadi favorit Anda?" tanya saya.
"Maksud Anda," jawab Juhanna, "vibrator favorit yang saya jual ke pelanggan atau yang saya gunakan?" (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Wednesday, June 13, 2007

cermin retak bank indonesia

Oleh Anugerah Perkasa
826 words



SURYANI IKA Sari memelototi lembaran kertas yang dipegangnya siang itu. Ada sekitar sebelas halaman. Paling atas tertulis “siaran pers” diikuti judul di bawahnya: KPK Umumkan Harta Dua Menteri. KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara independen yang bertugas memberangus praktik korupsi. Sekilas, halaman demi halaman itu tak melulu berisi narasi namun juga tabel data.

Suryani Ika—kerap dipanggil Ica—bekerja sebagai wartawati Koran Tempo lebih dari tiga tahun. Dia biasa meliput sektor keuangan, termasuk soal industri perbankan. Pada Jumat siang pekan lalu, kami bertemu di Gedung C Komplek Perkantoran Bank Indonesia, kawasan Jakarta Pusat untuk mewawancarai salah satu pejabat bank sentral tersebut. Ini biasa dilakukan usai ibadah salat Jumat.

"Bisa lihat kertas itu?" tanya saya. Dia mengangguk, tangannya menyerahkan.

Ada laporan harta kekayaan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Perindustrian Fahmi Idris. Ada juga tabel tingkat kepatuhan 105 instansi pusat dan 191 BUMN. Saya mulai memperhatikan. Ada tiga kategori untuk lembaga penyelenggara negara: di atas 90%, antara 50%-90% dan di bawah 50%.

Saya mulai melihat-lihat posisi lima teratas untuk instansi negara itu. KPK, Badan Metereologi dan Geofisika, Sekretariat Jendral DPR-RI, Mahkamah Konstitusi dan Sekretariat Presiden adalah lembaga yang bercokol di posisi tersebut. Tingkat kepatuhannya 100%.

Kertas mulai saya balik dan melihat tabel paling bawah. Dimulai dari urutan paling buncit: Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), LKBN Antara, Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata (BP-Budpar), Bank Indonesia.

Tunggu dulu. Bank Indonesia?

Saya tak yakin dan melihat kembali lembaran sebelumnya. Benar, Bank Indonesia (BI) termasuk dalam kategori di bawah 50% dalam soal kepatuhan. KPK menyebutkan, persentase untuk bank sentral itu hanya 16,47%. Ini berarti dari 85 pejabat BI yang wajib melapor tentang harta kekayaannya, hanya 14 orang saja yang memenuhinya.

Bank sentral itu sedikit lebih tinggi dibandingkan empat lembaga sebelumnya. Sebagai urutan terakhir, KON punya satu orang wajib lapor (WL) per 31 Mei 2007, namun hal itu belum dilakukan. Selanjutnya, KPPU dengan satu WL dan belum lapor, LKBN Antara dengan 10 WL dan belum lapor, serta BP-Budpar dengan 90 WL hanya 10 pelapor.

Tentu saja KPK memiliki dasar atas pengumuman itu. Berdasarkan Pasal 5 UU No. 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, disebutkan bahwa penyelenggara negara berkewajiban melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat, serta bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah meraih jabatan.

KPK juga menerbitkan keputusan No.07/KPK/02/2005, pada Februari 2005 tentang Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Lembar Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Ketentuan tersebut telah disosialisasikan sejak dua tahun lalu. Institusi pimpinan Taufiequrachman Ruki itu meminta para komandan lembaga untuk mengumumkan harta kekayaaan pejabatnya pada papan pengumuman resmi di kantor yang bersangkutan selama satu bulan berturut-turut.

"Apa mungkin BI memasang pengumuman tentang pejabatnya, terus ditempel gitu?" tanya seorang wartawan.

Direktur LHKPN KPK Muhammad Sigit menjelaskan memang tidak semua instansi memasang pengumuman tentang harta kekayaan pejabatnya di papan pengumumam resmi. Ada yang melaporkannya saja ke KPK. Tapi, demikian Sigit, sebenarnya pengumuman tetap harus dipasang selama sebulan penuh sejak instansi yang bersangkutan telah dikirimi KPK tentang laporan harta kekayaannya. “KPK juga terus memantau hal itu tanpa diketahui.”

Sigit juga menginginkan peraturan yang lebih detil soal ini. Menurut dia, undang-undang yang dijadikan pijakan KPK belum menjelaskan secara komplit siapa saja yang berhak menyandang penyelenggara negara. Misalnya untuk pejabat setingkat Eselon II atau yang memberikan izin terhadap aktivitas tertentu. Dia mengungkapkan musti ada surat keputusan untuk itu.

“Siapa saja pejabat BI yang sudah melapor?” tanya saya.
“Gubernur BI sudah, Deputi Gubernur Senior juga sudah. Yang belum beberapa Deputi Gubernur.”

Saat ini, bank sentral tersebut memiliki enam Deputi Gubernur yang bertugas membantu Gubernur BI sebagai pemimpin dan wakilnya, Deputi Gubernur Senior. Dalam Rapat Dewan Gubernur yang biasanya digelar satu bulan sekali, para pejabat tersebut menetapkan kebijakan umum di bidang moneter di Tanah Air.

Mari kita lihat berapa anggaran yang digelontorkan negara untuk bank sentral itu. Untuk tahun ini, anggaran bidang sumber daya manusia dipatok Rp2,84 triliun atau meningkat Rp18 miliar dibandingkan 2006. Kenaikan gaji pun tak terelakkan, termasuk para Dewan Gubernur yang naik sekitar 3%-4%. Diperkirakan, gaji di tempat ini lebih baik dibandingkan instansi pemerintah lain macam Departemen Keuangan atau bank-bank yang diawasinya.

KPK sendiri tak sekedar mengingatkan. “Kami,” sambung Sigit, “ juga memberikan bimbingan teknis tentang bagaimana mengisi laporan kekayaan itu. Jumlah peserta biasanya melebihi kuota setiap bulannya.”

Sigit menguraikan kerjasama KPK dan setiap instansi pemerintah soal itu sebenarnya sudah diteken sejak November 2006. Para pejabat berjanji untuk membantu KPK dalam melakukan inventarisasi nama pejabat yang diklasifikasikan sebagai penyelenggara negara. Responnya, lanjut dia, cukup baik.

Siang itu saya dan sejumlah wartawan lain menemui Budi Mulya, yang baru saja selesai salat Jumat. Budi adalah Direktur Direktorat Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI. Pada hari sebelumnya, dia juga menggelar jumpa pers tentang penurunan suku bunga BI yang kini berada di level 8,50% dari sebelumnya 8,75%.

Budi mengatakan dirinya tidak mengikuti penuh hal tersebut. Tapi dia berjanji untuk mendiskusikan tingkat kepatuhan para pejabat BI dengan kalangan internal di bank sentral. “Saya tidak mengetahui itu, nanti saya akan diskusikan dengan kawan. Ada pertanyaan lain soal ekonomi?” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Friday, June 1, 2007

kapan multifinance melirik si kecil?

Oleh Anugerah Perkasa
1.071 words



TAK BANYAK hal yang dikerjakan Syaifuddin saat menjelang ibadah salat Jumat. Waktunya dihabiskan untuk duduk di belakang meja, di teras rumah. Namun, dia bukan penganggur. Di kawasan Pasar Kamis, Kampung Gelam Tangerang, Syaifuddin melayani pembeli dan sesekali menyuruh anak-buahnya melakukan sesuatu.

"Sekarang lagi sepi, bos. Berbeda dengan sebelum krisis," ujar dia.

Syaifuddin punya bisnis kecil limbah kayu sisa ekspor sejak 2002. Dia menjualnya per potong atau dibuat terlebih dulu sebagai bingkai. Langganannya, perorangan hingga perusahaan. Semua limbah itu dikumpulkan dari pabrik-pabrik yang beroperasi di Tangerang, yang berjarak sekitar 20 kilometer di sebelah barat Jakarta.

Kondisi sepi itu tak hanya berimbas pada kantongnya. Namun, pasokan limbah kayunya juga. Di depan rumahnya, terdapat gudang penyimpanan yang masih cukup lowong, akibat berkurangnya pembelian sampah pabrik itu. Ukurannya sekitar 15X12 meter dan terdapat sekat pembatas. Mulai dari bentuk kayu yang tak beraturan hingga lemari yang sudah tak terpakai, ada di sana.

Bisnis itu bermula dari ayah Syaifuddin, Ayyub sejak 1995. Bedanya, usaha tersebut masih memberikan keuntungan cukup besar kala itu. "Setiap bulan," lanjut dia, "Omzetnya bisa mencapai Rp10juta - Rp15 juta, kalau lagi ramai."

Tapi tidak saat ini

Syaifuddin menyimpulkan sejak krisis moneter 1997, semuanya berubah. Banyak pabrik yang tak beroperasi lagi di Tangerang. Minim pasokan berarti minim pula pemasukan. Tujuh tahun setelah dirintis, Ayyub kemudian menyerahkan bisnis tersebut kepada dirinya sebagai anak tertua. Ini memang bisnis keluarga.

Kini, Syaifuddin mempekerjakan tiga orang dan semuanya masih punya hubungan famili. Setiap bulan, dia harus mengejar target penjualan hingga Rp8 juta. Padahal, modalnya sangat minim. Modal sendiri plus bantuan keluarga untuk membeli limbah kayu dari pelbagai pabrik, adalah andalannya dahulu.

