Oleh Anugerah Perkasa
1.156 words
EMERSON YUNTHO membuka komputer jinjingnya dan memperlihatkan sebuah laporan kecil . Isinya soal catatan kegagalan Markas Besar Polisi Republik Indonesia dalam menangani kasus tindak pidana korupsi dalam 6 tahun terakhir. Dia menilai reputasi polisi terus menurun dalam penanganan kasus-kasus korupsi.
“Sejak kapan mereka serius?” katanya, sinis.
Emerson adalah aktifis muda Indonesia Corruption Watch (ICW) yang memfokuskan pada riset dan advokasi antikorupsi. Dia menemukan 17 kasus korupsi berskala besar namun terhenti penyelesaiannya oleh kepolisian. Di antaranya kasus impor minyak zatapi PT Pertamina (Persero), Bank Perkreditan Rakyat Tripanca Setiadana di Lampung, atau proyek pembangkit listrik tenaga uap Muara Tawar, Bekasi. Dugaan kerugian negara mencapai ratusan miliar. Namun, tiga perkara itu hingga kini seperti lenyap ditelan bumi. Tak jelas apa statusnya.
Sinisme itu bukan tanpa sebab. Puncaknya adalah kasus dugaan korupsi yang melibatkan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir Oktober 2009. Bibit Samad Rianto dan Chandra Martha Hamzah. Keduanya disel dengan jeratan pasal penyalahgunaan wewenang dan penyuapan. Ironisnya, polisi memiliki bukti lemah karena pencabutan berita acara pemeriksaan oleh Ary Muladi, sang saksi utama. Dia menarik keterangannya melakukan suap terhadap Bibit dan Chandra.
Kegusaran Emerson rupanya menyebar ke seluruh penjuru. Tekanan publik menguat. Para aktifis prodemokrasi turun ke jalan bersama-sama dengan mahasiswa di Jakarta, Jogjakarta, hingga Makassar. Gelombang protes muncul di situs pertemanan Facebook. Mereka mencurigai sikap kepolisian dan menduganya tengah melemahkan KPK dengan melakukan kriminalisasi para pimpinannya.
“Bebaskan Bibit dan Chandra,” teriak mereka dalam sebuah unjuk rasa.
“Kapolri dan Jaksa Agung mundur saja.”
“Mau coba kekuatan rakyat?”
Tim Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Bibit dan Chandra akhirnya menyimpulkan bukti kepolisian sangat lemah. Tim ini dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhyono untuk merespon desakan publik atas kasus tersebut. Ketua tim Adnan Buyung Nasution menyampaikan jika kasus itu dibawa ke pengadilan pun, tidak akan berguna. Namun di sinilah letak politisnya. Berdasarkan undang-undang KPK, para pimpinannya akan dinonaktifkan begitu menyandang status terdakwa. Para aktifis antikorupsi meyakini polisi tengah “bermain” untuk melemahkan KPK dalam pemberantasan korupsi.
“Reformasi kepolisian harus dilakukan total,” kata Bambang Widodo Umar, akademikus sekaligus purnawirawan kepolisian. “Para pejabat yang diduga terlibat melemahkan KPK harus segera diproses.”
Dia termasuk sosok yang pesimistis melihat perubahan di tubuh kepolisian. Sebagai mantan perwira, Bambang cukup paham tentang liku-liku bekas tempatnya bekerja. Menurutnya, tak ada upaya yang cukup kuat untuk melakukan reformasi. Bambang melihat tak ada kader yang mau melakukan perubahan pada korps Bhayangkara itu.
Masalah ini tak terhenti pada korps kepolisian.
Kejaksaan Agung pimpinan Hendarman Supandji juga tak luput dari kritik publik. Protes demi protes dialamatkan pada penanganan kasus korupsi instansi tersebut. Seperti kepolisian, Kejaksaan Agung dipenuhi masalah dugaan kolusi pejabatnya dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi.
Kasus yang mencuat adalah terbongkarnya kolusi jaksa Urip Tri Gunawan dan Arthalita Suryani, pengusaha asal Lampung pada awal 2008. Arthalita memiliki kedekatan dengan Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Negara Indonesia sekaligus tersangka kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hubungan telepon keduanya disadap oleh KPK hingga berujung pada hukuman bui. Penanganan kasus BLBI oleh Kejaksaan Agung memang bermasalah.
“Ujung tombak pemerintah dalam pemberantasan korupsi adalah kejaksaan. Berhasil tidaknya, sangat ditentukan oleh Jaksa Agung. Namun selama dijabat oleh Hendarman Supandji, upaya itu tidak optimal,” kata Emerson.
Tetapi, BLBI bukan satu-satunya.
Penyadapan KPK untuk kedua kalinya membuka betapa dekatnya pejabat di instansi itu dengan pengusaha. Kali ini, yang tersandung masalah adalah Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga dan mantan Jaksa Agung Muda bidang Intelijen Wisnu Subroto. Keduanya “terbongkar” berhubungan dengan Anggodo Widjojo, pemilik PT Masaro Radiokom. Keluarga Widjojo menjadi bidikan KPK dalam kasus pengadaan alat telekomunikasi, keahlian bisnis PT Masaro.
“Menang kita…tersangka sudah ditahan,” kata Anggodo menelepon seseorang, segera setelah mengetahui Bibit dan Chandra ditetapkan tersangka oleh kepolisian.
“Yo wis mulai sesok nomore anyar kabeh.”
“Tapi lek sing sithuk Chandra sesuk dilebokno malah tak pateni ndek njero.”
Pada awal November 2009, rekaman percakapan itu dibuka ke hadapan publik dalam sidang Mahkamah Konstitusi. Ini adalah saat di mana Bibit dan Chandra mengajukan permohonan uji materiil UU KPK. Pebisnis asal Surabaya itu secara leluasa menghubungi para penegak hukum. Kepolisian atau pun kejaksaan Ritonga akhirnya mengundurkan diri. Wisnu sudah pensiun. Namun, keduanya tak diberikan sanksi apa-apa. Keduanya masih menjadi orang yang tak tersentuh.
STASIUN TELEVISI menyiarkan langsung rapat yang digelar antar penegak hukum dengan Komisi III DPR RI akhir tahun lalu. Ini adalah imbas dibukanya rekaman percakapan antara Anggodo dan penegak hukum. Juga karena respon Presiden terhadap rekomendasi Tim Verifikasi Fakta untuk “menghentikan” kasus Bibit dan Chandra. Ada argumentasi aksa Agung Hendarman Supandj. Ada tangkisan Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri.
“Makelar kasus ada baunya, tapi sulit membersihkan,” kata Hendarman.
“Kami membentuk tim khusus untuk memberantas makelar kasus,” ujar Bambang.
“Solusinya, perbaikan kesejahteraan. Saya minta sepuluh triliun rupiah.”
“Asal tidak fitnah, kami akan mengusut dan menindaklanjuti ke pidana umum. Ini bukan hanya program seratus hari, tapi untuk seterusnya.”
Tetapi ini baru sebatas klaim.
Para aktifis antikorupsi dan analis ekonomi meyakini dugaan kekisruhan antar penegak hukum terkait dengan penelusuran KPK terhadap PT Bank Century Tbk. Juga dugaan terlibatnya petinggi kepolisian, mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji. Dia dituding menerima kompensasi dari Budi Sampoerna—sang nasabah besar—karena menulis surat ke manajemen bank agar dana Sampoerna cair. Masalahnya, KPK melakukan penyadapan dan nomor telepon Susno tersangkut. Hubungan kedua instansi itu meninggi sehingga memunculkan kasus Bibit dan Chandra.
Bank Century sendiri adalah bank berskala kecil dengan aset Rp15 triliun ketika bailout terjadi. Pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan menyuntikkan dana sebesar Rp6,7 triliun dalam empat tahap, yaitu November 2008 hingga Juli 2009. Tetapi, dugaan korupsi kian membayangi pemberi kebijakan itu: Komite Stabilitas Sistem Keuangan—Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Boediono—sebagai otoritas dalam keputusan penggelontoran dana. Demikian pula, mengenai siapa saja yang mendapatkan kucuran uang tersebut.
Peneliti Aspirasi Indonesia Research Institute Yanuar Rizky meyakini kasus Bank Century adalah episentrum persoalan belakangan ini. Jalan satu-satunya, kata dia, adalah pengusutan KPK hingga rampung. Siapa yang diduga menerima suap. Apa perbuatan melawan hukum para eksekutor kebijakan hingga yang diuntungkan atas pencairan itu. Bukan oleh kepolisian atau Kejaksaan Agung. Yanuar berpendapat audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan tidak menggambarkan secara sempurna persoalan Bank Century.
“KPK harus menuntaskan perkara ini. Dia didukung luas oleh publik karena kewenangannya yang demikian besar dan lebih independen. ” katanya.
Tak hanya Yanuar yang meyakini kemampuan KPK, tapi juga gelombang dukungan dari para publik. KPK memang punya beban sekaligus tanggung jawab besar. Dia telah menjadi simbol terakhir pemberantasan tindak pidana korupsi. Tak macam sinisme Emerson terhadap kepolisian dan kejaksaan.
Akhir November 2009, saya mengucapkan selamat kepada Chandra Hamzah melalui SMS setelah konfirmasi terbitnya surat ketetapan penghentian penuntutan. Juga kepada penasihat hukum Bibit Rianto dalam sebuah pertemuan. Pesan pendek itu sekaligus mengingatkan “hutang-hutang” yang harus dibayar keduanya usai kembali ke KPK. Pengusutan Susno Duadji serta kebijakan dana talangan Rp6,7 triliun. Seperti harapan para mahasiwa yang pernah berkemah di depan kantor KPK. Sesuai keinginan kelompok aktifis antikorupsi yang kini marak turun ke jalan. Mereka ingin mewakili kegelisahan publik.
Tapi SMS itu tak pernah dijawab. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)