Friday, March 23, 2007

mata air multifinance

Oleh Anugerah Perkasa
1.021 words
unpublished


KERIANGAN MENYEMBUL di wajah Ida Purwaningsih Lunardi sore itu. Dia tak sendiri. Sejumlah rekan kantornya juga merasakan hal yang sama. Usai pembeberan informasi publik soal obligasi, mereka berdiri berjejer. Ada kilatan lampu kamera. Ada kamera video yang merekam. Di ballroom hotel Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sebuah aksi korporasi baru saja usai.

Ida adalah orang nomor satu PT Federal International Finance (FIF)—
perusahaan pembiayaan sepeda motor khusus Honda—sejak 1998. Dia bukan orang baru di industri itu. Sejak 1972, Ida telah bekerja di salah satu anak perusahaan PT Astra International Tbk.

Obligasi atau surat utang adalah salah satu sumber dana di perusahaan pembiayaan untuk menjalankan bisnisnya. Kali ini, FIF menerbitkan obligasi senilai Rp800 miliar untuk mendanai penyaluran kredit hingga akhir 2007. Target mereka berkisar Rp10,54 triliun atau naik 10% dibandingkan 2006.

“Ini sesuai dengan perkiraan pertumbuhan otomotif sepeda motor tahun ini sekitar 5%-10%,” ujar Ida.

Tahun lalu, industri otomotif roda dua bergerak pelan. Data asosiasi industri sepeda motor Indonesia (AISI) menunjukkan penjualan sepeda motor hanya mencapai 4,47 juta unit atau turun hampir 12,6% dibandingkan penjualan 2005 yaitu 5,08 juta unit. Penurunan itu disebabkan sejumlah faktor, naiknya harga bahan bakar minyak dan tingginya suku bunga Bank Indonesia (BI).

Perusahaan pembiayaan pun kena imbasnya, tak terkecuali FIF. Piutang pembiayaan perseroan tahun lalu hanya mencapai Rp9,14 triliun. Ini jauh menurun dibandingkan total penyaluran kredit 2005, Rp14,28 triliun. Pembiayaan anjlok.

Tapi Ida punya harapan tahun ini.

Dia ingin penerbitan obligasi itu menjadi salah satu investasi yang baik dan aman bagi pebisnis lainnya. FIF ingin mencapai target 2007 dengan gemilang. Obligasi sendiri dipasang sebagai salah satu sumber dana selain pembiayaan bersama dengan sejumlah bank mitra.

“Secara kasar, obligasi sekitar 30% dan pembiayaan bersama bank mencapai 70%. Kerjasama dengan bank tak hanya pembiayaan, melainkan kredit sindikasi dan bilateral,” tutur dia.

FIF tak sendirian soal ini. Pada Januari lalu, PT Tunas Ridean Tbk menerbitkan obligasi Rp500 miliar untuk membiayai kredit mobil dan motor tahun ini sebesar Rp2 triliun. Dana yang dibutuhkan berkisar Rp1,8 triliun.

Menurut Direktur Tunas Ridean Miranti Andiyana, obligasi dipilih karena bunga yang ditawarkan lebih murah dibandingkan pinjaman domestik perbankan. Penurunan suku bunga BI, urai dia, tak serta merta membuat bank lokal menurunkan bunga kredit ke perusahaan pembiayaan.

Instrumen obligasi memang diperkirakan lebih ramai tahun ini. Dimulai PT BCA Finance yang menerbitkan Obligasi II Rp500 miliar di awal 2007, Obligasi II PT Summit Oto Finance Rp1 triliun, Obligasi IV Tunas Finance Rp500 miliar dan terakhir FIF dengan Obligasi VII Rp800 miliar. Semuanya bergerak di sektor pembiayaan konsumen, yang asetnya mencapai Rp57,7 triliun pada 2006. Jumlah ini merupakan separuh lebih dari total aset industri pembiayaan.

Tentu, ada yang tak ingin melewatkan momen ini.

PT Wahana Ottomitra Multiartha (WOM) Finance juga berencana menerbitkan obligasi untuk mendanai pembiayaan sepeda motor Rp4,6 triliun pada 2007. Sekretaris Perusahaan WOM Finance Fenfira Tedja menjelaskan kondisi pasar yang kondusif membuat pihaknya mengeluarkan instrumen tersebut. “Diperkirakan terbit pada April nanti.”

Sebelumnya,WOM Finance telah mengeluarkan Obligasi II pada 2005 senilai Rp500 miliar. Perseroan itu dikenal sebagai perusahaan yang mengkhususkan diri untuk penyaluran kredit kepemilikan sepeda motor asal Jepang. Selain obligasi, WOM juga mendapatkan dana dari kredit bank sebagai sumber pendanaan lainnya.

