Tuesday, August 26, 2008

neraca cacat MA

Oleh Anugerah Perkasa
1.678 words



BAGIR MANAN mungkin harus mau lebih terbuka dalam pidatonya pada April tahun depan. Ada data yang tak diungkapkan dalam laporan tahunan kali ini. Bukan melulu soal pedoman pelatihan hakim atau tunggakan perkara saja. Namun juga, bagaimana mengelola aset dan keuangan Mahkamah Agung (MA). Soal terakhir, Bagir menguncinya rapat-rapat.

"Tidak ada yang berubah. MA tetap keras kepala,” ujar Febri Diansyah.

Febri adalah peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), sebuah organisasi sipil di Jakarta, yang melawan praktik korupsi. Dia tak habis pikir tentang isi pidato Bagir, sang Ketua MA, dengan menyatakan lembaga itu mereformasi tubuhnya. Febry menilai justru ketertutupan dan sikap tak konsisten menyelimuti lembaga tersebut. Mulai dari pengelolaan biaya perkara dan dugaan ketidakpatuhannya terhadap undang-undang.

Kegusaran ICW kali ini, berawal dari temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dua tahun silam. Lembaga auditor negara itu menemukan sejumlah rekening sebesar Rp7,5 miliar atas nama Bagir Manan. Ini terdiri dari empat rekening giro sebesar Rp4,87 miliar dan lima rekening deposito, Rp2,58 miliar. MA mengakui uang itu. Uang tersebut diklaim sebagai biaya perkara dari masyarakat untuk administrasi atas pengajuan upaya hukum di tingkat MA. Inilah yang membuat BPK penasaran. Mereka ingin mengaudit MA.

Sebenarnya, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus perkara? Apa saja peraturan MA soal itu?

Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA) No.27A/SK/III/2002 tentang Biaya Permohonan Kasasi, adalah salah satu jawaban. Keputusan tersebut menetapkan biaya perkara pada permohonan kasasi untuk perdata umum, perdata agama, dan tata usaha negara adalah Rp500.000. Lainnya, SK KMA No.42/SK/VIII/2001 tentang Biaya Permohonan Peninjauan Kembali (PK), adalah Rp2,5 juta. Terakhir, SK KMA No.024/SK/VI/2001 tentang Perubahan Keputusan Ketua MA No.028/SK/IX/1998 tentang Biaya Perkara Perdata Niaga yang Dimohonkan Kasasi dan PK. Di dalamnya, ditetapkan biaya kasasi untuk perkara perdata jenis itu adalah Rp5 juta, sementara PK sebesar Rp10 juta.

Atas asumsi itu, ICW mengungkapkan sedikitnya MA menerima Rp31,12 miliar sepanjang 2005-Maret 2008. Ini dikalkulasi berdasarkan jumlah perkara yang masuk pada periode tersebut. Perhitungannya sederhana. Jumlah perkara kasasi perdata umum sepanjang periode itu mencapai 12.571 perkara; perdata agama 1.686 perkara; tata usaha negara 3.389 perkara dan perdata niaga 1.403 perkara. Jika mengacu SK KMA, maka besaran dana yang diterima adalah sekitar Rp15,83 miliar. Sementara untuk peninjauan kembali: perdata umum 3.781 perkara; perdata agama 157 perkara; tata usaha negara 1.464 perkara; dan perdata niaga 178 perkara. Jumlahnya mencapai Rp15,28 miliar. Total jenderal Rp31,12 miliar. “Ini belum termasuk pengajuan judicial review terhadap peraturan di bawah undang-undang,” ujar Febry.

Masalahnya, MA menolak diaudit.

Alasannya, biaya tersebut merupakan uang pihak ketiga dan tak masuk ke kas negara. Artinya, BPK dinilai tak punya hak masuk ke ranah itu. Sebaliknya, BPK besikeras dapat mengaudit dengan dasar UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.15/2004 tentang BPK. Keributan keduanya ramai diberitakan. Tapi, persiteruan itu terhenti di depan kepala negara.

MA melunak, walau tak sepenuh hati. Usai bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada September 2007, Bagir menyatakan MA siap diaudit. Syaratnya: harus ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tarif biaya perkara lebih dulu. Rancangan PP itu dikenal belakangan dengan peraturan tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hingga kini, aturan itu tak kunjung terbit. Penyelesaian macam ini, menurut Febry tak menyelesaikan masalah. “Dia tak berlaku surut. Biaya perkara bisa jadi diputihkan."

ICW menilai aturan itu berpotensi mereduksi kewenangan BPK yang nyata-nyata termuat dalam undang-undang. Dengan kata lain, MA sebenarnya tak punya niat membuka informasi tentang biaya perkara selama 2005-Maret 2008. ICW menjuluki MA, bebal.

