Friday, May 13, 2011

tak sekedar soal real estate

Oleh Anugerah Perkasa
1.099 words





SEJAK PERTENGAHAN MARET saya mulai ditugaskan meliput sektor properti. Ini adalah wilayah liputan baru setelah sebelumnya meliput sektor keuangan dan hukum, terutama menyangkut korupsi. Sejak 2005, saya bekerja untuk harian Bisnis Indonesia, suratkabar khusus bisnis yang berpusat di Jakarta. Dan bidang properti di tahun ini menjadi desk ketiga.

Perpindahan area liputan kali ini memang besar-besaran. Setiap reporter yang dipindahkan mendapatkan surat tugas resmi. Saya pun merasakan hal serupa pada sebagian reporter: di bawah tekanan karena hal baru. Beberapa dari kami berkumpul di kantor. Berdiskusi. Bertukar ide liputan. Berbagi nomor kontak narasumber.

Saya sendiri ditugaskan bersama-sama dengan Siti Nuraisyah Dewi yang sebelumnya lebih banyak meliput sengketa perusahaan. Sementara editor yang menyunting naskah berita harian kami adalah Gajah Kusumo. Kami bertiga bertemu. Gajah memberi contoh materi liputan yakni soal tingkat penyerapan apartemen milik atau perkantoran di Jakarta.

“Data ini bisa diperoleh dari para konsultan properti misalnya Cushman and Wakefield. Mereka biasa melakukan survei triwulan. Juga ada beberapa konsultan lainnya,” ujarnya.

Terus terang, saya baru mendengar nama perusahaan itu. Saya tak tahu dengan Aisyah. Tetapi, kami mengangguk-angguk.

Kami juga diberitahukan soal data survei Bank Indonesia (BI). Kalau soal ini, saya sempat akrab. Data statistik bank sentral, sering saya tuliskan dalam bentuk berita. Mulai dari dana pihak ketiga, total kucuran kredit bank hingga sektor apa saja yang paling banyak dibiayai melalui pinjaman. Dalam situs BI, survei yang menyangkut properti salah satunya terkait dengan tingkat hunian hotel atau dominasi Kredit Pemilikan Rumah dalam pembiayaan rumah.

Kami pun berdiskusi soal rumah murah yang diusung Kementerian Perumahan Rakyat. Dari sana, saya memahami bahwa kebutuhan rumah setiap tahunnya semakin meningkat namun pasokan tak pernah cukup. Data kementerian menyebutkan, kekurangan pasokan atau backlog perumahan mencapai sedikitnya 8,9 juta pada 2009 dan kian bertambah. Paling tidak setiap tahun pasokan perumahan harus mencapai 700 ribu-800 ribu unit. Tetapi hal ini tak pernah bisa tercapai.

Apa masalahnya?

Dalam sebuah wawancara, peneliti masalah perkotaan Universitas Indonesia Andrinof Chaniago mengatakan salah satu soal adalah pemerintah terlalu memfasilitasi para pengembang swasta untuk membangun hunian mewah. Tetapi, melupakan perumahan rakyat. Padahal, lanjut Andrinof, perumahan merupakan hak setiap warga negara namun tak terurus dengan baik.

“Ini dimulai dari sistem pertanahan di Indonesia sangat liberal.”

“Maksudnya?”

“Pemerintah tak berani membatasi kepemilikan lahan swasta dalam rangka penyediaan perumahan. Tanah bisa dikuasai oleh pihak lain seluas-luasnya.”

“Apakah hal ini berpengaruh pada backlog?”

“Selama belum ada perubahan kebijakan soal tanah dan kemauan politik yang kuat. Kekurangan pasokan perumahan tak pernah bisa diatasi.”

Wawancara dengan Andrinof sedikitnya mengokohkan hipotesa yang saya bangun sejauh ini. Terutama soal tanah dan konflik yang menyertainya. Catatan lama kembali terngiang: perusahaan pertambangan dan kelapa sawit. Bagi saya, mereka ibarat raksasa penghancur yang haus mendapatkan lahan demi perluasan bisnis. Ada penggusuran. Kekerasan psikologis. Penembakan. Tetapi, celakanya saham mereka tetap diburu. Dan masalah properti, rupanya tak jauh-jauh dengan soal perebutan tanah.





RATUSAN ORANG BERKUMPUL di jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat pada siang di akhir Maret. Mereka membawa pelbagai spanduk. Panji-panji organisasi. Puluhan polisi berjaga-jaga. Tepat di seberang Istana Merdeka, para pengunjuk rasa menyatakan penolakannya pada Rancangan Undang Undang (RUU) Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Kini draf peraturan itu tengah digodok di DPR RI. Ada orasi secara bergantian. Intinya, mereka menginginkan peraturan itu dibatalkan.

“Ini akan melegitimasi penggusuran terhadap rakyat. Alasannya demi pembangunan,” ujar Idham Arsyad, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). “Pemerintah justru mementingkan kepentingan modal namun tidak melindungi masyarakat miskin dalam kepemilikan tanah.”

KPA dan puluhan organisasi lainnya menyadari betapa mengerikannya rancangan peraturan tersebut. Padahal, selama ini konflik agraria tak pernah terselesaikan dengan baik. Idham menyatakan sepanjang tahun lalu konflik agraria mencapai 535.187 hektare yang didominasi oleh sektor perkebunan serta pembangunan fasilitas perkotaan. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan betapa derasnya penetrasi arus pemilik modal.

Saya pun membuka situs www.dpr.go.id dan menemukan rancangan peraturan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Sedikitnya ada 17 kategori pembangunan: jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasional kereta api; waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air, sanitasi dan bangunan pengairan lainnya; pelabuhan, bandara dan terminal; infrastruktur migas dan panas bumi meliputi transmisi dan atau distribusi migas dan panas bumi; pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;

Selain itu ada jaringan telekomunikasi dan informatika; tempat pengolahan dan pembuangan sampah; rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah; TPU pemerintah/pemerintah daerah; fasilitas keselamatan umum; cagar alam/cagar budaya; pertahanan dan keamanan nasional; kantor pemerintah kota/pemerintah daerah/desa; penataan permukiman kumuh dan konsolidasi tanah; prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah; prasarana olahraga pemerintah/pemerintah daerah; dan pembangunan kepentingan umum lainnya yang ditetapkan Keputusan Presiden.

Saya menghela nafas dan membuangnya. Ini daftar yang cukup panjang untuk dibaca. Belum lagi rentetan masalahnya.

Padahal, dua sektor bisnis macam pertambangan batubara maupun perkebunan kelapa sawit saja sudah membumbungkan banyak konflik. Misalnya laporan Jaringan Advokasi Tambang tentang persoalan lahan di Kalimantan Timur—provinsi dengan produksi batu bara terbesar yakni sekitar 123 juta matriks ton—yang menyebabkan munculnya kekerasan. Pemiskinan. Atau baca pula laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat yang mengadvokasi maraknya penembakan petani oleh perusahaan perkebunan. Di Jambi. Riau. Atau Palembang.

Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, mengingatkan bahwa pengambilalihan tanah selalu bermuara pada tindakan kekerasan. Rancangan peraturan ini, lanjutnya, memperlemah posisi tawar masyarakat namun memperkuat negara dalam pengambilan lahan.

“Ini berpotensi menjadi alat legitimasi bagi negara beserta swasta untuk mengambil alih tanah rakyat. Baik yang beralaskan hak sebagai tanah adat maupun kepemilikan pribadi dengan sertifikat, letter C atau yang lainnya,” kata Haris.

Rupanya masalah ini tak hanya terjadi di Tanah Air. Center on Housing Rights and Evictions (Cohre)—organisasi internasional yang secara independen memfokuskan kerjanya pada hak perumahan—menyatakan sedikitnya tiga sektor bisnis yakni pertambangan, perkebunan dan pembangunan fasilitas energi menyebabkan masyarakat di kawasan Asia Tenggara kesulitan mendapatkan akses perumahan. Bahkan mereka sebagian harus digusur demi kepentingan bisnis. Saya mewawancarai Sammy Gamboa, Programme Manager Asia Cohre, yang datang ke Jakarta bertepatan dengan perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi Association of Southeast Asian Nations (Asean) ke-18 pada 7-8 Mei 2011. Dia pun menyebutkan sejumlah contoh.

“Penduduk digusur secara paksa ketika ada pembuatan bendungan di Sungai Mekong, Kamboja,” katanya. “Penggusuran tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi seluruh kawasan Asean.”

“Apa yang harus dilakukan?” tanya saya.

“Kami meminta Asean untuk mengevaluasi kebijakan ekonominya. Akses masyarakat untuk perumahan harus diperhatikan. Menghilangkan hal ini sama saja dengan pelanggaran hak asasi.”

Kekhawatiran dari Idham Arsyad, Haris Azhar hingga Sammy Gamboa mulai membebani pikiran saya hingga hari ini. Meliput properti ternyata tak sesederhana yang saya bayangkan: peluncuran real estate, menara apartemen mewah atau pembangunan hotel bintang lima. Tidak sesederhana itu. Di bawah gedung-gedung pencakar langit, saya melihat hak asasi yang kian lama semakin dirapuhkan. (anugerahperkasa@gmail.com)

*The story is based on my almost two months reporting on the property desk. It is not published on the newspaper.

5 comments:

kukukotor said...

Sudah saatnya pemilik modal takut, bukan 'menjajah' but how??

ANUGERAH PERKASA said...

Kukukotor, saya khawatir justru pemilik modal bukan bertambah takut tapi justru menjadi "kawan seiring" pemerintah untuk memompa pertumbuhan ekonomi. Mereka lupa di balik pertumbuhan ekonomi makro, ada persolan mikro yang jarang diungkapkan. Lihat saja bagaimana dua komoditas macam batu bara dan kelapa sawit yang terus difasilitasi oleh pemerintah pusat maupun daerah. Tapi lihat pula bagaimana dua industri itu menghancurkan kehidupan kecil lainnya.

insaf albert said...

hal2 kayak gini semestinya juga dikasih tempat di koran BI ya. biar suara yg kluar tak cuma dari analis, konglo dan orang2 hebat itu

ANUGERAH PERKASA said...

Albert, saya kira ini persoalan pilihan pribadi. Saya ingin mengetahui business process dalam sebuah sektor tapi untuk menemukan "ruang-ruang kejahatan" mereka. Jurnalisme memantau kekuasaan: di balik kekuatan korporasi dan bisnis raksasa, saya meyakini adanya penyimpangan. Baik kasat mata atau pun tidak.

turabul-aqdam said...

"It is not published on the newspaper." but it is brought to public area now, thx to BLOG! :)