Namun, sejak 2004 dia mendapatkan pinjaman dana tunai dari PT BFI Finance Indonesia Tbk sebesar Rp15 juta dengan menjaminkan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) Toyota Kijang kapsul 2003 miliknya. Modal kerjanya pun bertambah. Pelan tapi pasti.

"Saya masih ingin memperluas usaha ini," tegas dia.

BFI Finance adalah perusahaan pembiayaan yang berdiri sejak 1982. Fokusnya, penyaluran kredit untuk kepemilikan mobil bekas dan baru serta sewa guna usaha (leasing). Sejak 2004, perseroan itu memang menggarap segmen pebisnis dari sektor usaha kecil mikro dan menengah (UMKM). Tak hanya yang dicontohkan Syaifuddin, namun pembiayaan pun difokuskan pada mobil-mobil komersial.

Manajer BFI Finance Budi Munthe mengatakan sektor UMKM memberikan kontribusi sekitar 20% dari total pembiayaan tahun lalu yang mencapai Rp1,5 triliun. Menurut dia, nasabah-nasabah yang berasal dari sektor tersebut biasanya menggunakan mobil yang dibiayai perseroan sebagai alat untuk membantu bisnisnya. Misalnya untuk pedagang yang mengangkut buah dan sayurannya ke pasar atau untuk jasa perjalanan.

Namun, itu tidak cukup. Menurut Budi, rencana ke depan adalah bagaimana perusahaan pembiayaan juga dapat membantu membiayai peralatan produksi di sektor UMKM. Tidak sekadar mobil. "Memang ada arah ke sana, tapi infrastruktur dan dana masih belum ada."

Langkah itu memang masih ditunggu. Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Dennis Firmansjah memaparkan kontribusi perusahaan pembiayaan tidak sekadar membiayai mobil komersial yang kemudian memberikan pendapatan. Tapi, lanjut dia, lebih pada pembiayaan peralatan yang menghasilkan produk tertentu seperti garmen atau sepatu.

"Selain itu, faktor seperti berapa jumlah pekerja dan berapa lama bisnis itu beroperasi menjadi salah satu persyaratan untuk perusahaan pembiayaan sebelum membantu sektor UMKM."

Menurut Dennis, sejauh ini pemerintah belum secara formal mengajak APPI untuk memberikan kontribusi yang lebih besar di sektor UMKM. Sebaliknya, pihaknya pun belum berinisiatif mengajukan hal tersebut kepada instansi terkait.

Tak aneh jika lembaga keuangan bukan bank (LKBB)-termasuk perusahaan multifinance -memiliki angka kecil dalam penyaluran kredit ke sektor UMKM. Survei yang digelar Bank Indonesia (BI) tahun lalu memaparkan, modal sendiri merupakan sumber dana yang paling besar untuk pebisnis UMKM dalam menjalankan usahanya. Rata-rata jumlahnya melampaui separuh dari total sumber dana, yaitu 66%-92%.

Data itu juga menyebutkan LKBB menempati urutan ketiga sebagai instansi yang memberikan pinjaman ke pebisnis UMKM, sekitar 0,4%-3,9%, sedangkan perbankan menduduki posisi kedua yaitu sebesar 5,3%-26%.

Padahal, Deputi Gubernur BI Aslim Tadjuddin memaparkan bahwa sektor UMKM merupakan sektor penting yang menyerap tenaga kerja secara masif setelah krisis ekonomi terjadi. Sehingga, tandas dia, harus ada strategi menyeluruh untuk lebih memberdayakan sektor tersebut.

"Salah satunya mendorong LKBB agar lebih berperan untuk menyalurkan kredit ke sektor pertanian dan perindustrian bagi UMKM," ujar dia pada awal Mei lalu.

Dua sektor itu memang paling minim. Survei BI menyatakan total penyaluran pinjaman lebih didominasi oleh sektor perdagangan dan jasa dibandingkan untuk kredit modal kerja (KMK) dan kredit investasi (KI). Pada 2005, kredit untuk sektor konsumsi itu mencapai Rp49,2 triliun sedangkan KMK dan KI masing-masing adalah Rp32,76 triliun dan Rp4,78 triliun.

Namun, pada 2006 distribusi kredit di sektor konsumsi mengalami penurunan sekitar 50% yaitu menjadi Rp24,09 triliun. Demikian pula KMK dan KI bagi pebisnis UMKM yang bergerak di bidang pertanian serta manufaktur yang menurun menjadi Rp29,7 triliun dan Rp4,59 triliun.

Salah satu contoh besarnya kredit di sektor perdagangan, diperlihatkan oleh PT Sahabat Multifinance. Menurut Direktur Utama Sahabat Multifinance Palgunadi Setyawan, sebesar 60% penyaluran kredit diperuntukkan bagi para pebisnis sektor tersebut. Misalnya untuk pedagang bakso atau yang ingin membuka usaha warung.

Sahabat Multifinance didirikan sejak 1999 dan memfokuskan bisnisnya pada pembiayaan modal kerja para pebisnis dalam skala mikro. Mungkin hal tersebut yang membuat International Finance Cooperation (IFC)-lembaga keuangan milik Bank Dunia-tertarik untuk menggelontorkan uang US$4,5 juta sebagai pinjaman kepada perseroan itu tahun lalu. Perusahaan tersebut kini memiliki 70.000 nasabah yang bergerak di sektor perdagangan maupun manufaktur.

Tentu, jumlah nasabah itu masih sangat jauh dibandingkan total pelaku usaha UMKM yang mencapai 44 juta unit usaha. Sahabat Multifinance hanyalah potret mini bagaimana perusahaan pembiayaan dapat menyokong pertumbuhan sektor bisnis berskala kecil. "Suatu saat, kami ingin memiliki nasabah hingga mencapai dua juta orang," timpal Palgunadi.

Lantas, bagaimana dengan tahun ini?

Wiwie Kurnia, Wakil Ketua APPI, memberikan sinyal bahwa kredit konsumsi-khususnya untuk pembelian produk otomotif maupun elektronik-akan meningkat pesat akibat tren pertumbuhan kredit. Dana yang dibutuhkan pun akan mencapai Rp130 triliun hingga akhir tahun. Kondisi tersebut sebenarnya tak berbeda jauh dari segi komposisi tahun lalu. Konsumsi tetap menjadi sektor yang dominan.

Data Biro Pembiayaan dan Penjaminan Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan pada 2006 menunjukkan, sebanyak lebih dari 50% perusahaan pembiayaan membiayai kredit konsumsi seperti pembelian produk otomotif dan elektronik.

Pembiayaan tahun lalu di sektor tersebut mencapai Rp57,7 triliun dari total penyaluran kredit multifinance yaitu Rp93,1 triliun. Tampaknya, belum ada ruang yang cukup besar untuk pembiayaan sektor si kecil. Belum ada ruang yang cukup pula bagi Syaifuddin.

Syaifuddin tahu bahwa bisnis limbah kayunya pasang-surut. Namun, dia lebih tahu modal yang diperolehnya dari pinjaman lembaga keuangan harus tetap dijaga kepercayaannya. "Tidak seperti modal sendiri yang bisa dipakai semaunya. Untuk yang ini, saya harus hati-hati." (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Thursday, May 3, 2007

di balik pencabutan asuransi nussalife

Oleh Anugerah Perkasa
1.584 words



TAK ADA akhir pekan yang menyenangkan bagi Binsar Sitohang di awal April tahun ini. Kekecewaannya membubung saat menerima kabar Departemen Keuangan mencabut izin delapan perusahaan asuransi, termasuk PT Asuransi Jiwa NussaLife Financial. Ini adalah perusahaan yang ingin dibenahinya. Jangankan rehat, dia langsung memimpin rapat maraton bersama rekan-rekannya selama dua hari. Mereka makin merapatkan barisan.

"Kami sudah cukup banyak kerugian untuk membenahi perusahaan," ujar Sitohang, bercampur geram. "Departemen Keuangan tidak kooperatif."

Departemen Keuangan pada 5 April lalu mencabut lima perusahaan asuransi jiwa dan tiga asuransi umum dengan alasan tidak mampu membayar klaim. Sebelum ditutup, delapan perusahaan itu juga dikenakan status pembatasan kegiatan usaha (PKU) dalam masa yang berbeda. NussaLife sendiri menerima status PKU itu pada 12 Oktober 2005.

Sejak 1991, perseroan itu dimiliki oleh Handoko Winata dan dikenal dengan nama Intan Life. Tujuh tahun berikutnya, kepemilikan saham terbesar beralih ke Fadel Muhammad-pengusaha sekaligus politikus-dan sepuluh persennya oleh PT Marga Investindo. Fadel aktif di Partai Golongan Karya (Golkar), kini menjabat sebagai Gubernur Gorontalo untuk kedua kalinya periode 2006-2011.

Pergantian kepemilikan terus berlanjut. Fadel menjual sahamnya kepada pebisnis Tubagus Adjenar Arifin pada Desember 2003, setelah mengalami kerugian setahun sebelumnya. Pada Juni 2005, nama perseroan pun berubah menjadi NussaLife.

Sebelumnya, Direktur Direktorat Asuransi Departemen Keuangan Firdaus Djaelani pernah menemui Fadel karena kinerja perusahaan yang kian memburuk. Fadel bangkrut, papar dia, karena pengaruh krisis moneter pada 1997 silam. "Usahanya banyak, pinjamannya juga banyak."

Setelah penjualan dilakukan, Arifin sebagai pemilik baru meminta Sitohang memimpin Tim Restrukturisasi dan Penyehatan NussaLife pada Maret 2006 di bawah pengawasan Direktorat Asuransi. Tujuannya, agar klaim beserta cadangan yang belum dibayarkan sebesar Rp28 miliar dapat dipenuhi dan perusahaan sehat kembali.

Namun, urusannya menjadi tidak sederhana.

Aset milik Arifin berupa perkebunan PT Perkebunan Djasinga di Bogor, Jawa Barat, senilai Rp40 miliar belum juga terjual. Padahal dana segar dibutuhkan untuk membayar klaim para pemegang polis dan kebutuhan lainnya. Arifin hanya menyetor Rp300 juta dari komitmen awal Rp1,5 miliar pada 2005. Tim tersebut akhirnya memutuskan aksi mereka tak sekadar menjual aset, melainkan memburu investor baru.

Selama beroperasi, Intan Life diperkirakan memiliki 16.000 nasabah yang tersebar di seluruh Indonesia. Ketika perseroan itu merugi, banyak pemegang polis kebingungan. Ada yang ingin melanjutkan pembayaran premi. Ada pula jatuh tempo. Dalam beberapa surat pembaca di media massa, umumnya mereka menanyakan lokasi kantor Intan Life yang sudah tutup di daerah mereka.

Tapi, bagaimana sebenarnya penurunan performa perusahaan itu terjadi?

Goncangan keuangan itu dapat dilihat pada 2002. Sebelumnya, Intan Life memiliki tingkat risk based capital (RBC)-rasio kecukupan modal-sebesar 187% atau melebihi dari ketentuan pemerintah yaitu 120%. Namun waktu itu menukik minus menjadi 153%. Demikian pula laba bersih yang mengalami defisit Rp24,53 juta dari surplus Rp210 juta, setahun sebelumnya.

Sitohang mengungkapkan kerugian itu bermula pada pengeluaran-pengeluaran yang tak menguntungkan perseroan sejak 2000. Biaya tinggi, namun minim hasil. Mulai dari sewa gedung, penempatan dana, hingga tuduhan manipulasi uang nasabah.

"Saya laporkan dana cadangan sudah berkurang namun Fadel tak mengerti. Gagasan saya soal investasi, tidak berkenan di hatinya," ujar Sitohang.

Sitohang memulai karier di bidang asuransi sejak 1972 di Medan, Sumatra Utara. Pada 1991, dia bekerja sebagai Direktur Pemasaran Intan Life dan mendapuk kursi utama enam tahun sesudahnya. Ketidakcocokannya dengan Fadel, membuat dia memutuskan keluar pada September 2002. Posisinya kemudian digantikan Faizal Muhammad, adik kandung Fadel.

Ongkos yang merugikan itu salah satunya adalah perpindahan kantor pusat dari Gedung Nindya Karya, kawasan Cawang, Jakarta Timur ke Graha Anugerah, Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada 2001. Sitohang mengungkapkan biaya gedung-yang merupakan milik Fadel-itu demikian menjulang. "Hampir mencapai Rp400 juta setahun."

Sebelumnya untuk sewa kantor lama, perseroan hanya membayar Rp80 juta per tahun. Sedangkan sejak perpindahan tersebut, biaya yang dikenakan adalah Rp80 juta per tiga bulan atau naik empat kali lipat, tepatnya Rp320 juta per tahun. Ini yang membuat Sitohang gerah.

Kegerahan sebelum itu pun terjadi. Pembelian tanah seluas 22 hektare di Malimping, Banten Jawa Barat oleh Fadel pada 2000 membuatnya tak habis pikir. Sitohang mengatakan harga tanah tersebut per meternya hanya berkisar Rp2.000 karena sama sekali tak potensial dan gersang. Namun akhirnya, uang yang digelontorkan mencapai Rp990 juta.

"Saya terpaksa dan sakit hati. Nilai yang dilambungkan besar sekali."

Fadel juga membuka PT Ramanda Multi Media-yang bergerak di bidang e-commerce- dengan modal Rp1,20 miliar dari Intan Life, dan menunjuk orang dekatnya, Ramles Manampang Silalahi sebagai direktur utama. Namun, perusahaan itu tak jelas bisnisnya.

Ramles merupakan alumnus mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 1975 dan dikenal sebagai aktivis anti-Soeharto. Dia juga menjabat Ketua Departemen Penerangan Dewan Mahasiswa ITB periode caretaker 1977.

Ramles bergabung dengan Fadel saat mendirikan PT Bukaka Kujang Prima dengan fokus rekayasa dan konstruksi pabrik pada 1991. Fadel sebelumnya bekerja di PT Bukaka Teknik Utama, milik Jusuf Kalla, saudagar asal Makassar, Sulawesi Selatan yang kini menjabat Wakil Presiden. Kedekatan keduanya dimulai dari sana.

Loyalitas yang ditunjukkan Ramles memang membuahkan hasil. Sikap itu juga yang membuatnya mendapatkan sejumlah jabatan dan kepemilikan saham di perusahaan milik tokoh Golkar tersebut. Misalnya saham 25% di Golden Key Group-perusahaan peninggalan koruptor Eddy Tanzil-yang dibeli Fadel pada 1997. Lainnya, Ramles juga menjadi komisaris di PT Bank Intan dan Intan Life serta menjadi direktur pada PT Anugerah General Insurance (AGI) sekaligus di Ramanda. Dia memutuskan berhenti sekitar 2002.

Cerita dari Kusdiarto, mantan Direktur Keuangan Intan Life periode 1998-2000, membenarkan betapa dekatnya hubungan antara keduanya. Ramles dinilai punya pengaruh karena dukungan Fadel dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk investasi. Dia mencontohkan soal pembelian tanah di Malimping, Banten.

"Dia adalah otak dari tim investasi. Sitohang tidak dilibatkan secara langsung," ujar Kusdiarto. "Power-nya besar sekali."

Kusdiarto mundur Desember 2000 karena tidak sepaham dengan Ramles soal investasi. Lainnya, sambung dia, adalah prinsip-prinsip akuntansi yang tidak diterapkan secara benar. Saya menanyakan apakah ada dugaan manipulasi akuntansi yang dilakukan selama ini.

"Saya tidak mengatakan itu, tapi mustinya dikelola berdasarkan prinsip akuntansi yang benar," timpalnya.

Kusdiarto kini menjabat sebagai manajer sumber daya manusia di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas lepas pantai. Setahu dia, Ramles kini tak berbisnis lagi dan sakit-sakitan. Kabarnya Ramles memilih menjadi pendeta.

Dugaan ini tidak sepenuhnya salah. Dari bibir Joshua Silalahi, anak bungsu Ramles, meluncur kesaksian bahwa ayahnya memang aktif di pelayanan gereja kawasan Panglima Polim, Jakarta Selatan. Soal sakit, ayahnya pernah terkena vertigo dan kini memakai hearing aids karena indera dengarnya bermasalah. Joshua mengatakan Ramles berjumpa Fadel pada akhir 2006 dalam sebuah pertemuan tertutup. Namun, dia mengaku tak mengetahui isi pembicaraan maupun tempatnya.

"Sekarang papa di mana?" tanya saya.
"Baru saja berangkat ke luar negeri."
"Ke mana?"
"Ke Israel."

Tak hanya soal Ramles, saya juga menanyakan soal Ramanda, AGI hingga pembelian tanah di Malimping kepada Fadel melalui telepon. Jawabannya hampir serupa: tidak ingat. Terakhir, Fadel malah meminta saya agar berhati-hati dengan Sitohang.

Fadel balas bertanya, mengapa saya meminta informasi tentang sesuatu yang telah usang. Menurut dia, lebih baik meliput tentang pertumbuhan ekonomi ke masa yang akan datang. "Ngapain mempersoalkan barang-barang seperti itu," tandas Fadel, "semuanya sudah masuk kubur."

Namun bagi Sitohang, masalah itu belum lagi rampung. Dia menduga Fadel mengetahui sisa dana nasabah Rp13,47 miliar yang ditempatkan pada deposito berjangka setelah dirinya keluar. Pada 2002, jumlah investasi tersebut mencapai Rp13,90 miliar, namun melorot drastis menjadi Rp422,48 juta setahun sesudahnya.

Laporan keuangan Intan Life 2003 menyatakan, jumlah total pendapatan adalah Rp15,14 miliar atau menurun dibandingkan 2002 yaitu Rp18,68 miliar. Kalau dikurangi beban asuransi bersih Rp15,12 miliar maka terdapat sisa Rp21,55 juta.

Jika dikalkulasi dengan jumlah deposito yang tidak berkurang, seharusnya perusahaan mendapatkan jumlah lebih dari Rp21,55 juta. Laporan itu mencatat, Intan Life sendiri merugi Rp5,13 miliar.

Tak hanya soal deposito. Fadel juga diketahui menarik Rp4,20 miliar pada Desember 2002 sebagai pinjaman sub-ordinasi, dengan bukti sebuah cek dari Faizal Muhammad sebagai gantinya. Tindakan tersebut sebenarnya dilarang oleh Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.481/1999 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Perasuransian, karena kondisi perusahaan tengah sakit.

Pada pasal 27 KMK tersebut dinyatakan, perusahaan asuransi dilarang mengembalikan pinjaman sub-ordinasi atau melakukan segala bentuk pengalihan modal kepada pemegang saham apabila menyebabkan tidak terpenuhinya tingkat solvabilitas sesuai peraturan.

Ini yang menyebabkan kuasa hukum Tim Restrukturisasi dan Penyehatan NussaLife mengirimkan undangan klarifikasi untuk Fadel pada November dan Desember 2006. Namun tak ada tanggapan. Pada Januari lalu, surat peringatan terakhir kembali dilayangkan sebelum mempersiapkan langkah hukum.

"Fadel," ujar Sitohang, "akan tetap kami kejar."

Pengambilan dana itu pun membuat gusar Agung Putra, Wakil Ketua Panitia Tim Restrukturisasi dan Penyehatan. Menurut Agung, dalam transaksinya Fadel berjanji, penarikan itu akan langsung diganti oleh Faizal dengan jumlah yang sama.

Tapi Faizal hanya menyerahkan cek tersebut ke perusahaan-bukan bank-sehingga uang pun belum cair. Lagipula, timpal Agung, pengambilan uang oleh Fadel harus terlebih dulu melalui rapat usaha pemegang saham. Tidak bisa seenaknya.

Serupa dengan kakaknya, Faizal pun diminta datang untuk memberikan klarifikasi kepada Tim itu pada Februari 2007. Tapi jawabannya, nihil.

Agung sendiri mulai bergabung ke Intan Life pada 2004. Sebelumnya, pernah menjabat sebagai Kepala Cabang Bank Nusa Jakarta Pusat periode 1993-1998. Dia mulai terjun ke dunia asuransi sejak bergabung ke Asuransi Mubarakah pada 2002.

"Ada yang mengejar dugaan pelanggarannya. Saya memfokuskan pada investor baru yang mau masuk. Semua orang di sini berjuang," ujar dia.

Tak sekadar soal Fadel. Tim tersebut kini tengah meminta klarifikasi ke Fuad Rahmany, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, soal pencabutan izin NussaLife. Menurut Agung, penutupan tersebut menandakan regulator mengabaikan latar belakang dan kemajuan kinerja Tim Restrukturisasi dan Penyehatan dalam mengembalikan kesehatan perusahaan. "Padahal," ujar dia, "Departemen Keuangan juga yang membentuk kepanitiaan ini."

Saya mendatangi kantor NussaLife di kawasan Cassablanca, Jakarta Selatan. Ada nasabah yang kebingungan. Marah. Tapi ada pula kesedihan karyawannya. Salah satunya, Christina Leander yang bergabung ke perusahaan itu sejak 1994.

"Saya ditelepon malam-malam dan diberitahu tentang pencabutan itu. Padahal baru saja sampai di rumah. Saya sampai nangis, badan saya gemetaran." (anugerah. perkasa@bisnis.co.id)

Monday, April 30, 2007

kue baru jamsostek?

Oleh Anugerah Perkasa
1.117 words


KATA RAPAT mungkin menjadi kamus umum bagi Myra Maria Hanartani. Hari-harinya tak pernah lepas dari pertemuan-pertemuan serius. Dari yang rutin di pagi hari hingga undangan sejumlah komisi DPR-RI di Gedung Senayan, Gatot Soebroto, Jakarta Selatan. Isinya tak berbeda jauh: soal ketenagakerjaan. Tapi kali ini, ada hal khusus yang menyita waktunya. Pendanaan pesangon.

"Saya membawa misi pemerintah," ujarnya.

Myra memang bekerja untuk pemerintah. Sejak 2005 hingga kini, dia menjabat sebagai Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kariernya dimulai sejak 1984 di Sulawesi Tengah. Awalnya, dia bertanggung jawab sebagai kepala seksi pada Dinas Tenaga Kerja di sana.

Misi Myra adalah memastikan buruh untuk mendapatkan pesangon saat diberhentikan sang pemberi kerja. Tidak kosong seperti yang sering terjadi selama ini. Dia menyebutkan pesangon adalah hak yang harus didapatkan buruh seperti tertera dalam UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Jadi, demikian Myra, harus didanakan lebih dulu untuk mencegah tak terpenuhinya hak buruh.

Myra membayangkan ada lembaga khusus yang mengelola dana tersebut. Dan PT Jamsostek pun masuk dalam daftarnya. Dia- beserta dua komponen, buruh dan pengusaha-sedang mengolah sebuah rancangan peraturan pemerintah (RPP) mengenai pesangon. Myra juga yang diserahi tanggung jawab untuk memimpin tim tersebut. "Semuanya masih digodok, belum ada keputusan."

Tapi, mengapa Jamsostek?

Menurut dia, nama itu muncul ketika orang berpikir tentang sistem jaminan sosial di Indonesia. Lagipula, tambah dia, perseroan itu berpeluang mengelola pesangon berdasarkan pasal 6 UU No.3/1992 tentang Jamsostek. Myra menimpali kelebihan BUMN tersebut adalah memiliki jaringan luas hingga ke pelosok, walaupun tak pernah mengelola pesangon selama ini.

Pasal 6 undang-undang itu menyatakan ruang lingkup jaminan sosial yang dikelola Jamsostek meliputi kecelakaan kerja, kematian, hari tua dan kesehatan. Ayat 2 dalam pasal yang sama menyebutkan pengembangan program tersebut diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Namun, persoalannya menjadi tak sederhana. Myra dan tim perumus RPP harus berperang opini soal pendanaan pesangon. Mulai dari wajib tidaknya program tersebut, siapa yang akan mengelola hingga batasan upah buruh yang menerima pesangon. Dia juga telah mengundang banyak pihak soal ini. Ada Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), dana pensiun lembaga keuangan (DPLK), dan perusahaan asuransi.

Walapun Jamsostek berpeluang, Myra mengaku belum mengetahui mana celah yang ingin dimasuki. Soal wajib atau tidaknya program tersebut, dia pun masih angkat bahu. Semua argumentasi muncul dengan kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Jamsostek sendiri hanya diikuti oleh 28,7 juta pekerja dari jumlah total 95,6 juta.

"Apa kelebihan Jamsostek jika dia menjadi pengelola," tanya saya.
"Anda berlagak tidak tahu saja. Saya tidak mau jawab."

Myra menolak seraya menambahkan soal adanya dua pilihan yang mencuat. Pendanaan pesangon sebagai program wajib yang dikelola bebas atau pemerintah yang menyeleksi perusahaan sebelum menggelar program tersebut. Untuk yang terakhir, lanjut Mira, dibutuhkan karena uang itu milik buruh. Intinya, dia ingin perusahaan yang sehat.

Dan bukan hanya Myra, memikirkan soal itu.

Ketua Asosiasi DPLK Nicky Theng mengkhawatirkan jika pendanaan pesangon dikelola badan tunggal maka berpotensi mematikan kompetisi antarpengelola. Buruh, lanjutnya, tak bisa membandingkan siapa yang terbaik menggelar program tersebut. Selama ini DPLK memang menjadi pengelola program pensiun sekaligus pesangon berdasarkan UU No.11/1992 tentang Dana Pensiun.

DPLK, mengacu ketentuan tersebut adalah dana pensiun yang didirikan oleh lembaga keuangan yaitu bank dan perusahaan asuransi jiwa. Lembaga itu pun hanya dapat mengelola program pensiun iuran pasti, sekaligus pesangon bagi buruh. DPLK saat ini tercatat mencapai 22 unit dengan rincian 16 perusahaan asuransi jiwa dan 6 bank.

Nicky menuturkan jika hanya ada satu pengelola maka berisiko tinggi bagi industri DPLK dan asuransi jiwa. Jika diambil alih oleh badan tertentu, pasar yang selama ini berjalan, bisa-bisa buyar. Perusahaan asuransi pun, tandas dia, terpengaruh karena tak ada pembelian anuitas saat peserta menerima manfaat pensiun. Jadi, tegas Nicky, mekanisme pasar tetap pilihan terbaik.

Dia beralasan, mekanisme pasar menguntungkan perusahaan karena dapat memilah program terbaik. Tentu saja, hal itu disesuaikan dengan kantong uang pemberi kerja sehingga efektif. Nicky pun berandai-andai: jika program itu diwajibkan, perusahaan diharapkan tetap dapat menyeleksi lembaga keuangan pengelola dana. Bukan pada satu lembaga saja.

Nicky tak sendirian. Setidaknya dukungan mengalir dari salah seorang Komisaris Jamsostek Rekson Silaban, yang juga setuju tentang multi-provider, termasuk Jamsostek. Dia mengatakan walaupun pesangon tak pernah dikelola BUMN itu, namun dapat diwujudkan seperti program investasi perumahan bagi buruh dalam Dana Peningkatan Kesejahteraan Pekerja (DPKP) milik Jamsostek.

Soal ini, Rekson lebih lugas. Dia ingin banyak pengelola yang menggelar program dana pesangon, diiringi kualifikasi tertentu. Menurut dia, perusahaan tetap dapat memilih perusahaan asuransi jiwa-sebagai pendiri DPLK- untuk mengelola pesangon sesuai standar tertentu pemerintah.

"Misalnya berapa kemampuan solvabilitas perusahaan itu. Ini harus diumumkan secara terbuka."

Keinginan Rekson sebenarnya terjawab oleh UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian. Pasal 16 ayat 1 mengatakan setiap perusahaan asuransi wajib menyampaikan neraca keuangan beserta penjelasannya kepada Menteri Keuangan. Sedangkan ayat 3, perusahaan itu juga wajib mengumumkan neraca dan laporan laba-rugi pada koran harian yang beredar luas di Indonesia. "Tak perlu lagi pemerintah menetapkan kualifikasi bagi perusahaan asuransi," timpal Nicky Theng.

Tunggu dulu.Yang tak sepaham soal Jamsostek pun tak sedikit.

Kepala Bagian Pemeriksaan Biro Dana Pensiun Bapepam-LK Dumoli Pardede mengatakan pasal 6 UU Jamsostek adalah pengembangan empat program yang sudah ada dari BUMN tersebut, bukan penambahan. Interpretasi yang diusung oleh Myra Maria, papar dia, adalah penambahan program, dan bukan mengembangkan program. "Pengembangan itu seperti A plus atau B plus. Tapi penambahan adalah A, B lalu ada C."

Penolakan juga datang dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Sekretaris Jendral Apindo Djimanto mengungkapkan program pendanaan pesangon sebenarnya membuat biaya yang berlipat-lipat bagi perusahaan. Selama ini, tutur dia, perusahaan sudah membayar program jaminan hari tua (JHT) Jamsostek, penghargaan masa kerja dan dana pensiun sendiri. Bagi Djimanto, ketiga program itu mengacu hal yang sama dengan dasar hukum yang berbeda.

Mari melihat alasan Djimanto. Program JHT berdasarkan UU Jamsostek bersifat wajib, begitupula penghargaan masa kerja yang tertera dalam UU Ketenagakerjaan. Sisanya program sukarela dana pensiun berlandaskan UU Dana Pensiun.

Apindo, urai dia, sebenarnya sepakat terhadap program pendanaan pesangon-yang disebutnya kompensasi pemutusan hubungan kerja- asal diharmonisasikan menjadi tunggal, siapapun pengelolanya. "Saya setuju asalkan yang lainnya mati."

Tapi, bagaimana jika program itu tetap diberlakukan?

Menurut Djimanto hal tersebut menciptakan iklim bisnis tak kompetitif. Ada ongkos yang terlampau mahal akibat pembayaran berganda. Investasi terhambat dan angka pengangguran diperkirakan membesar. "Kecuali," lanjut dia, "jika pemerintah ingin semua warganya masuk PNS [pegawai negeri sipil] atau tentara."

Keberatan lainnya datang dari Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Bambang Wirahyoso yang menilai rancangan produk hukum itu sarat diskriminasi. Batasan upah yang ingin dimasukkan dalam RPP itu, justru bertabrakan dengan UU Ketenagakerjaan selama ini. Semua kategori buruh harus mendapatkan pesangon, tanpa melihat struktur upah.

Soal Jamsostek, apalagi. Dia menilai pemilahan BUMN itu perlu dikaji matang-matang oleh pemerintah.

"Pemeliharaan kesehatannya saja masih bermasalah. Saya khawatir jika dipaksakan, justru kontraproduktif. Rata-rata buruh menolak rancangan peraturan itu karena tidak mengerti dan trauma akibat revisi undang-undang tenaga kerja." (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Friday, March 23, 2007

payung mahal sang buruh

Oleh Anugerah Perkasa
1.013 words
unpublished



PEKERJAAN BESAR Rusdi Muchtar semakin menumpuk saat menjelang pensiun. Sejak September 2006, dia mengkampanyekan Peraturan Gubernur No.82/2006 tentang Program Jaminan Kecelakaan Diri dan Kematian di Luar Jam Kerja (JKDK), bagi perusahaan-perusahaan yang berpusat di Jakarta. Ketentuan itu bersifat wajib.

“Untuk berbuat baik apa pun tantangannya akan saya lalui,” ujar dia.

Rusdi adalah Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta sejak Juli 2006. Berkarir di Departemen Tenaga Kerja sejak 1978, usianya kini menginjak 55 tahun. Bagi dia, JKDK adalah program yang menguntungkan pekerja. Rusdi ingin semua perusahaan yang berpusat di Jakarta menjadi peserta, tanpa kecuali. Namun itu tak mudah.

Program JKDK adalah asuransi perlindungan bagi pekerja atas risiko kecelakaan diri dan kematian di luar jam kerja. Bersifat wajib bagi perusahaan komersil maupun badan-badan sosial yang memberikan imbalan kepada pekerjanya. Program itu mengacu pada UU No.3/1992 tentang Jamsostek dan UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah.

“Secara legal program ini didukung peraturan yang sangat kuat,” ujar Rusdi. “Buruh juga tidak ada yang protes, karena menguntungkan.”

Dia mulai menerangkan latar belakang munculnya peraturan itu. UU Jamsostek membagi program jaminan sosial menjadi dua wilayah: di dalam dan di luar jam kerja. Jaminan sosial bagi pekerja di dalam jam kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah No.14/1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek, sedangkan untuk di Jakarta melalui Peraturan Daerah No.7/1989 soal Ketentuan Penyelenggaraan Kesejahteraan Pekerja di Wilayah DKI Jakarta.

Dari peraturan daerah itu, demikian Rusdi, kemudian lahir Keputusan Gubernur No.2/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Asuransi Kecelakaan Diri di Luar Jam Kerja dan Hubungan Kerja di Luar Jam Kerja di Wilayah DKI Jakarta. Belakangan disingkat AKDHK. “Waktu itu Apindo pun setuju.”

Apindo merupakan singkatan Asosiasi Pengusaha Indonesia, organisasi yang mewadahi para pengusaha. Dukungan Apindo terhadap AKDHK dinyatakan dalam salinan surat edaran untuk direksi perusahaan anggota Apindo pada November 1990. Rusdi mengutip isinya: Program itu menguntungkan hubungan industrial Pancasila dan kelangsungan perusahaan.

Tapi itu dulu. Apindo sekarang mengalami perubahan.

Pada awal Januari, organisasi tersebut mengajukan uji materiil terhadap ketentuan yang ditandatangani Sutiyoso akhir Agustus 2006 itu ke Mahkamah Agung. Mereka menilai legalitas program JKDK tak sah karena diatur dalam sebuah peraturan Gubernur. Bukan undang-undang khusus, macam Jamsostek.

Ketua Dewan Pengurus Nasional Apindo Sofjan Wanandi dalam nota keberatannya menjelaskan JKDK merupakan program yang bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya, UU No.2/1992 tentang Usaha Perasuransian. Sofjan mengutip pasal 1 ayat 3 yang mengatakan program asuransi wajib adalah program asuransi sosial yang berdasarkan undang-undang.

Menurut Sofjan, beban perusahaan membumbung akibat diwajibkannya program tersebut bagi pengusaha. Faktanya, sejumlah perusahaan telah memberikan program serupa dengan JKDK sebagai fasilitas tambahan. Jika pengusaha membayar keduanya, lanjut dia, maka biaya tinggi pun tak terelakkan.

Data statistik Dinas Tenaga Kerja Jakarta mencatat pertumbuhan program tersebut sejak 2001, saat otonomi daerah diatur dalam UU No.22/1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui menjadi UU No.32/2004. Peraturan itu menyebutkan, dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban mengembangkan sistem jaminan sosial.

Tengok pada 2005. Jumlah pekerja yang mengikuti program tersebut adalah 327.757 orang dan meningkat menjadi 452.505 pada 2006. Sedangkan untuk jumlah perusahaan dari 3332 unit menjadi 4555 unit.

Sekretaris Jendral Apindo Djimanto menyebut JKDK sebagai pemerasan. Dia menilai ada kesalahan tafsir terhadap JKDK oleh regulator. Program itu lebih ditujukan pada pekerja sektor informal yang tak punya majikan macam tukang becak atau penjual bakso. Tapi, sambung Djimanto, peraturan itu justru diperuntukkan bagi pekerja dalam perusahaan sebagai syarat memperoleh perizinan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Dia menilai itu pemaksaan.

Djimanto menegaskan JKDK seharusnya mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor PER-24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaran Program Jamsostek bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja. Bukan memplesetkannya menjadi program wajib bagi buruh yang punya tuan.

“Bagaimana dengan dukungan AKDHK sebelumnya oleh Apindo?”
“Itu masih zaman Orde Baru. Sekarang situasi berubah, hukum berubah.”

Djimanto mengungkapkan dukungan itu muncul di saat belum munculnya UU Usaha Perasuransian dan UU Jamsostek. Upaya peningkatan kesejahteraan buruh, timpal dia, akan dilakukan pengusaha asalkan memiliki landasan hukum yang jelas dan proporsional.

Salah seorang praktisi bisnis asuransi umum—yang menolak disebut namanya— menyatakan sikap serupa dengan Apindo. Selain masalah legalitas, pengakuan salah seorang anak buahnya membuat dirinya keberatan dengan program JKDK. “Kami disuruh membeli polis yang berasal dari Bumida, bukan yang lainnya.”

Bumida atau Bumi Putera Muda adalah perusahaan asuransi umum yang berdiri sejak 1967 dan merupakan anak perusahaan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Menurut data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta, perseroan tersebut sudah menjadi mitra pemerintah daerah dalam program AKDHK sejak 1993. Lima perusahaan pun menyusul: Takaful Umum, Asuransi Ramayana, Tugu Mandiri, Astra Buana dan Bangun Askrida.

Praktisi bisnis itu meragukan kemampuan enam perusahaan tersebut. Dia mempertanyakan mengapa program itu tidak langsung diselenggarakan PT Jamsostek—yang disebutnya sebagai spesialis—dan bukan perusahaan swasta.

“Ini bukan masalah persaingan bisnis. Saya sempat ditawari ikut mengelola program itu, namun saya tolak,” ujar dia.

Soal iuran, berdasarkan peraturan, jumlah yang musti disetor bagi pekerja lepas dan borongan adalah 0,24%. Namun jika upah tidak tertera dalam kontrak, maka iuran yang disetorkan 0,12% dari nilai kontrak.

Rusdi Muchtar menyindir. Perusahaan tak akan bangkrut gara-gara membayar jumlah tersebut setiap bulannya. Dia pun mempersilakan perusahaan yang telah memiliki program serupa dengan JKDK tetap berjalan. Dia menganalogikan JKDK seperti sumbangan ke PT Jasa Raharja—yang menangani asuransi kerugian—oleh pemilik kendaraan bermotor. “Ada ancaman pidana jika tak mematuhi.”

Dugaan monopoli dijawab Direktur Utama Bumida Ahmad Fauzie Darwis, yang menegaskan tim pemasaran memang gencar memasarkan program tersebut. Fauzie mengakui pihaknya telah lama bekerja sama dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta sehingga tak heran diundang kembali.

Dia menyebut dugaan monopoli itu semacam rekomendasi yang diajukan. Setahu dia, Bumida selama ini memang tak pernah telat menyetorkan iuran Pendapatan Asli Daerah. Mungkin saja, imbuh Fauzi, ‘rekomendasi’ itu muncul akibat sikap konsisten tersebut. Pada 2006, Bumida memperoleh sekitar Rp9 miliar dari program tersebut.

Fauzi ingin Bumida tetap serius di jalur itu. Dia tak ingin seperti perusahaan lain yang menganggap JKDK susah dikelola, karena lebih menargetkan pasar korporasi. Senada dengan Rusdi, dia juga menolak program itu terbelit masalah legalitas.

“Kalau bermasalah sejak dulu, mengapa tidak ada peraturan yang dicabut oleh Menteri Dalam Negeri atau direkomendasikan untuk dicabut. Soal uji materiil Apindo ke Mahkamah Agung, itu urusan pemerintah daerah. Bukan urusan Bumida.” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

mata air multifinance

Oleh Anugerah Perkasa
1.021 words
unpublished


KERIANGAN MENYEMBUL di wajah Ida Purwaningsih Lunardi sore itu. Dia tak sendiri. Sejumlah rekan kantornya juga merasakan hal yang sama. Usai pembeberan informasi publik soal obligasi, mereka berdiri berjejer. Ada kilatan lampu kamera. Ada kamera video yang merekam. Di ballroom hotel Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sebuah aksi korporasi baru saja usai.

Ida adalah orang nomor satu PT Federal International Finance (FIF)—
perusahaan pembiayaan sepeda motor khusus Honda—sejak 1998. Dia bukan orang baru di industri itu. Sejak 1972, Ida telah bekerja di salah satu anak perusahaan PT Astra International Tbk.

Obligasi atau surat utang adalah salah satu sumber dana di perusahaan pembiayaan untuk menjalankan bisnisnya. Kali ini, FIF menerbitkan obligasi senilai Rp800 miliar untuk mendanai penyaluran kredit hingga akhir 2007. Target mereka berkisar Rp10,54 triliun atau naik 10% dibandingkan 2006.

“Ini sesuai dengan perkiraan pertumbuhan otomotif sepeda motor tahun ini sekitar 5%-10%,” ujar Ida.

Tahun lalu, industri otomotif roda dua bergerak pelan. Data asosiasi industri sepeda motor Indonesia (AISI) menunjukkan penjualan sepeda motor hanya mencapai 4,47 juta unit atau turun hampir 12,6% dibandingkan penjualan 2005 yaitu 5,08 juta unit. Penurunan itu disebabkan sejumlah faktor, naiknya harga bahan bakar minyak dan tingginya suku bunga Bank Indonesia (BI).

Perusahaan pembiayaan pun kena imbasnya, tak terkecuali FIF. Piutang pembiayaan perseroan tahun lalu hanya mencapai Rp9,14 triliun. Ini jauh menurun dibandingkan total penyaluran kredit 2005, Rp14,28 triliun. Pembiayaan anjlok.

Tapi Ida punya harapan tahun ini.

Dia ingin penerbitan obligasi itu menjadi salah satu investasi yang baik dan aman bagi pebisnis lainnya. FIF ingin mencapai target 2007 dengan gemilang. Obligasi sendiri dipasang sebagai salah satu sumber dana selain pembiayaan bersama dengan sejumlah bank mitra.

“Secara kasar, obligasi sekitar 30% dan pembiayaan bersama bank mencapai 70%. Kerjasama dengan bank tak hanya pembiayaan, melainkan kredit sindikasi dan bilateral,” tutur dia.

FIF tak sendirian soal ini. Pada Januari lalu, PT Tunas Ridean Tbk menerbitkan obligasi Rp500 miliar untuk membiayai kredit mobil dan motor tahun ini sebesar Rp2 triliun. Dana yang dibutuhkan berkisar Rp1,8 triliun.

Menurut Direktur Tunas Ridean Miranti Andiyana, obligasi dipilih karena bunga yang ditawarkan lebih murah dibandingkan pinjaman domestik perbankan. Penurunan suku bunga BI, urai dia, tak serta merta membuat bank lokal menurunkan bunga kredit ke perusahaan pembiayaan.

Instrumen obligasi memang diperkirakan lebih ramai tahun ini. Dimulai PT BCA Finance yang menerbitkan Obligasi II Rp500 miliar di awal 2007, Obligasi II PT Summit Oto Finance Rp1 triliun, Obligasi IV Tunas Finance Rp500 miliar dan terakhir FIF dengan Obligasi VII Rp800 miliar. Semuanya bergerak di sektor pembiayaan konsumen, yang asetnya mencapai Rp57,7 triliun pada 2006. Jumlah ini merupakan separuh lebih dari total aset industri pembiayaan.

Tentu, ada yang tak ingin melewatkan momen ini.

PT Wahana Ottomitra Multiartha (WOM) Finance juga berencana menerbitkan obligasi untuk mendanai pembiayaan sepeda motor Rp4,6 triliun pada 2007. Sekretaris Perusahaan WOM Finance Fenfira Tedja menjelaskan kondisi pasar yang kondusif membuat pihaknya mengeluarkan instrumen tersebut. “Diperkirakan terbit pada April nanti.”

Sebelumnya,WOM Finance telah mengeluarkan Obligasi II pada 2005 senilai Rp500 miliar. Perseroan itu dikenal sebagai perusahaan yang mengkhususkan diri untuk penyaluran kredit kepemilikan sepeda motor asal Jepang. Selain obligasi, WOM juga mendapatkan dana dari kredit bank sebagai sumber pendanaan lainnya.

Langkah serupa dilakukan PT Adira Dinamika Multifinace. Bedanya, pihak manajemen perseroan itu masih mempersiapkan penerbitan obligasi yang direncanakan keluar pada Juli 2007.

Direktur Keuangan Adira Multifinance Hafid Hadeli mengatakan obligasi akan digunakan sebagai salah satu sumber dana penyaluran kredit sepeda motor maupun mobil pada 2007 sebesar Rp10 triliun. Jumlah ini meningkat Rp1 triliun dibandingkan pembiayaan 2006 sebesar Rp9 triliun.

Tapi, berapa sebenarnya jumlah total obligasi tahun lalu?

Mari melihat data Biro Pembiayaan dan Penjaminan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Biro tersebut mencatat jumlah total obligasi yang diterbitkan pada 2006 adalah Rp10,1 triliun atau turun tipis dibandingkan akhir 2005, Rp10,2 triliun. Dibandingkan dua sumber dana lainnya, pinjaman dari bank domestik maupun asing, nilai total instrumen itu masih kalah jauh yaitu Rp33,2 triliun untuk kredit domestik dan Rp32 triliun untuk asing.

Ada yang menarik dari data tersebut. Pinjaman asing pada 2004-2005 menunjukkan angka yang melebihi pinjaman domestik. Pada 2004, pinjaman asing tercatat Rp24,8 triliun sedangkan lokal Rp24,1 triliun, pada tahun berikutnya adalah Rp31,4 triliun berbanding Rp29,7 triliun.

Sepanjang 2006 lalu, sejumlah perusahaan yang mendapatkan fasilitas kredit asing adalah a.l. PT BFI Finance, PT Indomobil Finance, Adira Multifinance, dan WOM Finance. Ada yang mendapatkannya sekali hingga tiga kali dalam periode yang sama.

Menurut Sekretaris Jendral Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Dennis Firmansjah mengatakan pinjaman asing dapat meningkat 15% pada 2007 menyusul semakin membaiknya kondisi makro Indonesia. Suku bunga yang ditawarkan pun lebih rendah dibandingkan bunga pinjaman bank lokal.

“Pinjaman asing juga memiliki tenor lebih panjang dibandingkan lokal,” timpal Dennis.

Presiden Direktur Adira Multifinance Stanley Setia Atmadja setuju soal itu. Pinjaman asing adalah salah satu bentuk kepercayaan investor luar negeri terhadap industri pembiayaan di Tanah Air. Dia menilai pasar pembiayaan masih sangat prospektif dan menjanjikan.

Lain pinjaman, lain pula kisahnya. Pinjaman dari bank domestik yang tahun lalu mencapai Rp33,2 triliun diperkirakan tetap dominan sebagai sumber dana perusahaan pembiayaan pada 2007. Untuk tahun ini, pertumbuhannya diprediksi mencapai 20%.

Ketua APPI Susilo Sudjono mengatakan dengan turunnya suku bunga BI di level 9% saat ini, pinjaman domestik akan tumbuh dan berdampak pada penurunan bunga konsumen oleh perusahaan pembiayaan. Selain itu, peningkatan tersebut dinilai menguntungkan perbankan karena melonjakkan likuiditas. Dia memaparkan data: suku bunga di awal 2006 menyebabkan sejumlah perusahaan pembiayaan lebih memilih pinjaman luar negeri daripada lokal.

Awal 2006, suku bunga BI memang bercokol di level 12,75%. Akibatnya penyaluran kredit perbankan ke sektor riil menjadi seret. Sepanjang tahun tersebut, terjadi tujuh kali penurunan suku bunga hingga mencapai 9,75% pada Desember 2006.

Namun penurunan suku bunga BI belum berpengaruh langsung pada perusahaan pembiayaan. Praktisi bisnis tersebut harus menunggu satu-dua bulan ke depan sebelum penurunan bunga konsumen dilakukan. Tak bisa otomatis. Nasabah pun belum bisa menikmati bunga rendah saat ingin membeli kredit sepeda motor atau mobil.

“Tergantung perbankan. Ini efek domino, semakin cepat bank menurunkan bunga, semakin cepat kami menyesuaikan,” tutur Presiden Direktur PT Trust Finance—
yang bergerak pada pembiayaan mobil—Muhammad Nashir. “Namun ini tidak berlaku bagi joint venture. Bunga yang ditawarkan biasanya lebih kompetitif dengan bank karena dana mereka lebih kuat.” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Friday, March 9, 2007

banjir dana sang meneer

Oleh Anugerah Perkasa
714 words



LEMBARAN KERTAS itu diletakkan Susilo Sudjono di meja bundar berwarna cokelat. Ini bukan kertas biasa. Di dalamnya berisi setumpuk peraturan baru soal perusahaan pembiayaan. Regulasi itu baru saja diterbitkan Departemen Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 84/2006 pada September 2006.

"Kami menyambut baik peraturan ini. Ada beberapa hal penting seperti soal pinjaman luar negeri, izin baru dan lain-lain," ujar Susilo sambil membolak-balik kertas tersebut di kantornya pada Oktober.

Susilo bukan orang baru di industri pembiayaan. Dia menjabat sebagai Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) untuk 2004-2007. Jabatan lainnya, Presiden Direktur PT Surya Artha Nusantara Finance, perusahaan yang membiayai peralatan berat dan merupakan kelompok usaha PT Astra International Tbk.

Susilo menunjuk Pasal 25 pada lembaran itu. Ini adalah soal pinjaman. Dalam peraturan tersebut dinyatakan perusahaan pembiayaan dapat mendapatkan pinjaman dari institusi nonbank minimal Rp1 miliar dengan tenor minimal satu tahun. Mekanisme ini disebut private placement.

Private placement merupakan penawaran saham terbatas institusional dari badan usaha dan merupakan langkah kebalikan dari penawaran saham ke publik. Instrumennya dapat berupa perjanjian utang maupun medium term note (MTN).

Jumlah pinjaman juga dibatasi maksimal 10 kali dan tidak dibatasi pinjaman dalam negeri berjumlah 10 kali, sedangkan luar negeri hanya lima kali, seperti aturan sebelumnya.
Menurut Susilo, PMK No.84/2006 dapat mendorong perusahaan pembiayaan meningkatkan pendanaannya dari luar negeri, terutama bagi perusahaan gabungan lokal-asing.

Pendanaan asing, dinilai menciptakan lahan investasi baru bagi industri pembiayaan. Dana yang terkumpul dapat disalurkan ke pelbagai bidang. Ada sektor riil. Ada sektor usaha kecil mikro menengah. Intinya, tambah Susilo, membantu memperbaiki kondisi ekonomi yang terpuruk pada 2006.

Mekanisme private placement juga menjadi sumber pendanaan alternatif. Bagi Sekretaris Jendral APPI Dennis Firmansjah peraturan tersebut merupakan cita-cita lama yang ingin diwujudkan. Tak lagi tergantung pada pemberian kredit perbankan.

"Kami selama ini seperti anak tiri perbankan. Peraturan ini sangat positif, dan merupakan cita-cita sejak lama," ujar Dennis belum lama ini.

Tak heran Dennis berkata demikian. Pendanaan perusahaan pembiayaan memang selama ini didominasi bank dalam rangka memperluas penyaluran kredit. Sumber dana lainnya melalui pasar modal. Dengan lahirnya PMK No.84/2006, demikian Dennis, perusahaan pembiayaan dapat menggali sumber dana alternatif.

Lain private placement asing lain pula pinjaman asing. Data Departemen Keuangan pada Desember 2006 menunjukkan pinjaman luar negeri hanya mempunyai selisih sekitar Rp1 triliun dibandingkan lokal yaitu Rp32 triliun berbanding Rp33,2 triliun.

Pada 2004 justru pendanaan asing justru mencapai Rp24,8 triliun sedangkan lokal hanya Rp24,1 triliun. Tahun berikutnya juga meningkat: asing Rp31,4 triliun dan lokal Rp29,7 triliun.

Sekretaris Perusahaan PT Wahana Ottomitra Multiartha (WOM) Finance Fenfira Tedja mengatakan pinjaman tersebut tak sekadar menguntungkan perusahaan pembiayaan dari tingkat bunga pinjaman yang rendah, namun juga soal perluasan jaringan.

Dia tak sekadar bicara. WOM beberapa kali mendapatkan pinjaman asing selama 2006 untuk mencapai target pembiayaan kredit kepemilikan sepeda motor. Ada dari International Finance Corporation (IFC) US$20 juta, Deutsche Investitions und Entwicklungsgesellschaft mbH (DEG) US$25 juta, serta sindikasi enam institusi keuangan asing US$66 juta.

Bahkan untuk tahun ini, dia memperkirakan, pendanaan asing justru akan lebih besar dan semakin kompetitif dalam pemberian bunga. Dia mengakui memang lembaga keuangan luar negeri sangat ketat dalam melihat portofolio perusahaan pembiayaan. "Uji kelayakannya hingga enam bulan."

Mantan Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Ngalim Sawega membenarkan pendanaan asing akan lebih besar lagi, karena bank lokal terbentur pada batas maksimum pemberian kredit (BMPK).

Tak cukup hanya itu. Menurut Ngalim, kecilnya proporsi pemberian kredit bank atau pemodal lokal terhadap perusahaan pembiayaan juga dilandasi ketidakpercayaan. Ini justru menguntungkan kreditor asing. Apalagi, lanjut dia, kebutuhan dana perusahaan pembiayaan semakin lama semakin bertambah.

Ngalim juga bicara soal private placement-yang menjadi pendanaan alternatif-tahun depan. Harapannya, perusahaan pembiayaan dapat memberikan bunga murah kepada konsumen dalam penyaluran kreditnya saat memakai mekanisme itu.

Namun, harapan saja tak akan pernah cukup.

Keluhan datang dari Sekretaris Perusahaan PT Mandala Multifinance Poedji Goesarianto. Mereka ingin memakai mekanisme tersebut tahun ini. Mereka tahu bahwa regulator pun mendukung langkah perseroan. Masalahnya, tutur Pudji, belum adanya peraturan yang jelas mengenai instrumen private placement beserta pajaknya.

Mandala pun telah ambil ancang-ancang. Poedji menjelaskan perseroan itu sudah mendekati sejumlah dana pensiun karena kesamaan jenis investasi yang bersifat jangka panjang. Namun, dia bungkam soal dana pensiun mana saja yang diajak kerja sama.

Ini tak hanya dirasakan oleh Poedji. Direktur Keuangan PT Adira Multifinance Hafid Hadeli mengungkapkan pihaknya masih mengkaji apakah perseroan akan memakai mekanisme tersebut atau tidak.

"Semuanya," tutur Hafid, "masih dipersiapkan." (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Tuesday, February 13, 2007

dari jawa untuk jakarta

Oleh Anugerah Perkasa
1.214 words



SUDIR SANTOSO bukan orang yang besar di Batavia. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di Desa Gedong Winong, Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Terutama belakangan ini. Sudir menjabat sebagai kepala desa di tempat yang terpencil itu sejak tujuh tahun lalu. Namun, Sudir tak bisa dibilang kecil di desanya. Orang ini punya pengaruh.

"Kepala desa itu masing-masing punya konstituennya," ujarnya.

Sudir membuktikan ucapannya pekan ini. Ribuan kepala desa menyemut di depan gedung Departemen Dalam Negeri dan Mahkamah Agung di kawasan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Ada yel-yel yang diteriakkan. Ada orasi. Ada pula 'Cucak Rowo' milik musisi Didi Kempot dendang lagu. Sudir pun hadir di tengah mereka. Dalam unjuk rasa itu, dia memegang mikrofon. Suaranya menggema.

"Kami datang dengan tertib. Kami orang-orang desa, tapi ingin memberikan tuntunan, bukan tontonan," teriaknya di atas mobil dengan kap terbuka.

