Friday, April 30, 2010

hibah panas "hamba allah"

Oleh Anugerah Perkasa
2.573 words



BILLY SINDORO tahu betul risiko saat memutuskan menjadi seorang Protestan pada usia 17 tahun. Dia diusir dari rumahnya di Jalan Pemuda 126-128, Semarang bersama lima saudaranya yang memilih jalan serupa. Selama 6 bulan, mereka tinggal di Gereja Kristen Muria Indonesia, masih dalam kawasan yang sama. Sindoro bersaudara akhirnya menempati sebuah rumah bekas gudang semen di Jalan Kapuran 45, Semarang. Tapi dari bekas gudang semen ini, kecintaan mereka terhadap Tuhan meluap.

“Di rumah inilah Tuhan bekerja dengan dahsyat, setiap hari dipenuhi anak-anak muda yang haus akan Tuhan. Ini adalah pekerjaan Roh Kudus,” ujar Ryanto Sindoro, kakak Billy, yang memutuskan menjadi pendeta.

Rumah itu kian ramai. Sejumlah remaja Protestan yang pulang sekolah, menyaksikan bagaimana penginjilan dikumandangkan. Bahkan ada yang sampai tidur menginap. Mereka ingin merasakan kehadiran Tuhan. Tak terkecuali sang remaja Billy yang kian gelisah melihat praktik agamanya. Puncaknya, dia pun memprakarsai kebaktian “Malam Oikumene 1979”, dengan mengumpulkan para pelajar SMA di Semarang. Ini adalah dua tahun setelah pengusirannya dari rumah. Oikumene dikenal sebagai upaya untuk mempersatukan aliran-aliran dalam agama Nasrani serta menyerahkan hidupnya kepada Tuhan.

“Saya merasakan kesedihan melihat gereja-gereja terpecah dan saling menghakimi,” kata Billy, dalam situs www.30yearswalkwithjesus.com.

Acara itu mendapat sambutan luas. Sekitar 400 remaja memadati Gedung Wisma Pandanaran pada 1-3 Maret 1979. Ada suara tangisan yang menyebar. Mereka ingin bertobat dan berserah diri. Kegiatan itu melahirkan sebuah perkumpulan yang bernama Persatuan Siswa-Siswi Oikumene atau Persisko.

Billy akhirnya lulus dari SMA Karang Turi Semarang dan melanjutkan kuliah ke Amerika dengan konsentrasi administrasi bisnis. Pada 1986, dia mulai meniti karir di LippoBank, yang dimiliki pengusaha Mochtar Riady, sekaligus pendiri Grup Lippo.Kelak, Billy menjadi “tangan kanan” Mochtar bersama dengan kakaknya Eddy Sindoro. Sindoro bersaudara, mengurus sektor keuangan dan riil milik korporasi raksasa itu.

Karir Billy melesat dengan pelbagai jabatan. Dari Direktur Pengelola PT AIG LippoLife, CEO Lippo Insurance, hingga Presiden Direktur PT Natrindo Telepon Seluler. Tetapi, ada fase yang tak akan pernah dilupakannya. Memimpin PT First Media Tbk. Baik Billy maupun perusahaan itu pernah terlibat masalah hukum. Bahkan, hingga mengirimnya ke penjara.

PT First Media berdiri pada 1994 dengan nama pertama PT Broadband Multimedia. Awalnya, fokus bisnis perseroan adalah penyedia jasa televisi berbayar dengan merek dagang KabelVision. Pada 2000, perusahaan itu melakukan penawaran umum perdana untuk memperkuat struktur permodalannya sebanyak 20 juta lembar saham. Tujuh tahun kemudian, dia berganti nama PT First Media Tbk dengan bisnis andalan: televisi berbayar, layanan internet broadband hingga layanan komunikasi data melalui telekomunikasi digital. Billy memimpin perseroan sejak 2001-2005, namun terpilih kembali setelahnya hingga pertengahan 2008.

Masalah pertama, penunggakan pajak.

Ini bermula dari Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa Direktorat Jenderal Pajak yang mengirimkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar pada 14 November 2003. PT Broadband Multimedia belum membayar Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa sebesar Rp10,34 miliar. Tetapi, kekurangan tersebut langsung dilunasi.

Laporan keuangan PT Broaband Multimedia periode 2002-2005 menggambarkan keuntungan perusahaan yang turun naik. Pada 2002, perusahaan rugi sebesar Rp14 miliar, namun untung Rp10,66 miliar tahun berikutnya. Pada 2004, laba menukik tajam menjadi Rp3,55 miliar dan merangkak naik pada 2005, yakni Rp5,77 miliar. Apakah masalah pajak selesai sampai di sini? Tidak. Ini justru baru permulaan.

Pada April 2006, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus membentuk tim untuk memeriksa dugaan pelanggaran serupa. Tim tersebut diketuai Raden Handaru Ismoyojati, dengan dua anggota yakni Yudi Hermawan dan Agi Sugiono. Sedangkan perusahaan milik Grup Lippo itu menyewa jasa Abdul Asri Harahap dari kantor konsultan pajak AAH & Rekan, yang berkantor di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan. Walaupun dipimpin Handaru, pemeriksaan lebih banyak dilakukan bersama Yudi. Ini karena Asri dan Yudi berkawan semasa sang konsultan belum pensiun dari kantor pajak.

Dan dugaan tersebut tak keliru.

PT Broadband Multimedia ditemukan belum membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) periode 2004-2005. Rinciannya pada 2004 masing-masing PPN (Rp23,31 miliar), PPh Pasal 21 (Rp585,62 juta), PPh Pasal 23 (Rp576,62 juta), PPh Pasal 26 (Rp1,41 miliar), serta PPh pasal 4 (Rp18,59 juta). Ada pula surat tagihannya sebesar Rp4,31 miliar dan Rp45,40 juta.

Tahun berikutnya adalah PPN (Rp29,20 miliar), PPh Badan (Rp1,43 miliar), PPh Pasal 21(Rp902,03 juta), PPh Pasal 23 (Rp423,51 juta), PPh Pasal 26 (Rp1,63 miliar), serta PPh Pasal 4 (Rp31,42 juta). Surat tagihannya berjumlah Rp6,30 miliar dan Rp25,84 juta. Hingga jumlah total pajak beserta denda yang harus dibayar sebesar Rp70,24 miliar. Ini mengakibatkan laba bersih 2007 merosot menjadi Rp2,51 miliar dari Rp5,28pada 2006. Perseroan bahkan merugi hingga Rp101,72 miliar pada 2008.

“Saya langsung menyetujui jumlah [pajak] tersebut, karena sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penetapan itu telah benar,” ujar Asri Harahap, seperti kesaksiannya dalam dokumen putusan pengadilan.

Tugas Asri pun berakhir. Tetapi, hubungan tim pemeriksa beserta sang konsultan tak langsung berhenti. Kelak, mereka bertemu di Pengadilan Negeri Karawang, Jawa Barat. Mereka akan saling bersaksi tentang uang dolar yang diterima usai pemeriksaan pajak dirampungkan.




BAGAIMANA RASANYA punya uang US$500.000, disalurkan sebagian untuk pesantren namun ditangkap sesudahnya? Yudi Hermawan mungkin punya jawabannya. Setelah pemeriksaan pajak PT Broadband Multimedia, Yudi harus bolak-balik ke Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Karawang untuk mengurus uang dolar itu. Pada Maret 2007, dia membuka rekening deposito dan mengkonversinya menjadi Rp4,59 miliar. Ini jumlah jumbo bagi pegawai negeri golongan III A, yang menerima sekitar Rp10 juta setiap bulan.

Yudi juga aktif di Pengurus Cabang Muhammadiyah (PCM) Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat sejak 1999. Istrinya, Yani Rakhmawati bahkan menjadi Kepala Sekolah TK Aisyiyah IV, yang tak jauh dari rumah. Mereka tinggal di Dusun Sinarsari, Desa Kalangsari, Rengasdengklok. Keduanya dikaruniai lima orang anak.

Rapat PCM Rengasdengklok pada 7 April 2007 memutuskan untuk membuat sebuah pesantren. Yudi, yang baru saja diangkat sebagai Ketua PCM periode 2005-2010, menyampaikan ada dana untuk menyokong pembangunan. “Dari hamba Allah yang tak mau disebutkan namanya,” kata dia.

Dua hari setelahnya, Yudi kembali mendatangi BNI Cabang Karawang untuk menutup rekening dan memindahkan Rp4 miliar ke rekening baru dengan nomor 0121515195. Sebanyak Rp390 juta dimasukkan ke rekening nomor 0119609509 miliknya, dan sisanya ditarik tunai. Pada Juni 2007, uang Rp4 miliar beralih ke rekening nomor 0119609509 dan disebar ke sejumlah pihak. Dana itu diklaim milik PCM Rengasdengklok, tetapi dibagikan ke pihak yang tak berafiliasi dengan Muhammadiyah. Termasuk Agi Sugiono dan Raden Handaru Ismoyojati, tim pemeriksa pajak PT Broadband Multimedia. Juga Widiyanti, perempuan yang dikenalnya pada 2000 dan sempat “berkencan” beberapa kali.

Lantas, buat apa saja uang itu?

Agi mengaku uang tunai US$100.000 dari Yudi dipakai untuk kebutuhan online marketing, pengobatan orangtua dan kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, beberapa hari kemudian Yudi meminta agar US$2.500 dikembalikan, hingga total yang dimiliki hanyalah US$97.500. Handaru lain lagi. Dia menerima transfer Rp113 juta, sebanyak dua kali. Ini untuk cicilan mobil, biaya melahirkan istrinya hingga perpindahan dinas Jakarta -Semarang. Widianti juga cukup besar yakni Rp432 juta. Satu mobil Daihatsu Xenia dan rumah-toko seharga Rp225 juta akhirnya dimiliki. Saat bersamaan, Yudi mentransfer uang itu ke rekening istrinya untuk pembangunan pesantren.

Namun, langkah itu terhenti.

Pada Mei 2008, ketiga pegawai negeri tersebut dibekuk Kepolisian Daerah Jawa Barat dengan sangkaan praktik pencucian uang. Mantan Kepala Polisi Daerah Jawa Barat (Polda Jabar) Komjen Pol. Susno Duadji menyatakakan mulanya Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan mencurigai penempatan uang tambun di BNI Cabang Karawang.

“Saya meyakini ini adalah hasil suap, meskipun selalu disebut uang dari hamba Allah. Dan ini diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Susno kepada saya.

“Mengapa?”

“Suap terjadi di Jakarta. Ini bukan kewenangan Polda Jabar.”

Majelis hakim Pengadilan Negeri Karawang memang menemukan petunjuk soal sogok-menyogok. Dalam salinan putusan Yudi, disebutkan di antaranya adalah dolar milik Agi yang serupa dengan penempatan dana jumbo di BNI Cabang Karawang, terjadinya penerimaan uang setelah pemeriksaan selesai, hingga jumlah pajak kurang bayar yang segera disetujui. “Di pihak lain, terdakwa tidak dapat membuktikan asal-usul uang,” kata hakim Sirande Palayukan. “Uang itu berasal dari pemeriksaan PT Broadband Multimedia.”

Pada Februari 2009, Yudi Hermawan, Agi Sugiono dan Raden Handaru Ismoyojati akhirnya divonis masing-masing 8 tahun, 6 tahun dan 5 tahun. Majelis hakim Pengadilan Negeri Karawang menyatakan mereka terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang. Ketiganya langsung mengajukan langkah banding. Tujuh bulan sesudahnya, Pengadilan Tinggi Bandung mengurangi hukuman. Yudi dihukum 5 tahun, Agi menjadi 4 tahun sedangkan Handaru dibebaskan. Yudi meneruskan kasasi ke Mahkamah Agung.

Saya mengunjungi lokasi pembangunan Pesantren Al Bayan pada Maret lalu. Ini adalah lembaga pendidikan hasil rapat PCM Rengasdengklok 3 tahun silam. Bangunannya terletak di pinggir Jalan Raya Proklamasi, Dusun Sinarsari, satu lokasi dengan TK Aisyiyah IV. Pesantren ini mendekati rampung sejak dibangun pada Mei 2007. Semua jendela belum dipasang kaca. Rumput liar dibiarkan tumbuh. Batu bata merah pecah berserakan. Dan ada pula coretan tiga huruf kapital di dinding abu-abu : XTC!




BULAN SEPTEMBER tahun 2008 menjadi masa yang tak terlupakan bagi Billy Sindoro. Ini bukan masalah kerugian PT First Media, atau dua kasus pajak kurang bayar. Dia tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) usai memberikan uang Rp500 juta ke Mohammad Iqbal, anggota dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ada dugaan sogok terkait dengan keputusan KPPU menyangkut monopoli PT Direct Vision, anak usaha PT First Media. Dia akhirnya ditahan.

Chaos, perasaan saya sesampainya di sini. Saya tidak mengerti apa yang telah terjadi,” ujar Billy kepada harian berbahasa Inggris The Jakarta Globe. Globe adalah anak usaha dari PT Star Pacifik Tbk yang juga berafiliasi dengan Grup Lippo.

PT Direct Vision merupakan perusahaan jasa telekomunikasi televisi berbayar melalui satelit sejak 2003. Sebesar 49% saham perseroan dimiliki PT Ayunda Prima Mitra dan 51% oleh Silver Concord Holdings Limited, perusahaan investasi asal British Virgin Island. Kepemilikan PT Ayunda Prima didominasi PT First Media.

Masalah suap ini berpangkal pada kerjasama Astro All Asia Network di Malaysia dengan Grup Lippo, melalui PT Direct Vision pada 2004. Keduanya menyepakati perjanjian setahun kemudian: Astro memasok program yang didistribusikan PT Direct Vision. Pada 2006, program pun diluncurkan. Ada Astro Citta. Astro Arena. Salah satu yang menjadi andalan, adalah Barclays Premier League (BPL) atau Liga Inggris yang membuka masalah dugaan monopoli.

Namun hubungan dua raksasa itu memburuk. Astro mengklaim belum menerima pembayaran sejak kerjasama dimulai. Grup Lippo mengaku tak pernah mendapatkan laporan keuangan dan undangan pemegang saham. Persengketaan pun masuk ke meja hijau. Sejak diluncurkan, PT Direct Vision memang mencatat pertumbuhan yang mengagumkan. Pada 2006, penjualan program diserap oleh 49.892 pelanggan dan meningkat menjadi 143.137 pelanggan di tahun berikutnya. Masing-masing pendapatan di tahun tersebut mencapai Rp9,97 miliar dan melonjak menjadi Rp28,62 miliar. Mungkin inilah yang membuat perusahaan itu mendapatkan perhatian khusus dari Billy.

“Direct Vision was his baby,” ujar Humphrey Djemat, penasihat hukum Billy kepada The Jakarta Globe.

Pada September 2007, dugaan monopoli BPL PT Direct Vision diadukan PT Indovision, PT Telkomvision dan PT Indosat Mega Media ke KPPU. Berdasarkan situs resminya, pemeriksaan pendahuluan komisi dilakukan pada Januari-Maret 2008, dan diteruskan dengan pemeriksaan lanjutan hingga Juli 2008. Pada bulan ini pula, Billy Sindoro dan Mohammad Iqbal berkenalan. Mereka saling berkirim SMS.

Pertemuan awal memang membicarakan bisnis Grup Lippo. Tetapi menjelang putusan KPPU, Billy meminta Iqbal untuk memasukkan “injunction” agar Astro tetap bekerja sama dengan PT Direct Vision. Pada 29 Agustus 2008, KPPU menyatakan PT Direct Vision tidak terbukti memonopoli siaran BPL. Plus, memerintahkan Astro tidak menyetop kerjasamanya guna melindungi konsumen. Tapi ini tak diindahkan. Perusahaan dari negeri jiran itu kelak menghentikan pasokannya 2 bulan kemudian. Tetapi soal “injunction”, Billy ingin berterima kasih.

Keduanya membuat janji untuk kembali bertemu pada 16 September 2008 di Hotel Arya Duta, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka bertemu di kamar 1712 menjelang Maghrib. Setelah bercakap sebentar, sang komisioner berpamitan. Keduanya berjalan menuju lift. Billy mengantar. Sambil membawa tas hitam—yang diletakkan di lift kemudian— sesaat Iqbal hendak turun. Sesampainya di lantai dasar, penyelidik KPK langsung menyergap. Ada uang Rp500 juta di dalamnya.

“Ini hanya titipan dari orang di kamar 1712.”

Pada Februari 2009, majelis hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi menghukum Billy dengan vonis 3 tahun pidana penjara karena bersalah. Dia dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur sebelum akhirnya ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang. Peninjauan kembali ditempuh ke Mahkamah Agung, namun kandas. Pada 17 November 2009, majelis hakim tetap memvonisnya 3 tahun penjara. Billy terbukti menyuap. Persiteruan dua korporasi raksasa Indonesia-Malaysia terus berlanjut.




EMPAT PEKERJA sibuk memperbaiki ulang warna bagian depan Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang. Dua orang memegang tongkat pengecat, sisanya mengikis warna lama yang kusam. Di sisi kiri dan kanan pintu masuk ada papan pengumuman. Masing-masing adalah soal pelarangan untuk membawa senjata api saat berkunjung. Satunya, mengumumkan ancaman pidana korupsi kepada pemberi maupun penerima pungutan liar di tempat tersebut.

Saya ingin menemui Billy Sindoro awal Maret lalu. Telepon selular dan jaket harus dilepaskan dan dititipkan ke bagian penjagaan. Tangan kanan distempel. Salah seorang penjaga, Basirun mengatakan Billy rajin beribadah di gereja. Dia juga aktif mengajar. “Kalau istilah demonstrasi, Pak Billy adalah koordinatornya. Dia sering mengumpulkan orang-orang di sini,” ujarnya.

Namun Irwan Gunadi, asisten pribadi Billy, menunda rencana tersebut. Menurut dia, Billy ingin beristirahat siang itu. Dia menjanjikan untuk membicarakannya kemudian. Tetapi, seminggu setelahnya, nihil. Telepon dan SMS saya tak pernah dibalas. Wawancara ini menjadi penting untuk tahu bagaimana Billy memimpin sebuah perusahaan, namun bermasalah. Dari soal pajak hingga praktik suap. Mengapa soal pajak terulang dua kali? Kedua, bagaimana uang dolar mengalir ke petugas pajak?

Billy tampaknya menolak wawancara.

Presiden Komisaris PT First Media Peter Frans Gontha angkat bicara. Peter bergabung sejak 2000 dalam jajaran komisaris. Dia mengatakan perseroan tak pernah mengucurkan uang kepada petugas pajak. Pihaknya hanya memberikan biaya kepada konsultan sesuai ketentuan yang berlaku, bukan hadiah kepada tim pemeriksa. PT First Media diduga membayar Asri Harahap Rp5,84 miliar—untuk honorarium tenaga ahli— seperti tertuang dalam laporan keuangan periode 2007-2008.

“Perusahaan menunjuk konsultan pajak sehingga seluruh kewajiban telah dikuasakan,“ ujar dia dalam surat elektronik. “Dengan demikian, segala tindakan konsultan pajak dalam menjalankan pekerjaannya merupakan tanggung jawabnya.”

Maret lalu, saya mendatangi kantor konsultan pajak AAH & Rekan, kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan. Lokasinya berada di sebuah rumah-toko di pinggir jalan. Pukul 09. 00, Asri belum juga datang. Salah seorang pegawainya menelepon, usai saya menyampaikan maksud kedatangan dan kartu nama. Melalui telepon pula, Asri langsung menolak menjadi narasumber.

Asri adalah pensiunan Kepala Kantor Wilayah Pajak V Jakarta Direktorat Jenderal Pajak. Sejak 2002, dia mendapatkan izin untuk membuka jasa konsultasi. Saya mengenalnya ketika pernah menjadi pembicara soal korupsi dengan atribut Ketua Kelompok Kerja Jihad Melawan Koruptor BLBI. Selain itu, dia pernah menjabat sebagai Ketua Harian Presidium Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam. “Kalau laporan ini tidak proporsional, saya akan menggugat. Saya juga dulu wartawan,” ujarnya.

Untuk tahu bagaimana Billy Sindoro memimpin, saya mengunjungi Paul Montolalu. Paul adalah Direktur Pemasaran PT Broadband Multimedia pada 2001-2005 dan Presiden Direktur PT Direct Vision sejak 2006. Dia juga adalah orang dekat Billy. Kakak kandungnya, Liza Montolalu menikah dengan petinggi Grup Lippo itu hingga dikarunai tiga anak. Saat itu saya datang ke rumahnya, kawasan Lippo Karawaci, Tangerang namun ditolak. Alasannya ingin istirahat.

Ternyata, Paul pun “bermasalah” untuk menemui bekas bawahannya.

Seorang karyawan menudingnya pengecut, karena tak pernah berani muncul ke kantor sejak berhenti siaran. Ini dikenal dengan masa “black out”. Ada 6 bulan gaji yang tak dibayar. Karyawan yang batal menyekolahkan anaknya. Hingga tak punya ongkos kontrakan rumah.

“…Apakah kami harus mengemis untuk mendapatkan hak kami?”... salah satu bunyi surat elektronik internal.

“…Kami pasang badan dimarahi [pelanggan], diancam akan diserbu ke kantor…”

Surat resmi tertanggal 16 Desember 2009 oleh Eko Purwanto—kuasa hukum Paul— menyatakan semua negosiasi gaji diselesaikan melalui Firma Bahri, Purwanto & Rekan. Tawar-menawar itu tetap saja tak memuaskan. Kelompok karyawan pun menyurati pemilik Grup Lippo, Mochtar Riady dan James T. Riady, tetapi nihil. Perselisihan ini tampaknya dibawa ke pengadilan hubungan industrial. Negosiasi sudah buntu. Dan di balik riuh rendah itu, Billy Sindoro kian setia ke gereja, memanjatkan doa. Dia tahu betul apa risiko yang dihadapinya. Dari Malam Oikumene hingga ke penjara. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

*It was published on April 29th with the same title but shorter version. This blog story is a more complete one.

12 comments:

trinanti said...

ckckck.. senang sekali saya baca laporan mu, mas. berita mengenai suap bisa menjadi begini menarik untuk dibaca ya, ternyata. :)

ANUGERAH PERKASA said...

Mimit, terima kasih mau membacanya. Mudah-mudahan berguna ya. Laporan ini dikerjakan berbarengan dengan tugas mas yang melakukat liputan harian. Jadi kadang harus melawan mood dan malas. Eh kok fotonya beda dengan aslinya ya? :)

adlil said...

Jadi pengen tau lebih dalam bagaimana proses kreatif mencari datanya, dan meramunya jadi tulisan yang mengalir seperti ini. Mantap!

ANUGERAH PERKASA said...

Aad, ceritanya sederhana. Bagaimana si pemberi uang tidak diproses secara hukum, sementara penerimanya kena vonis? Kata bos gue, emang duitnya turun dari langit, hehehehe.

Fahri Salam said...

Senang baca versi lengkapnya. Namun versi pendeknya lebih solid loh. Gula-gula banyak dibuang. Aku lebih prefer ending versi pendeknya. Lebih menghentak. Asyik juga Mas punya partnet editor yang jeli di kantor. [Ini lelucon: ayo kirim ke Adiwarta! Hahahaha]

Ahmad Jayadi said...

Mas AP, saya suka membaca tulisan ini. Saya baru dapat info dari teman saya, Fika Aulini (alumni diklat jurnalisme sastrawi). Saya minta dia untuk tunjukkan salah satu tulisan yang bagus, dia kasih tulisan punya Mas AP ini.
Salut Mas.
Saya sendiri belum sempat ikut diklat itu. Saya tinggal di Jogja, semoga ada kesempatan bisa berguru pada jurnalis-Sastrawan.
Beberapa kali saya baca tulisan Mas Andreas Harsono. Kali ini tampaknya akan sering berkunjung ke blog Mas AP.
Salam,
Ahmad Jayadi
ahmad-jayadi.blogspot.com

vidi said...

Wuiihh mantap..."orgasme" aku baca tulisan ini. hehehe.
Tapi yang menarik, si Billy itu penatua di gereja. Sementara si Yuddy juga pengurus organisasi keagamaan. Bahkan punya niat bangun pesantren.
Ternyata semua itu topeng belaka. Mereka pikir dosa korupsi dan suap menyuap bisa di laundry di rumah ibadah.hahaha.
Si Billy ini bikin tulisan tentang jamahan Tuhan 30 tahun lalu, bagus banget. Tak tahunya!
Gue muak nih dengan orang model begini yang teriak-teriak tentang kesolehan, padahal maling juga.hehe.
Akhir kata. ajarin gue bikin kaya gini dong mas!:-)

ANUGERAH PERKASA said...

Mas Jayadi, terima kasih telah membacanya. Semoga berguna untuk melihat, setidaknya satu dari masalah suap di Batavia. Terima kasih pula rencana untuk sering mengunjungi blog ini :)

ANUGERAH PERKASA said...

Vidi, laporan ini mengajarkan saya satu hal: kekuatan reportase. Ini yang sering dilupakan atau setidaknya malas dilakukan wartawan. Tentu ini masih dalam skala kecil. Jadi, kenapa kita gak bikin yang lebih baik lagi nanti? :)

Padang Betta said...

Halo mas Nugi. Senang bisa membaca tulisannya :D
hehe, masih ingat saya kan??
Romi, temannya si Rai, yg ketemu di Hotel Cemara pas konfrensi pers HRW ama mas AH. Kontr BI utk Padang.
Semoga masih ingat :)

Menarik sekali reportase ini. yg versi cetaknya terbit tanggal brp mas? jd pengen membandingkannya....

Begitu pula dg background peliputannya "Bagaimana si pemberi uang tidak diproses secara hukum, sementara penerimanya kena vonis? Kata bos gue, emang duitnya turun dari langit" benarkah demikian??

wah, kalau begini mesti sering2 berkunjung nih....
Semoga bisa 'mencuri' sedikit ilmu mas Nugi. hehe...

salam dari Padang

ANUGERAH PERKASA said...

Romi,

Tentu masih ingat, dong. Laporan itu terbit pada 29 April 2010, dengan sekali pasang. Benar sekali, logika sederhanya adalah mengapa si pemberi uang itu tidak tertangkap? Ini yang mendasari liputan soal Billy Sindoro. Please come anytime :)

Dildaar Ahmad Dartono said...

Keren bang Anugerah. Ini dia Jurnalisme sastrawi..pengen banget nih bisa nulis kayak gini..