Thursday, October 4, 2007

kekalahan pertama muraoka

Oleh Anugerah Perkasa
1.049 words



KAMIS PEKAN lalu menjadi hari yang tak terlupakan bagi Revasatia Suhartono. Putusan atas gugatan Suhartono bersama 72 karyawan melawan manajemen di mana dia bekerja, The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd (BTMU) di Jakarta, akan dibacakan. Bersama lima orang rekannya, halaman gedung Pengadilan Hubungan Industrial, kawasan MT Haryono Jakarta Selatan, mulai dijajaki.

“Jadwalnya jam 10, tapi mungkin giliran yang lain dahulu. Sidang sebelumnya, saya pernah menunggu hingga 05.30 sore,” ujarnya. Namun hari itu, Suhartono beruntung tak perlu menunggu persidangan hingga senja.

Suhartono adalah Ketua Serikat Pekerja Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ (SK-BTM) sejak 2004, selain sebagai Indonesia Corporate Marketing Officer di BTMU pada tahun ini. Dia bekerja di bank asal Jepang itu sekitar 17 tahun. Pada Juli, SK BTM menggugat BTMU, karena tak memenuhi hak karyawan akibat tak diberlakukannya Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2004-2006.

Sementara bank asal Jepang tersebut, dikenal sebagai salah satu lembaga keuangan beraset raksasa, sekitar US$1,7 triliun lebih, setelah merger dilakukan antara The Bank of Tokyo-Mitsubishi Ltd dengan UFJ Bank Ltd pada Juni 2005. Di Indonesia, kantor cabang BTMU berpusat di Mid-Plaza Building, Jendral Sudirman Jakarta Pusat, sementara anak cabangnya berlokasi di Surabaya dan Bandung.

Pukul 15.20 WIB. Sidang dimulai dan putusan dibacakan oleh majelis hakim pimpinan Heru Pramono. Di dalam ruang sidang, suara pengunjung nyaris senyap memperhatikan setiap ucapan hakim. Ada pula yang lalu-lalang.

Kini, lembaran kertas pada Saut Christianus Manulu, hakim anggota yang membacakan pertimbangan majelis, berganti ke tangan Heru. Dia membaca kalimat-kalimat akhir putusan setelah memperhatikan fakta yang terungkap di pengadilan selama Juli-September 2007.

“Mengadili, mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Menyatakan Perjanjian Kerja Bersama antara The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd dengan Serikat Pekerja The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd, berlaku untuk penggugat.”

Ada tepuk tangan. Ada pula yang mengucap syukur. Salah satu kuasa hukum SK BTM Indra Yana, tersenyum. Keputusan itu, mengharuskan manajemen BTMU memenuhi kewajibannya untuk memberlakukan PKB 2004-2006 yang selama ini tidak diterapkan pada SK BTM pimpinan Suhartono. “Ini adalah keputusan yang luar biasa,” kata Indra.

Majelis hakim juga memerintahkan penggugat, SK BTM untuk berunding ke pihak manajemen BTMU, selaku pihak tergugat mengenai besaran hak karyawan yang belum dipenuhi. Dalam gugatan, kalkulasi yang sudah dihitung adalah Rp10,52 miliar untuk 73 karyawan dan karyawati. Majelis berpendapat bahwa belum ada diskusi kedua belah pihak untuk menentukan besaran hak tersebut.

Usai sidang, sejumlah anggota SK BTM tertawa lepas. Mereka berkumpul. Ada yang diwawancarai reporter televisi swasta. Ada pula yang sibuk menelepon. Saya mewawancarai Indra dengan senyumnya yang tak berhenti, bersama wartawan media digital. Menurut dia, SK BTM akan segera mengabarkan putusan itu kepada manajemen sehingga hak karyawan selama dua tahun, segera terpenuhi.

Dalam rincian gugatan, tidak diterapkannya PKB 2004-2006 oleh manajemen, mempengaruhi pendapatan karyawan akibat tak dipenuhinya sejumlah hak. Ini terdiri dari pembayaran atas tunjangan pangkat dan fungsional, kenaikan upah karyawan berdasarkan indeks harga konsumen, providential fund (manfaat pensiun), tunjangan hari raya, tunjangan cuti tahunan serta pembayaran bonus.

“Jumlah yang digugat,” demikian Indra, “adalah jumlah minimal. Bisa saja, kalkulasi berikutnya lebih dari itu.”

Indra adalah advokat dari Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek), sebuah federasi serikat pekerja di level nasional. Sejak Juni 2007, dia bersama enam advokat lainnya mendampingi Suhartono untuk menggugat bank korporasi tersebut.

Langkah hukum ditempuh, setelah mediasi melalui Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Pusat pada Januari 2006, gagal. Isi anjurannya, agar PKB 2004-2006 diberlakukan kepada seluruh karyawan. Namun itu tak diindahkan Satoshi Ando, Manajer Umum BTMU. Ando bekerja di Jakarta sejak 2004 dan sekitar Juni 2007 digantikan oleh Takashi Muraoka, pengganti sekaligus mewarisi kasus tersebut.

Usai anjuran terbit, SK BTM juga menyampaikan empat kali surat kepada manajemen hingga April 2007, menuntut pemberlakuan peraturan serupa kepada semua karyawan. Ini pun nihil.

Tapi, mengapa manajemen bersikeras?

Kuasa hukum BTMU, Kemalsjah Siregar dari firma Kemalsjah & Associates menyatakan PKB yang disepakati merupakan peraturan yang dibuat antara manajemen dengan serikat pekerja Niaga, Bank, Jasa dan Asuransi (SP Niba) BTMU, organisasi pekerja yang berdiri 1978, jauh sebelum SK BTM. “PKB itu tidak berlaku bagi karyawan yang tidak terdaftar sebagai anggota.”

Manajemen BTMU menyatakan karena SK BTM bukanlah anggota SP Niba BTMU, maka organisasi tersebut tidak memiliki hak untuk menuntut apa yang tercantum di dalam PKB 2004-2006. Kalau ingin PKB berlaku bagi SK BTM, maka harus lebih dulu mengajukan permohonan untuk mengubah PKB antara manajemen dan SP Niba BTMU, yang awalnya bernama SP Unit Kerja Bank of Tokyo-Mitsubishi. SK BTM baru tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Pusat pada Maret 2005.

Di sisi lain, manajemen juga memberlakukan peraturan human resource policy (HRP), pedoman kepegawaian untuk karyawan yang tidak termasuk dalam SP Niba BTMU sejak 1 Juli 2005. Namun ini ditolak oleh SK BTM, karena mengabaikan hak yang tertera dalam PKB 2004-2006.

“Itu jelas,” ucap Suhartono, “HRP hanya mengatur hal-hal normatif, seperti jumlah hari kerja atau cuti. Hanya hal-hal umum.”

Menurutnya, HRP justru melanggar UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan karena seharusnya perusahaan hanya menerapkan satu peraturan, bukan mendua. Namun, manajemen tetap saja tak berubah.

“Mengapa Anda tidak bergabung ke serikat pekerja?” tanya saya.
“73 orang itu tidak boleh bergabung masuk. Karena itu kami membuat SK BTM,” ujar dia.

Persoalannya memang tak sederhana. Menurut Evrizon Anwar, Ketua SP Niba BTMU, manajemen memang tidak menginginkan semua karyawan masuk ke dalam organisasi buruh tersebut. Pada 2002, lanjutnya, bahkan beberapa orang hengkang dari serikat pekerja karena ditawari tunjangan dan jabatan sebagai professional officer, petugas yang memiliki otoritas untuk memutuskan transaksi perbankan. Saat itu manajemen dibawahi Tsutomu Nakagawa, yang bekerja selama 2000-2003, sebelum digantikan Satoshi Ando.

Namun, ada angan yang terbelah. Beberapa orang yang ditawari jabatan, justru tak mendapatkan apa yang dijanjikan manajemen. “Sehingga banyak yang kecewa,” lanjut Evrizon, “Sebagian mereka kemudian bergabung ke Suhartono.”

Kini perundingan tinggal mengintai waktu. Saya menghubungi Ghufron Halim, Wakil Manajer Umum BTMU melalui telepon selularnya malam itu. Tujuannya, ingin mengetahui apa yang ingin dilakukan Muraoka—sebagai atasannya—dan, kalau bisa, berapa jumlah yang ditawarkan untuk pembayaran hak-hak karyawan. Telepon diangkat.

“Ya,” ujarnya, suara berat itu membenarkan namanya. Saya mulai menerangkan identitas dan maksud menelepon. Tiba-tiba, Ghufron setengah berteriak.

“Halo. Halo, halo, halo.”
“Ya, Pak Ghufron,” ujar saya, agak keras. “Halo Pak?”
“Halo, halo, halo.”

Klik. Saya memutus hubungan dan memijit kembali nomer serupa. Suara beratnya, tak lagi terdengar. Telepon selular itu, mati.(anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

This article was translated in English and Japanese language for BTMU internal use. It was also submitted to its headquarter in Tokyo, Japan.

2 comments:

-- e.k.o. -- said...

sebuah ketimpangan yang sepertinya tidak timpang...

Unknown said...

Nice story :)