Oleh Anugerah Perkasa
996 words
KABAR TAK menyenangkan berhembus dari lantai enam Gedung A Departemen Keuangan, kawasan Dokter Wahidin Jakarta Pusat. Ini adalah tempat Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, mengerjakan tugasnya. Memantau industri dalam mengelola dana pekerja. Dan kali ini memang buruk: ambrolnya dana pensiun dalam sembilan tahun terakhir.
“Kebanyakan yang bubar adalah dana pensiun pemberi kerja,” ujar Mulabasa Hutabarat, Kepala Biro Dana Pensiun. “Jumlahnya sekitar seratusan.”
Ini sama sekali bukan angin segar. Namun Mulabasa mengingatkan bubarnya dana pensiun tak hanya pengaruh krisis moneter sampai perusahaan bangkrut, melainkan juga pengalihan program. Dalam industri tersebut dikenal dua program yaitu program pensiun Manfaat Pasti (PPMP) dan program pensiun Iuran Pasti (PPIP).
PPMP adalah program pensiun yang manfaatnya dihitung dengan rumus penghasilan dasar pensiun, masa kerja serta faktor prestasi. Sedangkan PPIP merupakan pemupukan iuran karyawan ditambah hasil investasi. Biro Dana Pensiun mencatat— usai krisis moneter hingga kini—terdapat 228 dana pensiun pemberi kerja (DPPK) dengan program PPMP, 38 DPPK dengan program PPIP dan 25 dana pensiun lembaga keuangan (DPLK), mengelola PPIP.
Mulabasa tak meributkan mana yang paling baik. Sebagai regulator, dirinya mempersilakan perusahaan untuk menentukan program paling sesuai dengan kemampuan pemberi kerja beserta karyawan. “Simulasi juga dapat dilakukan,” ujarnya dalam sebuah seminar, “jadi perusahaan tahu mana yang paling cocok.”
Namun dua program itu membuat gusar pemerintah. Sekretaris Menteri Negara BUMN Said Didu bersikeras agar badan usaha milik negara mengubah PPMP menjadi PPIP. Alasannya lebih meringankan perusahaan. Program pertama dinilai memberatkan, karena memiliki potensi past service liabilities (PSL), atau pembayaran manfaat pensiun yang berlaku surut.
Potensi PSL diakibatkan tidak cukupnya pendanaan dana pensiun guna membayar manfaat para pensiunan. Biasanya terjadi akibat inflasi yang lebih tinggi dari perhitungan pengurus. “Ini memberatkan perusahaan, karena mereka harus menombok kekurangan dana,” tegas Said.
Kekhawatiran itu tak omong kosong. Dana pensiun Perkebunan, misalnya. Ketua Forum Serikat Pekerja Perkebunan Syahruddin Ali melihat potensi ketidakcukupan dana dapat terjadi kurang dari lima tahun mendatang. Menurut dia, hal tersebut disebabkan dengan membesarnya jumlah pensiunan yang mencapai sekitar 115.000 orang, sedangkan pekerja aktif hanya 200.000 lebih. Syahruddin meyakinkan itu merupakan ancaman besar.
Tunggu dulu. Ini hanyalah satu dari sekian problem.
Masalah lainnya adalah bagaimana membesarkan industri. Minimnya jumlah kepesertaan, sedikitnya perusahaan yang mengikuti program dana pensiun juga menjadi perhatian utama. Regulator mencatat hanya sekitar 1,98 juta pekerja di Indonesia yang mengikuti program dana pensiun padahal Biro Pusat Statistik menyatakan ada sekitar 97 juta tenaga kerja aktif. Salah satu tantangan, papar Mulabasa, adalah rendahnya partisipasi masyarakat.
Maklum saja, UU No.11/1992 tentang Dana Pensiun menyatakan program tersebut dilakukan sukarela, tidak diharuskan macam jaminan sosial tenaga kerja. “Apalagi,” tutur Yusman, Kepala Bagian Analisis Penyelenggaraan Program Biro Dana Pensiun, “sumber dana perusahaan terbatas, sehingga memprioritaskan yang wajib dulu.”
Namun, para praktisi DPLK optimistis pemupukan peserta dapat dilakukan melalui promosi serta harmonisasi program pemerintah lainnya: Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ketua Asosiasi DPLK Nicky Theng memproyeksikan upaya kedua tidak hanya menambah jumlah peserta, namun juga membengkakkan dana kelolaan. Potensinya, Rp22 triliun.
DPLK merupakan salah satu penyelenggara yang ditunjuk pemerintah, untuk mengelola setoran perusahaan ke dalam program tersebut. Ini dilakukan bersama-sama dengan usaha asuransi jiwa dan PT Jamsostek. Rencananya, Peraturan pemerintah soal Jaminan PHK diterbitkan pada akhir tahun atau awal 2008.
“Peraturan tersebut,” tegas Nicky, “akan memberi efek positif terhadap dunia ekonomi, khususnya ketersediaan dana jangka panjang.”
Data regulator menyatakan saat ini sekitar 1,04 juta pekerja menjadi peserta DPPK dan 984.812 orang pada DPLK. Dana kelolaaan masing-masing program hingga pertengahan 2007 diperkirakan mencapai Rp70 triliun lebih dan sekitar Rp8 triliun.
Investasinya pun macam-macam. Bagi DPPK, dominasi terletak pada obligasi korporasi dan surat utang negara, sedangkan DPLK pada deposito. Jika separuh lebih dana kelolaan ditempatkan pada instrumen tertentu, itulah dominasi.
Tak hanya itu, kedua asosiasi juga meminta regulator untuk memperluas instrumen investasi. Penambahan tersebut, papar mereka, tidak saja menguntungkan para pensiunan, melainkan juga menyokong dana pemerintah untuk membangun. Sayangnya, sejumlah instrumen baru belum diatur dalam ketentuan investasi dana pensiun.
Namun jangan salah, bukan hanya soal mengerti investasi. Ketidaktahuan pun menyebabkan masalah.
Menjelang akhir tahun, regulator menemukan sedikitnya lima dana pensiun, berinvestasi namun tak proporsional. Hasilnya beragam. Dari pemberian imbal yang tak maksimal kepada peserta hingga dugaaan melanggar batas.
Kepala Bagian Pemeriksaan Biro Dana Pensiun Dumoly Pardede mengungkapkan pihaknya menemukan dana pensiun yang menempatkan dana kelolaan pada instrumen tak produktif. Macam saham tak likuid serta properti pasif. “Indikasinya performa mereka menurun,” ujar dia, “pelanggaran terjadi karena minimnya pengetahuan.”
Rekomendasi atas pemeriksaan pun diterbitkan. Pertama, dengan memberi kesempatan para pengurus untuk memperbaiki investasi selama enam bulan. Atau kedua—lebih ekstrim—dikeluarkannya investasi tersebut dari kekayaan dana pensiun dalam membayar kewajiban. Rekomendasi terakhir, tutur Dumoly, diberikan pada tiga dana pensiun.
Ini bisa jadi pelajaran buat regulator maupun pelaku industri. Harus ada antisipasi. Mungkin inilah yang menyebabkan otoritas pasar modal menerbitkan Surat Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor Kep-136/BL/ 2006 tentang Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun, pada akhir 2006. Tujuannya meningkatkan mutu manajemen dana pensiun, termasuk dalam berinvestasi. Nama lainnya, good pension fund governance yang akan diterapkan awal 2008.
Kalangan praktisi dana pensiun menyambut hal itu. Mereka mengatakan siap untuk mengaplikasikan tata kelola melalui pedoman regulator.
“Jangan ditunda-tunda lagi,” ujar Eddy Praptono, Ketua Asosiasi Dana Pensiun Indonesia, “ini penting agar pendiri maupun pengurus dana pensiun mengetahui porsinya masing-masing.”
Dia sulit untuk tidak mengakui. Masih ada pendiri—dalam hal ini manajemen perusahaan—yang ikut campur urusan pengurus dana pensiun dalam berinvestasi. Dengan pedoman tata kelola, tegasnya, benturan-benturan kepentingan dapat dihilangkan sehingga kualitas manajemen pun membaik.
Namun Eddy meminta perlakuan khusus terhadap dana pensiun skala kecil. Ini adalah dana pensiun yang memiliki uang maupun pengurus berjumlah minim. Regulator diminta mempertimbangkan kondisi tersebut.Tidak bisa disamaratakan.
Dana pensiun macam Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), mungkin salah satunya. Dulunya, LAI memakai mekanisme PPMP, namun beralih ke PPIP sejak 2003. Sekretaris LAI Satya Moddhana mengatakan sebagai organisasi nirlaba, program awal dinilai membebani. Bahkan terlalu berat.
Tapi omong-omong, berapa banyak jumlah pengurusnya?
“LAI organisasi kecil,” ujar Satya, “Ada ketua, sekretaris dan bendahara. Kami hanya bertiga di sini.” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)