Friday, February 9, 2007

menjelang detik terakhir

Oleh Anugerah Perkasa
983 words



OKTOBER 1965. Soenarno Tomo Hardjono membatalkan niatnya pergi ke kantor Pemerintah Daerah di Boyolali, Jawa Tengah. Soenarno bukan pegawai biasa. Jabatannya sebagai kepala divisi pembangunan membuat hari-harinya cukup sibuk. Namun pagi itu, kantor tak lagi menjadi tujuannya.

“Keponakan saya bilang saya mau dibunuh,” ujar Soenarno.

Soenarno tak membual. Keponakannya, Sri Widayani mengatakan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) didatangkan dari Jakarta untuk memburu simpatisan Soekarno. Terutama, yang diduga terlibat dalam gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain Soenarno, ada Bupati Boyolali, Suali yang juga menjadi target pasukan tersebut.

Suali tak beruntung. Dia mati dibunuh.

Soenarno panik. Dia lari ke Jawa Timur awal November 1965. Surabaya hingga Lamongan menjadi tempat persembunyiannya. Dan Jakarta, adalah lokasi terakhir. Soenarno kemudian tinggal di daerah Kranji, Bekasi sambil menjual baju kaos hingga roti bungkus.

Pada Mei 1977, Soenarno ditangkap. Selama satu setengah tahun, dirinya mendekam di penjara Salemba, Jakarta Timur. “Saya tak pernah diberitahu mengapa saya ditangkap. Mungkin mereka anggap saya PKI.”

PKI adalah kata yang sangat efektif dalam melegalkan penangkapan dan pembunuhan massal kala itu. Soeharto, yang menjabat sebagai Kepala Komando Strategik Angkatan Darat menyebut pembunuhan 1965 diinspirasi oleh para komunis. Pembunuhan dilakukan hingga mencapai angka jutaan orang. Tempat buruan saat itu adalah Bali, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Menurut Sunarno, kejadian itu membuat teman-temannya yang belajar di luar-negeri urung kembali karena ancaman ditangkap. Sunarno pun dicibir. Soal hidup, dia hanya menjual kulit kasur rajutannya di tempat yang sepi karena takut. Kelima anaknya—semuanya perempuan—hasil perkawinannya dengan Murti Sulistiyawati pun, tumbuh dengan kondisi psikis tertekan.“Mereka adalah anak-anak yang minder.”

Usai Soeharto lengser pada 1998, Soenarno dan beberapa rekan lainnya mendapatkan momentum untuk menuntut tanggung jawab Soeharto atas pelanggaran yang dilakukannya. Mereka mulai mengumpulkan data. Akhirnya pada April 2005, para korban stigma PKI melakukan gugatan class action kepada lima presiden. Dari Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri hingga Soesilo Bambang Yudhoyono. Gugatan ini ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Soenarno banding.

Soenarno punya harapan, walaupun dia pesimis atas proses hukum tersebut. Namun sekecil apa pun peluangnya, harus dicoba. Dalam usia 71 tahun, Soenarno tak sendiri.

Raharja Waluya Jati membenarkan pendapat ini. Usianya 37 tahun dan bekerja sebagai redaktur eksekutif di radio Voice of Human Right, Jakarta.

Jati adalah korban penculikan menjelang peristiwa Mei 1998. Pada masa itu, dirinya aktif di Partai Rakyat Demokratik (PRD) pimpinan Budiman Sudjatmiko. Dia beserta teman-temannya dicap ‘kiri’, sebutan negatif saat Soeharto berkuasa. Jati juga tak pernah tahu di mana dirinya dan rekan-rekannya disekap waktu itu sampai sekarang. “Bagaimana bisa tahu. Tidak ada rekonstruksi fakta.”

Dia menilai tak ada kemauan politik dari pemerintah untuk mengusut tuntas pelanggaran masa lalu oleh rezim Soeharto. Pemerintahan sekarang, urainya, masih dikuasai jaringan politik Orde Baru yang solid. Dia mencontohkan, bagaimana kasus korupsi Soeharto dihentikan dengan alasan hukum dan kemanusiaan. Ini adalah indikasi kuat bagaimana jaringan itu masih bekerja sistematis.

Pada 11 Mei, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) terhadap Soeharto karena alasan hukum. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh digugat banyak pihak. Kontroversi merebak. DPR ingin kasus ini dihentikan karena alasan kemanusiaan. Pimpinan MPR juga ingin kasus ini distop. Tapi penolakan menguat. Ada yang ingin kasus ini terus diusut hingga akhir: Soeharto sebagai komandan rezim.

Jati punya kekhawatiran. Ada proses pergeseran isu untuk memberikan pengampunan kepada Soeharto atas dosa masa lalunya. Salah satunya, lewat diterbitkannya SKPPP dan desakan sejumlah kalangan untuk menyudahi hal tersebut. Belum lagi vonis bebas atas pelaku pembunuhan pelbagai kasus macam Tanjung Priuk di Jakarta, Dili di Timor-Timur, dan Abepura di Jayapura. Kecurigaan Jati beralasan. “Ada semacam upaya pencucian dosa, padahal pelanggaran HAM itu kompleks.”

Menurut Jati, pemerintah sebenarnya sudah membuat perangkat hukum untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut. Ada UU No.39/1999 soal Hak Asasi Manusia, UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM hingga UU No.27/2004 soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

“KKR ini mengkhawatirkan.”
“Mengapa?”
“Calon anggotanya belum punya legitimasi politik, karena kebanyakan dari akademikus dan aktivis hak asasi. Belum ada representasi politik.”

Berdasarkan undang-undang, KKR bekerja untuk mencari fakta dan meminta keterangan siapa saja terkait pelanggaran hak asasi masa lalu. Institusi ini meniru Truth and Reconsiliation Commission (TRC) di Cape Town, Afrika Selatan pada 1995. Negara ini berhasil melakukan proses peradilan terhadap pelaku politik apherteid sejak 1948-1990-an. Ada yang dipenjarakan, ada pula yang dimaafkan. KKR di Indonesia belum muncul. Saat ini, 42 calon anggota sudah ada di tangan Presiden Yudhoyono, namun tak ada kejelasan.

Mantan anggota Komnas HAM Asmara Nababan menyatakan Soeharto sebagai pemimpin rezim harus bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakan yang dibuatnya dulu. Dia mencontohkan sejumlah kasus: diasingkannya ribuan orang ke Pulau Buru pada 1967, Penembakan Misterius pada 1983, Peristiwa Tanjung Priuk 1984, hingga Peristiwa Mei 1998. “Periksa pertanggungjawaban Soeharto sebagai rezim.”

Asmara ingin menggalang kembali kekuatan politik untuk mendesak pertanggunjawaban itu. Namun, tak banyak optimisme yang dimilikinya. “Ini tergantung Presiden Yudhoyono. Kemauan politik yang kuat dan tak memilih calon yang lucu-lucu untuk KKR. Jika tidak, kita tak punya harapan.”

Ada nada sinis dari seorang tua, Oey Hay Djoen. Oey pernah dibuang di Pulau Buru sejak 1967-1977. Usianya sekarang 80 tahun. Saat diasingkan, dirinya bertemu dengan sastrawan terkenal Pramoedya Ananta Toer, yang meninggal akhir April. Baik Oey maupun Pramoedya, sama-sama dicap komunis. “Aku ingin ada pengakuan salah lebih dulu dari Soeharto.”

Dia merasa, pemerintah sekarang ingin mewakili para korban seperti dirinya untuk memaafkan Soeharto. Oey menolak itu. Dia menganggap, korban atau keluarganya adalah pihak yang berhak mengiyakan permohonan maaf atau tidak. Bukan pemerintah.

Oey memang keras. Dia ingin pencabutan TAP MPR No.25/1966 soal Pelarangan Ajaran Komunisme dan Marxisme dan TAP MPRS No.33/1967 soal Pencabutan Kekuasaaan Pemerintahan Negara dari Soekarno, dilakukan setelah pengakuan itu. Dia ingin ada upaya koreksi dan rehabilitasi terhadap Soekarno dan faham marxis. Namun, ini tak sesederhana seperti yang dibayangkan.

Oey menilai proses pengadilan tak akan berjalan semestinya jika Soeharto tak mengakui apa yang telah dilakukannya. Oey mencibir alasan kemanusiaan dan ‘Bapak Pembangunan’ yang digaungkan. Yang diinginkannya adalah pengakuan.

“Kesempatan itu ada sekarang, mumpung dia masih hidup. Jika mati, dia akan selamanya dikutuk.” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

No comments: