Oleh Anugerah Perkasa
884 words
BOYAMIN SAIMAN menghabiskan waktunya di sebuah ruang sidang pojok Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hampir dua jam dia menunggu di sana. Di sebelahnya, beberapa lembar dokumen dan surat kabar yang rampung dibaca. Persidangan harusnya mulai jam 09.00 namun tak juga mulai, saat beranjak siang. Pekan pertama Agustus 2009, membuatnya harus bolak-balik Jakarta, dari kediamannya Solo, Jawa Tengah.
“Saya tinggal empat hari di penginapan milik pemerintah daerah. Kan masih warga negara Jawa Tengah,” ujarnya, tertawa.
Boyamin berprofesi advokat dan mengepalai organisasi antikorupsi, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). MAKI mengajukan gugatan pra-peradilan ke Direktorat Jendral (Ditjen) Pajak terkait dengan kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri Group. Kasus ini mencuat sejak Januari 2007, namun hingga kini belum masuk ke pengadilan. Asian Agri adalah perusahaan yang bergerak di industri kelapa sawit, dimiliki oleh pengusaha besar Sukanto Tanoto.
MAKI menilai Ditjen Pajak tak mampu dan mau menyelesaikan perkara itu. Sudah ada duabelas tersangka, namun berkas perkaranya dua kali ditolak Kejaksaan Agung. Masing-masing pada 7 Mei dan 24 Oktober 2008. Artinya, jalan untuk dilimpahkan ke pengadilan masih panjang. Boyamin menuding penyidik Ditjen Pajak menghentikan penyidikan. Padahal, kejaksaan dianggap sudah memberikan petunjuk ketika berkas dikembalikan.
“Termohon tidak mau dan tidak mampu melengkapinya. Berkas itu ngendon alias tidak diapa-apakan,” tutur Boyamin.
Alasan inilah yang dipakai MAKI mengajukan gugatan pra-peradilan. Sayangnya, pendapat itu ditolak hakim tunggal Sudarwin dalam putusan. Menurut dia , tidak ada pemberitahuan formal mengenai penghentikan penyidikan oleh Ditjen Pajak.
Tapi pertimbangan hakim itu juga memunculkan harapan. Kasus Asian Agri dinilai terlampau lama, seharusnya sudah disidangkan. Paparan Sudarwin—paling tidak— menjadi celah MAKI untuk mengajukan pra-peradilan baru dalam dua bulan ke depan. Tentu jika tak ada yang berubah. Dan, sasaran kali ini: Kejaksaan Agung.
SAYA TURUT menaruh harapan ketika Hendarman Supandji dan Darmin Nasution bertemu, April 2009. Dua orang ini bisa menentukan bagaimana kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri diposisikan. Ada ekspose perkara. Ada komitmen bersama. Kini Hendarman masih memimpin Kejaksaan Agung, sedangkan Darmin beralih profesi: Direktur Jendral Pajak ke Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia sejak Juni 2009. Dua berkas—hasil gelar perkara antara keduanya—akhirnya menemui nasib serupa. Kembali buntu. Padahal, dua berkas itu menjadi proyek percontohan untuk berkas lainnya.
Awalnya, Ditjen Pajak menjerat para tersangka dengan pasal 39 ayat (1) huruf c juncto pasal 43 ayat (1) UU No. 6/1983 sebagaimana diubah menjadi UU No. 16/2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Modus penggelapan Asian Agri adalah diduga mengalihkan penghasilan kena pajak ke negara dengan setoran pajak lebih rendah dibandingkan Indonesia. Ini disebut transfer pricing. Lainnya, transaksi kontrak berjangka yang diduga fiktif. Perusahaan seolah-olah rugi sehingga tak perlu membayar pajak. Otoritas pajak memperkirakan negara telah merugi sekitar Rp1,3 triliun.
Anggapan itu dimentahkan Kejaksaan Agung.
Alasan kejaksaan, penyidik Ditjen Pajak dianggap tak mampu menguraikan bagaimana terjadi transfer pricing atau pun kontrak berjangka manipulatif. Hal tersebut akhirnya berpengaruh pada ketidakjelasan perhitungan kerugian negara. “Berapa nilai kerugian pendapatan negara. Perhitungan dan metodelogi perhitungan tidak jelas,” ujar Jasman Panjaitan, Juru Bicara Kejaksaan Agung.
Ini adalah salah satu perbedaan dua lembaga itu. Tapi, benarkah kalkulasi menyebabkan penanganan kasus tersebut berlarut-larut hingga 3 tahun lamanya?
Danang Widoyoko, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan publik harus mengawasi kinerja kejaksaan. Kejaksaan Agung, menurutnya, memiliki pengalaman buruk dalam menangani perkara-perkara besar menyangkut finansial. Ini macam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
“ICW sangat khawatir, kepentingan pihak tertentu akan disusupkan untuk menghambat upaya membongkar praktik mafia pajak,” ujarnya. “Kami juga meragukan kejaksaan mampu memahami secara utuh kejahatan di bidang perpajakan seperti Asian Agri.”
Kekhawatiran itu tak sepenuhnya salah. Akhir Juli 2009, Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan penyidikan kasus Asian Agri harus diulang. Dia juga membeberkan penanganan Ditjen Pajak adalah keliru, karena tak mampu memahami petunjuk kejaksaan.
Saya kira ini pernyataan anti-klimaks.
Ini juga kekalahan kedua, setelah Mahkamah Agung memutus kasasi ketidakabsahan penyitaan ribuan dus dokumen Asian Agri, pada Agustus 2008. Semuanya seperti kembali ke titik nol. Pertemuan Darmin-Hendarman empat bulan silam, tetap tak berarti apa-apa.
INDONESIA CORRUPTION WATCH adalah organisasi yang sering mengkritik Kejaksaan Agung dalam penanganan sebuah perkara. ICW, demikian akronimnya, bahkan menyarankan untuk perombakan internal secara total. Mereka mempertanyakan kepemimpinan Hendarman Supandji. Khusus kasus Asian Agri, mereka pun tak mempercayai seutuhnya penyelesaian oleh korps Adhiyaksa itu.
ICW meminta para mafia pajak dijerat pasal berlapis. Ada UU No.31/1999 yang diubah menjadi UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan itu menghukum pelaku lebih berat karena merugikan negara, dibandingkan ketentuan Perpajakan.
Penggelapan pajak menimbulkan kerugian negara?
“Mafia pajak bermain di manipulasi pembukuan agar tidak menyetorkan sejumlah biaya pajak pada negara. Negara dirugikan,” ujar Danang Widoyoko dari ICW. “Keuntungan menggunakan delik korupsi, kejaksaan dapat melakukan penyitaan aset untuk menggantinya.”
ICW menilai pasal dugaan kerugian negara dan menguntungkan pihak lain dalam UU Pemberantasan Korupsi dapat dijejalkan. Danang meminta kejaksaan menjerat pelaku utama dengan delik tersebut. Hukumannya lebih berat, atau dilimpahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi, jika mandeg.
Tapi penasihat hukum Asian Agri, Edino Girsang dari Firma Yan Apul dan Rekan bersikukuh itu hanyalah kesalahan administrasi. Jadi, tak perlu delik pidana. Perusahaan, menurut Edino, telah menghitung sendiri pembayaran pajak, walaupun berbeda hasil dengan kalkulasi pemerintah.
“Jadi tolong ajari kami menghitung,” ujarnya.
“Apa harapan Anda?”
“Penyidikan dihentikan.”
Saya maklum saja. Edino tengah membela kliennya. Namun, ada pula yang bersiap-siap mengajukan gugatan pra-peradilan baru. Boyamin Saiman. Dia mungkin tak akan bosan menunggu di ruang sidang pojok Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ditemani sebuah surat kabar, untuk membunuh waktu. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)
1 comment:
nice article
Post a Comment