Tuesday, July 31, 2007

sejuta kondom di orchard road

Oleh Anugerah Perkasa
785 words



JIKA ANDA ingin menyusuri senja di Orchard Road, Singapura, maka bersiaplah menjadi salah satu bagian dari kehiruk-pikukan di sana. Anda tak hanya menjumpai deretan mal atau jejeran kafe untuk bersantai, melainkan arloji yang tersusun rapi, perhiasan yang memikat hingga baju obralan. Di antara keramaian itu, mungkin ada tempat yang tak boleh terlewatkan untuk urusan paling intim: House of Condom.

Toko ini terletak di lantai dasar Lucky Plaza, sebelah barat kawasan belanja tersebut. House of Condom tepat berada di tengah-tengah dua bangunan, yaitu minimarket Seven Eleven dan kios telepon selular 'Ring-ring'.

Lucky Plaza berdiri di sisi yang sama dengan Ngee Ann City, Tang Plaza atau Paragon. Di seberang jalannyaterlihat sebuah mal besar, Wisma Atria .

"Pembeli paling ramai datang sekitar 07.30-09.30 malam. Setiap hari seperti ini," ujar Juhanna Juma'at. "Tapi yang paling ramai adalah akhir pekan, Kamis hingga Minggu."

Juhanna adalah salah satu pelayan House of Condom. Dia warga negara Singapura dan telah bekerja di toko tersebut sejak enam bulan lalu. Umurnya baru 19 tahun. Di House of Condom, hanya terdapat tiga pelayan dan satu manajer toko selama Senin sampai Rabu. Tapi untuk hari-hari berikutnya, biasanya dua pelayan tambahan akan didatangkan. Pemilik bisnis itu adalah David Wong-pengusaha asal Malaysia namun menetap di Singapura- yang merintisnya sejak 1991.

Juhanna mengaku menyenangi pekerjaannya. Dia sampai hafal di luar kepala, mana produk kondom terbaru atau yang paling disukai pembeli. Misalnya ada produk 003 Akamoto. Ini adalah kondom terbaru dari Jepang. Harganya bervariasi. S$7,90 untuk satu kotak yang berisi empat kondom dan S$17,90 untuk yang berisi sepuluh.

"Ini kondom dengan bahan yang lebih tebal," kata dia.

Juhanna kemudian mengajak saya ke rak di depan pintu masuk toko. Ada kondom dengan pelbagai variasi, seperti butiran di sekeliling bagian depan kondom. Dia menyebutnya permata. Kondom ini dikenal dengan nama French Sleeve. Warnanya pun banyak ragam: putih bening atau semburat ungu.

Menurut Juhanna, kondom jenis ini tergolong mahal. Harganya mulai dari S$39 hingga S$69. "Biasanya," urai dia, "yang membeli kondom ini adalah orang yang sudah cukup tua. Sekitar 40-an tahun."

Saya mulai mengelilingi rak lainnya. Juhanna juga masih melayani pembeli di sela-sela wawancara. Lembaran catatan kecil saya berganti halaman. Ada penetrators, kondom yang menyala saat gelap. Ada pelbagai macam game untuk pasangan sebelum berhubungan intim. Ada pulpen berbentuk tubuh perempuan bugil. Penabur garam dan merica berbentuk penis. Selain itu, ada pula yang menarik perhatian saya.

"Condom for small peckers?" tanya saya.

Juhanna menjawab rasa penasaran itu. Yang dimaksud adalah kondom mainan yang dipasang di jari-jari tangan. Ini hanya untuk guyon. Keterangan ini sekaligus membantah asumsi saya sebelumnya: kondom untuk alat kelamin pria berukuran mini. Juhanna tergelak.

Dia juga memaparkan bahwa dirinya bertemu banyak dengan orang Indonesia yang berbelanja di House of Condom. Hal tersebut diketahuinya saat melayani mereka dengan percakapan bahasa Melayu.

Benar saja. Saya kemudian bertemu Rudi Iskandar, pria asal Malang, Jawa Timur. Umurnya sekitar 35 tahun. Di tangannya, terdapat keranjang kecil dengan beberapa kondom di dalamnya. Rudi mengatakan kondom ini hanya untuk dikoleksi. Bukan untuk digunakan. "Kan bagus tuh, kalau dipajang," ujar? dia, sambil tertawa.

Juhanna menjelaskan penjualan di House of Condom mencapai S$3.000-S$4.000 per hari. Menurut dia, kondom masih merupakan penyumbang terbesar penjualan. Ada yang membelinya dalam jumlah banyak atau ada pula yang satuan. Selain kondom dan pernak-pernik lainnya, toko itu juga menjual dildo atau penis buatan serta vagina palsu. "Paling besar produk itu berasal dari Amerika Serikat. Sekitar 10% adalah buatan Cina."

Pengunjung toko itu tak sekadar orang yang berumur. Ada gerombolan remaja. Mereka tertawa-tawa sendiri, melihat koleksi kondom maupun dildo di rak-rak dalam toko. Saya tidak tahu apakah mereka diizinkan membeli barang-barang itu. Yang saya tahu, ada papan larangan yang bertuliskan: strictly for 25 years above, di salah satu sisi dindingnya.

Saya menemui dua perempuan yang baru saja keluar dari toko tersebut, untuk wawancara. Namun sebelum tujuan saya tercapai, salah seorang dari mereka mengibaskan tangan. Menolak. Saya maklum saja.

John Jackson, asal Louissiana Amerika Serikat, bersedia saya wawancarai. Jackson berusia 59 tahun. Dia tak membeli apa pun dari House of Condom. "Sekedar ingin tahu saja," timpalnya, sambil tersenyum. "Saya dan isteri menggunakan kondom untuk mengontrol kelahiran. Saya tak menggunakannya di luar pernikahan."

Pengunjung tetap berdatangan. Juhanna pun tetap sibuk membantu manajer tokonya, sambil menjelaskan sejumlah produk kepada saya. Kali ini soal vibrator. Juhanna memaparkan produk yang paling anyar adalah yang paling lengkap teknologinya. Tak sekedar bergetar, tapi juga bisa bergerak naik-turun dan rotasi.

Selain itu, urai dia, vibrator generasi baru dilengkapi dengan LCD Screen yang menunjukkan bagaimana alat itu bekerja. Menurut Juhanna, dibandingkan produk sebelumnya, vibrator lama tak hanya memiliki layar kecil peraga, namun juga terbatas kemampuannya. Hanya bergetar. Minus gerakan rotasi atau pun naik-turun.

"Lantas, mana yang menjadi favorit Anda?" tanya saya.
"Maksud Anda," jawab Juhanna, "vibrator favorit yang saya jual ke pelanggan atau yang saya gunakan?" (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

2 comments:

Anonymous said...

hahahahaha..mampir ah kalo kesana lagi.jadi penasaran..

ANUGERAH PERKASA said...

enny, terima kasih komentarnya. iya tuh ke sana saja, kalau ke singapura, hehehehe...