Friday, February 9, 2007

piutang panas jiwasraya

Oleh Anugerah Perkasa
1.019 words



RUANGAN LANTAI delapan itu masih sepi. Belum banyak pegawai yang datang dan berseliweran. 07.45 WIB. Namun Herris Simandjuntak sudah duduk dalam sebuah ruangan kecil. Dia menunggu. Pagi itu, mungkin menjadi pertemuan paling awal baginya.

Herris adalah orang nomor satu di PT Asuransi Jiwasraya, perusahaan asuransi tertua di Indonesia. Jabatan direktur utama diraihnya sejak lima tahun lalu. Orang yang ingin ditemuinya adalah Isa Rachmatawata, Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK). Tak jelas membicarakan apa, namun ada satu hal yang disinggung: Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Jiwasraya.

DPLK Jiwasraya tak menjadi soal jika tak ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal pinjaman yang diberikannya pada 2004 dan 2005. DPLK meminjamkan dana kelolaan Rp16,75 miliar kepada Koperasi Karyawan Jiwasraya (KKJ) dan PT Indra Karya. Masing-masing mendapat Rp16 miliar dan Rp750 juta.

DPLK sendiri adalah lembaga yang menggelar program pensiun iuran pasti, yaitu program dengan iuran peserta yang dikembangkan melalui penempatan investasi. Hasilnya dibukukan kepada rekening peserta sebagai manfaat pensiun.

“Semuanya sudah melalui prosedur internal yang berlaku. Saya hanya menandatangani, sesuai dengan peraturan,” ujar Herris, Desember lalu.

Herris bisa saja berpendapat demikian, namun tidak BPK. Menurut Laporan Hasil Pemeriksaan 2005, lembaga itu menilai pinjaman tersebut menyimpang dari peraturan yaitu Undang-undang No.11/1992 tentang Dana Pensiun.

Dalam pasal 31 ayat 3 UU No.11/1992 dinyatakan, tidak satu bagian pun dari kekayaan dana pensiun yang dapat dipinjamkan atau diinvestasikan kepada sekelompok orang. Dijelaskan orang yang dimaksud adalah a.l. pengurus, pendiri, mitra pendiri atau penerima titipan.

“Direksi Asuransi Jiwasraya tidak mematuhi ketentuan UU No.11/1992 tentang Dana Pensiun,” tulis laporan tersebut.

Kisah ini bermula dari permohonan pinjaman dari KKJ ke DPLK sebesar Rp16 miliar. Pengajuan ini dituangkan dalam surat bernomor 011/SRT/KKJJ/052004 pada Mei dan 017/SRT/KKJJ/062004 pada Juni. KKJ bermaksud mengadakan kendaraan operasional yang nantinya disewa Jiwasraya. Ada 84 unit mobil.

Dalam permohonan tersebut, skema angsuran dilakukan selama tiga tahun dengan tingkat suku bunga 12,50% per tahun. Selain itu, KKJ juga menjaminkan Berkas Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dan piutang sewa mobilnya.

Menurut Herris, pinjaman ini justru menguntungkan DPLK. “Dengan tingkat bunga lebih bagus, yield-nya lebih baik dibandingkan penempatan di deposito. Uang itu juga tidak kemana-mana.”
Surat itu juga menyatakan skema pembayaran yang dilakukan adalah Rp5 miliar untuk masing-masing akhir tahun pertama dan kedua. Sedangkan tahun terakhir berjumlah Rp6 miliar.

“Apakah ini sesuai dengan ketentuan undang-undang?”
“Saya tak memeriksa dokumen, apakah ini melanggar atau tidak.”

Herris tetap berpendapat uang tak akan menguap, karena hanya dibelikan kendaraan operasional untuk perusahaan yang dikomandoinya. Apalagi, lanjut dia, pinjaman dari Indra Karya sudah dikembalikan pada Desember 2005.

Pinjaman Indra Karya dicairkan ketika perseroan itu membutuhkan modal kerja Rp750 juta untuk proyek pengawasan pembuatan kolam retensi air hitam di Samarinda, Kalimantan Timur. Rencananya, perseroan itu akan menarik dana kepesertaannya jika permohonan ditolak.

Akhirnya, DPLK setuju meminjamkan uangnya. Syaratnya, bunga 13% dan jaminan berupa kontrak asli pekerjaan polder air hitam. Uang pun mengalir pada Agustus 2005.

Herris mengklaim dirinya tak mengetahui apakah benar ada ancaman dari perseroan konsultan konstruksi tersebut. “Saya tak tahu itu.”

Saya menghubungi Indra Karya soal ancaman tersebut. Melalui sekretaris direksi Triarti Mulyani dikatakan, Direktur Administrasi dan Keuangan perseroan Isbandi belum bisa memberikan tanggapan apa-apa atas pertanyaan yang saya ajukan melalui faksimili. Tapi dia mengungkapkan pertanyaan itu telah diketahui atasannya.

Saya juga mengkonfirmasi Direktur Operasional Jiwasraya Maman Abdurrahman soal itu. Melalui pejabat Humas perseroan, Wiwik Sutrisno mengatakan pihaknya tidak akan berkomentar lebih dulu karena kasus tersebut tengah ditangani Kejaksaan Agung. Ini mekanisme satu pintu, demikian sebut dia.

Tak hanya Kejaksaan Agung yang direpotkan. Biro Dana Pensiun Bapepam dan LK pun bereaksi cepat. Ada pemanggilan yang dilakukan kepada pengurus dan akuntan publik DPLK. Pemeriksaan khusus pun digelar pada pertengahan Desember.

Menurut Kepala Biro Dana Pensiun Mulabasa Hutabarat, pihaknya ingin mengetahui lebih jauh bagaimana surat pengakuan hutang yang diterbitkan oleh KKJ maupun Indra Karya. Melanggar ketentuan atau tidak.

Namun Mulabasa belum mengetahui apakah pinjaman itu berakibat terjadinya kerugian negara. “Ini harus diperiksa lebih dulu dan dikonsultasikan dengan biro Hukum.”

Dalam surat Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.511/2002 tentang Investasi Dana Pensiun disebutkan, surat pengakuan hutang memang diperbolehkan menjadi instrumen investasi, selain 12 instrumen lainnya. Namun ada syaratnya.

Persyaratannya—seperti yang diatur dalam pasal 7—disebutkan a.l. jatuh tempo maksimal 10 tahun; jaminan penerbit minimal sebesar 100% dari nilai utang; badan hukum yang menerbitkan punya keuntungan dalam 3 tahun terakhir; dan tak berafiliasi dengan pengurus serta pendiri dana pensiun.

Untuk syarat terakhir, BPK menilai sudah terjadi konflik kepentingan.

DPLK Jiwasraya berdiri sejak Agustus 1993. Sesuai dengan ketentuan, yang menjadi pendiri dan pengurus DPLK adalah Jiwasraya sebagai badan hukum yang diwakili oleh jajaran direksinya. Sedangkan direksi dalam hal ini, juga menjadi dewan pembina KKJ yang didirikan pada April 2004 itu.

Untuk Indra Karya, mari kita lihat. Perseroan yang berdiri sejak 1972— baru saja merayakan ulang tahunnya ke-34 pada 20 Desember— telah menjadi peserta DPLK Jiwasraya sejak 2000. Sesuai UU Dana Pensiun, perseroan itu dikategorikan sebagai mitra pendiri sehingga pinjaman tersebut tak dapat dipertanggungjawabkan.

Ada bantahan lain dari Tardjo Akhmad Kosim. Kosim adalah mantan Kepala Divisi DPLK Jiwasraya 2002-2005. Jabatannya kini Regional Manager Jakarta I. Dia juga yang menandatangani perjanjian pengakuan hutang dari KKJ dan Indra Karya.

Senada dengan sang komandan, Kosim menyatakan pinjaman itu memiliki imbal yang menggiurkan dibandingkan penempatan di deposito. Pun, surat pengakuan hutang itu dinilainya tak menyimpang dari ketentuan.

“Kan cuma tiga tahun jangka waktunya. Selain itu, ada jaminan yang dimiliki masing-masing, jadi tidak melanggar ketentuan. Ini menguntungkan.”

Bagaimanapun Kosim siap dengan apa yang terjadi. Menurut dia, ini adalah konsekuensi jabatan yang pernah didapuknya. Kosim juga telah diperiksa Kejaksaan Agung pada pertengahan Desember terkait kasus tersebut.

Minggu akhir Desember, saya kembali bertemu Herris Simandjuntak dalam seminar ‘Optimalisasi Aset Properti BUMN’ di sebuah hotel mewah, Jakarta Pusat. Ada Menteri Negara BUMN Sugiharto yang membuka acara. Herris juga memberikan sambutannya.

Kami bersua saat dia mengantar sang Menteri ke lobi hotel. Pertanyaan soal DPLK saya lontarkan kembali. Herris menolak berkomentar dan bilang itu sudah selesai.

“Saya mau jawab kalau soal properti. Itu [kasus DPLK] sudah selesai,” ujarnya bergegas kembali ke ruang seminar.

Herris keberatan. Akhirnya dia masuk ruang seminar dan menutup kembali pintunya. Wiwik Sutrisno yang ada di belakangnya menyusul. Membuka dan menutup kembali pintunya. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

No comments: