Saturday, August 13, 2011

peta hitam dari kebayoran baru

Oleh Anugerah Perkasa
3.344 words





BUDI PRIYANTO sama sekali tak keberatan menghabiskan waktunya mengurus tanah milik Mulya Aulizar, termasuk soal merogoh kantongnya lebih dalam. Pekan terakhir Maret, dua petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) mendatangi lokasi properti kepunyaan adik kandungnya itu di kawasan Karet Pasar Baru Timur, Jakarta Pusat. Budi sendiri tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan. Sebulan kemudian, bekas kepala cabang bank swasta tersebut mengambil hasil pengukuran di kantor pertanahan Jakarta Pusat, seputar kawasan Abdul Muis. BPN menerbitkan ukuran luas lahan: 121 meter persegi dengan biaya resmi pelayanan Rp129.000.

“Saya memang memberikan tips kepada petugas yang melakukan pengukuran tanah,” ujarnya kepada saya. “Untuk dua orang, ya saya ngasih Rp200 ribu sebagai biaya transport.”

Budi bertubuh sedang, tapi cenderung kurus. Usianya kini 60 tahun. Rambut beruban dan mulai menipis. Siang itu dia berpenampilan santai. Berkaos dengan kerah dan dilapisi jaket warna coklat. Dia juga membawa beberapa dokumen, selain surat hasil pengukuran tanah. Ada pula kuitansi dan buku tabungan.

Ongkos lebih yang dibayarkan Budi serupa dengan apa yang ditemukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedikitnya dalam 3 tahun terakhir. Temuan itu terangkum dalam Survei Integritas—yang digelar sejak 2007—terhadap instansi publik dengan sumber dana APBN maupun APBD. Tujuannya, mengukur indikator dan pengendalian praktik korupsi dalam pelayanan masyarakat. Celakanya, selama 3 tahun berturut-turut pula skor BPN selalu di bawah nilai rata-rata nasional. Pada akhir 2010, otoritas agraria itu mendapat 5, 21 atau di bawah nilai rata-rata yakni 5,41.

Bagaimana hal itu terjadi?

KPK menemukan praktik pembayaran uang tambahan pada pengukuran dan pemetaan bidang tanah. Sebanyak 13% pengguna layanan mengaku praktik tersebut selalu terjadi, 23% mengatakan sering terjadi dan 63% mengatakan pemberian uang kadang-kadang terjadi.

Tak hanya itu, penerbitan sertifikat tanah pun setali tiga uang. Responden mengatakan 20% pemberian uang selalu terjadi, 27% sering terjadi serta 53% kadang-kadang terjadi. Survei Integritas mengungkapkan sedikitnya empat kategori pelayanan publik BPN yang terindikasi praktik korupsi: layanan pengukuran dan pemetaan kadastral, layanan balik nama hak tanah, layanan hak tanggungan, serta pembuatan sertifikat tanah.

“Memang berubah itu tidak mudah, apalagi lembaga ini ada yang di pusat serta daerah. Tak semudah membalik telapak tangan,” ujar Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin. “Yang diperlukan adalah waktu. KPK juga terus mengevaluasi secara periodik.”

Tetapi, mungkin ada hal yang terlewatkan KPK.

Biaya tambahan macam Budi Priyanto—dan beberapa jenis ongkos lainnya— pernah tidak otomatis masuk ke kas negara, melainkan dikelola melalui mekanisme Dana Pengguna Lainnya. Ini adalah sistem yang diterapkan BPN sejak 2005, di mana sumber dan pengelolaan dananya terpisah dengan pengelolaan APBN. Hal ini diungkapkan dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada pertengahan tahun lalu.

BPK menemukan penerimaan dan pengeluaran Dana Pengguna Lainnya masing-masing Rp114,35 miliar dan Rp86,35 miliar pada akhir Desember 2009, sehingga saldo tersisa Rp27,99 miliar. Penerimaan dana itu terdiri dari bantuan pengelolaan, biaya transport pengukuran, biaya transport pemeriksaan tanah, bantuan APBD, biaya surat perintah kerja, dan biaya pelayanan tanah lainnya.

Penanggung jawab pemeriksaan audit pada BPK Widodo J. Mumpuni mengatakan penerimaan maupun pengeluaran Dana Pengguna Lainnya tidak dilaporkan dalam laporan keuangan secara memadai. “Kondisi tersebut mengakibatkan dana cenderung kurang terkendali dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan keuangan negara,” ujarnya dalam laporan audit. “Pelaksana anggaran BPN belum sepenuhnya menaati peraturan undang-undang.”

Ada yang lebih mengejutkan.

Widodo menuturkan kalkulasi yang berbeda justru ditemukan antara bendahara Dana Pengguna Lainnya dengan rekapitulasi laporan keuangan Unit Akuntansi Pengguna Anggaran (UAPA). Bendahara Dana Pengguna Lainnya mencatat sisa uang adalah Rp27,99 miliar, sedangkan laporan UAPA hanya mencapai Rp21,07 miliar. Dana selisih Rp6,92 miliar itu tidak bisa ditelusuri keberadaannya.

Bagi Mochammad Jasin, audit BPK adalah sebuah pintu masuk melihat indikasi korupsi.

KPK sendiri mencatat banyaknya pengaduan masyarakat tentang dugaan korupsi di BPN. Ini terjadi dalam rentang waktu 2004-awal 2011. Sedikitnya sepuluh provinsi dengan akumulasi pengaduan terbanyak adalah Sumatra Utara (119), Jawa Barat (111), Sumatra Selatan (59), Jambi (28), Riau (23), Lampung (21), Kalimantan Selatan (14), Sumatra Barat (11), Nanggroe Aceh Darussalam (7) dan Kepulauan Riau (5).

Saya juga mempelajari pengaduan soal korupsi di BPN pada data statistik Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum. Tim itu merilis sebanyak 224 pengaduan masyarakat terkait dugaan praktik mafia di sana. BPN menempati urutan kelima dalam jumlah pengaduan, setelah kepolisian, peradilan, kejaksaan dan pemerintah daerah. Satgas juga merilis data jenis kasus terbanyak: 953 masalah pertanahan!

Tetapi, ada yang lebih dibuat penasaran tentang bebalnya sikap BPN. Namanya Ombudsman Republik Indonesia (ORI).

Sepanjang tahun lalu, badan pemantau pelayanan publik tersebut menerima pengaduan buruknya kinerja BPN dari masyarakat hingga mencapai 96 laporan. ORI pun berkirim surat ke BPN agar berbenah. Ini karena perizinan yang tak kunjung terbit. Permintaan sertifikat tanah tak dilayani. Atau lambatnya eksekusi atas putusan pengadilan. Namun, tak satu kata pun yang dibalas. Ini membuat gusar Wakil Ketua ORI Azlaini Agus.

“Tidak ada surat Ombudsman yang ditindaklanjuti. Apa yang sedang terjadi di sana?” katanya kepada saya pada Maret. “Mengapa lembaga ini seolah-olah tak pernah bisa disentuh?"





TIGAPULUH TIGA mobil putih Mitsubshi L300 berderet rapi di halaman Taman Wisata Candi Prambanan, Klaten, Jawa Tengah pada pagi itu. Di depannya, barisan sepeda motor Suzuki Thunder berwarna serupa diparkir sejajar. Ada kata yang sama tercetak pada dua jenis kendaraan tersebut: LARASITA. Hari itu, 16 Desember 2008 sebuah seremoni digelar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama sang istri, Ani Yudhoyono kompak memakai batik berwarna abu-abu dan coklat. Tak hanya Presiden, acara itu juga dihadiri pejabat lainnya macam Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dan Kepala BPN Joyo Winoto. Musik campur sari mengalun. Ribuan undangan memenuhi tempat duduk. Ini adalah peluncuran program baru BPN: Larasita atau Layanan Rakyat untuk Sertipikat Tanah. Sang duta program tersebut, artis Desy Ratnasari turut hadir.

“Terus terang, dulu ada citra yang kurang baik terhadap BPN. Dianggap oknum BPN itu suka main untuk kepentingan sendiri,” ujar Presiden seperti dilansir dalam situs resminya. “BPN dikatakan jadi momok, jadi hantu bagi yang mengurus perizinan tanah, termasuk dunia usaha.”

Para undangan bertepuk tangan. Presiden meminta BPN terus berbenah.

Peluncuran Larasita sebagai kantor pertanahan bergerak bertujuan untuk mempercepat pelayanan sertipikasi dan informasi kantor pertanahan kepada masyarakat. Ini karena jarak tempuh menuju kantor pertanahan di pelbagai wilayah relatif jauh. Program tersebut berawal dari uji coba yang sukses di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah pada 2006. Bedanya, mobil yang dipakai saat itu adalah Isuzu Elf. Bukan Mitsubishi L300, seperti yang dijejer pagi itu.

Riset Atik Zulfianti dari Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta tentang Larasita menyebutkan peralatan komunikasi pada tahap awal adalah Wifi triangle tower antenna 60 meter dengan frekuensi radio, komputer jinjing beserta printer. Namun kini, sistem yang dipakai adalah Land Office Computerization (LOC) di mana data yang berasal dari mobil Larasita dapat terbaca secara online di kantor pertanahan, serta sebaliknya. Perangkatnya antara lain hyperlink antenna, wireless radio, optional automotor antenna, dan amplifier. BPN menyiapkan 124 mobil, 248 sepeda motor untuk menjangkau 124 kabupaten/kota pada tahap pertama.

“Program ini mendapat apresiasi yang besar dari Bank Dunia dengan menyebutnya pioneering mobile land information services," ujar Joyo Winoto dalam pidatonya. “Tahun 2009 akan dibangun lagi Larasita untuk 134 kabupaten/kota lainnya. Pada akhir tahun 2009 lebih dari 60% wilayah Indonesia akan terlayani.”

Pidato ini tak hanya di Jakarta.

Dia juga meminta izin Kepala Negara untuk bertolak ke Washington D.C, Amerika Serikat pada Maret 2009. Ini untuk memenuhi undangan International Federation of Surveyors (IFS), sebuah lembaga nonpemerintah yang beranggotakan komunitas surveyor pada 120 negara dan berbasis di Copenhagen, Denmark. Organisasi itu berdiri di Paris, Perancis pada 1878 dengan nama awal Federation Internationale des Geometres. Tetapi, Joyo juga punya maksud lain.

Dia mengharapkan pengucuran pinjaman dari Bank Dunia—yang bekerja sama dengan IFS dalam konferensi internasional itu— di antaranya untuk pembangunan administrasi pertanahan dan infrastruktur pelayanan BPN. “Many programs still need maintenance to implement the new land policy. Strengthening of the relationship between NLA [National Land Agency] and World Bank is important for these programs,” papar Joyo dalam presentasinya. “With World Bank support, hopefully the challenges that face the Indonesia government can be gradually overcome.”

Apa saja program BPN yang diharapkan memperoleh pinjaman Bank Dunia?

Dalam matriks presentasi berjudul Taking Land Policy and Administration in Indonesia to the Next Stage and Land National Agency’s Strategic Plan disebutkan, dukungan hutang itu akan diperuntukkan dengan membangun peta berbasis kadastral, peta tematik pengontrol lahan, serta membuat sistem informasi pertanahan nasional. Selain itu, untuk peningkatan sistem registrasi lahan massal, memperkuat infrastruktur Larasita, sekaligus memajukan sistem arsip pertanahan.

Lembaga keuangan itu memang pernah memberikan kucuran hutang sedikitnya dua kali ke BPN. Proyek pertama bernama The Land Administration Project pada 1994 dengan nilai USS140,01 juta dan The Land Management and Policy Development Project sebesar US$32,08 juta pada 2004. Bank Dunia menyatakan hal ini adalah kontribusi kepada program pemerintah Indonesia untuk mengurangi angka kemiskinan, menumbuhkan perekonomian dan mendorong penggunaan sumber daya lahan. “Tujuan utama dari proyek itu adalah meningkatkan keamanan kepastian lahan, efesiensi kepemilikan tanah serta registrasinya,” kata Bank Dunia dalam situs resminya.

Tetapi, utang itu juga mendapat kecaman keras.

Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan terang saja lembaga keuangan internasional tersebut mendukung penuh sertipikasi tanah di Indonesia. Ini karena dapat mempercepat pasar tanah yang kian liberal. Padahal, KPA menilai struktur kepemilikan tanah di Indonesia masih sangat pincang. Mulai dari kepemilikan, penguasaan hingga tata guna tanah.

“Bagaimana dengan program Larasita?” tanya saya.

“Sertipikasi pada struktur tanah yang timpang, justru melegalkan kepincangan itu. Program ini hanya ingin mewujudkan pasar bebas pada tanah sesuai dengan tujuan proyek hutang Bank Dunia.”

Tak hanya soal pinjaman yang dikritik. Pengadaan kendaraan roda dua dan empat untuk Larasita pun diindikasikan korupsi. Buruknya, terjadi selama 3 tahun berturut-turut.Temuan ini diungkapkan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Koordinator Advokasi dan Investigasi Fitra Ucok Sky Khadafi mengatakan BPN tidak mematuhi Surat Menteri Keuangan (SMK) selama tiga kali pengadaan mobil maupun sepeda motor untuk Larasita pada periode 2008-2010. Menurut Fitra, dugaan penggelembungan itu merugikan keuangan negara sebesar Rp44 miliar.

Dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BPN tentang Larasita disebutkan, satu unit sepeda motor dipatok harganya mencapai Rp24,21 juta padahal Kementerian Keuangan hanya menyatakan Rp20 juta. Jumlahnya mencapai 188 unit. Sedangkan satu unit mobil dihargai Rp282,25 juta padahal standar pemerintah hanya Rp200 juta, dengan total pembelian 93 unit. Pada 2009, BPN mematok harga Rp26,29 juta per unit sepeda motor dengan rencana pembelian 60 unit. Sedangkan mobil per unit dihargai Rp334,52 juta untuk 30 unit. Tahap kedua dalam periode sama, BPN kembali menetapkan harga Rp26,78 juta per unit sepeda motor untuk pembelian 250 unit, sementara mobil Rp320,26 juta untuk 130 unit.

Pada 2010, Kementerian Keuangan mengubah harga patokan untuk unit mobil yakni Rp250 juta namun tidak pada sepeda motor. Tetapi, tetap saja acuan tersebut tak dipakai. Dalam DIPA 2010, BPN mematok harga Rp26,78 juta per unit sepeda motor dan Rp345,60 juta untuk mobil. Pengadaannya masing-masing mencapai 312 unit dan 156 unit.

“Kami meminta BPK segera melakukan audit investigatif dalam pengadaan kendaraan roda empat dan roda dua di BPN,” kata Ucok. “KPK juga harus turun melakukan penyelidikan atas dugaan penggelembungan harga itu.”

Namun, Joyo kian bergeming.

Kapal motor Larasita untuk Kepulauan Seribu tetap diluncurkan di kawasan Marunda, Jakarta Utara pada 2010. Ini sekaligus menandai penambahan 150 armada pada 150 kabupaten/kota serta sistem kantor pertanahan online pada 274 titik. Dalam sambutannya, Joyo menyampaikan ke Presiden bahwa kesuksesan percepatan program sertipikasi tanah telah mengalami lonjakan yang tinggi yakni dari rata-rata 7.333 bidang menjadi 4.627.039 bidang dalam 3 tahun terakhir. Seperti dalam transkrip rekaman pidato, BPN mengklaim keberhasilannya membagikan 2.172.507 sertipikat kepada keluarga kurang mampu. Ini jauh lebih banyak dibandingkan pada 2005 yakni 269.902 keluarga. Sebagian dari mereka turut hadir dalam acara itu. Joyo menuturkan angka tersebut adalah jumlah tertinggi dalam sejarah BPN.

“Bapak Presiden dan Ibu Negara yang kami hormati, mohon sekiranya Bapak Presiden memberikan arahan atas pengembangan pertanahan ke depan,” katanya.

Presiden kembali berpidato.





RIZAL ANSHARI adalah pensiunan pegawai negeri dengan tutur bicara yang tenang. Selama 31 tahun hidupnya dihabiskan untuk bekerja di BPN. Dari pegawai biasa sampai menjadi Sekretaris Utama (Sestama) BPN pada 2006-2007. Pada pertengahan Mei, kami bertemu di Starbucks Coffee di Pasar Raya Blok M, Jakarta Selatan. Dia memesan kopi berkrim, sedangkan saya memilih teh mint.

“Saya diberhentikan oleh Joyo pada 2007,” ujarnya mengacu nama Joyo Winoto. “Tidak ada alasan yang jelas. Dalam suratnya hanya tertulis dibebastugaskan sebagai Sestama BPN.”

Rizal juga adalah orang yang mengkritik pelaksanaan Larasita. Pada Agustus 2009, dia menembuskan sejumlah surat kritiknya ke pelbagai pihak: Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Tak hanya itu, Komisi II DPR RI, pejabat eselon I dan II BPN dan kepala kantor pertanahan di Provinsi DKI Jakarta, turut dikirimi. Dia menilai infrastruktur kantor pertanahan untuk Larasita, tak sepenuhnya siap.

“Mengapa?” kata saya.

“Basis data pendaftaran tahan spasial dan tekstual milik kantor pertanahan pada umumnya tidak lengkap. Kalau di Jakarta, mungkin sudah baik. Bagaimana dengan pelosok Papua?”

Dia memaparkan dengan kondisi yang tak lengkap—di antaranya tak ada data berformat digital— maka tidak memungkinkan untuk melakukan hubungan online antar kantor pertanahan dengan mobil canggih Larasita. Jangankan punya perangkat itu, beberapa kantor pertanahan sendiri masih banyak yang menyewa tempat, bukan gedung sendiri. Menurut Rizal, kelemahan yang harus dibenahi dahulu adalah infrastruktur basis data spasial dan tekstual.

Pertanyaannya, apakah mobil Larasita yang memiliki Information and Communications Technology (ICT) menerbitkan sertipikat dengan kondisi kantor pertanahan kebanyakan?

Tudingan yang lebih keras juga datang dari “pensiunan” lainnya. Anhar Nasution, mantan anggota Komisi II DPR RI periode 2004-2009 dari Fraksi PBR. Dia bahkan menuduh Joyo Winoto telah membohongi publik soal sertipikasi tanah. Tentunya, juga di hadapan Presiden Yudhoyono. Sejak Februari tahun lalu, dia mendirikan Forum Anti Korupsi dan Advokasi Pertanahan (Fakta), organisasi pemantau kasus korupsi dan pertanahan. Kantornya terletak di Jalan Raya Kalimalang, Jakarta Timur. Ruang kerja Anhar dipenuhi foto-foto pelbagai kegiatannya. Selama aktif di Komisi II DPR RI, dia kerap bertemu dengan Joyo saat rapat dengar pendapat.

Dia curiga dengan program Larasita karena harga pengadaan kendaraannya jauh di atas rata-rata harga pasar. Misalnya Suzuki Thunder yang hanya berkisar Rp15,41 juta atau Mitsubishi L300 senilai Rp191 juta. Namun, BPN justru jauh sekali mematok harga satuannya. Fakta pun melaporkan secara resmi dugaan korupsi itu ke KPK pada Maret 2010. Lengkap dengan hasil analisa dan fotokopi DIPA BPN selama 3 tahun berturut-turut.

Anhar juga menyangsikan validitas data sertipikat tanah bagi keluarga miskin.

Dia akhirnya mengirimkan surat permohonan informasi ke BPN untuk mengetahui nama dari 1.533.277 keluarga yang menerima sertipikat tanah gratis. Dari Maret sampai April tahun lalu, BPN tak pernah membalas surat resmi dari Fakta. Organisasi itu pun melayangkan somasi pertama pada Mei. Kedua untuk Juni. Sebulan kemudian, BPN membalas surat Fakta dengan mengundang Anhar dalam sebuah pertemuan. Dia datang bersama dengan tiga rekannya. Tetapi mereka hanya disuguhi selembar kertas. Isinya daftar provinsi dari keluarga miskin penerima sertipikat.

Anhar memrotes selembar kertas itu.

Suyus Windayana, Kepala Bidang Pengembangan Sistem, Data dan Informasi dan Informasi BPN akhirnya memperlihatkan salah satu bundel daftar nama dari Provinsi Bali. Mereka semakin kaget. Dokumen tersebut tak memperlihatkan alamat dan waktu penerbitan sertipikat dengan jelas. “Kalaulah begini hasil dan cara kerja BPN, yang katanya sudah memakai sistem informasi yang canggih, kami benar-benar kecewa,” kata Anhar. “Padahal sistem ini sudah didukung oleh ratusan miliar uang rakyat.”

Namun, apakah program kantor pertanahan itu benar –benar bermasalah?

Joyo justru mengakui pelbagai kendala di hadapan anak buahnya pada Februari tahun lalu. Dalam pengarahan rapat kerja tahunan, dia menyindir kepala kantor pertanahan yang menolak program Larasita. Minimnya perangkat teknologi. Sampai yang “nakal” karena mematikan server.

“…ada kepala kantor yang menolak Larasita. Lho bagaimana ini, dikasih kekuasaan kok ditolak. Kalau begitu ya sudah, wassalam,” ujar Joyo seperti dilansir situs Brighten Institute. “…ada yang kadang-kadang dijalankan, ada yang kadang-kadang tidak. Ini mau menjadi kepala kantor atau mau menjadi dagelan?”

“…kalau ada kepala seksi yang ndhableg, tidak sesuai dengan aturan yang jalan, ya kepala kantor yang ngetok. Tidak bisa diketok, lapor pak kepala,” katanya lagi. “…siapa yang diketok Bapak Presiden kalau Larasita gagal? Pak Joyo. Tetapi kalau Pak Joyo sering diketok, maka dia ketok siapa?”

Kesannya, Joyo sangat berkuasa.

Saya pun menemui Maruhum Batubara, teman Joyo satu Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor, Jawa Barat. Maruhum mengambil jurusan Sosial Ekonomi angkatan 1982, sedangkan Joyo memfokuskan pada Ilmu Tanah, satu angkatan di atasnya. Pria Batak itu mengawali karirnya di Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 1989, dan kini menjabat Kepala Biro Humas dan Tata Usaha sejak 2005. Dia juga lulusan doktor dari Universitas Tsukuba, Jepang.

“Mas Joyo dulu beraktivitas di himpunan profesi Ilmu Tanah dan GMNI [Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia],” ujar Maruhum pada saya. “Tipe orangnya demanding, tinggi menuntut sesuatu. Tetapi, dia bisa meyakinkan orang saat berpidato.”

Joyo sendiri kelahiran Mojokerto, Jawa Timur pada 16 November 1961. Selepas mengambil gelar doktoral di Universitas Michigan, Amerika Serikat, dengan konsentrasi Ekonomi Politik Sumber Daya dan Wilayah pada 1995, dia diperbantukan bekerja di Bappenas sebagai pembantu asisten. Selama hampir 6 tahun, puncak karirnya di sana adalah sebagai Kepala Biro Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri dan Kepala Biro Pangan, Pertanian dan Pengairan. Tetapi, benarkah sikap terlalu menuntut Joyo memicu konflik internal di Bappenas?

“Saya memang melihat cara kerjanya memang demanding, ingin sempurna. Bukan karena tidak bisa melakukan sesuatu,” ujar Maruhum. “Staf kerja, koleganya atau bahkan atasannya mungkin saja tidak dapat mengikuti.”

Joyo akhirnya “dikembalikan” ke IPB pada 2001 melalui mekanisme Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) Bappenas. Maruhum mengindikasikan adanya politik birokrasi internal pada Bappenas, namun tak mau menjelaskannya. Pada saat itu, lembaga tersebut dipimpin oleh Kwik Kian Gie—ahli ekonomi yang sempat aktif di Partai PDI Perjuangan—hingga 2004. Ini adalah masa yang menyulitkan bagi Joyo. Dia merasa kecewa.

Sasmito Hadinagoro, seorang pensiunan Departemen Keuangan punya cerita soal ini. Joyo sempat mampir ke rumahnya di kawasan Kota Baru, Jogjakarta usai “pengembalian” tersebut. Sasmito pun mengajaknya untuk ikut acara tirakatan : mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan. Joyo sempat menginap di sana, sebelum akhirnya diantarkan pulang oleh Aryo Bimo Seno—anak lelaki Sasmito—kembali ke Bogor. Mantan pegawai negeri itu memaklumi kekecewaan kawan lamanya itu.

Tapi fase ini pula yang mengubah jalan hidupnya.

Joyo tak sekedar kembali ke kampus, namun juga merapat ke pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Presiden dan Wakil Presiden terpilih kelak pada 2004. Dia dan Presiden Yudhoyono—juga cendikiawan IPB lainnya— mendirikan Brighten Institute, tanki pemikir untuk kebijakan pembangunan, sekaligus penyokong data ekonomi pasangan SBY-JK.

Sosiolog George Junus Aditjondro dalam buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century, mengatakan sejumlah pengajar IPB lainnya juga menjadi anggota lembaga itu. Di antaranya adalah Harianto dan Herman Siregar—sebelumnya menjadi komisi pembimbing disertasi—yang menguji Presiden Yudhoyono pada 2 Oktober 2004, atau 18 hari sebelum dilantik sebagai orang nomor satu di republik ini. Presiden sendiri menjadi Ketua Dewan Penasihat Brighten Institute. Kedekatan ini berbuah manis. Pada Juli 2005, Joyo dilantik sebagai Kepala BPN menggantikan gurunya sendiri yang juga cendikiawan IPB, Lutfi Ibrahim Nasution.

“Setelah di BPN, dia mengambil jarak yang cenderung birokratis. Padahal tidak demikian waktu di Bappenas, friendly,” ujar Sasmito pada Mei.

“Bagaimana kesan selanjutnya?” tanya saya.

“Sulit sekali menjawab SMS. Terakhir, Pak Joyo membalas SMS saya pada April 2010,” kata Sasmito. “Tapi sekarang, bukan dia yang menjawab secara langsung, tapi sekretarisnya. Mungkin dia ingin steril.”

Saya pun merasakan hal serupa untuk urusan wawancara, saat menghubungi sang sekretaris, Yusi Yuswianti untuk mengirimkan daftar pertanyaan pada 6 Mei lalu. Tetapi, sampai 3 minggu kemudian interview belum bisa dilakukan dengan alasan jadwal yang padat. Saya juga mengirimkan SMS ke telepon selular Joyo, namun tak dibalas.

Saya akhirnya menunggu dia di Masjid Nuurur Rahman di halaman kantor pusat BPN, jalan Sisimangaraja, Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Ini soal dugaan saja, Joyo akan beribadat pada Jumat terakhir di bulan Mei itu. Banyak pegawai lalu-lalang. Ada yang asyik berbincang-bincang. Benar saja. Orang yang saya tunggu-tunggu, berbatik coklat dan berpeci hitam, baru masuk ke pintu masjid. Setelah salat, Joyo akrab berbincang-bincang dengan beberapa pegawai. Wawancara pun dilakukan selepasnya, sambil menuju lobi. Saya memperkenalkan diri lebih dulu.

Petugas keamanan mengikuti.

Masalah pertama soal Larasita. Joyo meminta agar pertanyaan itu ditujukan ke bagian pengadaan barang. Dia tak ingin ambil pusing walaupun setuju penegakan hukum. Wawancara tersebut singkat sekali. Tak lebih dari 2 menit. Petugas mencegah saya menaiki tangga dan membiarkan Joyo melenggang. Saya pun berjalan keluar. Di halaman belakang kantor itu, ucapan Rizal Anshari—sang pensiunan dengan tutur kata yang tenang—kembali terlintas.

“Banyak yang takut setelah melihat saya dipecat. Sekretaris Utama saja bisa diberhentikan, bagaimana dengan yang lain?” kata dia. “Orang menjilat itu ada di mana saja. Dinding pun telah menjadi telinga Joyo.” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)


The story is the original version with the same title as the printed one. If you want to read the printed version, please click:

http://epaper.bisnis.com/PUBLICATIONS/BISNISINDONESIA/BI/2011/08/16/index.shtml

Friday, May 13, 2011

tak sekedar soal real estate

Oleh Anugerah Perkasa
1.099 words





SEJAK PERTENGAHAN MARET saya mulai ditugaskan meliput sektor properti. Ini adalah wilayah liputan baru setelah sebelumnya meliput sektor keuangan dan hukum, terutama menyangkut korupsi. Sejak 2005, saya bekerja untuk harian Bisnis Indonesia, suratkabar khusus bisnis yang berpusat di Jakarta. Dan bidang properti di tahun ini menjadi desk ketiga.

Perpindahan area liputan kali ini memang besar-besaran. Setiap reporter yang dipindahkan mendapatkan surat tugas resmi. Saya pun merasakan hal serupa pada sebagian reporter: di bawah tekanan karena hal baru. Beberapa dari kami berkumpul di kantor. Berdiskusi. Bertukar ide liputan. Berbagi nomor kontak narasumber.

Saya sendiri ditugaskan bersama-sama dengan Siti Nuraisyah Dewi yang sebelumnya lebih banyak meliput sengketa perusahaan. Sementara editor yang menyunting naskah berita harian kami adalah Gajah Kusumo. Kami bertiga bertemu. Gajah memberi contoh materi liputan yakni soal tingkat penyerapan apartemen milik atau perkantoran di Jakarta.

“Data ini bisa diperoleh dari para konsultan properti misalnya Cushman and Wakefield. Mereka biasa melakukan survei triwulan. Juga ada beberapa konsultan lainnya,” ujarnya.

Terus terang, saya baru mendengar nama perusahaan itu. Saya tak tahu dengan Aisyah. Tetapi, kami mengangguk-angguk.

Kami juga diberitahukan soal data survei Bank Indonesia (BI). Kalau soal ini, saya sempat akrab. Data statistik bank sentral, sering saya tuliskan dalam bentuk berita. Mulai dari dana pihak ketiga, total kucuran kredit bank hingga sektor apa saja yang paling banyak dibiayai melalui pinjaman. Dalam situs BI, survei yang menyangkut properti salah satunya terkait dengan tingkat hunian hotel atau dominasi Kredit Pemilikan Rumah dalam pembiayaan rumah.

Kami pun berdiskusi soal rumah murah yang diusung Kementerian Perumahan Rakyat. Dari sana, saya memahami bahwa kebutuhan rumah setiap tahunnya semakin meningkat namun pasokan tak pernah cukup. Data kementerian menyebutkan, kekurangan pasokan atau backlog perumahan mencapai sedikitnya 8,9 juta pada 2009 dan kian bertambah. Paling tidak setiap tahun pasokan perumahan harus mencapai 700 ribu-800 ribu unit. Tetapi hal ini tak pernah bisa tercapai.

Apa masalahnya?

Dalam sebuah wawancara, peneliti masalah perkotaan Universitas Indonesia Andrinof Chaniago mengatakan salah satu soal adalah pemerintah terlalu memfasilitasi para pengembang swasta untuk membangun hunian mewah. Tetapi, melupakan perumahan rakyat. Padahal, lanjut Andrinof, perumahan merupakan hak setiap warga negara namun tak terurus dengan baik.

“Ini dimulai dari sistem pertanahan di Indonesia sangat liberal.”

“Maksudnya?”

“Pemerintah tak berani membatasi kepemilikan lahan swasta dalam rangka penyediaan perumahan. Tanah bisa dikuasai oleh pihak lain seluas-luasnya.”

“Apakah hal ini berpengaruh pada backlog?”

“Selama belum ada perubahan kebijakan soal tanah dan kemauan politik yang kuat. Kekurangan pasokan perumahan tak pernah bisa diatasi.”

Wawancara dengan Andrinof sedikitnya mengokohkan hipotesa yang saya bangun sejauh ini. Terutama soal tanah dan konflik yang menyertainya. Catatan lama kembali terngiang: perusahaan pertambangan dan kelapa sawit. Bagi saya, mereka ibarat raksasa penghancur yang haus mendapatkan lahan demi perluasan bisnis. Ada penggusuran. Kekerasan psikologis. Penembakan. Tetapi, celakanya saham mereka tetap diburu. Dan masalah properti, rupanya tak jauh-jauh dengan soal perebutan tanah.





RATUSAN ORANG BERKUMPUL di jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat pada siang di akhir Maret. Mereka membawa pelbagai spanduk. Panji-panji organisasi. Puluhan polisi berjaga-jaga. Tepat di seberang Istana Merdeka, para pengunjuk rasa menyatakan penolakannya pada Rancangan Undang Undang (RUU) Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Kini draf peraturan itu tengah digodok di DPR RI. Ada orasi secara bergantian. Intinya, mereka menginginkan peraturan itu dibatalkan.

“Ini akan melegitimasi penggusuran terhadap rakyat. Alasannya demi pembangunan,” ujar Idham Arsyad, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). “Pemerintah justru mementingkan kepentingan modal namun tidak melindungi masyarakat miskin dalam kepemilikan tanah.”

KPA dan puluhan organisasi lainnya menyadari betapa mengerikannya rancangan peraturan tersebut. Padahal, selama ini konflik agraria tak pernah terselesaikan dengan baik. Idham menyatakan sepanjang tahun lalu konflik agraria mencapai 535.187 hektare yang didominasi oleh sektor perkebunan serta pembangunan fasilitas perkotaan. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan betapa derasnya penetrasi arus pemilik modal.

Saya pun membuka situs www.dpr.go.id dan menemukan rancangan peraturan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Sedikitnya ada 17 kategori pembangunan: jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasional kereta api; waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air, sanitasi dan bangunan pengairan lainnya; pelabuhan, bandara dan terminal; infrastruktur migas dan panas bumi meliputi transmisi dan atau distribusi migas dan panas bumi; pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;

Selain itu ada jaringan telekomunikasi dan informatika; tempat pengolahan dan pembuangan sampah; rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah; TPU pemerintah/pemerintah daerah; fasilitas keselamatan umum; cagar alam/cagar budaya; pertahanan dan keamanan nasional; kantor pemerintah kota/pemerintah daerah/desa; penataan permukiman kumuh dan konsolidasi tanah; prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah; prasarana olahraga pemerintah/pemerintah daerah; dan pembangunan kepentingan umum lainnya yang ditetapkan Keputusan Presiden.

Saya menghela nafas dan membuangnya. Ini daftar yang cukup panjang untuk dibaca. Belum lagi rentetan masalahnya.

Padahal, dua sektor bisnis macam pertambangan batubara maupun perkebunan kelapa sawit saja sudah membumbungkan banyak konflik. Misalnya laporan Jaringan Advokasi Tambang tentang persoalan lahan di Kalimantan Timur—provinsi dengan produksi batu bara terbesar yakni sekitar 123 juta matriks ton—yang menyebabkan munculnya kekerasan. Pemiskinan. Atau baca pula laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat yang mengadvokasi maraknya penembakan petani oleh perusahaan perkebunan. Di Jambi. Riau. Atau Palembang.

Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, mengingatkan bahwa pengambilalihan tanah selalu bermuara pada tindakan kekerasan. Rancangan peraturan ini, lanjutnya, memperlemah posisi tawar masyarakat namun memperkuat negara dalam pengambilan lahan.

“Ini berpotensi menjadi alat legitimasi bagi negara beserta swasta untuk mengambil alih tanah rakyat. Baik yang beralaskan hak sebagai tanah adat maupun kepemilikan pribadi dengan sertifikat, letter C atau yang lainnya,” kata Haris.

Rupanya masalah ini tak hanya terjadi di Tanah Air. Center on Housing Rights and Evictions (Cohre)—organisasi internasional yang secara independen memfokuskan kerjanya pada hak perumahan—menyatakan sedikitnya tiga sektor bisnis yakni pertambangan, perkebunan dan pembangunan fasilitas energi menyebabkan masyarakat di kawasan Asia Tenggara kesulitan mendapatkan akses perumahan. Bahkan mereka sebagian harus digusur demi kepentingan bisnis. Saya mewawancarai Sammy Gamboa, Programme Manager Asia Cohre, yang datang ke Jakarta bertepatan dengan perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi Association of Southeast Asian Nations (Asean) ke-18 pada 7-8 Mei 2011. Dia pun menyebutkan sejumlah contoh.

“Penduduk digusur secara paksa ketika ada pembuatan bendungan di Sungai Mekong, Kamboja,” katanya. “Penggusuran tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi seluruh kawasan Asean.”

“Apa yang harus dilakukan?” tanya saya.

“Kami meminta Asean untuk mengevaluasi kebijakan ekonominya. Akses masyarakat untuk perumahan harus diperhatikan. Menghilangkan hal ini sama saja dengan pelanggaran hak asasi.”

Kekhawatiran dari Idham Arsyad, Haris Azhar hingga Sammy Gamboa mulai membebani pikiran saya hingga hari ini. Meliput properti ternyata tak sesederhana yang saya bayangkan: peluncuran real estate, menara apartemen mewah atau pembangunan hotel bintang lima. Tidak sesederhana itu. Di bawah gedung-gedung pencakar langit, saya melihat hak asasi yang kian lama semakin dirapuhkan. (anugerahperkasa@gmail.com)

*The story is based on my almost two months reporting on the property desk. It is not published on the newspaper.