Monday, April 30, 2007

kue baru jamsostek?

Oleh Anugerah Perkasa
1.117 words


KATA RAPAT mungkin menjadi kamus umum bagi Myra Maria Hanartani. Hari-harinya tak pernah lepas dari pertemuan-pertemuan serius. Dari yang rutin di pagi hari hingga undangan sejumlah komisi DPR-RI di Gedung Senayan, Gatot Soebroto, Jakarta Selatan. Isinya tak berbeda jauh: soal ketenagakerjaan. Tapi kali ini, ada hal khusus yang menyita waktunya. Pendanaan pesangon.

"Saya membawa misi pemerintah," ujarnya.

Myra memang bekerja untuk pemerintah. Sejak 2005 hingga kini, dia menjabat sebagai Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kariernya dimulai sejak 1984 di Sulawesi Tengah. Awalnya, dia bertanggung jawab sebagai kepala seksi pada Dinas Tenaga Kerja di sana.

Misi Myra adalah memastikan buruh untuk mendapatkan pesangon saat diberhentikan sang pemberi kerja. Tidak kosong seperti yang sering terjadi selama ini. Dia menyebutkan pesangon adalah hak yang harus didapatkan buruh seperti tertera dalam UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Jadi, demikian Myra, harus didanakan lebih dulu untuk mencegah tak terpenuhinya hak buruh.

Myra membayangkan ada lembaga khusus yang mengelola dana tersebut. Dan PT Jamsostek pun masuk dalam daftarnya. Dia- beserta dua komponen, buruh dan pengusaha-sedang mengolah sebuah rancangan peraturan pemerintah (RPP) mengenai pesangon. Myra juga yang diserahi tanggung jawab untuk memimpin tim tersebut. "Semuanya masih digodok, belum ada keputusan."

Tapi, mengapa Jamsostek?

Menurut dia, nama itu muncul ketika orang berpikir tentang sistem jaminan sosial di Indonesia. Lagipula, tambah dia, perseroan itu berpeluang mengelola pesangon berdasarkan pasal 6 UU No.3/1992 tentang Jamsostek. Myra menimpali kelebihan BUMN tersebut adalah memiliki jaringan luas hingga ke pelosok, walaupun tak pernah mengelola pesangon selama ini.

Pasal 6 undang-undang itu menyatakan ruang lingkup jaminan sosial yang dikelola Jamsostek meliputi kecelakaan kerja, kematian, hari tua dan kesehatan. Ayat 2 dalam pasal yang sama menyebutkan pengembangan program tersebut diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Namun, persoalannya menjadi tak sederhana. Myra dan tim perumus RPP harus berperang opini soal pendanaan pesangon. Mulai dari wajib tidaknya program tersebut, siapa yang akan mengelola hingga batasan upah buruh yang menerima pesangon. Dia juga telah mengundang banyak pihak soal ini. Ada Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), dana pensiun lembaga keuangan (DPLK), dan perusahaan asuransi.

Walapun Jamsostek berpeluang, Myra mengaku belum mengetahui mana celah yang ingin dimasuki. Soal wajib atau tidaknya program tersebut, dia pun masih angkat bahu. Semua argumentasi muncul dengan kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Jamsostek sendiri hanya diikuti oleh 28,7 juta pekerja dari jumlah total 95,6 juta.

"Apa kelebihan Jamsostek jika dia menjadi pengelola," tanya saya.
"Anda berlagak tidak tahu saja. Saya tidak mau jawab."

Myra menolak seraya menambahkan soal adanya dua pilihan yang mencuat. Pendanaan pesangon sebagai program wajib yang dikelola bebas atau pemerintah yang menyeleksi perusahaan sebelum menggelar program tersebut. Untuk yang terakhir, lanjut Mira, dibutuhkan karena uang itu milik buruh. Intinya, dia ingin perusahaan yang sehat.

Dan bukan hanya Myra, memikirkan soal itu.

Ketua Asosiasi DPLK Nicky Theng mengkhawatirkan jika pendanaan pesangon dikelola badan tunggal maka berpotensi mematikan kompetisi antarpengelola. Buruh, lanjutnya, tak bisa membandingkan siapa yang terbaik menggelar program tersebut. Selama ini DPLK memang menjadi pengelola program pensiun sekaligus pesangon berdasarkan UU No.11/1992 tentang Dana Pensiun.

DPLK, mengacu ketentuan tersebut adalah dana pensiun yang didirikan oleh lembaga keuangan yaitu bank dan perusahaan asuransi jiwa. Lembaga itu pun hanya dapat mengelola program pensiun iuran pasti, sekaligus pesangon bagi buruh. DPLK saat ini tercatat mencapai 22 unit dengan rincian 16 perusahaan asuransi jiwa dan 6 bank.

Nicky menuturkan jika hanya ada satu pengelola maka berisiko tinggi bagi industri DPLK dan asuransi jiwa. Jika diambil alih oleh badan tertentu, pasar yang selama ini berjalan, bisa-bisa buyar. Perusahaan asuransi pun, tandas dia, terpengaruh karena tak ada pembelian anuitas saat peserta menerima manfaat pensiun. Jadi, tegas Nicky, mekanisme pasar tetap pilihan terbaik.

Dia beralasan, mekanisme pasar menguntungkan perusahaan karena dapat memilah program terbaik. Tentu saja, hal itu disesuaikan dengan kantong uang pemberi kerja sehingga efektif. Nicky pun berandai-andai: jika program itu diwajibkan, perusahaan diharapkan tetap dapat menyeleksi lembaga keuangan pengelola dana. Bukan pada satu lembaga saja.

Nicky tak sendirian. Setidaknya dukungan mengalir dari salah seorang Komisaris Jamsostek Rekson Silaban, yang juga setuju tentang multi-provider, termasuk Jamsostek. Dia mengatakan walaupun pesangon tak pernah dikelola BUMN itu, namun dapat diwujudkan seperti program investasi perumahan bagi buruh dalam Dana Peningkatan Kesejahteraan Pekerja (DPKP) milik Jamsostek.

Soal ini, Rekson lebih lugas. Dia ingin banyak pengelola yang menggelar program dana pesangon, diiringi kualifikasi tertentu. Menurut dia, perusahaan tetap dapat memilih perusahaan asuransi jiwa-sebagai pendiri DPLK- untuk mengelola pesangon sesuai standar tertentu pemerintah.

"Misalnya berapa kemampuan solvabilitas perusahaan itu. Ini harus diumumkan secara terbuka."

Keinginan Rekson sebenarnya terjawab oleh UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian. Pasal 16 ayat 1 mengatakan setiap perusahaan asuransi wajib menyampaikan neraca keuangan beserta penjelasannya kepada Menteri Keuangan. Sedangkan ayat 3, perusahaan itu juga wajib mengumumkan neraca dan laporan laba-rugi pada koran harian yang beredar luas di Indonesia. "Tak perlu lagi pemerintah menetapkan kualifikasi bagi perusahaan asuransi," timpal Nicky Theng.

Tunggu dulu.Yang tak sepaham soal Jamsostek pun tak sedikit.

Kepala Bagian Pemeriksaan Biro Dana Pensiun Bapepam-LK Dumoli Pardede mengatakan pasal 6 UU Jamsostek adalah pengembangan empat program yang sudah ada dari BUMN tersebut, bukan penambahan. Interpretasi yang diusung oleh Myra Maria, papar dia, adalah penambahan program, dan bukan mengembangkan program. "Pengembangan itu seperti A plus atau B plus. Tapi penambahan adalah A, B lalu ada C."

Penolakan juga datang dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Sekretaris Jendral Apindo Djimanto mengungkapkan program pendanaan pesangon sebenarnya membuat biaya yang berlipat-lipat bagi perusahaan. Selama ini, tutur dia, perusahaan sudah membayar program jaminan hari tua (JHT) Jamsostek, penghargaan masa kerja dan dana pensiun sendiri. Bagi Djimanto, ketiga program itu mengacu hal yang sama dengan dasar hukum yang berbeda.

Mari melihat alasan Djimanto. Program JHT berdasarkan UU Jamsostek bersifat wajib, begitupula penghargaan masa kerja yang tertera dalam UU Ketenagakerjaan. Sisanya program sukarela dana pensiun berlandaskan UU Dana Pensiun.

Apindo, urai dia, sebenarnya sepakat terhadap program pendanaan pesangon-yang disebutnya kompensasi pemutusan hubungan kerja- asal diharmonisasikan menjadi tunggal, siapapun pengelolanya. "Saya setuju asalkan yang lainnya mati."

Tapi, bagaimana jika program itu tetap diberlakukan?

Menurut Djimanto hal tersebut menciptakan iklim bisnis tak kompetitif. Ada ongkos yang terlampau mahal akibat pembayaran berganda. Investasi terhambat dan angka pengangguran diperkirakan membesar. "Kecuali," lanjut dia, "jika pemerintah ingin semua warganya masuk PNS [pegawai negeri sipil] atau tentara."

Keberatan lainnya datang dari Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Bambang Wirahyoso yang menilai rancangan produk hukum itu sarat diskriminasi. Batasan upah yang ingin dimasukkan dalam RPP itu, justru bertabrakan dengan UU Ketenagakerjaan selama ini. Semua kategori buruh harus mendapatkan pesangon, tanpa melihat struktur upah.

Soal Jamsostek, apalagi. Dia menilai pemilahan BUMN itu perlu dikaji matang-matang oleh pemerintah.

"Pemeliharaan kesehatannya saja masih bermasalah. Saya khawatir jika dipaksakan, justru kontraproduktif. Rata-rata buruh menolak rancangan peraturan itu karena tidak mengerti dan trauma akibat revisi undang-undang tenaga kerja." (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)