Mungkin anggapan itu ada benarnya.

Mari melihat cerita lain yang tak muncul dalam pidato tahunan Bagir. Pertama adalah soal kelalaian pencatatan aset. Tak dilaporkannya sejumlah aset dalam laporan keuangan MA yang diaudit BPK pada 2006, menyebabkan auditor negara itu tak meyakini kewajarannya. Data yang terungkap, kewajiban tuntutan ganti rugi (TGR) Rp196,24 juta dan dugaan penggelapan dana Peradilan Militer III-14 di Denpasar—berpotensi merugikan negara Rp996,40 juta—adalah problem berikutnya. MA dinilai tak patuh pada perundangan.

Mulanya, pemeriksaan BPK periode 2006 menemukan jumlah aset yang dilaporkan MA, jauh lebih kecil dari dua tahun sebelumnya. Usai ditelusuri, penyebabnya adalah pencatatan yang hanya bersumber dari satu pejabat Eselon I MA: Sekretariat Jendral. Di MA, ada delapan lembaga yang wajib mencatatkan asetnya dan dilaporkan.

Lembaga Eselon I itu terdiri dari Badan Urusan Administrasi, Badan Pendidikan Latihan Penelitian dan Pengembangan, Badan Pengawasan, Direktorat Jendral Badan Peradilan Umum, Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Direktorat Jendral Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara, Kepaniteraan serta Sekretariat Jendral. Dengan demikian, terdapat tujuh lembaga yang belum menyampaikan perhitungan asetnya.

Celakanya, MA tak menggunakan hasil perhitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebelumnya sebagai landasan perhitungan aset. Lembaga itu menyatakan nilai aset tetap MA mencapai sekitar Rp672,50 miliar pada 2004, namun justru dua tahun kemudian, nilai aset itu merosot hampir 35% menjadi Rp437,41 miliar. Padahal kucuran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya selalu meningkat. Pada 2006 saja, kucuran dana mencapai Rp2,20 triliun sementara akhir 2007 sebesar Rp3,09 triliun. Inilah salah satu faktor yang membuat BPK ragu atas kewajaran laporan keuangan MA.

"Laporan barang milik negara tidak menggambarkan nilai penguasaan aset, sehingga nilai yang disajikan diragukan,” tulis BPK.

Kelalaian pencatatan itu juga diperparah dengan lemahnya pengawasan terhadap lembaga peradilan di bawah MA sejak dialihkan dari Departemen Hukum dan HAM (Depkumham), empat tahun lalu. Tidak tercatatnya kewajiban TGR Rp80,49 juta dan Rp115,74 juta pada laporan keuangan 2006, adalah salah satu masalah. Ganti rugi yang mencapai Rp196,24 juta itu adalah kewajiban bayar oleh pegawai peradilan karena melalaikan tugas, sehingga muncul kerugian negara. BPK menilai MA melanggar UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, karena seharusnya melaporkan kerugian tersebut ke BPK, selambat-lambatnya tujuh hari sejak diketahui. Namun, itu tak pernah dilakukan.

Ini bermula dari pelimpahan 24 kasus oleh Depkumham ke MA pada 2006. Kelalaian itu dimulai dari pencurian, kehilangan mobil dinas, kebakaran tempat sidang hingga penggelapan gaji. Semuanya terjadi di lingkungan Direktorat Jendral Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara, walaupun sudah enam kasus yang terselesaikan dengan pembayaran Rp27,72 juta. Artinya, jumlah kewajiban yang belum terbayar masih sebesar Rp168,51 juta.

Mari melihat masalah berikutnya.

MA juga tak mencatatkan dugaan penggelapan uang Rp996,40 juta pada 2006 di neraca keuangan. Mulanya, dana itu akan digunakan untuk pembelian tanah bagi pembangunan perumahan dinas, yang terletak wilayah Karang Sari Baru Robokan, Desa Pada Sambian Kaja, Denpasar Barat. Luasnya masing-masing sekitar 660 meter persegi dan 535 meter persegi.Tak disangka, uang itu dibawa lari.

Kasus itu berawal dari kebohongan Bendahara Peradilan Militer III-14 Denpasar, Suharta, yang mengatakan uang tersebut belum cair. Namun sebenarnya telah ditarik. Dengan kebohongan kedua—menengok mertua yang sakit dan tak masuk kantor—pada pertengahan Desember 2006, akhirnya uang itu dibawa kabur. Suharta tak kunjung kembali. Pengadilan akhirnya melapor ke MA, namun tak sampai ke BPK. Akhirnya kasus ini tak dicatat di neraca.

Lantas, apakah MA mau memperbaiki laporan periode berikutnya usai semua kelalaian terjadi?

Jawabannya tidak. Dugaan kesalahan yang sama justru terulang dalam laporan manajemen aset 2007 atas MA dan lembaga peradilan di DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur. Banyak yang tak tercatat dengan baik. BPK juga menemukan kepemilikan atas nama pihak ketiga pada sejumlah properti serta buruknya pengelolaan barang milik negara. Khusus yang terakhir, dihuninya enam rumah tipe C dan lima rumah tipe B oleh para pensiunan pegawai lembaga peradilan di Jakarta, adalah sebuah contoh. Hingga November 2007, ini masih berlangsung. Total jendral, BPK mengkalkulasi potensi penyimpangan itu mencapai Rp82,97 miliar.

“Kurangnya monitoring aset yang berada di bawah penguasaan, berpotensi disalahgunakan oleh pihak yang tak bertanggung jawab,” tegas auditor negara itu.

Saya ingin mengetahui mengapa belum ada perubahan pada tubuh MA. Juga ingin tahu bagaimana respon mereka terhadap temuan BPK. Salah satu anggota Tim Pembaruan Peradilan, Wiwie Awiati bersedia menjelaskan. Wiwie adalah dosen mata kuliah hukum lingkungan di Universitas Indonesia (UI), kemudian bergabung di tim tersebut pada 2004.

Menurut dia, prioritas pertama MA saat ini adalah manajemen perkara, dan bukan soal anggaran serta manajemen aset. Tim inilah yang memutuskan pengelolaan perkara menjadi nomor satu dibandingkan masalah lainnnya.

Tim Pembaruan Peradilan adalah tim yang diamanatkan oleh cetak biru pembaruan MA pada 2003. Dalam rekomendasinya, tim tersebut akan membantu MA melakukan reformasi dengan enam satuan kelompok kerja serta skala prioritas masalah. Ini terdiri dari manajemen perkara, informasi dan teknologi, pendidikan dan pelatihan, sumber daya manusia, perencanaan hingga anggaran serta pengawasan. MA juga berupaya memperbaiki prosedur kerjanya.

Penyusunan prioritas itu memang membawa dampak. Setidaknya terjadi penyusutan tunggakan perkara pada empat tahun lalu, yang mencapai 20.314 perkara. Hingga tiga tahun terakhir, menipis menjadi 14.366 perkara (2005), 12.025 (2006) dan 10.827 (2007). Tapi, khusus manajemen keuangan dan aset, Wiwie tak mau berkomentar banyak. “Memang belum disentuh optimal,” kata dia. “Kalau speed manajemen perkara adalah tiga, keuangan baru satu.”

Memang ada upaya awal yang mulai digarap. Misalnya, dengan bekerjasama dengan US Agency for International Development (USAID)—lembaga donor independen asal Amerika Serikat yang membantu masalah ekonomi dan pembangunan— untuk melacak aset MA dan menghitung berapa nilainya. Pekerjaan ini diperkirakan selesai pada Februari 2009. Wiwie mengakui pembenahan aset adalah sesuatu yang cukup rumit dan baru dilakukan sekarang atau empat tahun sejak cetak biru diterapkan. Dia mengibaratkan proses perubahan di MA seperti naik gunung pasir. Maju empat langkah. Mundur sepuluh langkah.

Juru bicara MA Djoko Sarwoko melengkapi jawaban Wiwie. Dia mengatakan banyaknya aset yang tak terdata, merupakan akibat perubahan manajemen kontrol atas pengadilan negeri (PN), pengadilan tata usaha negara (PTUN) dan pengadilan agama (PA). Sebelumnya, PN dan PTUN di bawah Depkumham dan PA diawasi Departemen Agama. Namun sejak 2004, pengadilan satu atap mensyaratkan pengambilalihan manajemen lembaga peradilan di bawah kendali Depkumham oleh MA. “Dengan pengadilan satu atap diperlukan inventarisasi di seluruh Indonesia,” ujar Djoko.

Namun, keduanya justru tak mengetahui banyak tentang temuan penyimpangan dari audit BPK. Wiwie bilang belum mempelajari data, Djoko mengklaim belum jelas betul masalahnya. Pernyataan mereka menimbulkan pertanyaan di benak saya.

Kesan semakin tertutup itu juga makin menguat. Setidaknya bagi Febri Diansyah yang menilai MA tak kunjung beranjak maju. Permohonan ICW atas biaya perkara selama ini— sebagai informasi publik—tak kunjung diberikan. Padahal, Surat Keputusan Ketua MA No.144/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan, diluncurkan tahun lalu. Harusnya ada sikap untuk lebih terbuka. Lebih transparan.Tetapi, MA masih jauh dari harapan.

“Aturan itu tak berpengaruh apa-apa,” tegas Febri. “Percuma saja MA memampangnya di website, biar dibaca semua orang. Mereka sendiri tak siap untuk berubah.” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)