Langkah serupa dilakukan PT Adira Dinamika Multifinace. Bedanya, pihak manajemen perseroan itu masih mempersiapkan penerbitan obligasi yang direncanakan keluar pada Juli 2007.

Direktur Keuangan Adira Multifinance Hafid Hadeli mengatakan obligasi akan digunakan sebagai salah satu sumber dana penyaluran kredit sepeda motor maupun mobil pada 2007 sebesar Rp10 triliun. Jumlah ini meningkat Rp1 triliun dibandingkan pembiayaan 2006 sebesar Rp9 triliun.

Tapi, berapa sebenarnya jumlah total obligasi tahun lalu?

Mari melihat data Biro Pembiayaan dan Penjaminan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Biro tersebut mencatat jumlah total obligasi yang diterbitkan pada 2006 adalah Rp10,1 triliun atau turun tipis dibandingkan akhir 2005, Rp10,2 triliun. Dibandingkan dua sumber dana lainnya, pinjaman dari bank domestik maupun asing, nilai total instrumen itu masih kalah jauh yaitu Rp33,2 triliun untuk kredit domestik dan Rp32 triliun untuk asing.

Ada yang menarik dari data tersebut. Pinjaman asing pada 2004-2005 menunjukkan angka yang melebihi pinjaman domestik. Pada 2004, pinjaman asing tercatat Rp24,8 triliun sedangkan lokal Rp24,1 triliun, pada tahun berikutnya adalah Rp31,4 triliun berbanding Rp29,7 triliun.

Sepanjang 2006 lalu, sejumlah perusahaan yang mendapatkan fasilitas kredit asing adalah a.l. PT BFI Finance, PT Indomobil Finance, Adira Multifinance, dan WOM Finance. Ada yang mendapatkannya sekali hingga tiga kali dalam periode yang sama.

Menurut Sekretaris Jendral Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Dennis Firmansjah mengatakan pinjaman asing dapat meningkat 15% pada 2007 menyusul semakin membaiknya kondisi makro Indonesia. Suku bunga yang ditawarkan pun lebih rendah dibandingkan bunga pinjaman bank lokal.

“Pinjaman asing juga memiliki tenor lebih panjang dibandingkan lokal,” timpal Dennis.

Presiden Direktur Adira Multifinance Stanley Setia Atmadja setuju soal itu. Pinjaman asing adalah salah satu bentuk kepercayaan investor luar negeri terhadap industri pembiayaan di Tanah Air. Dia menilai pasar pembiayaan masih sangat prospektif dan menjanjikan.

Lain pinjaman, lain pula kisahnya. Pinjaman dari bank domestik yang tahun lalu mencapai Rp33,2 triliun diperkirakan tetap dominan sebagai sumber dana perusahaan pembiayaan pada 2007. Untuk tahun ini, pertumbuhannya diprediksi mencapai 20%.

Ketua APPI Susilo Sudjono mengatakan dengan turunnya suku bunga BI di level 9% saat ini, pinjaman domestik akan tumbuh dan berdampak pada penurunan bunga konsumen oleh perusahaan pembiayaan. Selain itu, peningkatan tersebut dinilai menguntungkan perbankan karena melonjakkan likuiditas. Dia memaparkan data: suku bunga di awal 2006 menyebabkan sejumlah perusahaan pembiayaan lebih memilih pinjaman luar negeri daripada lokal.

Awal 2006, suku bunga BI memang bercokol di level 12,75%. Akibatnya penyaluran kredit perbankan ke sektor riil menjadi seret. Sepanjang tahun tersebut, terjadi tujuh kali penurunan suku bunga hingga mencapai 9,75% pada Desember 2006.

Namun penurunan suku bunga BI belum berpengaruh langsung pada perusahaan pembiayaan. Praktisi bisnis tersebut harus menunggu satu-dua bulan ke depan sebelum penurunan bunga konsumen dilakukan. Tak bisa otomatis. Nasabah pun belum bisa menikmati bunga rendah saat ingin membeli kredit sepeda motor atau mobil.

“Tergantung perbankan. Ini efek domino, semakin cepat bank menurunkan bunga, semakin cepat kami menyesuaikan,” tutur Presiden Direktur PT Trust Finance—
yang bergerak pada pembiayaan mobil—Muhammad Nashir. “Namun ini tidak berlaku bagi joint venture. Bunga yang ditawarkan biasanya lebih kompetitif dengan bank karena dana mereka lebih kuat.” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

No comments: