Friday, February 9, 2007

menunggu reinkarnasi jamsostek

Oleh Anugerah Perkasa
991 words



REKSON SILABAN baru saja keluar lift siang itu. Dia tak seperti buruh kebanyakan yang berpenampilan kumal. Setelannya rapi dan sepatu mengkilat. Rekson menghabiskan hampir dua jam rapat di kantor pusat PT Jamsostek, kawasan Gatot Soebroto Jakarta Pusat.

“Maaf , saya agak telat. Baru selesai membahas rencana revisi peraturan pemerintah soal kesejahteraan buruh,” ujar dia.

Rekson bukan orang baru di dunia perburuhan. Sejak 1992 dia bergabung di Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dan kini menjabat Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) 2003-2007. Belakangan ini, dia bolak-balik rapat hingga bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla awal Januari lalu menyangkut satu hal: pesangon buruh.

Mulailah Rekson mengambil contoh kasus soal PT Dong Joe, pabrik sepatu yang berlokasi di Tangerang, 20 kilometer barat Jakarta. Perusahaan itu hingga kini belum memenuhi kewajibannya membayar pesangon kepada lebih 6.000 karyawan sejak tak beroperasi lagi pada November 2006. Intinya, Rekson ingin cerita Dong Joe tak terulang.

Namun kabar gembira soal pesangon muncul di awal tahun. Pekerja, pengusaha dan pemerintah memutuskan sebuah metode baru untuk mendanai pesangon dengan dikelola lembaga khusus. “Ini penting karena buruh mendapatkan kepastian pembayaran.”

Sarjana ekonomi itu bercerita, orang nomor dua di republik ini pun setuju soal metode tersebut. Dia mengutip Kalla yang menyetujui perubahan itu demi kepentingan sebesar-besarnya pada buruh. Ada rencana perombakan. Soal kenaikan iuran maupun pendanaan pesangon.

Rekson menyebut nama Jamsostek untuk soal terakhir.

Menurut dia, jika Jamsostek mengelola pendanaan pesangon maka akan menguntungkan buruh. Ada jaminan pesangon dibayarkan. Selain itu, rencana perubahan perseroan itu menjadi Wali Amanat—tak lagi menjadi badan usaha negara—dinilai menguntungkan dengan adanya perwakilan buruh di lembaga tersebut.

Dalam draf amandemen UU No.3/1992 tentang Jamsostek dari Badan Legislatif per Maret 2006 disebutkan, Wali Amanat adalah wali pemegang amanat dana jaminan sosial yang terdiri dari unsur pekerja, pengusaha, pemerintah dan pakar yang bertugas menetapkan kebijakan serta mengawasi program jaminan sosial. Komposisi perwakilan itu masing-masing 4:3:2:2.

Namun Rekson melupakan satu hal. Pengalihan pendanaan pesangon berpotensi mengancam industri lainnya yang tengah berjalan. Namanya dana pensiun. Industri itu diatur dalam UU No.11/1992 tentang Dana Pensiun.

Ketua Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Nicky Theng, adalah salah seorang yang khawatir soal itu. Dia mengatakan pemindahan pendanaan oleh Jamsostek justru dapat mematikan dana pensiun. “Jika benar jadi dialihkan maka akan berpengaruh signifikan terhadap industri dana pensiun dan asuransi. Bahkan cenderung mematikan.”

Nicky menilai dana pensiun selama ini banyak dipakai perusahaan sebagai pengelola manfaat pensiun sekaligus pesangon. Manfaatnya pun persis apa yang disampaikan Rekson: efesien bagi perusahaan sekaligus memberikan rasa aman karena terjamin.

Nicky mengkritisi rencana itu. Pertanyaan demi pertanyaan muncul.

Seandainya pengalihan dilakukan, demikian Nicky, bagaimana perhitungan pesangon kemudian? Apakah dihitung setelah pengalihan dana iuran dilakukan atau termasuk sebelumnya? Apakah pemenuhan kewajiban itu untuk masa depan atau juga sekaligus masa lalu?

Dia ingin mekanisme pasar yang berlaku. Ada pemilahan produk terbaik. Ada ongkos yang efesien sesuai kemampuan perusahaan. Jika pendanaan pesangon dilakukan badan tunggal, dia tak hanya menjadi ancaman bagi industri lainnya namun juga ketiadaan tolok ukur di tingkat pelayanan.

Kekhawatiran Nicky dijawab Tjarda Muchtar, Direktur Operasional dan Pelayanan Jamsostek. Dia mengatakan Jamsostek sudah teruji hampir 30 tahun dalam mengelola iuran jaminan sosial tenaga kerja. Kekhawatiran itu, menurut Tjarda, sah-sah saja disampaikan.

“Kami dari berangkat dari nol, dari merangkak. Memupuk kepercayaan perusahaan dan pekerja. Hingga hari ini kami tak lapuk karena panas, tak lekang karena hujan. Orang boleh saja bilang apa.”

Perubahan Jamsostek memang belum masuk kotak final. Prosesnya masih menggelinding di Senayan, tempat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berkumpul. Jamsostek bisa saja menjadi pengelola pendanaan pesangon tergantung amandemen. Namun Tjarda menjawab diplomatis, tak ada satu pun perusahaan yang dapat menolak—walaupun tidak suka—jika Jamsostek ditunjuk sebagai pengelola iuran pesangon, berdasarkan undang-undang.

Di tangan Nurul Falah Eddy Pariang, nasib perseroan itu akan ditentukan. Nurul adalah Ketua Panitia Kerja Komisi IX DPR soal Jamsostek, dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Bersama politikus lainnya di komisi tersebut, Nurul menggodok bagaimana wajah Jamsostek baru.

Dia menyatakan ancaman Jamsostek ke industri dana pensiun masih terlalu dini. Saat ini, lanjut Nurul, panitia kerja masih dalam proses mendengarkan masukan dari semua pihak terkait revisi undang-undang tersebut. Termasuk rencana memanggil asosiasi DPLK.

Namun Nurul menyetujui satu hal. “Kalau soal pelayanan,” urai dia, “saya sangat sepakat Jamsostek belum memuaskan.”

Tak hanya dipanggil ke Senayan, Nicky dan beberapa praktisi asuransi pun diminta bertandang ke Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK), khususnya Biro Dana Pensiun. Ada diskusi yang digelar biro itu menanggapi sejauh mana pengaruh rencana revisi tersebut terhadap industri dana pensiun.

Kepala Biro Dana Pensiun Bapepam dan LK Mulabasa Hutabarat menjelaskan dirinya belum mengambil sikap lebih dahulu sebelum mendapatkan masukan dari pertemuan tersebut. Dia ingin tahu lebih dulu seberapa besar kekhawatiran Nicky—beserta praktisi dana pensiun lainnya—terhadap metamorfosa Jamsostek.

Wakil Presiden Jusuf Kalla angkat bicara. Dia menegaskan pendanaan pesangon dilakukan oleh perusahaan yang menang tender. Tak hanya Jamsostek, namun perusahaan asuransi lain pun boleh ikut. “Kecuali Jamsostek dapat nilai tertinggi,” timpal Kalla.

Namun Jamsostek sendiri bukan tak bermasalah.

Ada konflik internal yang menghangat. Pada pekan terakhir Januari, Dewan Komisaris Jamsostek menunjuk Andi Achmad Amin—menggantikan Iwan Pontjowinoto—sebagai pelaksana Direktur Utama setelah berulangkali mendapatkan protes atas kepemimpinannya.

Namun Kementrian Negara BUMN justru melakukan langkah lain dengan menunjuk Wahyu Hidayat sebagai pelaksana Wakil Direktur Utama dan menggeser Andi Achmad. Dalam surat penunjukan itu, Kementrian menilai dasar yang digunakan Dewan Komisaris tak cukup kuat dengan berlandaskan pada kekhawatiran semata. Artinya, kondisi Jamsostek tak disimpulkan kritis.

Penolakan ide Jamsostek pun meluncur dari Aliansi Buruh Menggugat (ABM), sebuah aliansi organisasi dengan 33 serikat buruh di dalamnya. Koordinator ABM Anwar Ma’aruf menyatakan perusahaan adalah lembaga yang harus menyediakan pesangon, bukan Jamsostek. Dia menganalogikan perusahaan sebagai negara, yang harus mengayomi warga.

Menurut Anwar, perubahan Jamsostek menjadi Wali Amanat juga belum menjamin kesejahteraan buruh, walaupun ada perwakilan buruh di dalamnya. Dia mencontohkan Dewan Pengupahan Nasional yang memuat tripartit selama ini. Buruh masih saja terpojok.

“Ini upaya menjinakkan buruh. Revisi undang-undang itu hanya semacam tukar guling antara pengusaha-Jamsostek. Pembayaran pesangon adalah uangnya buruh dan bukan pengusaha.” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

No comments: