Oleh Anugerah Perkasa
2.151 words
BERKALI-KALI dia menghubungi seseorang melalui telepon selulernya. Gagal. “Pak Muchdi, akan ke sini. Mungkin dalam perjalanan,” ujar Mahendradatta, sambil menaruh telepon itu di dompet pinggangnya.
Mahendradatta, seorang advokat. Selama hampir 20 tahun dia menggeluti pekerjaan itu. Dirinya lahir di Solo, Jawa Tengah, besar di Jakarta. Namanya mencuat saat membentuk Tim Pembela Muslim (TPM), yang memberikan bantuan hukum kepada Imam Samudera atau Abdul Aziz dalam kasus Bom Bali 2001. Samudera adalah salah satu pelaku peledakan tersebut. Perjalanan TPM pun tak terhenti di titik itu saja. Kelompok pengacara ini terus dikenal karena membela orang-orang yang dicap fundamentalis. Dari Ja’far Umar Thalib, Abu Bakar Ba’asyir hingga Habieb Rizieq Shihab. Ketiganya berasal dari organisasi islam radikal: Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Front Pembela Islam (FPI).
Namun siang itu agak beda. Mahendradatta bersama tiga rekan lainnya, menunggu kedatangan orang yang sama sekali tak dikenal dalam aktivitas keislaman. Muchdi Purwopranjono. Muchdi, lebih dikenal sebagai mantan anggota Badan Intelijen Nasional (BIN) daripada kegiatan yang berbau agama. Awal Februari lalu, Mahendra bersama beberapa rekannya dari TPM, resmi menjadi kuasa hukum dari mantan Deputi V organisasi intelijen negara itu. Soal aktivitas keislaman, Mahendra menanggapi.
“Pak Muchdi sudah lama berkecimpung di Muhammadiyah. Tapi saya tak tahu persis, sejak kapan,” ujarnya.
Muhammadiyah organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, setelah Nahdlatul Ulama. Didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Kauman, Jogjakarta. Selain ulama cum politikus, pemimpinnya juga berasal dari dunia akademik macam Amien Rais dan Syafi’i Ma’arif. Saat ini, organisasi tersebut dinahkodai Dien Syamsuddin untuk lima tahun ke depan. Dien juga menjabat sebagai Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Siang itu, beberapa wartawan sudah mulai menunggu. Makin lama makin ramai. Ruangan depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terasa sesak. Mereka menunggu, apakah Muchdi jadi datang ke pengadilan untuk bertemu Ketua PN Jakarta Pusat, Cicut Sutiarso.
Tak berapa lama, Mahendradatta menjelaskan maksud kedatangannya bersama Luthfi Hakim, Muhammad Ali, dan Wirawan Adnan, kepada Cicut dalam ruang pertemuan yang sejuk. Tapi, minus Muchdi.
Menurut dia, Muchdi merasa sangat gerah dengan pemberitaan di media akhir-akhir ini. Namanya seringkali dikaitkan dengan kasus pembunuhan aktivis hak asasi, Munir pada September 2004. Mahendra mengatakan, kliennya bahkan tak mengenal Munir, apalagi bertemu.
Kasus Munir mencuat setelah pembunuhan terjadi dua tahun lalu, dalam sebuah perjalanan pesawat Garuda ke Amsterdam, Belanda. Dugaan awal dia diracun melalui arsenik, zat yang mematikan namun larut dalam air minum. Munir diduga kuat dibunuh melalui minuman yang diambilnya dalam perjalanan saat itu, segelas jus jeruk.
Penyelidikan pun dimulai. Pembunuhan itu dianggap sebagai pembunuhan konspiratif. Tersangka utamanya Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang juga menjadi salah satu penumpang dalam perjalanan itu bersama Munir. Tentu saja, Pollycarpus membantahnya. Namun, proses pengadilan tetap bergulir.
Pada 20 Desember 2005, Pollycarpus divonis 14 tahun penjara oleh majelis hakim yang diketuai oleh Cicut. Majelis justru memiliki pertimbangan lain. Bukan melalui minuman, pria asal Malang, Jawa Timur itu dihilangkan nyawanya, melainkan bakmie goreng. Dalam putusan itu juga disebutkan, sejumlah kalangan ikut membantu terjadinya pembunuhan tersebut. Majelis berpendapat: Pollycarpus bukanlah pelaku tunggal.
“Ini yang akan kami klarifikasi kepada ketua majelis, apakah dalam putusan itu disebutkan secara eksplisit bahwa Muchdi adalah orang yang harus segera diperiksa lebih lanjut atau tidak?” ujar Mahendradatta.
Mahendradatta mengatakan, ada opini yang dikembangkan oleh sejumlah kalangan, bahwa Muchdi adalah orang yang diduga kuat terlibat dalam kejahatan itu. Menurut dia, hal itu selalu dikembangkan melalui pemberitaan media massa. TPM, lanjutnya, tak ingin melawan ‘fitnah’ dengan memfitnah mereka kembali. Dia ingin melawan orang-orang itu dengan upaya hukum.
Pendek kata, Muchdi merasa sangat didzolimi.
Gayung bersambut. Cicut mengatakan, Muchdi bukanlah orang yang disebutkan dalam putusan itu. Juga intelijen. Dia mengharapkan semua orang menghormati putusan yang telah diambil oleh majelis.
“Ini kan belum selesai,” ujar Cicut, siang itu.
Ini memang kasus yang belum rampung. Pollycarpus sendiri mengajukan banding dan telah melaporkan majelis hakim ke Komisi Yudisial—
lembaga independen yang menyelidiki perilaku hakim dalam menjalankan kewenangannya—beberapa saat usai bacaan putusan digelar. Menurut Muhammad Assegaf, kuasa hukum Pollycarpus, pertimbangan hakim sangat aneh dan tak masuk akal karena memvonis tidak sesuai dengan fakta yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Seperti mendapat peluru baru, Mahendradatta bersama rekannya telah mempersiapkan gugatan terhadap orang-orang yang menjadi ‘opinion maker’ terhadap kliennya. Mereka sudah menyiapkan bahan berupa kliping berita, saksi dan bahan-bahan lainnya. Siapa yang digugat? Mulut mereka masih terkatup.
“Mengapa Anda membela Muchdi?” tanya saya.
Pria ini menjelaskan, timnya mengajukan persyaratan lebih dulu sebelum suaka diberikan. Ada dua syarat. Pertama, Muchdi ‘diinterogasi’ apakah dirinya benar-benar bersih dari kasus Munir atau tidak. Selanjutnya, apakah dia terlibat rekayasa penangkapan ustad-ustad dari pelbagai organisasi Islam tiga-empat tahun silam?
Pada 2002, Ja’far Umar Thalib dituduh menghasut dalam sebuah ceramah akbar kepada jamaatnya di Ambon, Maluku, untuk memusuhi pemerintah dan menentang otoritas yang sah. Dia kemudian ditangkap dan dijebloskan di Rutan Mabes Polri, namun bebas kemudian. Selain Ja’far ada Abu Bakar Ba’asyir, yang dituduh makar namun pengadilan membatalkannya. Ba’asyir hanya dikenai pasal soal pemalsuan surat imigrasi saat dirinya hengkang dari Indonesia pada 1985-an. Habib Rizieq lain lagi, walaupun hampir serupa dengan Ja’far, yang dikenai pasal penghinaan terhadap pemerintah. Kasus Rizieq maupun Ja’far terjadi pada saat Presiden Megawati Soekarnoputri berkuasa.
Mahendradatta mengajukan pertanyaan dan menjawabnya sendiri. Dia mengatakan Muchdi membantah semuanya. Alasannya? Mahendradatta tak bersedia merinci.
Dua syarat saja tak cukup. Pembelaan itu dapat sokongan kuat dari Ja’far Umar Thalib dan diakui Mahendradatta. Dia mengatakan pemberian rekomendasi Ja’far, adalah salah satu alasan lain, mengapa TPM membela Muchdi. Selain itu, tambahnya, sesama orang Islam harus memperkuat ukhuwah Islamiyah—yang secara literer diartikan syiar dalam agama Islam.
“Namun, saya memperlakukan Muchdi seperti klien lainnya,” ujarnya.
“Maksudnya?” tanya saya.
“Seperti klien lainnya, tak ada perlakuan khusus.”
Dalam temuan Tim Pencari Fakta (TPF), terungkap pembicaraan yang dilakukan melalui telepon selular milik Muchdi, kepada Pollycarpus, sebelum dan sesudah pembunuhan terjadi. Ini dilakukan sebanyak 15 kali. Muchdi menolak itu. Menurut dia, nomer telepon itu digunakan oleh beberapa orang yang dekat dengan dirinya.
“Siapa orang-orang itu?” tanya saya.
“Wah itu, cukup saya saja yang mengantongi. Ada tiga orang.”
“Ada pria dan perempuan?”
“Saya tak bisa menyebutkan itu. Ini buat defence saya.” Dia tertawa.
Awal Maret, Luthfie Hakim, salah seorang anggota TPM mengatakan pihaknya masih mengumpulkan sejumlah bahan terkait dengan gugatannya itu. Belum ada kemajuan.
Hendardi menjawab tantangan itu. Pria ini adalah salah satu anggota TPF yang dibubarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Juni 2005. Hendardi juga ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) di Jakarta. Menurut dia, sejak awal menangani kasus itu, dirinya sudah tahu risiko yang akan dihadapi.
Hendardi siap digugat.
Hendardi mengatakan, waktu itu TPF sudah melayangkan pemanggilan sebanyak empat kali kepada Muchdi, namun tak satu pun dibalas. TPF juga sudah melalui jalur BIN, sebagai protokol, namun kandas.
“Putusan itu menyebutkan Pollycarpus bukan pelaku tunggal. Ini bukan berarti Muchdi dapat dikesampingkan dan tak bisa diperiksa,” ujar Hendardi. Dia mempercayai adanya hubungan telepon itu terkait dengan mufakat jahat yang dilakukan.
Suciwati, janda mendiang Munir juga bersikap sama. Dia mengatakan kasus ini belum selesai dan pemerintah harus membentuk tim independen untuk menindaklanjutinya. Dia sudah bertemu Presiden dan para legislator di Senayan. Namun, tetap saja responnya lambat. Seperti gugatan yang tak kunjung tiba oleh TPM, penyelidikan lanjut oleh kepolisian pun diam di tempat.
****
DI KANTOR Pusat Dakwah Muhammadiyah, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, cukup ramai siang itu. Pengurusnya punya hajatan kecil, namun masalahnya besar: diskusi soal rancangan undang-undang haji. Ada Dien Syamsuddin, sang ketua. Dien membuka acara itu dan memberikan sambutannya.
Saya menemui Dien di ruangannya, untuk menanyakan soal Muchdi dan Muhammadiyah. Menurut Dien, Muchdi memang memiliki latar belakang keluarga yang dekat dengan organisasi pimpinannya sekarang. Namun Muchdi tak aktif secara formal. Dirinya juga tak masuk kepengurusan.
Dien mengatakan pihaknya tak pernah mengurusi persoalan hukum yang saat ini menimpa Muchdi. “Kami menyerahkannya kepada proses hukum yang berlaku. Saya juga tak mengikuti kasus tersebut.”
Lain Dien, lain Ja’far Umar Thalib. Menurut Ja’far, dirinya memberikan rekomendasi itu semata-mata kewajiban sesama umat Islam. Tak lebih. Namun dia mengakui, dirinya sudah mengenal Muchdi sejak lama. Ayahnya, Umar Thalib, saat menjabat ketua MUI Jawa Timur pada 1980-an sering berhubungan dengan Muchdi dalam pelbagai kasus yang terjadi di masa silam. Terutama soal pelarangan memakai jilbab bagi perempuan. Jalinan itu, demikian erat hingga terpilin sampai kini. Saat itu, Muchdi menjabat sebagai Kasdam Brawijaya, Jawa Timur.
Ini semacam balas budi? Alumnus perang Afghanistan itu tak membenarkan dan menyalahkannya.
Dirinya juga mengaku menghubungi Muchdi saat bentrokan terjadi antara Laskar Jihad dengan Batalyon Gabungan (Yon Gab) di Ambon, Maluku pada 2000. Bukan meminta bantuan militer. Bukan pula dana. Ja’far mengatakan, dirinya hanya ingin Muchdi menyampaikan pesan soal bentrokan tersebut ke jajaran TNI. Dia ingin Yon Gab tak bentrok dengan umat Islam—dalam hal ini, Laskar Jihad.
“Saya ingin dia menyampaikan soal bentrokan yang terjadi antara Laskar Jihad dengan Yon Gab ke jajaran TNI. Seujung rambut pun, saya tak pernah meminta bantuan untuk pelatihan militer, apalagi dana,” ujarnya.
Yon Gab adalah pasukan cadangan strategis untuk mengatasi perang yang membuncah di Maluku, saat itu. Anggotanya berasal dari Angkatan Darat, Laut dan Udara. Tahun itu, Yon Gab memang lebih banyak berhadapan dengan kelompok muslim, sehingga grup ini diasosiasikan memiliki kedekatan dengan kelompok Kristen. Pada November 2001, Yon Gab ditarik dan digantikan oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Laskar Jihad sendiri adalah divisi paramiliter dari Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jama’ah (FKAWJ) yang berdiri sejak 1998. Ja’far juga menjabat sebagai ketua dewan pembina di organisasi itu. FKAWJ menjadi gerakan politik: mengkampanyekan syariat Islam ke seluruh aspek kehidupan.
Laskar Jihad merekrut anggotanya melalui pendirian pos-pos di pelbagai propinsi, untuk kemudian dikirimkan ke pelbagai wilayah konflik, salah satunya Maluku. Basisnya ada di Kaliurang, Jogjakarta. Mereka ingin berperang dengan kelompok Kristen, atas dugaan membunuh umat Islam untuk penguasaan wilayah dan membentuk negara Kristen. Laskar Jihad menyebut mereka ‘kafir harbi’.
Soal Munir, Ja’far tak percaya keterlibatan Muchdi dalam kasus itu. Demikian juga soal penangkapan ustad dari pelbagai organisasi islam. Menurutnya, tak ada qarinah atau indikasi awal untuk itu. Jika tak ada indikasi, demikian Ja’far, maka tak ada dugaan.
“Saya tak melihat sosok Muchdi dalam penangkapan itu,” tuturnya.
Saya pun menanyakan tentang intelijen. Pria ini tak percaya teori konspirasi. Menurutnya, dirinya hanya memakai analisa agama yang dianutnya, ketimbang teori-teori yang dianggapnya sampah. Dia juga menilai keanggotaan Muchdi, sebagai intelijen, tak menggugurkan keislamannya. Ja’far berkeyakinan setiap muslim yang meminta bantuan harus ditolong, tanpa kecuali. Tanpa terkait balas budi, apalagi keanggotaan intelijen.
Tapi tunggu dulu. Ada yang tak setuju dengan Ja’far soal ini. Ketua Departemen Data dan Informasi MMI, Fauzan Al Anshari meyakini operasi intelijen saat ini masih berlangsung untuk memecah belah umat Islam. Salah satunya, tutur Fauzan, saat kelompok Jamaah Islamiyah mencuat dalam pemberitaan media massa belakangan ini. Jamaah Islamiyah, menurutnya, adalah salah satu rekayasa dari intelijen itu sendiri. Berbeda dengan Ja’far, Fauzan sangat percaya teori ini.
“Bagaimana dengan TPM yang membela Muchdi?” tanya saya.
Dia sulit menjawab itu. Fauzan menghormati upaya Muchdi, namun tak memberikan sikapnya dengan gamblang. Dirinya juga tak mengenal sosok mantan agen intelijen tersebut. Organisasinya pun demikian, tak pernah berhubungan dengan Muchdi sama sekali. Soal ini pun, Fauzan telah memberitahukannya ke Abu Bakar Ba’asyir . Ba’asyir, masih dibela TPM dalam kasusnya. Soal Muchdi, Ba’asyir diam saja.
Namun Fauzan mengakui, banyak pertanyaan yang dilontarkan orang-orang sekelilingnya: mengapa Mahendradatta dan kawan-kawan membela mantan orang intelijen? Mengapa TPM justru membantu orang yang berasal dari lembaga, yang diduga kuat melakukan operasi melawan gerakan Islam?
“Terlepas dari yang tak terlihat, kami menghormati itu. Saya tak berada dalam posisi setuju atau tidak setuju. Juga ustadz Abu,” kata Fauzan.
Disandingkan dengan Ja’far, yang percaya aturan agama dibandingkan analisa politik, Fauzan meyakini seribu persen tentang operasi intelijen dari dulu hingga kini. Belum berhenti. Khusus soal Muchdi, dirinya menyerahkan hal itu kepada ketentuan hukum yang berlaku. Lain tidak. Namun, dia punya satu pesan bagi Mahendradatta dan rekannya.
“Pengacara yang jujur adalah pengacara yang mampu menunjukkan kesalahan kliennya. Tidak membelanya secara membabi buta,” tuturnya.
Fauzan tak sendiri. Ketua Dewan Pimpinan Pusat FPI Ahmad Sobri juga menyayangkan sikap Mahendradatta yang membela Muchdi dalam kasus Munir. Sama seperti Fauzan, Ahmad sangat percaya dengan operasi intelijen untuk memecah umat Islam. Muchdi, lanjutnya, hanya mencari dukungan politis dengan merangkul TPM yang selama ini dekat dengan organisasi Islam.
“Apapun celahnya, dia akan mencari dukungan sebanyak-banyaknya. Muchdi saat ini sedang tertekan karena kasus itu,” ujar Ahmad pada saya.
Front Pembela Islam adalah organisasi yang berdiri sejak Agustus 1998. Tujuan mereka satu, melaksanakan syariat Islam secara penuh ke setiap aspek kehidupan. Hampir mirip dengan MMI, yang juga memiliki tujuan serupa. FPI pun dikenal ‘garang’ dalam melakukan aksinya, terutama saat bulan Ramadhan tiba. Penutupan tempat hiburan macam kafe, diskotik hingga demonstrasi yang anarkis.
Soal intelijen, Ahmad mencontohkan kasus Abu Bakar Ba’asyir. Menurutnya, pendiri MMI itu adalah korban aksi intelijen dalam kasus yang dihadapinya saat ini. Tak hanya itu, dia juga menyebut peristiwa ‘Darul Islam’ pada 1980-an sebagai peristiwa manipulatif oleh agen intelijen. Ahmad menyesalkan, mengapa TPM yang dikenal sebagai pembela ‘korban intelijen’ malah berbalik arah. Organisasi intelijen, bagi Ahmad, sangat dikhawatirkan karena daya tembusnya yang apik. Tak kelihatan. Tak pula berseragam.
Dia mendukung Ba’asyir, tapi tidak Muchdi. Dan Ahmad percaya, ini adalah upaya Muchdi untuk memenangkan hati dan pikiran umat Islam. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)
No comments:
Post a Comment