"Ya, ya setuju," ujar massa yang menyeruak. Rata-rata mereka memakai baju seragam warna hijau lumut. Semuanya gegap-gempita.

Sudir meneruskan orasinya, kadang-kadang memakai bahasa Jawa. Tuntutannya dua: masa jabatan kepala desa yang diperpanjang delapan hingga sepuluh tahun, dan mereka diperbolehkan ikut dalam partai politik. Alasannya, gaji minim serta aturan yang diskriminatif.

Para kepala desa itu tergabung dalam Persatuan Kepala Desa dan Perangkat Desa. Mereka menyebutnya Parade Nusantara, yang dipimpin oleh Sudir sendiri.

Menurut Sudir, aturan yang diberlakukan oleh pemerintahan Jakarta sangat diskriminatif. Pejabat negara boleh berpartai politik, sedangkan para kepala desa tidak sama sekali. Sudir menilai ini tak adil. "Bukankah aturan itu seharusnya berlaku umum, general?" tanyanya.

Parade Nusantara menilai Peraturan Pemerintah (PP) No. 72/2005 tentang Pemerintahan Desa menyudutkan orang-orang di desa. Dia beranggapan Pemerintah Jakarta lebih pintar dan lebih mengerti demokrasi dibandingkan massanya yang kebanyakan adalah pedagang, petani dan peternak. Tapi, urai Sudir, justru peraturan dari kota ini mematikan karir orang-orang di pelosok.

Peraturan ini memang menjadi masalah. Dalam pasal 44 disebutkan, para kepala desa hanya dapat menjabat selama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan. Ini dianggap bertentangan dengan UU No. 32/2004 soal Pemerintahan Daerah yang mengatur jabatan itu selama enam tahun dan dapat dipilih kembali. Lainnya, pasal 16 dalam aturan yang sama disebutkan kepala desa tak boleh menyentuh partai politik sama sekali.

Sudir mengatakan PP ini justru menimbulkan ketidakpastian ekonomi. Menurut dia, jika seorang kepala desa hanya digaji Rp600.000 setiap bulan, bagaimana dia melangsungkan kehidupannya lebih baik? Lalu, bagaimana jika nasib kepala desa yang masa jabatannya usai, tidak bisa mengikuti partai politik tertentu?

"Ini bicara soal karier. Seharusnya, jika peraturan itu adil, pejabat negara juga tak boleh berpartai. Ini kan tidak, Jusuf Kalla menjabat Wakil Presiden, tapi juga Ketua Umum Partai Golkar," tandasnya.

Parade Nusantara siang itu tak hanya unjuk kekuatan dari pelosok Jawa. Mereka juga menemui Mendagri M. Ma'ruf untuk tuntutan tersebut. Tak hanya itu, perwakilan mereka pun mendatangi Mahkamah Agung (MA), mendesak agar segera menyidangkan permohonan uji materiil PP No. 72/2005 yang diajukan Maret. Sudir dan kawan-kawan ingin segera melihat hasilnya.

Kepala Subdit Peninjauan Kembali dan Tata Usaha Negara MA, Abdul Manan mengatakan uji materiil peraturan yang diajukan oleh Parade Nusantara akan dijadikan prioritas karena memiliki dampak sosial yang luas pada pemerintahan desa. Targetnya, dua-tiga minggu sejak pekan ini.

"Majelisnya sudah terbentuk, mereka akan segera menyidangkan uji materiil itu," ujar Manan, setelah menemui perwakilan dari Parade Nusantara.

Ini melegakan walau sejenak. Menurut Sudir, jika majelis tidak mengabulkan permohonan mereka soal pasal-pasal bermasalah, MA harus mengeluarkan fatwa melarang semua pejabat beratribut partai politik, tanpa kecuali.

"Jika permohonan kami ditolak, para kepala desa akan kembali mendatangi MA. Kali ini lebih besar," ucapnya serius.

Dia juga mengingatkan orang-orang yang ada di Jakarta jangan melupakan desa sebagai tempat tinggalnya dulu. "Ma'aruf itu orang Tegal, Jawa Tengah. Jangan lupa dong setelah tinggal di Jakarta," ujarnya. Ini mirip falsafah kacang agar tak lupa kulitnya.

Terus, bagaimana para kepala desa itu datang beramai-ramai menggoyang Batavia?

Saya menanyakan hal ini kepada lulusan fakultas hukum Universitas 17 Agustus 1945, Semarang itu. Dia bilang tak ada yang membayar mereka sama sekali, termasuk dari PDIP-yang santer disebut-sebut sebagai partai yang mendanai gerakan itu.

"Bagaimana dengan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso?" tanya saya.
"Sepuluh rupiah pun saya tak menikmati dana dari Sutiyoso. Dia hanya menjadi tuan rumah yang baik, karena menyambut kami dari desa."
"Bagaimana Anda bisa pergi ke Jakarta?
"Mas, rekan-rekan saya dari desa itu punya ternak ayam, beserta telurnya. Sapi juga itu yang mereka jual untuk dijadikan ongkos."

Sudir menolak dikatakan menjadi orang bayaran dari siapapun. Megawati Soekarnoputri maupun Sutiyoso.

Untuk yang terakhir, ada dugaan muncul jika Gubernur DKI itu mengerahkan massa dari pelosok Jawa untuk menunjukkan kekuatan terkait soal megapolitan. Sutiyoso punya kecenderungan ingin memimpin megapolitan, dan bukan ditampuk oleh menteri dalam negeri.

Megapolitan adalah konsep yang menunjuk Jakarta sebagai pusat dan Bekasi, Bogor, Cianjur, Depok, serta Tangerang sebagai kota satelitnya. Administrasi pun akan diatur dari Jakarta. Rencananya, undang-undang itu akan rampung pada akhir 2006, waktu sebelum Sutiyoso melenggang turun dari kursi kekuasaan. Persoalannya, ada yang menganggap ini merupakan dominasi baru Jakarta. Dominasi pada kota-kota sekitarnya.

Kepala Humas Biro DKI Jakarta Catur Laswanto menolak mentah-mentah soal ini. Dia membantah Sutiyoso membiayai Parade Nusantara dalam soal megapolitan.

"Apa hubungannya? Para kepala desa itu kan kebanyakan dari Jawa Tengah, yang kaitannya tak ada sama sekali dengan megapolitan," ujarnya emosional.

Catur juga membantah jika Sutiyoso menyodorkan dirinya sendiri sebagai orang yang berkeinginan untuk memimpin konsep kota itu. Dia mengatakan, justru mantan Pangdam Jaya itu memberikan alternatif untuk memimpin megapolitan: menteri khusus, menteri dalam negeri atau gubernur Jakarta sendiri. Catur juga menolak bosnya berselisih dengan Ma'aruf soal kepemimpinan megapolitan.

"Tak pernah, tak pernah itu."

Sudir boleh berlega hati soal bantahan sokongan dana. Tak hanya itu, pandangan serupa pun disampaikan oleh peneliti LIPI Indria Samego terhadap usulan Parade Nusantara.

Menurut dia, walaupun gerakan ini menyangkut kesejahteraan kepala desa, tapi nuansa politik tetap ada di dalamnya. Indria menilai peraturan soal ini memang tak adil. Dia sepaham dengan Sudir, kepala desa dari Pati itu.

Pengamat itu mengatakan kepala desa saat ini memang mengalami pergeseran makna. Jika dahulu, mereka bekerja tanpa pamrih, namun sekarang tuntutan muncul karena desakan ekonomi yang menguat.

"Ini ditambah dengan mengecilnya jumlah tanah bengkok yang selama ini merupakan hak dari kepala desa," paparnya.

Tanah bengkok adalah tanah yang biasanya didapatkan oleh kepala desa karena jabatannya untuk dikelola. Luasnya bermacam-macam, tergantung kekayaan desa itu sendiri. Namun dengan dikeluarkannya UU tentang Pemerintahan Daerah, No. 5/1979, yang menyeragamkan bentuk desa-hingga di luar Jawa- di seluruh Indonesia, tanah ini makin lama makin menyusut.

"Bagaimana Anda bisa bertahan dengan gaji yang tetap, namun menginginkan jabatan kepala desa. Jabatan itu mahal," ujar Indria.

Soal partai politik, Indria pun segendang-sepenarian. Dia menginginkan adanya kebebasan para kepala desa untuk bergabung ke partai politik. Dia mengatakan kekhawatiran kalangan tertentu yang menganggap kepala desa bisa dijadikan alat politik untuk meraih massa adalah pikiran lama. Indria menyebutnya logika pikir versi Orde Baru. "Mereka harus diberi kebebasan. Tidak apa-apa mereka memilih partai tertentu."

Saat Orde Baru berkuasa, semua perangkat negara diharuskan memilih Golkar sebagai pilihan dalam pemilu yang diadakan lima tahun sekali. Golkar sendiri menjadi mesin politik paling efektif saat itu. Tak banyak pegawai negeri yang berani menolak instruksi tersebut. Tentu saja, perintah ini berasal dari orang nomor satu waktu itu, Soeharto.

Dua minggu menjadi waktu yang tak sebentar. Sudir masih saja di Jakarta, saat saya telepon malam itu. Dia bilang akan meninggalkan kota ini sesuai keperluan. Saya menduga dia ingin menunggu hasil dari MA, tapi mungkin juga kebutuhan lain.

"Sesuai kebutuhan saja, saya akan meninggalkan Jakarta." Dia tertawa setelah itu. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)