Thursday, October 8, 2009

dimulai dari antasari

Oleh Anugerah Perkasa
1.692 words



SAYA MELIPUT Antasari Azhar dalam suasana yang berbeda pada Mei tahun ini. Di bekas kantornya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan Jakarta Selatan, dia seringkali mendominasi konfrensi pers dibandingkan dengan empat wakil pimpinan lainnya. Intonasinya perlahan namun tegas. Tapi itu dulu. Sebelum dia ditahan oleh Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya pada 4 Mei 2009 sebagai tersangka kasus pembunuhan. Setelahnya, Antasari mendadak diam. Tak bicara sepatah kata pun.

“Klien saya hanya memberikan keterangan saat penyidikan,” ujar koordinator penasihat hukumnya, Juniver Girsang, menjelaskan. “Dia menghormati proses itu.”

Rumah tahanan Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya—tempat Antasari dijebloskan—pun mulai ramai dengan membludaknya para reporter. Kasus ini memang menyita perhatian publik. Dia diduga menjadi intelektual atas pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran. Ada dugaan perselingkuhan. Ada pula dugaan pembatalan promosi jabatan hingga melibatkan kasus korupsi. Anehnya, peranan dan motif Antasari tak diumumkan sejak ditahan kepolisian hingga hari ini.

Juniver bersama lima advokat lainnya memang mendampingi Antasari. Ini adalah dugaan pidana yang “menghentikannya” sebagai ketua KPK sejak dipangku pada Desember 2007. Tayangan televisi menyiarkan, sebagian dari mereka kerap datang ke rumah Antasari, kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang sebelum ditahan. Semuanya bergantian mendampingi pemeriksaan. Tim itu terdiri dari Ari Yusuf Amir, Denny Kailimang, Hotma Sitompoel, Maqdir Ismail dan Mohammad Assegaf.

“Pak Antasari, Pak Antasari,” teriak sebagian fotografer. “Pak Antasari.”
Dia diam saja. Tak merespon seruan.
“Pak Antasari.”

Mantan jaksa itu melewati salah satu lorong rumah tahanan, jalur yang menghubungkan sel dengan ruang pemeriksaan. Jarak para reporter dengan lorong itu cukup jauh, kira-kira 10 meter dan dibatasi pagar besi yang bercelah. Tak seperti saat menjadi ketua KPK, Antasari demikian akrab dengan pemburu berita. Dari meluangkan waktu untuk diwawancarai hingga diabadikan kamera. Tapi tidak kali ini. Matanya menatap ke depan. Tak ada lagi suara lantang itu. Tak ada pula jas licin bermotif kotak-kotak yang kerap dipakainya. Antasari hanyalah orang yang berbaju oranye, bercelana selutut dan bersandal jepit. Entah untuk berapa lama.





RUANG KONFRENSI pers di Polda Metro Jaya kian sesak di suatu siang, 4 Mei 2009. Pengumuman dijadwalkan pada pukul 14.00 dan para reporter sudah berkumpul 30 menit sebelumnya. Sekitar 90 kursi terisi penuh. Hawa mulai panas dan membuat gerah. Pengatur suhu seperti tak lagi berfungsi.

Sialnya, publikasi itu baru disampaikan pada pukul 16.00.

Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jendral Wahyono akhirnya menyatakan Antasari sebagai tersangka dalam dugaan pembunuhan berencana. Antasari disangka sebagai otak aksi yang menewaskan Nasruddin Zulkarnaen, pejabat PT Putra Rajawali Banjaran pada 14 Maret 2009. Perusahaan ini adalah anak usaha dari PT Rajawali Nusantara Indonesia, korporasi milik negara yang bergiat di bidang perdagangan, farmasi dan pertanian.

Seluruh tersangka berjumlah sembilan orang, termasuk di antaranya adalah Sigit Haryo Wibisono, pengusaha media dan Williardi Wizar, mantan Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan. Enam lainnya adalah: Daniel Daen, Eduardus Ndopo Mbete, Fransiskus Tadon Keran, Hendrikus Kia Walen, Heri Santosa, dan Jerry Hermawan. Pada pukul 17.30, Antasari digelandang ke sel tahanan.

“Motifnya kini tengah diselidiki. Kami terus melakukan pemeriksaan saksi-saksi,” ujar Wahyono.

Tetapi, Wahyono juga tak menyebut sedikit pun peran Antasari sebagai tersangka. Juga Sigit dan Williardi. Ini berkebalikan dengan enam tersangka lainnya. Dari pemberian perintah, mencari orang, penerimaan uang hingga eksekusi. Ini agak berbeda dengan penetapan status tersangka oleh KPK. Paling tidak modus dugaan korupsi sudah diketahui. Menggelembungkan anggaran, menyuap, menerima gratifikasi atau memperkaya diri sendiri. Tapi apa yang dilakukan Antasari—sang pembuat berita itu—belumlah terang benderang.

Kabar dari Makassar, Sulawesi Selatan pun berhembus. Abang Nasruddin, Andi Syamsuddin Bahtiar mengatakan pembunuhan itu diduga erat dengan masalah perselingkuhan Antasari dengan Rani Juliani, istri ketiga Nasruddin. Melalui penasihat hukum Jeffry Lumempow, pihaknya menuding adanya ancaman melalui short message service (SMS) terhadap adiknya itu.

“Permasalahan antara kita selesaikan dengan baik. Tolong jangan diblow-up, kalau diblow-up akan tahu akibatnya sendiri,” ujar Jeffry mengutip pesan yang berasal dari telepon selular Antasari. Seperti dilansir media internet dan televisi, pihak keluarga percaya bahwa Antasari mengotaki pembunuhan karena takut masalah asmaranya terbongkar ke hadapan publik.

Benarkah?

Penasihat hukum Antasari, Maqdir Ismail belum mendapatkan jawabannya. Tim hukum terus mempertanyakan bagaimana motif dan peranan kliennya. Jika tak jelas, sebaiknya segera dilimpahkan ke pengadilan agar terbuka. Dia mengakui Antasari dan Nasruddin pernah bertemu. Nasruddin mengadu karena pembatalan pengangkatan dirinya sebagai salah satu direktur PT Rajawali Nusantara Indonesia oleh Sofyan Djalil, Menteri Negara BUMN sekarang.

“Mengapa datang ke Antasari?”
“Kami tak bisa menanyakan itu ke Nasruddin,” jawabnya, terkekeh.
“Pengakuan klien Anda?”
“Ya, urusan pribadi itu.”





SAYA MENYAKSIKAN bagaimana tegangnya air muka keempat wakil pimpinan KPK dalam sebuah konfrensi pers sepeninggal Antasari. Bibit Samad Riyanto, Chandra M Hamzah, Haryono Umar dan Mochammad Jasin. Mereka sepakat untuk menjalankan tugas ketua secara bergantian. Mereka sepakat untuk terus membongkar kasus korupsi.

Tapi suasana panas belum berakhir.

Dua bulan setelah kasus itu mencuat, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia mencetak kontroversi baru. Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jendral Susno Duadji mengaku telepon selularnya disadap oleh penegak hukum lain. Semua kepala mendongak ke KPK. Petinggi kepolisian itu diduga menerima uang sebagai kompensasi memberikan “surat sakti” untuk pencairan dana deposan di PT Bank Century Tbk. Surat yang membuat manajemen bank mencairkan dana milik Budi Sampoerna, pengusaha yang diduga memberikan suap.

Likuiditas Bank Century memang bermasalah sejak 3 tahun lalu. Namun, pemerintah menyelamatkan bank kecil—dengan aset sekitar Rp15 triliun dan rasio kecukupan modal minus 35%— itu melalui suntikan dana Rp6,7 triliun periode November 2008-Juli 2009. Banyak analis mempertanyakan mengapa justru diselamatkan, ke mana aliran dana hingga siapa deposan yang diuntungkan. Badan Pemeriksa Keuangan kini tengah mengaudit secara investigatif untuk menjawab rasa penasaran publik tersebut.

Laporan majalah mingguan Tempo edisi 6-12 Juli 2009 akhirnya memuat wawancara dengan Susno. Dia menuding penyadapan itu merupakan perbuatan bodoh, sekaligus membantah soal suap. Arogansi sebagai polisi pun menyeruak. Susno menganggap pihaknya adalah buaya dan KPK, cicak.

“Kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa dia kerjakan kok dicari-cari,” kata dia dalam majalah itu. “Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya.”

Namun pernyataan tersebut justru populer. Istilah cicak melawan buaya menjadi simbol baru pemberantasan korupsi. Cicak menjadi singkatan dari (C)intai (I)ndonesia, (C)int(a)i (K)PK. Organisasi antikorupsi dan sejumlah individu mendeklarasikan gerakan itu di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat. Mereka ingin koruptor diusut, termasuk di kepolisian. Mereka ingin KPK memeriksa Susno dalam tudingan penerimaan suap oleh Sampoerna.

Hubungan kedua lembaga itu mulai memanas.

Kepolisian kembali melambungkan berita pada Agustus 2009 atau bulan keempat penahanan Antasari. Belum lagi motif pembunuhan terungkap, fakta baru dibeberkan. Empat lembar testimoni Antasari, merebak cepat di pelbagai media hingga situs sosial facebook. Aslinya ditulis tangan dan ditandatangani pada 16 Mei 2009. Ini berisi tudingan suap terhadap pimpinan KPK yang menangani kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) dengan tersangka Anggoro Widjaya.

Mantan jaksa itu mengaku menemui Anggoro—yang kini buronan KPK—di Singapura pada Oktober 2008. Anggoro menjabat direktur di PT Masaro Radiokom, pemasok alat-alat komunikasi. Dan salah satunya proyek SKRT di Departemen Kehutanan.

“Saya mendapat informasi dari seseorang, bahwa demi menjaga nama baik saya, dia ingin menyampaikan info bahwa kasus Masaro telah ‘diselesaikan’ oleh elemen KPK,” demikian salah satu kesaksiannya. “Pemberi info menyampaikan bahwa ada penyerahan tahap dua kepada salah satu pimpinan.”

Tentu ini bikin ribut.

Mochammad Jasin, Wakil Ketua KPK bidang Pencegahan, membantah kesaksian tersebut. Dia mengatakan penanganan kasus SKRT masih berjalan dan tak ada pimpinan yang menerima uang untuk menyetopnya. Bibit Samad Riyanto, Wakil Ketua KPK bidang Penindakan, mempertanyakan mengapa pertemuan Antasari-Anggoro tak pernah dibicarakan dengan pimpinan lainnya.

“Dia komandan, seharusnya bertanggung jawab. Gantung saja kami semua kalau suap itu benar.”

Testimoni itu juga membuat aktivis gerakan antikorupsi bereaksi. Kejadian demi kejadian belakangan ini dinilai sebagai upaya untuk menghancurkan KPK. Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho meminta kepolisian berhati-hati menyikapi pernyataan Antasari karena bukti suap lemah. Anggoro, bukanlah orang yang secara langsung menyuap, melainkan mendapatkan informasi dari orang lain. Masalah lainnya, Undang-Undang KPK melarang tegas pimpinan untuk menemui pihak-pihak terkait kasus korupsi. Apa pun alasannya.

Namun Emerson maklum.

Dia menilai Antasari sudah bermasalah sebelum pencalonan ketua komisi antikorupsi itu dua tahun silam. Dengan kata lain, integritas Antasari dipersoalkan. ICW, bersama elemen antikorupsi lainnya punya catatan buruk soal ini.

Di antaranya: terlambat mengeksekusi Tommy Soeharto saat menjadi kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sehingga buron; meminta eksekusi hak tagih Bank Bali dikembalikan ke PT Era Giat Prima, milik Joko Soegiarto Tjandra, sang terdakwa, bukan kepada negara; diduga memberikan uang denominasi dolar kepada dua reporter usai mewawancarainya menjelang pemilihan ketua KPK.

“Masa depan KPK mengarah pada kehancuran. Dia dikepung dari segala arah,” kata Emerson.

Saya khawatir kerisauan Emerson benar. Pertengahan September lalu, di tengah-tengah desakan KPK untuk memeriksa Susno Duadji, kepolisian justru mengkriminalkan Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah. Keduanya disangka menyalahgunakan wewenang dalam penetapan status cekal Anggoro Widjaya dan pencabutan status cekal Joko Tjandra. Padahal, dua hal ini diatur dalam payung hukum KPK. Kini komisi itu hanya dipimpin Haryono Umar dan Mochammad Jasin, setelah tiga orang lainnya “dihabisi”.

Hantaman semakin memuncak.

Kepala Polri Jendral Bambang Hendarso Danuri mengumumkan bahwa Bibit-Chandra pun dianggap terlibat menerima suap dan pemerasan terhadap Anggoro. Uang sebesar Rp1,5 miliar diduga menggelontor untuk menghentikan kasus Masaro. Masalahnya, dari mana keterangan itu didapatkan polisi? Siapa pula yang melaporkan dugaan penyuapan? Jawabannya: Antasari Azhar. Polisi mengklaim dialah orang yang melaporkan peristiwa itu. Dialah orang yang menyebabkan semua ini terjadi.





TIGA HARI menjelang sidang perdana Antasari, pada 8 Oktober 2009, suasana di depan rumah tahanan Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya, tak seramai lima bulan lalu. Tidak ada juru kamera, fotografer atau reporter yang menunggu Antasari. Tak ada perubahan apa pun selama lebih dua jam di sana. Hanya para pembesuk yang mondar-mandir. Pegawai katering makanan. Petugas yang duduk di belakang meja.

Di hari yang sama pula, Ari Yusuf Amir mengatakan Antasari kini lebih banyak merenungi perjalanan hidupnya kini. Mungkin dia tak begitu peduli soal hiruk pikuk di luar sel. Atau tak demikian menghiraukan sidang para “eksekutor” Nasruddin Zulkarnaen serta terpilihnya tiga pelaksana tugas pimpinan KPK yang baru.

“Dia lebih banyak introspeksi,” ujar salah satu penasihat hukum Antasari itu.

Antasari kini tak bicara soal pemberantasan korupsi. Namun, dengan segala kontroversi, tetap membuatnya menjadi incaran pemburu berita. Ari menuturkan, kliennya juga berjanji untuk membuka detil soal “keganjilan” pemeriksaan oleh polisi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Antasari, tetap saja kalimatnya dikutip dan sosoknya diabadikan media. Tapi kali ini, sebagai terdakwa. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

4 comments:

Anonymous said...

tulisan yang bagus..apa kbr teman?hehehe

ANUGERAH PERKASA said...

Hallo enny, I am okay. Terima kasih komentarnya. omong-omong, kayaknya ada yang kecipratan komisaris independen nih? Hihihi...

Assyafa Anasta said...

_salam_..
assyafakita.blogspot.com

Anonymous said...

kecipratan bgm nug? aku kan dah nggak di infobank lg..hehehe..dah hampir 2 thn x ya,seumur anakku yang kedua :)

semoga sukses ya...