Friday, January 18, 2008

keriangan, kegelisahan multifinance

Oleh Anugerah Perkasa
876 words



SEBUAH PROYEKSI muncul dari layanan pesan pendek yang saya terima sore itu. Isinya soal perkiraan pertumbuhan industri pembiayaan pada 2008. Sang pengirim, Wiwie Kurnia mengatakan penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) menjadi 8% dapat memicu pertumbuhan sekitar 20%.

“Bahkan lebih, jika BI kembali menurunkan suku bunga.”

Wiwie termasuk pebisnis lama di industri pembiayaan dan kini memimpin Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) sejak Agustus 2007. Dia juga menjabat Presiden Direktur PT Mega Central Finance, setelah 20 tahun berkarir di PT Indomobil Finance Indonesia.

Awal Desember, otoritas moneter kembali menurunkan BI Rate di level 8%, setelah selama lima bulan bertahan di posisi 8,25%. Kondisi ini menyiratkan pertumbuhan yang lebih baik. “Ini tak hanya untuk industri pembiayaan,” tutur Wiwie, “namun juga pelaku industri sektor riil lainnya.”

Para praktisi menilai bisnis pembiayaan meningkat lebih pesat tahun ini. Jika dibandingkan 2006, lemahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak pada Oktober 2005, membuat bisnis tersebut melorot. Belum lagi faktor BI Rate yang mencapai 12,75% di awal tahun.

Biro Pembiayaan dan Penjaminan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) mencatat kenaikan pembiayaan hingga akhir 2006 mencapai Rp96,43 triliun atau naik tipis dibandingkan 2005, yang hampir menyentuh Rp80 triliun. Ini pertumbuhan yang relatif kecil. APPI memperkirakan dengan membaiknya kondisi makro ekonomi kini, total pembiayaan di penghujung 2007 akan menembus Rp150 triliun.

Menurut Direktur PT BFI Finance Indonesia Tbk Cornellius Henry, penurunan BI Rate akan berdampak pada pemangkasan bunga kredit yang ditawarkan bank kepada multifinance. Akibatnya, ongkos dana perusahaan pembiayaan menurun. “Bunga pinjaman akan kami turunkan ke konsumen sekitar 1%-2%. Itu pasti, karena tren menuju ke sana.”

Cornellius tak sendiri. Pebisnis lainnya juga melakukan hal serupa akibat penurunan BI Rate menjelang akhir tahun. PT Adira Dinamika Multifinance Tbk, misalnya. Perusahaan pembiayaan yang memfokuskan pada sepeda motor itu akan memotong bunga pinjamannya di level 1% tahun depan.

Pembiayaan konsumen—pinjaman untuk kepemilikan produk otomotif maupun elektronik—memang dominan sepanjang tahun ini. Statistik BI mencatat hingga Oktober 2007, bisnis di sektor itu mencapai Rp66,56 triliun atau lebih separuh dari total Rp104,51 triliun. Jenis pembiayaan lainnya, sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring) dan kartu kredit juga tumbuh namun tak sebesar yang pertama.

Khusus sepeda motor, prediksinya lebih baik lagi.

Suwandi Wiratno, Presiden Direktur PT Wahana Ottomitra Multiartha (WOM) Finance Tbk memperkirakan kondisi politik tahun depan mempengaruhi bisnis pembiayaan. Ada kampanye. Ada uang yang mengalir. Pembiayaan sepeda motor, lanjutnya, bisa naik mencapai 25%. “Sedangkan mobil, mungkin hanya 20%.”

Perkiraan Suwandi sah-sah saja. Sebelum pemangkasan BI Rate, Biro Perasuransian Bapepam-LK memang menerapkan peraturan baru mengenai asuransi untuk kendaraan bermotor pada September 2007. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/2007 tentang Pertanggungan Asuransi pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor, tarif premi ditata ulang.

Imbasnya pun terasa. Ada pebisnis pembiayaan mobil yang mengeluh. Ada pengusaha asuransi umum yang berkurang pendapatannya. Mereka cenderung menolak. Bahkan APPI memprediksi ketentuan tersebut akan menggerus laba usaha pembiayaan tahun depan. Namun, regulator tak mau meninjau ulang keputusannya. Tekad mereka, jalan terus.

Belum lagi ditambah isu pembatasan premium. Menurut Dennis Firmansjah, Sekretaris Jendral APPI, keuntungan perusahaan yang membiayai mobil bisa turun karenanya. “Orang yang ingin beli mobil, mungkin batal. Tapi, ini tak sampai menyebabkan perusahaan bangkrut.”

Pada November 2007, pemerintah menghembuskan wacana pembatasan konsumsi premium bersubsidi pada awal tahun depan. Hal ini disebabkan tingginya harga minyak dunia yang mendekati US$100 per barel sehingga nilai subsidi melonjak. Namun, rencana itu masih abu-abu, terealisir atau tidak.

Tentu, tidak semuanya khawatir.

“Seiring ekspansi di luar Jawa, kami juga akan membiayai mobil-mobil komersial. Tidak hanya mobil pribadi,” tutur Danusubroto Sugiarto, Head of Consumer Finance PT Austindo Nusantara Jaya Finance. “Ada kebutuhan yang meningkat di sektor pertambangan dan perkebunan.”

Lain lagi dengan PT Clipan Finance Tbk. Perusahaan itu akan melakukan langkah fleksibel jika penurunan konsumsi mobil bekas terjadi akibat pembatasan premium bersubsidi. Dwijanto, Executive Vice President Corporate Planning Clipan Finance merencanakan untuk meninggikan komposisi bisnis sewa peralatan berat, sebagai antisipasi. Fokusnya kali ini: batu bara dan kelapa sawit.

Sewa guna usaha memang diandalkan pada tahun depan, setelah pembiayaan konsumen. Hingga Oktober 2007, statistik BI mencatat bisnis pembiayaan untuk modal kerja itu mencapai Rp34,63 triliun atau peringkat kedua terbesar dalam usaha pembiayaan. Penurunan bunga pinjaman pun akan menjadi langkah selanjutnya. “Alat berat kompetisinya cukup tinggi,” tegas Dwijanto.

Sekarang, mari beralih ke anjak piutang dan kartu kredit.

Perkembangan bisnis itu tak mencuat drastis. Paling tidak, dilihat dari angka pencapaiannya menjelang akhir tahun. Statistik otoritas moneter memaparkan masing-masing transaksi adalah Rp1,87 triliun dan Rp1,4 triliun hingga Oktober 2007. Minimnya sosialisasi dan jumlah pelaku yang kecil, menjadi sebab terbesar datarnya usaha tersebut. Data Biro Pembiayaan dan Penjaminan Bapepam-LK menyebutkan terdapat sedikitnya 66 perusahaan yang membiayai anjak piutang dan hanya dua unit untuk kartu kredit: GE Money Indonesia dan Diners Club International.

Soal anjak piutang, Presiden Direktur PT IFS Capital Indonesia Dennis Firmansjah menuturkan banyak pelaku bisnis yang tak mengenal pembiayaan model itu. Selain kurangnya pengetahuan dan bunga pinjaman tinggi, calon nasabah lebih memilih fasilitas perbankan yang serupa: account receivable.

Secara sederhana, prosedur yang dilakukan pembiayaan ini adalah membeli tagihan piutang perusahaan atas perusahaan lainnya. Nilainya berkisar 70% dari total piutang. Dana yang dikucurkan perusahaan pembiayaan, biasanya digunakan untuk menambah modal kerja.

Oleh karena itu, anjak piutang menuntut kehati-hatian ekstra karena dilakukan dalam skala besar. “Kami harus mengenal baik bisnis nasabah. Semuanya korporasi,” tutur Dennis, lagi. “Factoring memang belum sebaik pembiayaan konsumen.” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

No comments: