the journey of my life
happiness. sadness, or even both.
Saturday, August 13, 2011
peta hitam dari kebayoran baru
Oleh Anugerah Perkasa
3.344 words
BUDI PRIYANTO sama sekali tak keberatan menghabiskan waktunya mengurus tanah milik Mulya Aulizar, termasuk soal merogoh kantongnya lebih dalam. Pekan terakhir Maret, dua petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) mendatangi lokasi properti kepunyaan adik kandungnya itu di kawasan Karet Pasar Baru Timur, Jakarta Pusat. Budi sendiri tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan. Sebulan kemudian, bekas kepala cabang bank swasta tersebut mengambil hasil pengukuran di kantor pertanahan Jakarta Pusat, seputar kawasan Abdul Muis. BPN menerbitkan ukuran luas lahan: 121 meter persegi dengan biaya resmi pelayanan Rp129.000.
“Saya memang memberikan tips kepada petugas yang melakukan pengukuran tanah,” ujarnya kepada saya. “Untuk dua orang, ya saya ngasih Rp200 ribu sebagai biaya transport.”
Budi bertubuh sedang, tapi cenderung kurus. Usianya kini 60 tahun. Rambut beruban dan mulai menipis. Siang itu dia berpenampilan santai. Berkaos dengan kerah dan dilapisi jaket warna coklat. Dia juga membawa beberapa dokumen, selain surat hasil pengukuran tanah. Ada pula kuitansi dan buku tabungan.
Ongkos lebih yang dibayarkan Budi serupa dengan apa yang ditemukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedikitnya dalam 3 tahun terakhir. Temuan itu terangkum dalam Survei Integritas—yang digelar sejak 2007—terhadap instansi publik dengan sumber dana APBN maupun APBD. Tujuannya, mengukur indikator dan pengendalian praktik korupsi dalam pelayanan masyarakat. Celakanya, selama 3 tahun berturut-turut pula skor BPN selalu di bawah nilai rata-rata nasional. Pada akhir 2010, otoritas agraria itu mendapat 5, 21 atau di bawah nilai rata-rata yakni 5,41.
Bagaimana hal itu terjadi?
KPK menemukan praktik pembayaran uang tambahan pada pengukuran dan pemetaan bidang tanah. Sebanyak 13% pengguna layanan mengaku praktik tersebut selalu terjadi, 23% mengatakan sering terjadi dan 63% mengatakan pemberian uang kadang-kadang terjadi.
Tak hanya itu, penerbitan sertifikat tanah pun setali tiga uang. Responden mengatakan 20% pemberian uang selalu terjadi, 27% sering terjadi serta 53% kadang-kadang terjadi. Survei Integritas mengungkapkan sedikitnya empat kategori pelayanan publik BPN yang terindikasi praktik korupsi: layanan pengukuran dan pemetaan kadastral, layanan balik nama hak tanah, layanan hak tanggungan, serta pembuatan sertifikat tanah.
“Memang berubah itu tidak mudah, apalagi lembaga ini ada yang di pusat serta daerah. Tak semudah membalik telapak tangan,” ujar Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin. “Yang diperlukan adalah waktu. KPK juga terus mengevaluasi secara periodik.”
Tetapi, mungkin ada hal yang terlewatkan KPK.
Biaya tambahan macam Budi Priyanto—dan beberapa jenis ongkos lainnya— pernah tidak otomatis masuk ke kas negara, melainkan dikelola melalui mekanisme Dana Pengguna Lainnya. Ini adalah sistem yang diterapkan BPN sejak 2005, di mana sumber dan pengelolaan dananya terpisah dengan pengelolaan APBN. Hal ini diungkapkan dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada pertengahan tahun lalu.
BPK menemukan penerimaan dan pengeluaran Dana Pengguna Lainnya masing-masing Rp114,35 miliar dan Rp86,35 miliar pada akhir Desember 2009, sehingga saldo tersisa Rp27,99 miliar. Penerimaan dana itu terdiri dari bantuan pengelolaan, biaya transport pengukuran, biaya transport pemeriksaan tanah, bantuan APBD, biaya surat perintah kerja, dan biaya pelayanan tanah lainnya.
Penanggung jawab pemeriksaan audit pada BPK Widodo J. Mumpuni mengatakan penerimaan maupun pengeluaran Dana Pengguna Lainnya tidak dilaporkan dalam laporan keuangan secara memadai. “Kondisi tersebut mengakibatkan dana cenderung kurang terkendali dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan keuangan negara,” ujarnya dalam laporan audit. “Pelaksana anggaran BPN belum sepenuhnya menaati peraturan undang-undang.”
Ada yang lebih mengejutkan.
Widodo menuturkan kalkulasi yang berbeda justru ditemukan antara bendahara Dana Pengguna Lainnya dengan rekapitulasi laporan keuangan Unit Akuntansi Pengguna Anggaran (UAPA). Bendahara Dana Pengguna Lainnya mencatat sisa uang adalah Rp27,99 miliar, sedangkan laporan UAPA hanya mencapai Rp21,07 miliar. Dana selisih Rp6,92 miliar itu tidak bisa ditelusuri keberadaannya.
Bagi Mochammad Jasin, audit BPK adalah sebuah pintu masuk melihat indikasi korupsi.
KPK sendiri mencatat banyaknya pengaduan masyarakat tentang dugaan korupsi di BPN. Ini terjadi dalam rentang waktu 2004-awal 2011. Sedikitnya sepuluh provinsi dengan akumulasi pengaduan terbanyak adalah Sumatra Utara (119), Jawa Barat (111), Sumatra Selatan (59), Jambi (28), Riau (23), Lampung (21), Kalimantan Selatan (14), Sumatra Barat (11), Nanggroe Aceh Darussalam (7) dan Kepulauan Riau (5).
Saya juga mempelajari pengaduan soal korupsi di BPN pada data statistik Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum. Tim itu merilis sebanyak 224 pengaduan masyarakat terkait dugaan praktik mafia di sana. BPN menempati urutan kelima dalam jumlah pengaduan, setelah kepolisian, peradilan, kejaksaan dan pemerintah daerah. Satgas juga merilis data jenis kasus terbanyak: 953 masalah pertanahan!
Tetapi, ada yang lebih dibuat penasaran tentang bebalnya sikap BPN. Namanya Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
Sepanjang tahun lalu, badan pemantau pelayanan publik tersebut menerima pengaduan buruknya kinerja BPN dari masyarakat hingga mencapai 96 laporan. ORI pun berkirim surat ke BPN agar berbenah. Ini karena perizinan yang tak kunjung terbit. Permintaan sertifikat tanah tak dilayani. Atau lambatnya eksekusi atas putusan pengadilan. Namun, tak satu kata pun yang dibalas. Ini membuat gusar Wakil Ketua ORI Azlaini Agus.
“Tidak ada surat Ombudsman yang ditindaklanjuti. Apa yang sedang terjadi di sana?” katanya kepada saya pada Maret. “Mengapa lembaga ini seolah-olah tak pernah bisa disentuh?"
TIGAPULUH TIGA mobil putih Mitsubshi L300 berderet rapi di halaman Taman Wisata Candi Prambanan, Klaten, Jawa Tengah pada pagi itu. Di depannya, barisan sepeda motor Suzuki Thunder berwarna serupa diparkir sejajar. Ada kata yang sama tercetak pada dua jenis kendaraan tersebut: LARASITA. Hari itu, 16 Desember 2008 sebuah seremoni digelar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama sang istri, Ani Yudhoyono kompak memakai batik berwarna abu-abu dan coklat. Tak hanya Presiden, acara itu juga dihadiri pejabat lainnya macam Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dan Kepala BPN Joyo Winoto. Musik campur sari mengalun. Ribuan undangan memenuhi tempat duduk. Ini adalah peluncuran program baru BPN: Larasita atau Layanan Rakyat untuk Sertipikat Tanah. Sang duta program tersebut, artis Desy Ratnasari turut hadir.
“Terus terang, dulu ada citra yang kurang baik terhadap BPN. Dianggap oknum BPN itu suka main untuk kepentingan sendiri,” ujar Presiden seperti dilansir dalam situs resminya. “BPN dikatakan jadi momok, jadi hantu bagi yang mengurus perizinan tanah, termasuk dunia usaha.”
Para undangan bertepuk tangan. Presiden meminta BPN terus berbenah.
Peluncuran Larasita sebagai kantor pertanahan bergerak bertujuan untuk mempercepat pelayanan sertipikasi dan informasi kantor pertanahan kepada masyarakat. Ini karena jarak tempuh menuju kantor pertanahan di pelbagai wilayah relatif jauh. Program tersebut berawal dari uji coba yang sukses di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah pada 2006. Bedanya, mobil yang dipakai saat itu adalah Isuzu Elf. Bukan Mitsubishi L300, seperti yang dijejer pagi itu.
Riset Atik Zulfianti dari Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta tentang Larasita menyebutkan peralatan komunikasi pada tahap awal adalah Wifi triangle tower antenna 60 meter dengan frekuensi radio, komputer jinjing beserta printer. Namun kini, sistem yang dipakai adalah Land Office Computerization (LOC) di mana data yang berasal dari mobil Larasita dapat terbaca secara online di kantor pertanahan, serta sebaliknya. Perangkatnya antara lain hyperlink antenna, wireless radio, optional automotor antenna, dan amplifier. BPN menyiapkan 124 mobil, 248 sepeda motor untuk menjangkau 124 kabupaten/kota pada tahap pertama.
“Program ini mendapat apresiasi yang besar dari Bank Dunia dengan menyebutnya pioneering mobile land information services," ujar Joyo Winoto dalam pidatonya. “Tahun 2009 akan dibangun lagi Larasita untuk 134 kabupaten/kota lainnya. Pada akhir tahun 2009 lebih dari 60% wilayah Indonesia akan terlayani.”
Pidato ini tak hanya di Jakarta.
Dia juga meminta izin Kepala Negara untuk bertolak ke Washington D.C, Amerika Serikat pada Maret 2009. Ini untuk memenuhi undangan International Federation of Surveyors (IFS), sebuah lembaga nonpemerintah yang beranggotakan komunitas surveyor pada 120 negara dan berbasis di Copenhagen, Denmark. Organisasi itu berdiri di Paris, Perancis pada 1878 dengan nama awal Federation Internationale des Geometres. Tetapi, Joyo juga punya maksud lain.
Dia mengharapkan pengucuran pinjaman dari Bank Dunia—yang bekerja sama dengan IFS dalam konferensi internasional itu— di antaranya untuk pembangunan administrasi pertanahan dan infrastruktur pelayanan BPN. “Many programs still need maintenance to implement the new land policy. Strengthening of the relationship between NLA [National Land Agency] and World Bank is important for these programs,” papar Joyo dalam presentasinya. “With World Bank support, hopefully the challenges that face the Indonesia government can be gradually overcome.”
Apa saja program BPN yang diharapkan memperoleh pinjaman Bank Dunia?
Dalam matriks presentasi berjudul Taking Land Policy and Administration in Indonesia to the Next Stage and Land National Agency’s Strategic Plan disebutkan, dukungan hutang itu akan diperuntukkan dengan membangun peta berbasis kadastral, peta tematik pengontrol lahan, serta membuat sistem informasi pertanahan nasional. Selain itu, untuk peningkatan sistem registrasi lahan massal, memperkuat infrastruktur Larasita, sekaligus memajukan sistem arsip pertanahan.
Lembaga keuangan itu memang pernah memberikan kucuran hutang sedikitnya dua kali ke BPN. Proyek pertama bernama The Land Administration Project pada 1994 dengan nilai USS140,01 juta dan The Land Management and Policy Development Project sebesar US$32,08 juta pada 2004. Bank Dunia menyatakan hal ini adalah kontribusi kepada program pemerintah Indonesia untuk mengurangi angka kemiskinan, menumbuhkan perekonomian dan mendorong penggunaan sumber daya lahan. “Tujuan utama dari proyek itu adalah meningkatkan keamanan kepastian lahan, efesiensi kepemilikan tanah serta registrasinya,” kata Bank Dunia dalam situs resminya.
Tetapi, utang itu juga mendapat kecaman keras.
Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan terang saja lembaga keuangan internasional tersebut mendukung penuh sertipikasi tanah di Indonesia. Ini karena dapat mempercepat pasar tanah yang kian liberal. Padahal, KPA menilai struktur kepemilikan tanah di Indonesia masih sangat pincang. Mulai dari kepemilikan, penguasaan hingga tata guna tanah.
“Bagaimana dengan program Larasita?” tanya saya.
“Sertipikasi pada struktur tanah yang timpang, justru melegalkan kepincangan itu. Program ini hanya ingin mewujudkan pasar bebas pada tanah sesuai dengan tujuan proyek hutang Bank Dunia.”
Tak hanya soal pinjaman yang dikritik. Pengadaan kendaraan roda dua dan empat untuk Larasita pun diindikasikan korupsi. Buruknya, terjadi selama 3 tahun berturut-turut.Temuan ini diungkapkan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Koordinator Advokasi dan Investigasi Fitra Ucok Sky Khadafi mengatakan BPN tidak mematuhi Surat Menteri Keuangan (SMK) selama tiga kali pengadaan mobil maupun sepeda motor untuk Larasita pada periode 2008-2010. Menurut Fitra, dugaan penggelembungan itu merugikan keuangan negara sebesar Rp44 miliar.
Dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BPN tentang Larasita disebutkan, satu unit sepeda motor dipatok harganya mencapai Rp24,21 juta padahal Kementerian Keuangan hanya menyatakan Rp20 juta. Jumlahnya mencapai 188 unit. Sedangkan satu unit mobil dihargai Rp282,25 juta padahal standar pemerintah hanya Rp200 juta, dengan total pembelian 93 unit. Pada 2009, BPN mematok harga Rp26,29 juta per unit sepeda motor dengan rencana pembelian 60 unit. Sedangkan mobil per unit dihargai Rp334,52 juta untuk 30 unit. Tahap kedua dalam periode sama, BPN kembali menetapkan harga Rp26,78 juta per unit sepeda motor untuk pembelian 250 unit, sementara mobil Rp320,26 juta untuk 130 unit.
Pada 2010, Kementerian Keuangan mengubah harga patokan untuk unit mobil yakni Rp250 juta namun tidak pada sepeda motor. Tetapi, tetap saja acuan tersebut tak dipakai. Dalam DIPA 2010, BPN mematok harga Rp26,78 juta per unit sepeda motor dan Rp345,60 juta untuk mobil. Pengadaannya masing-masing mencapai 312 unit dan 156 unit.
“Kami meminta BPK segera melakukan audit investigatif dalam pengadaan kendaraan roda empat dan roda dua di BPN,” kata Ucok. “KPK juga harus turun melakukan penyelidikan atas dugaan penggelembungan harga itu.”
Namun, Joyo kian bergeming.
Kapal motor Larasita untuk Kepulauan Seribu tetap diluncurkan di kawasan Marunda, Jakarta Utara pada 2010. Ini sekaligus menandai penambahan 150 armada pada 150 kabupaten/kota serta sistem kantor pertanahan online pada 274 titik. Dalam sambutannya, Joyo menyampaikan ke Presiden bahwa kesuksesan percepatan program sertipikasi tanah telah mengalami lonjakan yang tinggi yakni dari rata-rata 7.333 bidang menjadi 4.627.039 bidang dalam 3 tahun terakhir. Seperti dalam transkrip rekaman pidato, BPN mengklaim keberhasilannya membagikan 2.172.507 sertipikat kepada keluarga kurang mampu. Ini jauh lebih banyak dibandingkan pada 2005 yakni 269.902 keluarga. Sebagian dari mereka turut hadir dalam acara itu. Joyo menuturkan angka tersebut adalah jumlah tertinggi dalam sejarah BPN.
“Bapak Presiden dan Ibu Negara yang kami hormati, mohon sekiranya Bapak Presiden memberikan arahan atas pengembangan pertanahan ke depan,” katanya.
Presiden kembali berpidato.
RIZAL ANSHARI adalah pensiunan pegawai negeri dengan tutur bicara yang tenang. Selama 31 tahun hidupnya dihabiskan untuk bekerja di BPN. Dari pegawai biasa sampai menjadi Sekretaris Utama (Sestama) BPN pada 2006-2007. Pada pertengahan Mei, kami bertemu di Starbucks Coffee di Pasar Raya Blok M, Jakarta Selatan. Dia memesan kopi berkrim, sedangkan saya memilih teh mint.
“Saya diberhentikan oleh Joyo pada 2007,” ujarnya mengacu nama Joyo Winoto. “Tidak ada alasan yang jelas. Dalam suratnya hanya tertulis dibebastugaskan sebagai Sestama BPN.”
Rizal juga adalah orang yang mengkritik pelaksanaan Larasita. Pada Agustus 2009, dia menembuskan sejumlah surat kritiknya ke pelbagai pihak: Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Tak hanya itu, Komisi II DPR RI, pejabat eselon I dan II BPN dan kepala kantor pertanahan di Provinsi DKI Jakarta, turut dikirimi. Dia menilai infrastruktur kantor pertanahan untuk Larasita, tak sepenuhnya siap.
“Mengapa?” kata saya.
“Basis data pendaftaran tahan spasial dan tekstual milik kantor pertanahan pada umumnya tidak lengkap. Kalau di Jakarta, mungkin sudah baik. Bagaimana dengan pelosok Papua?”
Dia memaparkan dengan kondisi yang tak lengkap—di antaranya tak ada data berformat digital— maka tidak memungkinkan untuk melakukan hubungan online antar kantor pertanahan dengan mobil canggih Larasita. Jangankan punya perangkat itu, beberapa kantor pertanahan sendiri masih banyak yang menyewa tempat, bukan gedung sendiri. Menurut Rizal, kelemahan yang harus dibenahi dahulu adalah infrastruktur basis data spasial dan tekstual.
Pertanyaannya, apakah mobil Larasita yang memiliki Information and Communications Technology (ICT) menerbitkan sertipikat dengan kondisi kantor pertanahan kebanyakan?
Tudingan yang lebih keras juga datang dari “pensiunan” lainnya. Anhar Nasution, mantan anggota Komisi II DPR RI periode 2004-2009 dari Fraksi PBR. Dia bahkan menuduh Joyo Winoto telah membohongi publik soal sertipikasi tanah. Tentunya, juga di hadapan Presiden Yudhoyono. Sejak Februari tahun lalu, dia mendirikan Forum Anti Korupsi dan Advokasi Pertanahan (Fakta), organisasi pemantau kasus korupsi dan pertanahan. Kantornya terletak di Jalan Raya Kalimalang, Jakarta Timur. Ruang kerja Anhar dipenuhi foto-foto pelbagai kegiatannya. Selama aktif di Komisi II DPR RI, dia kerap bertemu dengan Joyo saat rapat dengar pendapat.
Dia curiga dengan program Larasita karena harga pengadaan kendaraannya jauh di atas rata-rata harga pasar. Misalnya Suzuki Thunder yang hanya berkisar Rp15,41 juta atau Mitsubishi L300 senilai Rp191 juta. Namun, BPN justru jauh sekali mematok harga satuannya. Fakta pun melaporkan secara resmi dugaan korupsi itu ke KPK pada Maret 2010. Lengkap dengan hasil analisa dan fotokopi DIPA BPN selama 3 tahun berturut-turut.
Anhar juga menyangsikan validitas data sertipikat tanah bagi keluarga miskin.
Dia akhirnya mengirimkan surat permohonan informasi ke BPN untuk mengetahui nama dari 1.533.277 keluarga yang menerima sertipikat tanah gratis. Dari Maret sampai April tahun lalu, BPN tak pernah membalas surat resmi dari Fakta. Organisasi itu pun melayangkan somasi pertama pada Mei. Kedua untuk Juni. Sebulan kemudian, BPN membalas surat Fakta dengan mengundang Anhar dalam sebuah pertemuan. Dia datang bersama dengan tiga rekannya. Tetapi mereka hanya disuguhi selembar kertas. Isinya daftar provinsi dari keluarga miskin penerima sertipikat.
Anhar memrotes selembar kertas itu.
Suyus Windayana, Kepala Bidang Pengembangan Sistem, Data dan Informasi dan Informasi BPN akhirnya memperlihatkan salah satu bundel daftar nama dari Provinsi Bali. Mereka semakin kaget. Dokumen tersebut tak memperlihatkan alamat dan waktu penerbitan sertipikat dengan jelas. “Kalaulah begini hasil dan cara kerja BPN, yang katanya sudah memakai sistem informasi yang canggih, kami benar-benar kecewa,” kata Anhar. “Padahal sistem ini sudah didukung oleh ratusan miliar uang rakyat.”
Namun, apakah program kantor pertanahan itu benar –benar bermasalah?
Joyo justru mengakui pelbagai kendala di hadapan anak buahnya pada Februari tahun lalu. Dalam pengarahan rapat kerja tahunan, dia menyindir kepala kantor pertanahan yang menolak program Larasita. Minimnya perangkat teknologi. Sampai yang “nakal” karena mematikan server.
“…ada kepala kantor yang menolak Larasita. Lho bagaimana ini, dikasih kekuasaan kok ditolak. Kalau begitu ya sudah, wassalam,” ujar Joyo seperti dilansir situs Brighten Institute. “…ada yang kadang-kadang dijalankan, ada yang kadang-kadang tidak. Ini mau menjadi kepala kantor atau mau menjadi dagelan?”
“…kalau ada kepala seksi yang ndhableg, tidak sesuai dengan aturan yang jalan, ya kepala kantor yang ngetok. Tidak bisa diketok, lapor pak kepala,” katanya lagi. “…siapa yang diketok Bapak Presiden kalau Larasita gagal? Pak Joyo. Tetapi kalau Pak Joyo sering diketok, maka dia ketok siapa?”
Kesannya, Joyo sangat berkuasa.
Saya pun menemui Maruhum Batubara, teman Joyo satu Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor, Jawa Barat. Maruhum mengambil jurusan Sosial Ekonomi angkatan 1982, sedangkan Joyo memfokuskan pada Ilmu Tanah, satu angkatan di atasnya. Pria Batak itu mengawali karirnya di Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 1989, dan kini menjabat Kepala Biro Humas dan Tata Usaha sejak 2005. Dia juga lulusan doktor dari Universitas Tsukuba, Jepang.
“Mas Joyo dulu beraktivitas di himpunan profesi Ilmu Tanah dan GMNI [Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia],” ujar Maruhum pada saya. “Tipe orangnya demanding, tinggi menuntut sesuatu. Tetapi, dia bisa meyakinkan orang saat berpidato.”
Joyo sendiri kelahiran Mojokerto, Jawa Timur pada 16 November 1961. Selepas mengambil gelar doktoral di Universitas Michigan, Amerika Serikat, dengan konsentrasi Ekonomi Politik Sumber Daya dan Wilayah pada 1995, dia diperbantukan bekerja di Bappenas sebagai pembantu asisten. Selama hampir 6 tahun, puncak karirnya di sana adalah sebagai Kepala Biro Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri dan Kepala Biro Pangan, Pertanian dan Pengairan. Tetapi, benarkah sikap terlalu menuntut Joyo memicu konflik internal di Bappenas?
“Saya memang melihat cara kerjanya memang demanding, ingin sempurna. Bukan karena tidak bisa melakukan sesuatu,” ujar Maruhum. “Staf kerja, koleganya atau bahkan atasannya mungkin saja tidak dapat mengikuti.”
Joyo akhirnya “dikembalikan” ke IPB pada 2001 melalui mekanisme Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) Bappenas. Maruhum mengindikasikan adanya politik birokrasi internal pada Bappenas, namun tak mau menjelaskannya. Pada saat itu, lembaga tersebut dipimpin oleh Kwik Kian Gie—ahli ekonomi yang sempat aktif di Partai PDI Perjuangan—hingga 2004. Ini adalah masa yang menyulitkan bagi Joyo. Dia merasa kecewa.
Sasmito Hadinagoro, seorang pensiunan Departemen Keuangan punya cerita soal ini. Joyo sempat mampir ke rumahnya di kawasan Kota Baru, Jogjakarta usai “pengembalian” tersebut. Sasmito pun mengajaknya untuk ikut acara tirakatan : mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan. Joyo sempat menginap di sana, sebelum akhirnya diantarkan pulang oleh Aryo Bimo Seno—anak lelaki Sasmito—kembali ke Bogor. Mantan pegawai negeri itu memaklumi kekecewaan kawan lamanya itu.
Tapi fase ini pula yang mengubah jalan hidupnya.
Joyo tak sekedar kembali ke kampus, namun juga merapat ke pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Presiden dan Wakil Presiden terpilih kelak pada 2004. Dia dan Presiden Yudhoyono—juga cendikiawan IPB lainnya— mendirikan Brighten Institute, tanki pemikir untuk kebijakan pembangunan, sekaligus penyokong data ekonomi pasangan SBY-JK.
Sosiolog George Junus Aditjondro dalam buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century, mengatakan sejumlah pengajar IPB lainnya juga menjadi anggota lembaga itu. Di antaranya adalah Harianto dan Herman Siregar—sebelumnya menjadi komisi pembimbing disertasi—yang menguji Presiden Yudhoyono pada 2 Oktober 2004, atau 18 hari sebelum dilantik sebagai orang nomor satu di republik ini. Presiden sendiri menjadi Ketua Dewan Penasihat Brighten Institute. Kedekatan ini berbuah manis. Pada Juli 2005, Joyo dilantik sebagai Kepala BPN menggantikan gurunya sendiri yang juga cendikiawan IPB, Lutfi Ibrahim Nasution.
“Setelah di BPN, dia mengambil jarak yang cenderung birokratis. Padahal tidak demikian waktu di Bappenas, friendly,” ujar Sasmito pada Mei.
“Bagaimana kesan selanjutnya?” tanya saya.
“Sulit sekali menjawab SMS. Terakhir, Pak Joyo membalas SMS saya pada April 2010,” kata Sasmito. “Tapi sekarang, bukan dia yang menjawab secara langsung, tapi sekretarisnya. Mungkin dia ingin steril.”
Saya pun merasakan hal serupa untuk urusan wawancara, saat menghubungi sang sekretaris, Yusi Yuswianti untuk mengirimkan daftar pertanyaan pada 6 Mei lalu. Tetapi, sampai 3 minggu kemudian interview belum bisa dilakukan dengan alasan jadwal yang padat. Saya juga mengirimkan SMS ke telepon selular Joyo, namun tak dibalas.
Saya akhirnya menunggu dia di Masjid Nuurur Rahman di halaman kantor pusat BPN, jalan Sisimangaraja, Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Ini soal dugaan saja, Joyo akan beribadat pada Jumat terakhir di bulan Mei itu. Banyak pegawai lalu-lalang. Ada yang asyik berbincang-bincang. Benar saja. Orang yang saya tunggu-tunggu, berbatik coklat dan berpeci hitam, baru masuk ke pintu masjid. Setelah salat, Joyo akrab berbincang-bincang dengan beberapa pegawai. Wawancara pun dilakukan selepasnya, sambil menuju lobi. Saya memperkenalkan diri lebih dulu.
Petugas keamanan mengikuti.
Masalah pertama soal Larasita. Joyo meminta agar pertanyaan itu ditujukan ke bagian pengadaan barang. Dia tak ingin ambil pusing walaupun setuju penegakan hukum. Wawancara tersebut singkat sekali. Tak lebih dari 2 menit. Petugas mencegah saya menaiki tangga dan membiarkan Joyo melenggang. Saya pun berjalan keluar. Di halaman belakang kantor itu, ucapan Rizal Anshari—sang pensiunan dengan tutur kata yang tenang—kembali terlintas.
“Banyak yang takut setelah melihat saya dipecat. Sekretaris Utama saja bisa diberhentikan, bagaimana dengan yang lain?” kata dia. “Orang menjilat itu ada di mana saja. Dinding pun telah menjadi telinga Joyo.” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)
The story is the original version with the same title as the printed one. If you want to read the printed version, please click:
http://epaper.bisnis.com/PUBLICATIONS/BISNISINDONESIA/BI/2011/08/16/index.shtml
3.344 words
BUDI PRIYANTO sama sekali tak keberatan menghabiskan waktunya mengurus tanah milik Mulya Aulizar, termasuk soal merogoh kantongnya lebih dalam. Pekan terakhir Maret, dua petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) mendatangi lokasi properti kepunyaan adik kandungnya itu di kawasan Karet Pasar Baru Timur, Jakarta Pusat. Budi sendiri tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan. Sebulan kemudian, bekas kepala cabang bank swasta tersebut mengambil hasil pengukuran di kantor pertanahan Jakarta Pusat, seputar kawasan Abdul Muis. BPN menerbitkan ukuran luas lahan: 121 meter persegi dengan biaya resmi pelayanan Rp129.000.
“Saya memang memberikan tips kepada petugas yang melakukan pengukuran tanah,” ujarnya kepada saya. “Untuk dua orang, ya saya ngasih Rp200 ribu sebagai biaya transport.”
Budi bertubuh sedang, tapi cenderung kurus. Usianya kini 60 tahun. Rambut beruban dan mulai menipis. Siang itu dia berpenampilan santai. Berkaos dengan kerah dan dilapisi jaket warna coklat. Dia juga membawa beberapa dokumen, selain surat hasil pengukuran tanah. Ada pula kuitansi dan buku tabungan.
Ongkos lebih yang dibayarkan Budi serupa dengan apa yang ditemukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedikitnya dalam 3 tahun terakhir. Temuan itu terangkum dalam Survei Integritas—yang digelar sejak 2007—terhadap instansi publik dengan sumber dana APBN maupun APBD. Tujuannya, mengukur indikator dan pengendalian praktik korupsi dalam pelayanan masyarakat. Celakanya, selama 3 tahun berturut-turut pula skor BPN selalu di bawah nilai rata-rata nasional. Pada akhir 2010, otoritas agraria itu mendapat 5, 21 atau di bawah nilai rata-rata yakni 5,41.
Bagaimana hal itu terjadi?
KPK menemukan praktik pembayaran uang tambahan pada pengukuran dan pemetaan bidang tanah. Sebanyak 13% pengguna layanan mengaku praktik tersebut selalu terjadi, 23% mengatakan sering terjadi dan 63% mengatakan pemberian uang kadang-kadang terjadi.
Tak hanya itu, penerbitan sertifikat tanah pun setali tiga uang. Responden mengatakan 20% pemberian uang selalu terjadi, 27% sering terjadi serta 53% kadang-kadang terjadi. Survei Integritas mengungkapkan sedikitnya empat kategori pelayanan publik BPN yang terindikasi praktik korupsi: layanan pengukuran dan pemetaan kadastral, layanan balik nama hak tanah, layanan hak tanggungan, serta pembuatan sertifikat tanah.
“Memang berubah itu tidak mudah, apalagi lembaga ini ada yang di pusat serta daerah. Tak semudah membalik telapak tangan,” ujar Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin. “Yang diperlukan adalah waktu. KPK juga terus mengevaluasi secara periodik.”
Tetapi, mungkin ada hal yang terlewatkan KPK.
Biaya tambahan macam Budi Priyanto—dan beberapa jenis ongkos lainnya— pernah tidak otomatis masuk ke kas negara, melainkan dikelola melalui mekanisme Dana Pengguna Lainnya. Ini adalah sistem yang diterapkan BPN sejak 2005, di mana sumber dan pengelolaan dananya terpisah dengan pengelolaan APBN. Hal ini diungkapkan dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada pertengahan tahun lalu.
BPK menemukan penerimaan dan pengeluaran Dana Pengguna Lainnya masing-masing Rp114,35 miliar dan Rp86,35 miliar pada akhir Desember 2009, sehingga saldo tersisa Rp27,99 miliar. Penerimaan dana itu terdiri dari bantuan pengelolaan, biaya transport pengukuran, biaya transport pemeriksaan tanah, bantuan APBD, biaya surat perintah kerja, dan biaya pelayanan tanah lainnya.
Penanggung jawab pemeriksaan audit pada BPK Widodo J. Mumpuni mengatakan penerimaan maupun pengeluaran Dana Pengguna Lainnya tidak dilaporkan dalam laporan keuangan secara memadai. “Kondisi tersebut mengakibatkan dana cenderung kurang terkendali dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan keuangan negara,” ujarnya dalam laporan audit. “Pelaksana anggaran BPN belum sepenuhnya menaati peraturan undang-undang.”
Ada yang lebih mengejutkan.
Widodo menuturkan kalkulasi yang berbeda justru ditemukan antara bendahara Dana Pengguna Lainnya dengan rekapitulasi laporan keuangan Unit Akuntansi Pengguna Anggaran (UAPA). Bendahara Dana Pengguna Lainnya mencatat sisa uang adalah Rp27,99 miliar, sedangkan laporan UAPA hanya mencapai Rp21,07 miliar. Dana selisih Rp6,92 miliar itu tidak bisa ditelusuri keberadaannya.
Bagi Mochammad Jasin, audit BPK adalah sebuah pintu masuk melihat indikasi korupsi.
KPK sendiri mencatat banyaknya pengaduan masyarakat tentang dugaan korupsi di BPN. Ini terjadi dalam rentang waktu 2004-awal 2011. Sedikitnya sepuluh provinsi dengan akumulasi pengaduan terbanyak adalah Sumatra Utara (119), Jawa Barat (111), Sumatra Selatan (59), Jambi (28), Riau (23), Lampung (21), Kalimantan Selatan (14), Sumatra Barat (11), Nanggroe Aceh Darussalam (7) dan Kepulauan Riau (5).
Saya juga mempelajari pengaduan soal korupsi di BPN pada data statistik Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum. Tim itu merilis sebanyak 224 pengaduan masyarakat terkait dugaan praktik mafia di sana. BPN menempati urutan kelima dalam jumlah pengaduan, setelah kepolisian, peradilan, kejaksaan dan pemerintah daerah. Satgas juga merilis data jenis kasus terbanyak: 953 masalah pertanahan!
Tetapi, ada yang lebih dibuat penasaran tentang bebalnya sikap BPN. Namanya Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
Sepanjang tahun lalu, badan pemantau pelayanan publik tersebut menerima pengaduan buruknya kinerja BPN dari masyarakat hingga mencapai 96 laporan. ORI pun berkirim surat ke BPN agar berbenah. Ini karena perizinan yang tak kunjung terbit. Permintaan sertifikat tanah tak dilayani. Atau lambatnya eksekusi atas putusan pengadilan. Namun, tak satu kata pun yang dibalas. Ini membuat gusar Wakil Ketua ORI Azlaini Agus.
“Tidak ada surat Ombudsman yang ditindaklanjuti. Apa yang sedang terjadi di sana?” katanya kepada saya pada Maret. “Mengapa lembaga ini seolah-olah tak pernah bisa disentuh?"
TIGAPULUH TIGA mobil putih Mitsubshi L300 berderet rapi di halaman Taman Wisata Candi Prambanan, Klaten, Jawa Tengah pada pagi itu. Di depannya, barisan sepeda motor Suzuki Thunder berwarna serupa diparkir sejajar. Ada kata yang sama tercetak pada dua jenis kendaraan tersebut: LARASITA. Hari itu, 16 Desember 2008 sebuah seremoni digelar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama sang istri, Ani Yudhoyono kompak memakai batik berwarna abu-abu dan coklat. Tak hanya Presiden, acara itu juga dihadiri pejabat lainnya macam Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dan Kepala BPN Joyo Winoto. Musik campur sari mengalun. Ribuan undangan memenuhi tempat duduk. Ini adalah peluncuran program baru BPN: Larasita atau Layanan Rakyat untuk Sertipikat Tanah. Sang duta program tersebut, artis Desy Ratnasari turut hadir.
“Terus terang, dulu ada citra yang kurang baik terhadap BPN. Dianggap oknum BPN itu suka main untuk kepentingan sendiri,” ujar Presiden seperti dilansir dalam situs resminya. “BPN dikatakan jadi momok, jadi hantu bagi yang mengurus perizinan tanah, termasuk dunia usaha.”
Para undangan bertepuk tangan. Presiden meminta BPN terus berbenah.
Peluncuran Larasita sebagai kantor pertanahan bergerak bertujuan untuk mempercepat pelayanan sertipikasi dan informasi kantor pertanahan kepada masyarakat. Ini karena jarak tempuh menuju kantor pertanahan di pelbagai wilayah relatif jauh. Program tersebut berawal dari uji coba yang sukses di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah pada 2006. Bedanya, mobil yang dipakai saat itu adalah Isuzu Elf. Bukan Mitsubishi L300, seperti yang dijejer pagi itu.
Riset Atik Zulfianti dari Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta tentang Larasita menyebutkan peralatan komunikasi pada tahap awal adalah Wifi triangle tower antenna 60 meter dengan frekuensi radio, komputer jinjing beserta printer. Namun kini, sistem yang dipakai adalah Land Office Computerization (LOC) di mana data yang berasal dari mobil Larasita dapat terbaca secara online di kantor pertanahan, serta sebaliknya. Perangkatnya antara lain hyperlink antenna, wireless radio, optional automotor antenna, dan amplifier. BPN menyiapkan 124 mobil, 248 sepeda motor untuk menjangkau 124 kabupaten/kota pada tahap pertama.
“Program ini mendapat apresiasi yang besar dari Bank Dunia dengan menyebutnya pioneering mobile land information services," ujar Joyo Winoto dalam pidatonya. “Tahun 2009 akan dibangun lagi Larasita untuk 134 kabupaten/kota lainnya. Pada akhir tahun 2009 lebih dari 60% wilayah Indonesia akan terlayani.”
Pidato ini tak hanya di Jakarta.
Dia juga meminta izin Kepala Negara untuk bertolak ke Washington D.C, Amerika Serikat pada Maret 2009. Ini untuk memenuhi undangan International Federation of Surveyors (IFS), sebuah lembaga nonpemerintah yang beranggotakan komunitas surveyor pada 120 negara dan berbasis di Copenhagen, Denmark. Organisasi itu berdiri di Paris, Perancis pada 1878 dengan nama awal Federation Internationale des Geometres. Tetapi, Joyo juga punya maksud lain.
Dia mengharapkan pengucuran pinjaman dari Bank Dunia—yang bekerja sama dengan IFS dalam konferensi internasional itu— di antaranya untuk pembangunan administrasi pertanahan dan infrastruktur pelayanan BPN. “Many programs still need maintenance to implement the new land policy. Strengthening of the relationship between NLA [National Land Agency] and World Bank is important for these programs,” papar Joyo dalam presentasinya. “With World Bank support, hopefully the challenges that face the Indonesia government can be gradually overcome.”
Apa saja program BPN yang diharapkan memperoleh pinjaman Bank Dunia?
Dalam matriks presentasi berjudul Taking Land Policy and Administration in Indonesia to the Next Stage and Land National Agency’s Strategic Plan disebutkan, dukungan hutang itu akan diperuntukkan dengan membangun peta berbasis kadastral, peta tematik pengontrol lahan, serta membuat sistem informasi pertanahan nasional. Selain itu, untuk peningkatan sistem registrasi lahan massal, memperkuat infrastruktur Larasita, sekaligus memajukan sistem arsip pertanahan.
Lembaga keuangan itu memang pernah memberikan kucuran hutang sedikitnya dua kali ke BPN. Proyek pertama bernama The Land Administration Project pada 1994 dengan nilai USS140,01 juta dan The Land Management and Policy Development Project sebesar US$32,08 juta pada 2004. Bank Dunia menyatakan hal ini adalah kontribusi kepada program pemerintah Indonesia untuk mengurangi angka kemiskinan, menumbuhkan perekonomian dan mendorong penggunaan sumber daya lahan. “Tujuan utama dari proyek itu adalah meningkatkan keamanan kepastian lahan, efesiensi kepemilikan tanah serta registrasinya,” kata Bank Dunia dalam situs resminya.
Tetapi, utang itu juga mendapat kecaman keras.
Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan terang saja lembaga keuangan internasional tersebut mendukung penuh sertipikasi tanah di Indonesia. Ini karena dapat mempercepat pasar tanah yang kian liberal. Padahal, KPA menilai struktur kepemilikan tanah di Indonesia masih sangat pincang. Mulai dari kepemilikan, penguasaan hingga tata guna tanah.
“Bagaimana dengan program Larasita?” tanya saya.
“Sertipikasi pada struktur tanah yang timpang, justru melegalkan kepincangan itu. Program ini hanya ingin mewujudkan pasar bebas pada tanah sesuai dengan tujuan proyek hutang Bank Dunia.”
Tak hanya soal pinjaman yang dikritik. Pengadaan kendaraan roda dua dan empat untuk Larasita pun diindikasikan korupsi. Buruknya, terjadi selama 3 tahun berturut-turut.Temuan ini diungkapkan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Koordinator Advokasi dan Investigasi Fitra Ucok Sky Khadafi mengatakan BPN tidak mematuhi Surat Menteri Keuangan (SMK) selama tiga kali pengadaan mobil maupun sepeda motor untuk Larasita pada periode 2008-2010. Menurut Fitra, dugaan penggelembungan itu merugikan keuangan negara sebesar Rp44 miliar.
Dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BPN tentang Larasita disebutkan, satu unit sepeda motor dipatok harganya mencapai Rp24,21 juta padahal Kementerian Keuangan hanya menyatakan Rp20 juta. Jumlahnya mencapai 188 unit. Sedangkan satu unit mobil dihargai Rp282,25 juta padahal standar pemerintah hanya Rp200 juta, dengan total pembelian 93 unit. Pada 2009, BPN mematok harga Rp26,29 juta per unit sepeda motor dengan rencana pembelian 60 unit. Sedangkan mobil per unit dihargai Rp334,52 juta untuk 30 unit. Tahap kedua dalam periode sama, BPN kembali menetapkan harga Rp26,78 juta per unit sepeda motor untuk pembelian 250 unit, sementara mobil Rp320,26 juta untuk 130 unit.
Pada 2010, Kementerian Keuangan mengubah harga patokan untuk unit mobil yakni Rp250 juta namun tidak pada sepeda motor. Tetapi, tetap saja acuan tersebut tak dipakai. Dalam DIPA 2010, BPN mematok harga Rp26,78 juta per unit sepeda motor dan Rp345,60 juta untuk mobil. Pengadaannya masing-masing mencapai 312 unit dan 156 unit.
“Kami meminta BPK segera melakukan audit investigatif dalam pengadaan kendaraan roda empat dan roda dua di BPN,” kata Ucok. “KPK juga harus turun melakukan penyelidikan atas dugaan penggelembungan harga itu.”
Namun, Joyo kian bergeming.
Kapal motor Larasita untuk Kepulauan Seribu tetap diluncurkan di kawasan Marunda, Jakarta Utara pada 2010. Ini sekaligus menandai penambahan 150 armada pada 150 kabupaten/kota serta sistem kantor pertanahan online pada 274 titik. Dalam sambutannya, Joyo menyampaikan ke Presiden bahwa kesuksesan percepatan program sertipikasi tanah telah mengalami lonjakan yang tinggi yakni dari rata-rata 7.333 bidang menjadi 4.627.039 bidang dalam 3 tahun terakhir. Seperti dalam transkrip rekaman pidato, BPN mengklaim keberhasilannya membagikan 2.172.507 sertipikat kepada keluarga kurang mampu. Ini jauh lebih banyak dibandingkan pada 2005 yakni 269.902 keluarga. Sebagian dari mereka turut hadir dalam acara itu. Joyo menuturkan angka tersebut adalah jumlah tertinggi dalam sejarah BPN.
“Bapak Presiden dan Ibu Negara yang kami hormati, mohon sekiranya Bapak Presiden memberikan arahan atas pengembangan pertanahan ke depan,” katanya.
Presiden kembali berpidato.
RIZAL ANSHARI adalah pensiunan pegawai negeri dengan tutur bicara yang tenang. Selama 31 tahun hidupnya dihabiskan untuk bekerja di BPN. Dari pegawai biasa sampai menjadi Sekretaris Utama (Sestama) BPN pada 2006-2007. Pada pertengahan Mei, kami bertemu di Starbucks Coffee di Pasar Raya Blok M, Jakarta Selatan. Dia memesan kopi berkrim, sedangkan saya memilih teh mint.
“Saya diberhentikan oleh Joyo pada 2007,” ujarnya mengacu nama Joyo Winoto. “Tidak ada alasan yang jelas. Dalam suratnya hanya tertulis dibebastugaskan sebagai Sestama BPN.”
Rizal juga adalah orang yang mengkritik pelaksanaan Larasita. Pada Agustus 2009, dia menembuskan sejumlah surat kritiknya ke pelbagai pihak: Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Tak hanya itu, Komisi II DPR RI, pejabat eselon I dan II BPN dan kepala kantor pertanahan di Provinsi DKI Jakarta, turut dikirimi. Dia menilai infrastruktur kantor pertanahan untuk Larasita, tak sepenuhnya siap.
“Mengapa?” kata saya.
“Basis data pendaftaran tahan spasial dan tekstual milik kantor pertanahan pada umumnya tidak lengkap. Kalau di Jakarta, mungkin sudah baik. Bagaimana dengan pelosok Papua?”
Dia memaparkan dengan kondisi yang tak lengkap—di antaranya tak ada data berformat digital— maka tidak memungkinkan untuk melakukan hubungan online antar kantor pertanahan dengan mobil canggih Larasita. Jangankan punya perangkat itu, beberapa kantor pertanahan sendiri masih banyak yang menyewa tempat, bukan gedung sendiri. Menurut Rizal, kelemahan yang harus dibenahi dahulu adalah infrastruktur basis data spasial dan tekstual.
Pertanyaannya, apakah mobil Larasita yang memiliki Information and Communications Technology (ICT) menerbitkan sertipikat dengan kondisi kantor pertanahan kebanyakan?
Tudingan yang lebih keras juga datang dari “pensiunan” lainnya. Anhar Nasution, mantan anggota Komisi II DPR RI periode 2004-2009 dari Fraksi PBR. Dia bahkan menuduh Joyo Winoto telah membohongi publik soal sertipikasi tanah. Tentunya, juga di hadapan Presiden Yudhoyono. Sejak Februari tahun lalu, dia mendirikan Forum Anti Korupsi dan Advokasi Pertanahan (Fakta), organisasi pemantau kasus korupsi dan pertanahan. Kantornya terletak di Jalan Raya Kalimalang, Jakarta Timur. Ruang kerja Anhar dipenuhi foto-foto pelbagai kegiatannya. Selama aktif di Komisi II DPR RI, dia kerap bertemu dengan Joyo saat rapat dengar pendapat.
Dia curiga dengan program Larasita karena harga pengadaan kendaraannya jauh di atas rata-rata harga pasar. Misalnya Suzuki Thunder yang hanya berkisar Rp15,41 juta atau Mitsubishi L300 senilai Rp191 juta. Namun, BPN justru jauh sekali mematok harga satuannya. Fakta pun melaporkan secara resmi dugaan korupsi itu ke KPK pada Maret 2010. Lengkap dengan hasil analisa dan fotokopi DIPA BPN selama 3 tahun berturut-turut.
Anhar juga menyangsikan validitas data sertipikat tanah bagi keluarga miskin.
Dia akhirnya mengirimkan surat permohonan informasi ke BPN untuk mengetahui nama dari 1.533.277 keluarga yang menerima sertipikat tanah gratis. Dari Maret sampai April tahun lalu, BPN tak pernah membalas surat resmi dari Fakta. Organisasi itu pun melayangkan somasi pertama pada Mei. Kedua untuk Juni. Sebulan kemudian, BPN membalas surat Fakta dengan mengundang Anhar dalam sebuah pertemuan. Dia datang bersama dengan tiga rekannya. Tetapi mereka hanya disuguhi selembar kertas. Isinya daftar provinsi dari keluarga miskin penerima sertipikat.
Anhar memrotes selembar kertas itu.
Suyus Windayana, Kepala Bidang Pengembangan Sistem, Data dan Informasi dan Informasi BPN akhirnya memperlihatkan salah satu bundel daftar nama dari Provinsi Bali. Mereka semakin kaget. Dokumen tersebut tak memperlihatkan alamat dan waktu penerbitan sertipikat dengan jelas. “Kalaulah begini hasil dan cara kerja BPN, yang katanya sudah memakai sistem informasi yang canggih, kami benar-benar kecewa,” kata Anhar. “Padahal sistem ini sudah didukung oleh ratusan miliar uang rakyat.”
Namun, apakah program kantor pertanahan itu benar –benar bermasalah?
Joyo justru mengakui pelbagai kendala di hadapan anak buahnya pada Februari tahun lalu. Dalam pengarahan rapat kerja tahunan, dia menyindir kepala kantor pertanahan yang menolak program Larasita. Minimnya perangkat teknologi. Sampai yang “nakal” karena mematikan server.
“…ada kepala kantor yang menolak Larasita. Lho bagaimana ini, dikasih kekuasaan kok ditolak. Kalau begitu ya sudah, wassalam,” ujar Joyo seperti dilansir situs Brighten Institute. “…ada yang kadang-kadang dijalankan, ada yang kadang-kadang tidak. Ini mau menjadi kepala kantor atau mau menjadi dagelan?”
“…kalau ada kepala seksi yang ndhableg, tidak sesuai dengan aturan yang jalan, ya kepala kantor yang ngetok. Tidak bisa diketok, lapor pak kepala,” katanya lagi. “…siapa yang diketok Bapak Presiden kalau Larasita gagal? Pak Joyo. Tetapi kalau Pak Joyo sering diketok, maka dia ketok siapa?”
Kesannya, Joyo sangat berkuasa.
Saya pun menemui Maruhum Batubara, teman Joyo satu Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor, Jawa Barat. Maruhum mengambil jurusan Sosial Ekonomi angkatan 1982, sedangkan Joyo memfokuskan pada Ilmu Tanah, satu angkatan di atasnya. Pria Batak itu mengawali karirnya di Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 1989, dan kini menjabat Kepala Biro Humas dan Tata Usaha sejak 2005. Dia juga lulusan doktor dari Universitas Tsukuba, Jepang.
“Mas Joyo dulu beraktivitas di himpunan profesi Ilmu Tanah dan GMNI [Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia],” ujar Maruhum pada saya. “Tipe orangnya demanding, tinggi menuntut sesuatu. Tetapi, dia bisa meyakinkan orang saat berpidato.”
Joyo sendiri kelahiran Mojokerto, Jawa Timur pada 16 November 1961. Selepas mengambil gelar doktoral di Universitas Michigan, Amerika Serikat, dengan konsentrasi Ekonomi Politik Sumber Daya dan Wilayah pada 1995, dia diperbantukan bekerja di Bappenas sebagai pembantu asisten. Selama hampir 6 tahun, puncak karirnya di sana adalah sebagai Kepala Biro Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri dan Kepala Biro Pangan, Pertanian dan Pengairan. Tetapi, benarkah sikap terlalu menuntut Joyo memicu konflik internal di Bappenas?
“Saya memang melihat cara kerjanya memang demanding, ingin sempurna. Bukan karena tidak bisa melakukan sesuatu,” ujar Maruhum. “Staf kerja, koleganya atau bahkan atasannya mungkin saja tidak dapat mengikuti.”
Joyo akhirnya “dikembalikan” ke IPB pada 2001 melalui mekanisme Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) Bappenas. Maruhum mengindikasikan adanya politik birokrasi internal pada Bappenas, namun tak mau menjelaskannya. Pada saat itu, lembaga tersebut dipimpin oleh Kwik Kian Gie—ahli ekonomi yang sempat aktif di Partai PDI Perjuangan—hingga 2004. Ini adalah masa yang menyulitkan bagi Joyo. Dia merasa kecewa.
Sasmito Hadinagoro, seorang pensiunan Departemen Keuangan punya cerita soal ini. Joyo sempat mampir ke rumahnya di kawasan Kota Baru, Jogjakarta usai “pengembalian” tersebut. Sasmito pun mengajaknya untuk ikut acara tirakatan : mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan. Joyo sempat menginap di sana, sebelum akhirnya diantarkan pulang oleh Aryo Bimo Seno—anak lelaki Sasmito—kembali ke Bogor. Mantan pegawai negeri itu memaklumi kekecewaan kawan lamanya itu.
Tapi fase ini pula yang mengubah jalan hidupnya.
Joyo tak sekedar kembali ke kampus, namun juga merapat ke pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Presiden dan Wakil Presiden terpilih kelak pada 2004. Dia dan Presiden Yudhoyono—juga cendikiawan IPB lainnya— mendirikan Brighten Institute, tanki pemikir untuk kebijakan pembangunan, sekaligus penyokong data ekonomi pasangan SBY-JK.
Sosiolog George Junus Aditjondro dalam buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century, mengatakan sejumlah pengajar IPB lainnya juga menjadi anggota lembaga itu. Di antaranya adalah Harianto dan Herman Siregar—sebelumnya menjadi komisi pembimbing disertasi—yang menguji Presiden Yudhoyono pada 2 Oktober 2004, atau 18 hari sebelum dilantik sebagai orang nomor satu di republik ini. Presiden sendiri menjadi Ketua Dewan Penasihat Brighten Institute. Kedekatan ini berbuah manis. Pada Juli 2005, Joyo dilantik sebagai Kepala BPN menggantikan gurunya sendiri yang juga cendikiawan IPB, Lutfi Ibrahim Nasution.
“Setelah di BPN, dia mengambil jarak yang cenderung birokratis. Padahal tidak demikian waktu di Bappenas, friendly,” ujar Sasmito pada Mei.
“Bagaimana kesan selanjutnya?” tanya saya.
“Sulit sekali menjawab SMS. Terakhir, Pak Joyo membalas SMS saya pada April 2010,” kata Sasmito. “Tapi sekarang, bukan dia yang menjawab secara langsung, tapi sekretarisnya. Mungkin dia ingin steril.”
Saya pun merasakan hal serupa untuk urusan wawancara, saat menghubungi sang sekretaris, Yusi Yuswianti untuk mengirimkan daftar pertanyaan pada 6 Mei lalu. Tetapi, sampai 3 minggu kemudian interview belum bisa dilakukan dengan alasan jadwal yang padat. Saya juga mengirimkan SMS ke telepon selular Joyo, namun tak dibalas.
Saya akhirnya menunggu dia di Masjid Nuurur Rahman di halaman kantor pusat BPN, jalan Sisimangaraja, Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Ini soal dugaan saja, Joyo akan beribadat pada Jumat terakhir di bulan Mei itu. Banyak pegawai lalu-lalang. Ada yang asyik berbincang-bincang. Benar saja. Orang yang saya tunggu-tunggu, berbatik coklat dan berpeci hitam, baru masuk ke pintu masjid. Setelah salat, Joyo akrab berbincang-bincang dengan beberapa pegawai. Wawancara pun dilakukan selepasnya, sambil menuju lobi. Saya memperkenalkan diri lebih dulu.
Petugas keamanan mengikuti.
Masalah pertama soal Larasita. Joyo meminta agar pertanyaan itu ditujukan ke bagian pengadaan barang. Dia tak ingin ambil pusing walaupun setuju penegakan hukum. Wawancara tersebut singkat sekali. Tak lebih dari 2 menit. Petugas mencegah saya menaiki tangga dan membiarkan Joyo melenggang. Saya pun berjalan keluar. Di halaman belakang kantor itu, ucapan Rizal Anshari—sang pensiunan dengan tutur kata yang tenang—kembali terlintas.
“Banyak yang takut setelah melihat saya dipecat. Sekretaris Utama saja bisa diberhentikan, bagaimana dengan yang lain?” kata dia. “Orang menjilat itu ada di mana saja. Dinding pun telah menjadi telinga Joyo.” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)
The story is the original version with the same title as the printed one. If you want to read the printed version, please click:
http://epaper.bisnis.com/PUBLICATIONS/BISNISINDONESIA/BI/2011/08/16/index.shtml
Friday, May 13, 2011
tak sekedar soal real estate
Oleh Anugerah Perkasa
1.099 words
SEJAK PERTENGAHAN MARET saya mulai ditugaskan meliput sektor properti. Ini adalah wilayah liputan baru setelah sebelumnya meliput sektor keuangan dan hukum, terutama menyangkut korupsi. Sejak 2005, saya bekerja untuk harian Bisnis Indonesia, suratkabar khusus bisnis yang berpusat di Jakarta. Dan bidang properti di tahun ini menjadi desk ketiga.
Perpindahan area liputan kali ini memang besar-besaran. Setiap reporter yang dipindahkan mendapatkan surat tugas resmi. Saya pun merasakan hal serupa pada sebagian reporter: di bawah tekanan karena hal baru. Beberapa dari kami berkumpul di kantor. Berdiskusi. Bertukar ide liputan. Berbagi nomor kontak narasumber.
Saya sendiri ditugaskan bersama-sama dengan Siti Nuraisyah Dewi yang sebelumnya lebih banyak meliput sengketa perusahaan. Sementara editor yang menyunting naskah berita harian kami adalah Gajah Kusumo. Kami bertiga bertemu. Gajah memberi contoh materi liputan yakni soal tingkat penyerapan apartemen milik atau perkantoran di Jakarta.
“Data ini bisa diperoleh dari para konsultan properti misalnya Cushman and Wakefield. Mereka biasa melakukan survei triwulan. Juga ada beberapa konsultan lainnya,” ujarnya.
Terus terang, saya baru mendengar nama perusahaan itu. Saya tak tahu dengan Aisyah. Tetapi, kami mengangguk-angguk.
Kami juga diberitahukan soal data survei Bank Indonesia (BI). Kalau soal ini, saya sempat akrab. Data statistik bank sentral, sering saya tuliskan dalam bentuk berita. Mulai dari dana pihak ketiga, total kucuran kredit bank hingga sektor apa saja yang paling banyak dibiayai melalui pinjaman. Dalam situs BI, survei yang menyangkut properti salah satunya terkait dengan tingkat hunian hotel atau dominasi Kredit Pemilikan Rumah dalam pembiayaan rumah.
Kami pun berdiskusi soal rumah murah yang diusung Kementerian Perumahan Rakyat. Dari sana, saya memahami bahwa kebutuhan rumah setiap tahunnya semakin meningkat namun pasokan tak pernah cukup. Data kementerian menyebutkan, kekurangan pasokan atau backlog perumahan mencapai sedikitnya 8,9 juta pada 2009 dan kian bertambah. Paling tidak setiap tahun pasokan perumahan harus mencapai 700 ribu-800 ribu unit. Tetapi hal ini tak pernah bisa tercapai.
Apa masalahnya?
Dalam sebuah wawancara, peneliti masalah perkotaan Universitas Indonesia Andrinof Chaniago mengatakan salah satu soal adalah pemerintah terlalu memfasilitasi para pengembang swasta untuk membangun hunian mewah. Tetapi, melupakan perumahan rakyat. Padahal, lanjut Andrinof, perumahan merupakan hak setiap warga negara namun tak terurus dengan baik.
“Ini dimulai dari sistem pertanahan di Indonesia sangat liberal.”
“Maksudnya?”
“Pemerintah tak berani membatasi kepemilikan lahan swasta dalam rangka penyediaan perumahan. Tanah bisa dikuasai oleh pihak lain seluas-luasnya.”
“Apakah hal ini berpengaruh pada backlog?”
“Selama belum ada perubahan kebijakan soal tanah dan kemauan politik yang kuat. Kekurangan pasokan perumahan tak pernah bisa diatasi.”
Wawancara dengan Andrinof sedikitnya mengokohkan hipotesa yang saya bangun sejauh ini. Terutama soal tanah dan konflik yang menyertainya. Catatan lama kembali terngiang: perusahaan pertambangan dan kelapa sawit. Bagi saya, mereka ibarat raksasa penghancur yang haus mendapatkan lahan demi perluasan bisnis. Ada penggusuran. Kekerasan psikologis. Penembakan. Tetapi, celakanya saham mereka tetap diburu. Dan masalah properti, rupanya tak jauh-jauh dengan soal perebutan tanah.
RATUSAN ORANG BERKUMPUL di jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat pada siang di akhir Maret. Mereka membawa pelbagai spanduk. Panji-panji organisasi. Puluhan polisi berjaga-jaga. Tepat di seberang Istana Merdeka, para pengunjuk rasa menyatakan penolakannya pada Rancangan Undang Undang (RUU) Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Kini draf peraturan itu tengah digodok di DPR RI. Ada orasi secara bergantian. Intinya, mereka menginginkan peraturan itu dibatalkan.
“Ini akan melegitimasi penggusuran terhadap rakyat. Alasannya demi pembangunan,” ujar Idham Arsyad, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). “Pemerintah justru mementingkan kepentingan modal namun tidak melindungi masyarakat miskin dalam kepemilikan tanah.”
KPA dan puluhan organisasi lainnya menyadari betapa mengerikannya rancangan peraturan tersebut. Padahal, selama ini konflik agraria tak pernah terselesaikan dengan baik. Idham menyatakan sepanjang tahun lalu konflik agraria mencapai 535.187 hektare yang didominasi oleh sektor perkebunan serta pembangunan fasilitas perkotaan. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan betapa derasnya penetrasi arus pemilik modal.
Saya pun membuka situs www.dpr.go.id dan menemukan rancangan peraturan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Sedikitnya ada 17 kategori pembangunan: jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasional kereta api; waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air, sanitasi dan bangunan pengairan lainnya; pelabuhan, bandara dan terminal; infrastruktur migas dan panas bumi meliputi transmisi dan atau distribusi migas dan panas bumi; pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
Selain itu ada jaringan telekomunikasi dan informatika; tempat pengolahan dan pembuangan sampah; rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah; TPU pemerintah/pemerintah daerah; fasilitas keselamatan umum; cagar alam/cagar budaya; pertahanan dan keamanan nasional; kantor pemerintah kota/pemerintah daerah/desa; penataan permukiman kumuh dan konsolidasi tanah; prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah; prasarana olahraga pemerintah/pemerintah daerah; dan pembangunan kepentingan umum lainnya yang ditetapkan Keputusan Presiden.
Saya menghela nafas dan membuangnya. Ini daftar yang cukup panjang untuk dibaca. Belum lagi rentetan masalahnya.
Padahal, dua sektor bisnis macam pertambangan batubara maupun perkebunan kelapa sawit saja sudah membumbungkan banyak konflik. Misalnya laporan Jaringan Advokasi Tambang tentang persoalan lahan di Kalimantan Timur—provinsi dengan produksi batu bara terbesar yakni sekitar 123 juta matriks ton—yang menyebabkan munculnya kekerasan. Pemiskinan. Atau baca pula laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat yang mengadvokasi maraknya penembakan petani oleh perusahaan perkebunan. Di Jambi. Riau. Atau Palembang.
Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, mengingatkan bahwa pengambilalihan tanah selalu bermuara pada tindakan kekerasan. Rancangan peraturan ini, lanjutnya, memperlemah posisi tawar masyarakat namun memperkuat negara dalam pengambilan lahan.
“Ini berpotensi menjadi alat legitimasi bagi negara beserta swasta untuk mengambil alih tanah rakyat. Baik yang beralaskan hak sebagai tanah adat maupun kepemilikan pribadi dengan sertifikat, letter C atau yang lainnya,” kata Haris.
Rupanya masalah ini tak hanya terjadi di Tanah Air. Center on Housing Rights and Evictions (Cohre)—organisasi internasional yang secara independen memfokuskan kerjanya pada hak perumahan—menyatakan sedikitnya tiga sektor bisnis yakni pertambangan, perkebunan dan pembangunan fasilitas energi menyebabkan masyarakat di kawasan Asia Tenggara kesulitan mendapatkan akses perumahan. Bahkan mereka sebagian harus digusur demi kepentingan bisnis. Saya mewawancarai Sammy Gamboa, Programme Manager Asia Cohre, yang datang ke Jakarta bertepatan dengan perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi Association of Southeast Asian Nations (Asean) ke-18 pada 7-8 Mei 2011. Dia pun menyebutkan sejumlah contoh.
“Penduduk digusur secara paksa ketika ada pembuatan bendungan di Sungai Mekong, Kamboja,” katanya. “Penggusuran tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi seluruh kawasan Asean.”
“Apa yang harus dilakukan?” tanya saya.
“Kami meminta Asean untuk mengevaluasi kebijakan ekonominya. Akses masyarakat untuk perumahan harus diperhatikan. Menghilangkan hal ini sama saja dengan pelanggaran hak asasi.”
Kekhawatiran dari Idham Arsyad, Haris Azhar hingga Sammy Gamboa mulai membebani pikiran saya hingga hari ini. Meliput properti ternyata tak sesederhana yang saya bayangkan: peluncuran real estate, menara apartemen mewah atau pembangunan hotel bintang lima. Tidak sesederhana itu. Di bawah gedung-gedung pencakar langit, saya melihat hak asasi yang kian lama semakin dirapuhkan. (anugerahperkasa@gmail.com)
*The story is based on my almost two months reporting on the property desk. It is not published on the newspaper.
1.099 words
SEJAK PERTENGAHAN MARET saya mulai ditugaskan meliput sektor properti. Ini adalah wilayah liputan baru setelah sebelumnya meliput sektor keuangan dan hukum, terutama menyangkut korupsi. Sejak 2005, saya bekerja untuk harian Bisnis Indonesia, suratkabar khusus bisnis yang berpusat di Jakarta. Dan bidang properti di tahun ini menjadi desk ketiga.
Perpindahan area liputan kali ini memang besar-besaran. Setiap reporter yang dipindahkan mendapatkan surat tugas resmi. Saya pun merasakan hal serupa pada sebagian reporter: di bawah tekanan karena hal baru. Beberapa dari kami berkumpul di kantor. Berdiskusi. Bertukar ide liputan. Berbagi nomor kontak narasumber.
Saya sendiri ditugaskan bersama-sama dengan Siti Nuraisyah Dewi yang sebelumnya lebih banyak meliput sengketa perusahaan. Sementara editor yang menyunting naskah berita harian kami adalah Gajah Kusumo. Kami bertiga bertemu. Gajah memberi contoh materi liputan yakni soal tingkat penyerapan apartemen milik atau perkantoran di Jakarta.
“Data ini bisa diperoleh dari para konsultan properti misalnya Cushman and Wakefield. Mereka biasa melakukan survei triwulan. Juga ada beberapa konsultan lainnya,” ujarnya.
Terus terang, saya baru mendengar nama perusahaan itu. Saya tak tahu dengan Aisyah. Tetapi, kami mengangguk-angguk.
Kami juga diberitahukan soal data survei Bank Indonesia (BI). Kalau soal ini, saya sempat akrab. Data statistik bank sentral, sering saya tuliskan dalam bentuk berita. Mulai dari dana pihak ketiga, total kucuran kredit bank hingga sektor apa saja yang paling banyak dibiayai melalui pinjaman. Dalam situs BI, survei yang menyangkut properti salah satunya terkait dengan tingkat hunian hotel atau dominasi Kredit Pemilikan Rumah dalam pembiayaan rumah.
Kami pun berdiskusi soal rumah murah yang diusung Kementerian Perumahan Rakyat. Dari sana, saya memahami bahwa kebutuhan rumah setiap tahunnya semakin meningkat namun pasokan tak pernah cukup. Data kementerian menyebutkan, kekurangan pasokan atau backlog perumahan mencapai sedikitnya 8,9 juta pada 2009 dan kian bertambah. Paling tidak setiap tahun pasokan perumahan harus mencapai 700 ribu-800 ribu unit. Tetapi hal ini tak pernah bisa tercapai.
Apa masalahnya?
Dalam sebuah wawancara, peneliti masalah perkotaan Universitas Indonesia Andrinof Chaniago mengatakan salah satu soal adalah pemerintah terlalu memfasilitasi para pengembang swasta untuk membangun hunian mewah. Tetapi, melupakan perumahan rakyat. Padahal, lanjut Andrinof, perumahan merupakan hak setiap warga negara namun tak terurus dengan baik.
“Ini dimulai dari sistem pertanahan di Indonesia sangat liberal.”
“Maksudnya?”
“Pemerintah tak berani membatasi kepemilikan lahan swasta dalam rangka penyediaan perumahan. Tanah bisa dikuasai oleh pihak lain seluas-luasnya.”
“Apakah hal ini berpengaruh pada backlog?”
“Selama belum ada perubahan kebijakan soal tanah dan kemauan politik yang kuat. Kekurangan pasokan perumahan tak pernah bisa diatasi.”
Wawancara dengan Andrinof sedikitnya mengokohkan hipotesa yang saya bangun sejauh ini. Terutama soal tanah dan konflik yang menyertainya. Catatan lama kembali terngiang: perusahaan pertambangan dan kelapa sawit. Bagi saya, mereka ibarat raksasa penghancur yang haus mendapatkan lahan demi perluasan bisnis. Ada penggusuran. Kekerasan psikologis. Penembakan. Tetapi, celakanya saham mereka tetap diburu. Dan masalah properti, rupanya tak jauh-jauh dengan soal perebutan tanah.
RATUSAN ORANG BERKUMPUL di jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat pada siang di akhir Maret. Mereka membawa pelbagai spanduk. Panji-panji organisasi. Puluhan polisi berjaga-jaga. Tepat di seberang Istana Merdeka, para pengunjuk rasa menyatakan penolakannya pada Rancangan Undang Undang (RUU) Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Kini draf peraturan itu tengah digodok di DPR RI. Ada orasi secara bergantian. Intinya, mereka menginginkan peraturan itu dibatalkan.
“Ini akan melegitimasi penggusuran terhadap rakyat. Alasannya demi pembangunan,” ujar Idham Arsyad, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). “Pemerintah justru mementingkan kepentingan modal namun tidak melindungi masyarakat miskin dalam kepemilikan tanah.”
KPA dan puluhan organisasi lainnya menyadari betapa mengerikannya rancangan peraturan tersebut. Padahal, selama ini konflik agraria tak pernah terselesaikan dengan baik. Idham menyatakan sepanjang tahun lalu konflik agraria mencapai 535.187 hektare yang didominasi oleh sektor perkebunan serta pembangunan fasilitas perkotaan. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan betapa derasnya penetrasi arus pemilik modal.
Saya pun membuka situs www.dpr.go.id dan menemukan rancangan peraturan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Sedikitnya ada 17 kategori pembangunan: jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasional kereta api; waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air, sanitasi dan bangunan pengairan lainnya; pelabuhan, bandara dan terminal; infrastruktur migas dan panas bumi meliputi transmisi dan atau distribusi migas dan panas bumi; pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
Selain itu ada jaringan telekomunikasi dan informatika; tempat pengolahan dan pembuangan sampah; rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah; TPU pemerintah/pemerintah daerah; fasilitas keselamatan umum; cagar alam/cagar budaya; pertahanan dan keamanan nasional; kantor pemerintah kota/pemerintah daerah/desa; penataan permukiman kumuh dan konsolidasi tanah; prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah; prasarana olahraga pemerintah/pemerintah daerah; dan pembangunan kepentingan umum lainnya yang ditetapkan Keputusan Presiden.
Saya menghela nafas dan membuangnya. Ini daftar yang cukup panjang untuk dibaca. Belum lagi rentetan masalahnya.
Padahal, dua sektor bisnis macam pertambangan batubara maupun perkebunan kelapa sawit saja sudah membumbungkan banyak konflik. Misalnya laporan Jaringan Advokasi Tambang tentang persoalan lahan di Kalimantan Timur—provinsi dengan produksi batu bara terbesar yakni sekitar 123 juta matriks ton—yang menyebabkan munculnya kekerasan. Pemiskinan. Atau baca pula laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat yang mengadvokasi maraknya penembakan petani oleh perusahaan perkebunan. Di Jambi. Riau. Atau Palembang.
Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, mengingatkan bahwa pengambilalihan tanah selalu bermuara pada tindakan kekerasan. Rancangan peraturan ini, lanjutnya, memperlemah posisi tawar masyarakat namun memperkuat negara dalam pengambilan lahan.
“Ini berpotensi menjadi alat legitimasi bagi negara beserta swasta untuk mengambil alih tanah rakyat. Baik yang beralaskan hak sebagai tanah adat maupun kepemilikan pribadi dengan sertifikat, letter C atau yang lainnya,” kata Haris.
Rupanya masalah ini tak hanya terjadi di Tanah Air. Center on Housing Rights and Evictions (Cohre)—organisasi internasional yang secara independen memfokuskan kerjanya pada hak perumahan—menyatakan sedikitnya tiga sektor bisnis yakni pertambangan, perkebunan dan pembangunan fasilitas energi menyebabkan masyarakat di kawasan Asia Tenggara kesulitan mendapatkan akses perumahan. Bahkan mereka sebagian harus digusur demi kepentingan bisnis. Saya mewawancarai Sammy Gamboa, Programme Manager Asia Cohre, yang datang ke Jakarta bertepatan dengan perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi Association of Southeast Asian Nations (Asean) ke-18 pada 7-8 Mei 2011. Dia pun menyebutkan sejumlah contoh.
“Penduduk digusur secara paksa ketika ada pembuatan bendungan di Sungai Mekong, Kamboja,” katanya. “Penggusuran tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi seluruh kawasan Asean.”
“Apa yang harus dilakukan?” tanya saya.
“Kami meminta Asean untuk mengevaluasi kebijakan ekonominya. Akses masyarakat untuk perumahan harus diperhatikan. Menghilangkan hal ini sama saja dengan pelanggaran hak asasi.”
Kekhawatiran dari Idham Arsyad, Haris Azhar hingga Sammy Gamboa mulai membebani pikiran saya hingga hari ini. Meliput properti ternyata tak sesederhana yang saya bayangkan: peluncuran real estate, menara apartemen mewah atau pembangunan hotel bintang lima. Tidak sesederhana itu. Di bawah gedung-gedung pencakar langit, saya melihat hak asasi yang kian lama semakin dirapuhkan. (anugerahperkasa@gmail.com)
*The story is based on my almost two months reporting on the property desk. It is not published on the newspaper.
Thursday, September 30, 2010
tebusan mahal prokespen
Oleh Anugerah Perkasa
3.130 words
KEGERAMAN HAMPIR meledakkan emosi Vincentius Albert Tilaar saat menyebut nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejak Desember 2003, kasus dugaan korupsi yang dia laporkan tak kunjung rampung. Selama hampir 7 tahun pula, Tilaar bolak balik datang ke kantor KPK. Dari kawasan Jalan Veteran, Jakarta Pusat hingga kini di Rasuna Said, Jakarta Selatan. Dari berkirim surat sampai dimintai keterangan. Dan selama masa itu, kesimpulan membumbung di kepalanya.
“KPK tidak bergigi membongkar kasus korupsi. Lembaga ini sengaja mengulur-ulur waktu,” kata dia pada Juli lalu.
Tilaar mungkin saja tidak keliru. Dia menyambangi lembaga pemberantas korupsi itu semenjak baru berdiri. KPK periode 2003-2007 dipimpin lima orang yakni Taufiequrrachman Ruki, Amin Sunaryadi , Erry Riana Hardjapamekas, Tumpak Panggabean dan Siradjudin Rasul. Tilaar sendiri pensiunan berusia 68 tahun dari PT Caltex Pacific Indonesia—kini PT Chevron Pacific Indonesia— raksasa eksplorasi minyak dan gas bumi asal Amerika Serikat. Dalam laporan itu, Tilaar mengatasnamakan Badan Pendiri Yayasan Kesehatan Pensiunan Caltex (YKPC) yang dibentuknya pada Maret 2002.
Awal kegusaran Tilaar bermula dari pengucuran dana penyelamatan PT Caltex sebagai salah satu Kontraktor Production Sharing (KPS). Ini akibat kegagalan PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri mengelola Proteksi Kesehatan Pensiunan (Prokespen), produk asuransi jiwa kumpulan untuk para pensiunan, macam Tilaar. Ada sepuluh KPS lain yang ikut, namun tetap didominasi PT Caltex. Jumlahnya mencapai 1.637 dari 2.297 pensiunan. Tak hanya bagi pensiunan, namun 6.279 pekerja aktif KPS—yang belum mencapai 56 tahun—pun tertarik dengan Prokespen. Program ini berjalan sejak 1992 namun disetop pada 2000 karena gagal membayar klaim. Jumlahnya kurang lebih Rp11 miliar, sementara perolehan premi selama 7 tahun hanya mencapai Rp2 miliar. Dana penyelamatan milik PT Caltex dan sepuluh KPS lainnya dikenal sebagai rescue fund atau rescue package.
“Prokespen tidak berkaitan dengan kegiatan eksplorasi. Ini hanya kontrak asuransi jiwa biasa dengan pensiunan sebagai tertanggung dan perusahaan sebagai pemegang polis,” kata dia.
Kegagalan Prokespen hanyalah satu masalah Tilaar. Masalah lain, adalah tentang masuknya dana penyelamatan ke dalam komponen pengembalian biaya eksplorasi atau cost recovery para KPS. Ini adalah jenis biaya yang dikembalikan pemerintah setelah wilayah kerja hasil eksplorasi pihak swasta berproduksi secara komersial. PT Caltex sendiri mengucurkan Rp18,96 miliar dari total dana penyelamatan seluruh pensiunan Rp41,1 miliar. Salah satunya untuk membeli premi baru dari perusahaan asuransi berbeda. Proses penyelamatan itu memakan waktu sepanjang 2001-2003. Dari pendataan kembali para pensiunan hingga pencairan dana.
Respon pertama KPK ditulis Erry Riana dalam suratnya kepada YKPC pada Januari 2004. KPK menyatakan akan mempelajari pengaduan itu dan menghubungi Tilaar jika ditemukan kemajuan. Namun jawaban itu tak memuaskan. Tilaar kembali mengadu ke Komisi Ombudsman Nasional—kini Ombudsman Republik Indonesia—yang akhirnya menyurati Menteri Negara BUMN dengan tembusan PT Pertamina.
Menurut Ariffi Nawawi, Direktur Utama PT Pertamina periode 2003-2004, paket penyelamatan merupakan solusi untuk menghindari dampak sosial lebih serius setelah Prokespen bubar. Sebelas KPS dan Pertamina Badan Pembinaan dan Pengusahaan Kontraktor Asing (BPPKA) —saat itu adalah pelaku bisnis sekaligus regulator—akhirnya menyetujui paket tersebut untuk para pensiunan. Usai terbitnya UU Minyak dan Gas Bumi pada 2001, fungsi pengaturan Pertamina kemudian diamputasi, digantikan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas di bawah Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Pertamina BPPKA sebagai pemegang manajemen para KPS meminta persetujuan direktur utama Pertamina untuk mengalokasikan tambahan dana sebagai rescue fund sebesar Rp41,1 miliar,” ujar Ariffi dalam suratnya, Mei 2004. “Ini menjadi beban KPS sebagai tambahan remunerating dan benefit cost yang merupakan cost recovery.”
Ini pula yang dikecam habis-habisan oleh Tilaar.
Namun jawaban Ariffi dipakai untuk kembali menyurati KPK. Amin Sunaryadi, pimpinan komisi itu, membalas surat YKPC pada Agustus 2004 dengan menerangkan KPK sudah meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengaudit pengucuran dana penyelamatan PT Caltex. Entah curiga atau habis kesabaran, Tilaar menuduh BPKP dan KPK tidak serius menuntaskan kasus dugaan korupsi karena informasi tentang perkembangan kasus saling bertentangan. Ini ditulisnya melalui surat pembaca harian Bisnis Indonesia edisi 4 Juli 2006.
BPKP menjawabnya seminggu kemudian. Lembaga itu mengklaim pihaknya sulit untuk mengumpulkan data pihak terkait dan klarifikasi Direktur Utama PT Pertamina yang memakan waktu. Setahun berlalu, akhirnya jawaban yang ditunggu muncul. Audit investigatif BPKP menemukan dugaan penyimpangan pengucuran rescue fund melalui PT Caltex yang merugikan negara sebesar Rp15,14 miliar. Dalam surat pada September 2007, Deputi Bidang Investigasi BPKP Suradji mengatakan pihaknya bersepakat dengan KPK agar temuan itu ditindaklanjuti sesuai peraturan yang berlaku.
Masalahnya, periode KPK jilid I hampir berakhir pada Desember 2007. Lima orang pimpinan bahkan belum memutuskan status penyelidikan atas kasus pengaduan Tilaar. Ini yang menyebabkan pensiunan itu menuduh Erry Riana sebagai orang yang menghambat penanganan kasus di KPK. Alasannya, Erry adalah Komisaris PT Timah (Persero) Tbk periode 1996-2002, perusahaan pemegang 29,59% saham PT Tugu Mandiri. Tetapi, ini dibantah kemudian.
“Pimpinan hanya mendapat laporan atau memantau perkembangan penanganan,” kata Erry dalam surat elektroniknya kepada saya, Agustus lalu. “Kewenangan sepenuhnya ada pada tenaga fungsional profesional penelaah pengaduan masyarakat dan penyidik.”
Tilaar boleh saja menuding Erry punya konflik kepentingan. Juga melaporkan kasus itu ke Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung. Komisi Hukum DPR RI. Atau sejumlah media massa. Namun, tidak semua pensiunan setuju dengan apa yang dilakukan Tilaar di saat usia senja. Ada pula yang sangat mengenalnya, mengapa dia demikian meradang.
HADI SUTANTO tahu benar sejarah kegagalan Prokespen di tengah jalan, sebelum akhirnya dibubarkan. Dia bekerja di PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri selama 25 tahun, dan kini menjabat Wakil Presiden Direktur. PT Tugu Mandiri sendiri dimiliki Dana Pensiun Pertamina sebesar 51,99% saham, disusul PT Timah Tbk 29,59% saham, PT Tugu Pratama Interindo 17,19% saham dan Menteri Keuangan sebesar 1,23% saham.
Perusahaan asuransi tersebut, awalnya dijanjikan memperoleh nasabah sedikitnya 20.000 orang oleh Pertamina BPPKA, selaku manajemen KPS. Target ini melenceng sangat jauh. Prokespen hanya diminati 6.279 pekerja aktif dan 2.297 pensiunan. Walaupun masa pertanggungan ditawarkan cukup lama, dari 56 tahun hingga maksimal 80 tahun, atau meninggal sebelum usia tersebut. Pertamina BPPKA saat itu dipimpin Sulaiman Zuhdi Pane, kini salah satu anggota komisaris PT Bumi Resources Tbk.
“Kami berpikir saat itu dijanjikan sekitar 20.000, tapi nyatanya tidak,” kata Hadi pada pertengahan Agustus lalu. “Kegagalan Prokespen juga disebabkan oleh melonjaknya biaya pengobatan dan pengaruh krisis moneter.”
PT Tugu Mandiri mula-mula membatasi pemberian maslahat kepada para pensiunan dengan mengurangi waktu rawat inap. Akhir 1998, muncul surat resmi yang menyatakan penghapusan jasa rawat jalan pada rumah sakit. Penundaan klaim pada September 1999. Goncangan keuangan perusahaan itu setidaknya dilihat dari rasio total hasil investasi terhadap manfaat dan klaim yang jauh menukik. Rp13 miliar berbanding Rp85,67 miliar pada akhir tahun itu. Dan Maret 2000, PT Tugu Mandiri sudah menolak seluruh pembayaran maslahat para pensiunan .
Kepanikan menjalar cepat.
Pada November 2000, pejabat sementara Kepala Pertamina BPPKA Herucokro Trimurdadi menerbitkan surat untuk membubarkan Prokespen pada akhir tahun. Program tersebut akan diubah menjadi asuransi kesehatan perorangan dengan nama Dana Kesehatan Pensiunan (Dakespen) pada Januari 2001. Tetapi usulan itu ditolak. Sebagian pensiunan melakukan demonstrasi di depan kantor PT Caltex, Pekan Baru. Ada pula yang memprotes terbitnya surat BPPKA—kemudian berganti menjadi Management Production Sharing (MPS) dan diambil alih fungsinya oleh Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas sejak 2002—yang tak punya kaitan dengan bisnis asuransi jiwa.
“Surat Pertamina yang membubarkan Prokespen merupakan tindakan melawan hukum, karena tak berwenang mengatur asuransi,” kata pensiunan Madjedi Hasan dalam satu surat elektroniknya, Mei 2001.
Madjedi –yang bekerja di PT Caltex selama 23 tahun—juga menghubungi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) untuk menjadi penengah. Perundingan kian alot. Direktorat Asuransi Departemen Keuangan, PT Pertamina, PT Caltex dan PT Tugu Mandiri akhirnya duduk satu meja dengan perwakilan pensiunan untuk menyelesaikan kegagalan Prokespen.
Kesepakatan awal muncul: membebaskan pensiunan memilih perusahaan asuransi lain. Konsekuensinya, diperlukan tambahan dana. Tilaar sering hadir dalam mediasi tersebut. Walaupun demikian, Pertamina MPS pada awalnya mengkhawatirkan pemberian dana itu akan menjadi soal tersendiri di masa yang akan datang. Direktur Pertamina MPS kala itu, Effendi Situmorang menuturkan dalam surat elektroniknya kepada Madjedi, persoalan ini lebih tepat diselesaikan oleh Direktorat Asuransi sebagai pihak yang berwenang menentukan kebijakan. Problem tersebut, bagi dia, lebih merupakan persoalan kewajiban PT Tugu Mandiri terhadap nasabahnya.
“Pemenuhan dana yang berasal dari KPS atas beban cost recovery, menurut pendapat saya tidak tepat, karena tidak ada hubungannya dengan operasi KPS,” tulis Effendi pada akhir Agustus 2001. “Hal ini akan menjadi temuan di kemudian hari.”
Pendirian Effendi berubah.
Sebulan kemudian, dia meneken surat yang intinya menyetujui pemberian dana penyelamatan dan memberikan keleluasaan kepada para pensiunan untuk memilih produk asuransi lain. Ini tentu dengan persetujuan Direktur Pertamina periode 2000-2003, Baihaki Hakim, yang sebelumnya menjabat Presiden Direktur PT Caltex periode 1994-1999.
Baihaki sendiri mengakui tempatnya bekerja selama 3 tahun itu merupakan sarang korupsi serta rawan intervensi. Dalam bukunya The Lone Ranger: Lekak-Likuk Transformasi Pertamina, dia mengungkapkan hal tersebut biasanya terkait dengan Technical Assistance Contract (TAC) dan Joint Operating Body (JOB). Contohnya, masalah biaya dalam perjanjian atau kontrak yang tidak dilaksanakan dengan baik.
“Sudah jelas sesuai kontrak adalah beban kontraktor, tapi setelah diaudit menjadi beban Pertamina,” kata Baihaki. “Saya menduga pasti ada kolusi. Saya juga curiga ada hubungan terlalu mesra antara JOB dengan orang dalam.”
PT Pertamina tetap menyetujui paket penyelamatan itu sebagai bentuk apresiasi manajemen KPS untuk para pensiunan. Ini karena para perusahaan asing tersebut telah memberikan sumbangan besar bagi penerimaan negara di sektor minyak dan gas bumi. Riset organisasi Publish What You Pay Indonesia mencatat sebesar Rp80,46 triliun diperoleh negara pada akhir 2003, atau naik dibandingkan tahun sebelumnya, Rp77,48 triliun. Kesepakatan pun ditandatangani pada akhir Oktober 2001 oleh perwakilan 1.606 pensiunan. Termasuk Madjedi dan Tilaar.
Permufakatan itu mengatur soal penyaluran dana penyelamatan dan kerelaan pembubaran Prokespen. Di sisi lain, para pensiunan diminta tidak akan mengajukan tuntutan hukum kepada PT Caltex, PT Pertamina maupun PT Tugu Mandiri. Dana itu akan disalurkan kepada masing-masing peserta—melalui yayasan— dengan tiga pilihan produk di luar Dakespen. Mereka adalah milik PT Askes (Persero), PT Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dan PT Mitra Keluarga Piranti Sehat (MKPS).
Dua yayasan pun dibentuk pada November 2001 untuk penyaluran dana sebesar Rp18,96 miliar. Keduanya yaitu Yayasan Himpunan Pensiunan Caltex (YHPC) dan Yayasan Pensiunan Caltex Riau (YPCR).Tilaar sendiri menjabat sebagai ketua pengurus YHPC, Soemarman Wiriawidjaja menjabat bendahara, serta Madjedi pada badan pendirinya. Sedangkan YPCR dipimpin oleh Hariadi di Pekan Baru, Riau. Namun, ketegangan antara Madjedi dan Tilaar memuncak.
“Tilaar punya agenda sendiri,” kata Madjedi. “Dia membujuk para pensiunan menulis MKPS sebagai pilihan, walaupun sudah memilih sebelumnya. Ini yang menimbulkan kerancuan daftar pilihan dan terjadi pertentangan.”
Masalah tersebut berlangsung hingga akhir tahun. Tidak hanya antara Madjedi dan Tilaar, namun juga merambat ke PT Tugu Mandiri. Ini karena daftar pilihan peserta yang membingungkan akibat ditulisnya dua produk pilihan sekaligus, bukan satu. Badan Pendiri YHPC akhirnya mengambil sikap untuk mendinginkan suasana. Mereka ingin segala macam polemik dihentikan. Mereka juga membagi tugas hingga pencairan sisa nilai tanggungan beserta pembayaran premi rampung dikucurkan. Rinciannya adalah PT Askes di Jakarta (Rp2,06 miliar), PT Askes di Pekan Baru (Rp6,08 miliar), PT Bumiputera 1912 (Rp422,55 juta), PT MKPS (Rp1,57 miliar). Sedangkan untuk pensiunan yang akhirnya tetap memilih Dakespen adalah sebesar Rp7,69 miliar.
Namun, Tilaar tak pernah puas.
Dia menulis surat atas nama YHPC ke Komisi Hukum DPR RI dengan tembusan ke mana-mana.Dari Direktorat Asuransi, YLKI hingga Indonesia Corruption Watch. Menurut Madjedi, Badan Pendiri YHPC sendiri justru tidak diberikan kopi suratnya. Tilaar tetap mempersoalkan keabsahan pemberian dana penyelamatan PT Caltex. Lainnya, Direktorat Asuransi, yang kala itu dipimpin Firdaus Djaelani, dituding mandul. Madjedi, sebagai Badan Pendiri YHPC, memberikan peringatan agar surat itu ditarik kembali sekaligus meminta maaf. Dia menilai koleganya itu sudah menyalahi wewenang.
“Yayasan hanya menjadi pemegang polis asuransi yang akan datang buat pensiunan. Kami tidak lagi mencampuri urusan Prokespen dan Tugu Mandiri,” ujar Madjedi. “Apabila teguran ini tidak diindahkan, yang bersangkutan akan dibebastugaskan.”
Tilaar pun akhirnya diberhentikan. Soemarman, sang bendahara, juga mengundurkan diri dari YHPC. Keduanya diganti masing-masing oleh Rumzy B. Rasyad dan Mubahar. Pada Maret 2002, Tilaar mendirikan Yayasan Kesehatan Pensiunan Caltex (YKPC) di mana Soemarman menjadi ketua pengurus. Tetapi masalah kian bertambah. Dalam sebuah surat elektronik untuk Madjedi, Soemarman mengatakan polis asuransi khusus PT MKPS telah dialihkan dari YHPC ke YKPC. Ada 104 pensiunan di sana, termasuk Suwahjuhadi Mertosono, mantan orang nomer dua di korporasi tersebut. Madjedi menilai pemindahan itu tidak lazim, karena bukan pihak yang termasuk dalam kesepakatan. Baginya, ini semacam kudeta. Pengkhianatan.
Dana sebesar Rp1,57 miliar pun berpindah tangan.
Tak hanya itu, Tilaar tiba-tiba mengajukan gugatan kepada PT Tugu Mandiri karena dituduh memotong 10% penyaluran dana penyelamatan. Langkah hukum ini dilakukan tiga kali berturut-turut sepanjang Juli 2002-Desember 2002 atas nama sejumlah pensiunan. Namun, sebagian dari mereka mencabut surat kuasa ketika baru mengetahui para tergugat adalah PT Tugu Mandiri, PT Caltex, dan PT Pertamina. Gugatan berujung kegagalan.
Semua langkah yang dilakukan Tilaar pupus. Bahkan dia bersama Soemarman dituding memakai sejumlah uang pensiunan yang disimpan YKPC. Ini untuk membayar ongkos pengacara, sedikitnya Rp35 juta. Juga gara-gara menolak menyerahkan sisa uang para pensiunan Rp329,18 juta untuk meningkatkan maslahat asuransi. Akibatnya, Soemarman diadukan Harman—salah satu peserta MKPS—ke Polisi Resor Jakarta Selatan pada 2003, dengan dugaan penggelapan. Tapi ini tidak ditindaklanjuti karena Soemarman memutuskan pindah ke Amerika Serikat. Dalam sebuah surat elektronik, pensiunan itu menolak menjawab wawancara saya.
Saya berkesempatan menemui Madjedi dalam sebuah wawancara di kantornya lantai 17 Graha Niaga, kawasan Jenderal Soedirman , Jakarta Pusat pada pekan terakhir Juni lalu.Rambutnya putih karena usia.Pakaiannya terkesan sederhana. Dia kini menjadi konsultan bidang perminyakan dan juga menjadi editor ahli di majalah Petrominer.
“Saya sudah menutup masalah itu. Ini sudah lama sekali,” kata pria berusia 76 tahun itu, saat wawancara dimulai. “Kesepakatan pada Oktober 2001 harus dipandang sebagai tonggak perdamaian.”
Dia menilai Tilaar adalah orang yang kecewa dengan amblasnya gugatan hukum. Inilah yang mendorong dia untuk mencari modus baru: melaporkan talangan PT Caltex sebagai tindak pidana korupsi. Saya memberitahu Madjedi kemudian. Status pemberian dana penyelamatan memang masuk dalam ranah penyelidikan KPK. Itu berarti ada indikasi pidana korupsi yang ditemukan. KPK mengumumkan sederet kasus yang tengah diselidikinya ke Komisi Hukum DPR RI pada April 2010. Salah satunya soal dana yang dinikmati pensiunan PT Caltex, termasuk Tilaar.
Dia terkejut. “Tidak mungkin.”
SURAT BERLOGO burung Garuda itu ditandatangani Chandra Martha Hamzah pada akhir Agustus 2008. Chandra adalah Wakil Ketua Pimpinan KPK periode 2007-2011 dengan latar belakang advokat. Surat itu ditujukan kepada Ombudsman Republik Indonesia dengan perihal tertulis: dugaan penyalahgunaan keuangan negara oleh PT Pertamina dan PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri yang melibatkan kontraktor asing. Substansinya ada empat hal. Salah satunya, KPK menerima audit investigatif BPKP terhadap sepuluh KPS pada Mei 2008. Ini di luar PT Caltex.
Nama-nama kontraktor asing itu adalah antara lain PT Atlantic Richfield Company (Arco) Indonesia, PT American Overseas Petroleum (Amoseas) Indonesia, ConocoPhillips Indonesia, ExxonMobil, PT Kondur Indonesia, Santa Fe Energy Resources, Mobil Oil Indonesia, Total E&P Indonesie, Unocal Indonesia dan Virginia Indonesia Co. (Vico).
“Seluruh laporan audit tersebut,” kata Chandra, “sedang ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.”
BPKP menyatakan modus pembebanan subsidi sepuluh KPS tersebut tidak sama sekali berbeda dengan PT Caltex. Dia hanya berbeda dari sisi waktu. Audit investigatif sepuluh perusahaan itu dikerjakan sangat cepat dibandingkan dengan PT Caltex—yang memakan waktu 3 tahun—yaitu hanya 8 bulan. Dari September 2007 hingga Mei 2008. Khusus PT Caltex, BPKP menemukan indikasi keterlibatan pada lima orang. Namun, Direktur Investigasi BUMN dan BUMD BPKP Eddy Mulyadi menolak membeberkannya. Dia mengatakan dirinya terikat dengan peraturan. BPKP hanya menyerahkan audit investigatif tersebut kepada KPK, sebagai penegak hukum sekaligus peminta laporan.
“Saya tidak boleh ngomong. Ini berdampak bagi penegak hukum.”
“Sudahkah ada indikasi kerugian negara?” tanya saya.
“Sudah. Secara general kasusnya sama.”
Tetapi Eddy tak mau memerinci jumlah indikasi kerugian negara. Dia menerangkan hasil laporan audit investigatif bukanlah sesuatu yang bersifat final. Penegak hukum harus menemukan dahulu sebuah peristiwa secara lengkap: siapa berbuat apa. Dan inilah yang masih dilakukan KPK. Namun bagi Tilaar, pengalaman terakhir di gedung komisi itu sungguh tidak menyenangkan. Ini terkait dengan permintaan keterangan.
Saya menemui Tilaar dalam sebuah wawancara pertengahan Juli lalu. Dia menceritakan bagaimana mulanya Andini Chaidir—salah satu penyelidik KPK—meminta dirinya hadir untuk diklarifikasi pada 12 Juni 2009. Tanpa undangan resmi, hanya melalui telepon empat hari sebelumnya. Padahal, KPK pernah menyuratinya untuk diminta keterangan dengan tanda tangan Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, Junino Jahja pada 2006 silam. Demikian pula BPKP yang memeriksanya pada Mei 2005. Lembaga itu menggunakan surat resmi yang diteken pejabat harian Kepala Tim Audit Investigatif BPKP, Yudi Rianto.
Tilaar tetap bersedia datang.
Namun masalah muncul. Tilaar yang didampingi anaknya tak dizinkan masuk karena tak membawa undangan. Dia pun menyebutkan nama Andini Chaidir, tetapi tak membawa hasil. Petugas penjaga tamu mengklaim tak mengenal nama itu. Keributan terjadi ruang lobi. Tapi akhirnya Tilaar diizinkan naik ke lantai 7.
“Kami diberitahu bahwa alasan sulitnya bertemu dengan para pejabat KPK adalah alasan keamanan. Ini mengingat banyaknya kawan maupun musuh KPK sendiri,” ujar Tilaar.
Tahun lalu memang menjadi masa yang sulit dilupakan KPK. Pada Mei 2009, mantan Ketua KPK Antasari Azhar ditahan kepolisian karena dituduh terlibat dalam pembunuhan mantan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Ini gara-gara Nasrudin memergoki Antasari berduaan dengan caddy golf, Rani Juliani—istri ketiga Nasrudin— di kamar hotel. Antasari berlatar belakang jaksa. Dia terpilih menjadi ketua komisi dengan mengalahkan kandidat lainnya: Bibit S. Rianto, Chandra Hamzah, Haryono Umar dan Mochamad Jasin. Kasus pembunuhan itu cukup membuat lembaga anti-korupsi tersebut limbung.
“Salah satu penyelidik mengatakan argonya baru jalan lagi. Dia meminta saya untuk mengulang kembali pengaduan kasus tersebut,” ujar Tilaar, menceritakan dirinya saat dimintai keterangan. “Ini membuat saya keberatan.”
Mungkin keterangan Tilaar menjadi penting. Surat YKPC ke KPK tertanggal 9 Juni 2009 setidaknya mengungkapkan bagaimana permintaan Andini Chaidir saat menelepon Tilaar. Menurut surat itu, KPK secara tidak langsung justru meminta nama-nama yang diduga bertanggung jawab dalam pengucuran dana talangan milik PT Caltex. Padahal, komisi anti-korupsi itu dapat melakukan penelusuran sendiri siapa saja pihak yang diduga terlibat.
Saya pun berusaha menemui Baihaki Hakim dan Effendi Situmorang, dua mantan pejabat PT Pertamina, yang memutuskan kebijakan kontroversial itu. Melalui anak terakhirnya, Fiona Baihaki, menyatakan ayahnya sendiri yang akan menghubungi saya terkait dengan wawancara masalah Prokespen. Saya memang meninggalkan identitas diri— nomor telepon beserta alamat surat elektronik—saat bertamu ke rumah Fiona, kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan pada Juli lalu. Ini adalah rumah yang sering dikunjungi pria berusia 68 tahun itu. Namun nihil. Baihaki tak pernah mengontak. Juga Effendi Situmorang— kini menjabat Komisaris PT Pertamina EP—menolak memberikan jawabannya atas masalah ini dalam sebuah surat elektronik awal September lalu. Dia menuturkan tidak akan berkomentar lagi karena kasus Prokespen sudah ditangani KPK.
Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah menjelaskan walaupun disertai lampiran bukti, audit investigatif hanya memberikan petunjuk kepada penyidik, bukan laporan final indikasi pidana korupsi. Menurut dia, kategori pidana tersebut hanya ditentukan penyidik sebagai penegak hukum sekaligus pengguna hasil audit.
“Meski sudah dinyatakan ada penyimpangan?” tanya saya.
“Hasil audit hanya membantu menghitung kerugian negara,” jawab Chandra, akhir Agustus lalu. “Penyidiklah yang menentukan bagaimana tindak pidana korupsi telah terjadi.”
Dan ini sudah hampir 7 tahun berlalu. Masa jabatan Chandra dan kawan-kawannya akan segera berakhir dalam 1 tahun ke depan. Mereka akan berkejaran dengan waktu. Juga dengan kasus-kasus besar lainnya. Bisa jadi kegeraman Tilaar kali ini benar-benar membuncah dan meledakkan emosi. Dengan kesimpulan memburuk, kian membumbung di kepalanya. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)
3.130 words
KEGERAMAN HAMPIR meledakkan emosi Vincentius Albert Tilaar saat menyebut nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejak Desember 2003, kasus dugaan korupsi yang dia laporkan tak kunjung rampung. Selama hampir 7 tahun pula, Tilaar bolak balik datang ke kantor KPK. Dari kawasan Jalan Veteran, Jakarta Pusat hingga kini di Rasuna Said, Jakarta Selatan. Dari berkirim surat sampai dimintai keterangan. Dan selama masa itu, kesimpulan membumbung di kepalanya.
“KPK tidak bergigi membongkar kasus korupsi. Lembaga ini sengaja mengulur-ulur waktu,” kata dia pada Juli lalu.
Tilaar mungkin saja tidak keliru. Dia menyambangi lembaga pemberantas korupsi itu semenjak baru berdiri. KPK periode 2003-2007 dipimpin lima orang yakni Taufiequrrachman Ruki, Amin Sunaryadi , Erry Riana Hardjapamekas, Tumpak Panggabean dan Siradjudin Rasul. Tilaar sendiri pensiunan berusia 68 tahun dari PT Caltex Pacific Indonesia—kini PT Chevron Pacific Indonesia— raksasa eksplorasi minyak dan gas bumi asal Amerika Serikat. Dalam laporan itu, Tilaar mengatasnamakan Badan Pendiri Yayasan Kesehatan Pensiunan Caltex (YKPC) yang dibentuknya pada Maret 2002.
Awal kegusaran Tilaar bermula dari pengucuran dana penyelamatan PT Caltex sebagai salah satu Kontraktor Production Sharing (KPS). Ini akibat kegagalan PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri mengelola Proteksi Kesehatan Pensiunan (Prokespen), produk asuransi jiwa kumpulan untuk para pensiunan, macam Tilaar. Ada sepuluh KPS lain yang ikut, namun tetap didominasi PT Caltex. Jumlahnya mencapai 1.637 dari 2.297 pensiunan. Tak hanya bagi pensiunan, namun 6.279 pekerja aktif KPS—yang belum mencapai 56 tahun—pun tertarik dengan Prokespen. Program ini berjalan sejak 1992 namun disetop pada 2000 karena gagal membayar klaim. Jumlahnya kurang lebih Rp11 miliar, sementara perolehan premi selama 7 tahun hanya mencapai Rp2 miliar. Dana penyelamatan milik PT Caltex dan sepuluh KPS lainnya dikenal sebagai rescue fund atau rescue package.
“Prokespen tidak berkaitan dengan kegiatan eksplorasi. Ini hanya kontrak asuransi jiwa biasa dengan pensiunan sebagai tertanggung dan perusahaan sebagai pemegang polis,” kata dia.
Kegagalan Prokespen hanyalah satu masalah Tilaar. Masalah lain, adalah tentang masuknya dana penyelamatan ke dalam komponen pengembalian biaya eksplorasi atau cost recovery para KPS. Ini adalah jenis biaya yang dikembalikan pemerintah setelah wilayah kerja hasil eksplorasi pihak swasta berproduksi secara komersial. PT Caltex sendiri mengucurkan Rp18,96 miliar dari total dana penyelamatan seluruh pensiunan Rp41,1 miliar. Salah satunya untuk membeli premi baru dari perusahaan asuransi berbeda. Proses penyelamatan itu memakan waktu sepanjang 2001-2003. Dari pendataan kembali para pensiunan hingga pencairan dana.
Respon pertama KPK ditulis Erry Riana dalam suratnya kepada YKPC pada Januari 2004. KPK menyatakan akan mempelajari pengaduan itu dan menghubungi Tilaar jika ditemukan kemajuan. Namun jawaban itu tak memuaskan. Tilaar kembali mengadu ke Komisi Ombudsman Nasional—kini Ombudsman Republik Indonesia—yang akhirnya menyurati Menteri Negara BUMN dengan tembusan PT Pertamina.
Menurut Ariffi Nawawi, Direktur Utama PT Pertamina periode 2003-2004, paket penyelamatan merupakan solusi untuk menghindari dampak sosial lebih serius setelah Prokespen bubar. Sebelas KPS dan Pertamina Badan Pembinaan dan Pengusahaan Kontraktor Asing (BPPKA) —saat itu adalah pelaku bisnis sekaligus regulator—akhirnya menyetujui paket tersebut untuk para pensiunan. Usai terbitnya UU Minyak dan Gas Bumi pada 2001, fungsi pengaturan Pertamina kemudian diamputasi, digantikan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas di bawah Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Pertamina BPPKA sebagai pemegang manajemen para KPS meminta persetujuan direktur utama Pertamina untuk mengalokasikan tambahan dana sebagai rescue fund sebesar Rp41,1 miliar,” ujar Ariffi dalam suratnya, Mei 2004. “Ini menjadi beban KPS sebagai tambahan remunerating dan benefit cost yang merupakan cost recovery.”
Ini pula yang dikecam habis-habisan oleh Tilaar.
Namun jawaban Ariffi dipakai untuk kembali menyurati KPK. Amin Sunaryadi, pimpinan komisi itu, membalas surat YKPC pada Agustus 2004 dengan menerangkan KPK sudah meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengaudit pengucuran dana penyelamatan PT Caltex. Entah curiga atau habis kesabaran, Tilaar menuduh BPKP dan KPK tidak serius menuntaskan kasus dugaan korupsi karena informasi tentang perkembangan kasus saling bertentangan. Ini ditulisnya melalui surat pembaca harian Bisnis Indonesia edisi 4 Juli 2006.
BPKP menjawabnya seminggu kemudian. Lembaga itu mengklaim pihaknya sulit untuk mengumpulkan data pihak terkait dan klarifikasi Direktur Utama PT Pertamina yang memakan waktu. Setahun berlalu, akhirnya jawaban yang ditunggu muncul. Audit investigatif BPKP menemukan dugaan penyimpangan pengucuran rescue fund melalui PT Caltex yang merugikan negara sebesar Rp15,14 miliar. Dalam surat pada September 2007, Deputi Bidang Investigasi BPKP Suradji mengatakan pihaknya bersepakat dengan KPK agar temuan itu ditindaklanjuti sesuai peraturan yang berlaku.
Masalahnya, periode KPK jilid I hampir berakhir pada Desember 2007. Lima orang pimpinan bahkan belum memutuskan status penyelidikan atas kasus pengaduan Tilaar. Ini yang menyebabkan pensiunan itu menuduh Erry Riana sebagai orang yang menghambat penanganan kasus di KPK. Alasannya, Erry adalah Komisaris PT Timah (Persero) Tbk periode 1996-2002, perusahaan pemegang 29,59% saham PT Tugu Mandiri. Tetapi, ini dibantah kemudian.
“Pimpinan hanya mendapat laporan atau memantau perkembangan penanganan,” kata Erry dalam surat elektroniknya kepada saya, Agustus lalu. “Kewenangan sepenuhnya ada pada tenaga fungsional profesional penelaah pengaduan masyarakat dan penyidik.”
Tilaar boleh saja menuding Erry punya konflik kepentingan. Juga melaporkan kasus itu ke Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung. Komisi Hukum DPR RI. Atau sejumlah media massa. Namun, tidak semua pensiunan setuju dengan apa yang dilakukan Tilaar di saat usia senja. Ada pula yang sangat mengenalnya, mengapa dia demikian meradang.
HADI SUTANTO tahu benar sejarah kegagalan Prokespen di tengah jalan, sebelum akhirnya dibubarkan. Dia bekerja di PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri selama 25 tahun, dan kini menjabat Wakil Presiden Direktur. PT Tugu Mandiri sendiri dimiliki Dana Pensiun Pertamina sebesar 51,99% saham, disusul PT Timah Tbk 29,59% saham, PT Tugu Pratama Interindo 17,19% saham dan Menteri Keuangan sebesar 1,23% saham.
Perusahaan asuransi tersebut, awalnya dijanjikan memperoleh nasabah sedikitnya 20.000 orang oleh Pertamina BPPKA, selaku manajemen KPS. Target ini melenceng sangat jauh. Prokespen hanya diminati 6.279 pekerja aktif dan 2.297 pensiunan. Walaupun masa pertanggungan ditawarkan cukup lama, dari 56 tahun hingga maksimal 80 tahun, atau meninggal sebelum usia tersebut. Pertamina BPPKA saat itu dipimpin Sulaiman Zuhdi Pane, kini salah satu anggota komisaris PT Bumi Resources Tbk.
“Kami berpikir saat itu dijanjikan sekitar 20.000, tapi nyatanya tidak,” kata Hadi pada pertengahan Agustus lalu. “Kegagalan Prokespen juga disebabkan oleh melonjaknya biaya pengobatan dan pengaruh krisis moneter.”
PT Tugu Mandiri mula-mula membatasi pemberian maslahat kepada para pensiunan dengan mengurangi waktu rawat inap. Akhir 1998, muncul surat resmi yang menyatakan penghapusan jasa rawat jalan pada rumah sakit. Penundaan klaim pada September 1999. Goncangan keuangan perusahaan itu setidaknya dilihat dari rasio total hasil investasi terhadap manfaat dan klaim yang jauh menukik. Rp13 miliar berbanding Rp85,67 miliar pada akhir tahun itu. Dan Maret 2000, PT Tugu Mandiri sudah menolak seluruh pembayaran maslahat para pensiunan .
Kepanikan menjalar cepat.
Pada November 2000, pejabat sementara Kepala Pertamina BPPKA Herucokro Trimurdadi menerbitkan surat untuk membubarkan Prokespen pada akhir tahun. Program tersebut akan diubah menjadi asuransi kesehatan perorangan dengan nama Dana Kesehatan Pensiunan (Dakespen) pada Januari 2001. Tetapi usulan itu ditolak. Sebagian pensiunan melakukan demonstrasi di depan kantor PT Caltex, Pekan Baru. Ada pula yang memprotes terbitnya surat BPPKA—kemudian berganti menjadi Management Production Sharing (MPS) dan diambil alih fungsinya oleh Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas sejak 2002—yang tak punya kaitan dengan bisnis asuransi jiwa.
“Surat Pertamina yang membubarkan Prokespen merupakan tindakan melawan hukum, karena tak berwenang mengatur asuransi,” kata pensiunan Madjedi Hasan dalam satu surat elektroniknya, Mei 2001.
Madjedi –yang bekerja di PT Caltex selama 23 tahun—juga menghubungi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) untuk menjadi penengah. Perundingan kian alot. Direktorat Asuransi Departemen Keuangan, PT Pertamina, PT Caltex dan PT Tugu Mandiri akhirnya duduk satu meja dengan perwakilan pensiunan untuk menyelesaikan kegagalan Prokespen.
Kesepakatan awal muncul: membebaskan pensiunan memilih perusahaan asuransi lain. Konsekuensinya, diperlukan tambahan dana. Tilaar sering hadir dalam mediasi tersebut. Walaupun demikian, Pertamina MPS pada awalnya mengkhawatirkan pemberian dana itu akan menjadi soal tersendiri di masa yang akan datang. Direktur Pertamina MPS kala itu, Effendi Situmorang menuturkan dalam surat elektroniknya kepada Madjedi, persoalan ini lebih tepat diselesaikan oleh Direktorat Asuransi sebagai pihak yang berwenang menentukan kebijakan. Problem tersebut, bagi dia, lebih merupakan persoalan kewajiban PT Tugu Mandiri terhadap nasabahnya.
“Pemenuhan dana yang berasal dari KPS atas beban cost recovery, menurut pendapat saya tidak tepat, karena tidak ada hubungannya dengan operasi KPS,” tulis Effendi pada akhir Agustus 2001. “Hal ini akan menjadi temuan di kemudian hari.”
Pendirian Effendi berubah.
Sebulan kemudian, dia meneken surat yang intinya menyetujui pemberian dana penyelamatan dan memberikan keleluasaan kepada para pensiunan untuk memilih produk asuransi lain. Ini tentu dengan persetujuan Direktur Pertamina periode 2000-2003, Baihaki Hakim, yang sebelumnya menjabat Presiden Direktur PT Caltex periode 1994-1999.
Baihaki sendiri mengakui tempatnya bekerja selama 3 tahun itu merupakan sarang korupsi serta rawan intervensi. Dalam bukunya The Lone Ranger: Lekak-Likuk Transformasi Pertamina, dia mengungkapkan hal tersebut biasanya terkait dengan Technical Assistance Contract (TAC) dan Joint Operating Body (JOB). Contohnya, masalah biaya dalam perjanjian atau kontrak yang tidak dilaksanakan dengan baik.
“Sudah jelas sesuai kontrak adalah beban kontraktor, tapi setelah diaudit menjadi beban Pertamina,” kata Baihaki. “Saya menduga pasti ada kolusi. Saya juga curiga ada hubungan terlalu mesra antara JOB dengan orang dalam.”
PT Pertamina tetap menyetujui paket penyelamatan itu sebagai bentuk apresiasi manajemen KPS untuk para pensiunan. Ini karena para perusahaan asing tersebut telah memberikan sumbangan besar bagi penerimaan negara di sektor minyak dan gas bumi. Riset organisasi Publish What You Pay Indonesia mencatat sebesar Rp80,46 triliun diperoleh negara pada akhir 2003, atau naik dibandingkan tahun sebelumnya, Rp77,48 triliun. Kesepakatan pun ditandatangani pada akhir Oktober 2001 oleh perwakilan 1.606 pensiunan. Termasuk Madjedi dan Tilaar.
Permufakatan itu mengatur soal penyaluran dana penyelamatan dan kerelaan pembubaran Prokespen. Di sisi lain, para pensiunan diminta tidak akan mengajukan tuntutan hukum kepada PT Caltex, PT Pertamina maupun PT Tugu Mandiri. Dana itu akan disalurkan kepada masing-masing peserta—melalui yayasan— dengan tiga pilihan produk di luar Dakespen. Mereka adalah milik PT Askes (Persero), PT Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dan PT Mitra Keluarga Piranti Sehat (MKPS).
Dua yayasan pun dibentuk pada November 2001 untuk penyaluran dana sebesar Rp18,96 miliar. Keduanya yaitu Yayasan Himpunan Pensiunan Caltex (YHPC) dan Yayasan Pensiunan Caltex Riau (YPCR).Tilaar sendiri menjabat sebagai ketua pengurus YHPC, Soemarman Wiriawidjaja menjabat bendahara, serta Madjedi pada badan pendirinya. Sedangkan YPCR dipimpin oleh Hariadi di Pekan Baru, Riau. Namun, ketegangan antara Madjedi dan Tilaar memuncak.
“Tilaar punya agenda sendiri,” kata Madjedi. “Dia membujuk para pensiunan menulis MKPS sebagai pilihan, walaupun sudah memilih sebelumnya. Ini yang menimbulkan kerancuan daftar pilihan dan terjadi pertentangan.”
Masalah tersebut berlangsung hingga akhir tahun. Tidak hanya antara Madjedi dan Tilaar, namun juga merambat ke PT Tugu Mandiri. Ini karena daftar pilihan peserta yang membingungkan akibat ditulisnya dua produk pilihan sekaligus, bukan satu. Badan Pendiri YHPC akhirnya mengambil sikap untuk mendinginkan suasana. Mereka ingin segala macam polemik dihentikan. Mereka juga membagi tugas hingga pencairan sisa nilai tanggungan beserta pembayaran premi rampung dikucurkan. Rinciannya adalah PT Askes di Jakarta (Rp2,06 miliar), PT Askes di Pekan Baru (Rp6,08 miliar), PT Bumiputera 1912 (Rp422,55 juta), PT MKPS (Rp1,57 miliar). Sedangkan untuk pensiunan yang akhirnya tetap memilih Dakespen adalah sebesar Rp7,69 miliar.
Namun, Tilaar tak pernah puas.
Dia menulis surat atas nama YHPC ke Komisi Hukum DPR RI dengan tembusan ke mana-mana.Dari Direktorat Asuransi, YLKI hingga Indonesia Corruption Watch. Menurut Madjedi, Badan Pendiri YHPC sendiri justru tidak diberikan kopi suratnya. Tilaar tetap mempersoalkan keabsahan pemberian dana penyelamatan PT Caltex. Lainnya, Direktorat Asuransi, yang kala itu dipimpin Firdaus Djaelani, dituding mandul. Madjedi, sebagai Badan Pendiri YHPC, memberikan peringatan agar surat itu ditarik kembali sekaligus meminta maaf. Dia menilai koleganya itu sudah menyalahi wewenang.
“Yayasan hanya menjadi pemegang polis asuransi yang akan datang buat pensiunan. Kami tidak lagi mencampuri urusan Prokespen dan Tugu Mandiri,” ujar Madjedi. “Apabila teguran ini tidak diindahkan, yang bersangkutan akan dibebastugaskan.”
Tilaar pun akhirnya diberhentikan. Soemarman, sang bendahara, juga mengundurkan diri dari YHPC. Keduanya diganti masing-masing oleh Rumzy B. Rasyad dan Mubahar. Pada Maret 2002, Tilaar mendirikan Yayasan Kesehatan Pensiunan Caltex (YKPC) di mana Soemarman menjadi ketua pengurus. Tetapi masalah kian bertambah. Dalam sebuah surat elektronik untuk Madjedi, Soemarman mengatakan polis asuransi khusus PT MKPS telah dialihkan dari YHPC ke YKPC. Ada 104 pensiunan di sana, termasuk Suwahjuhadi Mertosono, mantan orang nomer dua di korporasi tersebut. Madjedi menilai pemindahan itu tidak lazim, karena bukan pihak yang termasuk dalam kesepakatan. Baginya, ini semacam kudeta. Pengkhianatan.
Dana sebesar Rp1,57 miliar pun berpindah tangan.
Tak hanya itu, Tilaar tiba-tiba mengajukan gugatan kepada PT Tugu Mandiri karena dituduh memotong 10% penyaluran dana penyelamatan. Langkah hukum ini dilakukan tiga kali berturut-turut sepanjang Juli 2002-Desember 2002 atas nama sejumlah pensiunan. Namun, sebagian dari mereka mencabut surat kuasa ketika baru mengetahui para tergugat adalah PT Tugu Mandiri, PT Caltex, dan PT Pertamina. Gugatan berujung kegagalan.
Semua langkah yang dilakukan Tilaar pupus. Bahkan dia bersama Soemarman dituding memakai sejumlah uang pensiunan yang disimpan YKPC. Ini untuk membayar ongkos pengacara, sedikitnya Rp35 juta. Juga gara-gara menolak menyerahkan sisa uang para pensiunan Rp329,18 juta untuk meningkatkan maslahat asuransi. Akibatnya, Soemarman diadukan Harman—salah satu peserta MKPS—ke Polisi Resor Jakarta Selatan pada 2003, dengan dugaan penggelapan. Tapi ini tidak ditindaklanjuti karena Soemarman memutuskan pindah ke Amerika Serikat. Dalam sebuah surat elektronik, pensiunan itu menolak menjawab wawancara saya.
Saya berkesempatan menemui Madjedi dalam sebuah wawancara di kantornya lantai 17 Graha Niaga, kawasan Jenderal Soedirman , Jakarta Pusat pada pekan terakhir Juni lalu.Rambutnya putih karena usia.Pakaiannya terkesan sederhana. Dia kini menjadi konsultan bidang perminyakan dan juga menjadi editor ahli di majalah Petrominer.
“Saya sudah menutup masalah itu. Ini sudah lama sekali,” kata pria berusia 76 tahun itu, saat wawancara dimulai. “Kesepakatan pada Oktober 2001 harus dipandang sebagai tonggak perdamaian.”
Dia menilai Tilaar adalah orang yang kecewa dengan amblasnya gugatan hukum. Inilah yang mendorong dia untuk mencari modus baru: melaporkan talangan PT Caltex sebagai tindak pidana korupsi. Saya memberitahu Madjedi kemudian. Status pemberian dana penyelamatan memang masuk dalam ranah penyelidikan KPK. Itu berarti ada indikasi pidana korupsi yang ditemukan. KPK mengumumkan sederet kasus yang tengah diselidikinya ke Komisi Hukum DPR RI pada April 2010. Salah satunya soal dana yang dinikmati pensiunan PT Caltex, termasuk Tilaar.
Dia terkejut. “Tidak mungkin.”
SURAT BERLOGO burung Garuda itu ditandatangani Chandra Martha Hamzah pada akhir Agustus 2008. Chandra adalah Wakil Ketua Pimpinan KPK periode 2007-2011 dengan latar belakang advokat. Surat itu ditujukan kepada Ombudsman Republik Indonesia dengan perihal tertulis: dugaan penyalahgunaan keuangan negara oleh PT Pertamina dan PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri yang melibatkan kontraktor asing. Substansinya ada empat hal. Salah satunya, KPK menerima audit investigatif BPKP terhadap sepuluh KPS pada Mei 2008. Ini di luar PT Caltex.
Nama-nama kontraktor asing itu adalah antara lain PT Atlantic Richfield Company (Arco) Indonesia, PT American Overseas Petroleum (Amoseas) Indonesia, ConocoPhillips Indonesia, ExxonMobil, PT Kondur Indonesia, Santa Fe Energy Resources, Mobil Oil Indonesia, Total E&P Indonesie, Unocal Indonesia dan Virginia Indonesia Co. (Vico).
“Seluruh laporan audit tersebut,” kata Chandra, “sedang ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.”
BPKP menyatakan modus pembebanan subsidi sepuluh KPS tersebut tidak sama sekali berbeda dengan PT Caltex. Dia hanya berbeda dari sisi waktu. Audit investigatif sepuluh perusahaan itu dikerjakan sangat cepat dibandingkan dengan PT Caltex—yang memakan waktu 3 tahun—yaitu hanya 8 bulan. Dari September 2007 hingga Mei 2008. Khusus PT Caltex, BPKP menemukan indikasi keterlibatan pada lima orang. Namun, Direktur Investigasi BUMN dan BUMD BPKP Eddy Mulyadi menolak membeberkannya. Dia mengatakan dirinya terikat dengan peraturan. BPKP hanya menyerahkan audit investigatif tersebut kepada KPK, sebagai penegak hukum sekaligus peminta laporan.
“Saya tidak boleh ngomong. Ini berdampak bagi penegak hukum.”
“Sudahkah ada indikasi kerugian negara?” tanya saya.
“Sudah. Secara general kasusnya sama.”
Tetapi Eddy tak mau memerinci jumlah indikasi kerugian negara. Dia menerangkan hasil laporan audit investigatif bukanlah sesuatu yang bersifat final. Penegak hukum harus menemukan dahulu sebuah peristiwa secara lengkap: siapa berbuat apa. Dan inilah yang masih dilakukan KPK. Namun bagi Tilaar, pengalaman terakhir di gedung komisi itu sungguh tidak menyenangkan. Ini terkait dengan permintaan keterangan.
Saya menemui Tilaar dalam sebuah wawancara pertengahan Juli lalu. Dia menceritakan bagaimana mulanya Andini Chaidir—salah satu penyelidik KPK—meminta dirinya hadir untuk diklarifikasi pada 12 Juni 2009. Tanpa undangan resmi, hanya melalui telepon empat hari sebelumnya. Padahal, KPK pernah menyuratinya untuk diminta keterangan dengan tanda tangan Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, Junino Jahja pada 2006 silam. Demikian pula BPKP yang memeriksanya pada Mei 2005. Lembaga itu menggunakan surat resmi yang diteken pejabat harian Kepala Tim Audit Investigatif BPKP, Yudi Rianto.
Tilaar tetap bersedia datang.
Namun masalah muncul. Tilaar yang didampingi anaknya tak dizinkan masuk karena tak membawa undangan. Dia pun menyebutkan nama Andini Chaidir, tetapi tak membawa hasil. Petugas penjaga tamu mengklaim tak mengenal nama itu. Keributan terjadi ruang lobi. Tapi akhirnya Tilaar diizinkan naik ke lantai 7.
“Kami diberitahu bahwa alasan sulitnya bertemu dengan para pejabat KPK adalah alasan keamanan. Ini mengingat banyaknya kawan maupun musuh KPK sendiri,” ujar Tilaar.
Tahun lalu memang menjadi masa yang sulit dilupakan KPK. Pada Mei 2009, mantan Ketua KPK Antasari Azhar ditahan kepolisian karena dituduh terlibat dalam pembunuhan mantan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Ini gara-gara Nasrudin memergoki Antasari berduaan dengan caddy golf, Rani Juliani—istri ketiga Nasrudin— di kamar hotel. Antasari berlatar belakang jaksa. Dia terpilih menjadi ketua komisi dengan mengalahkan kandidat lainnya: Bibit S. Rianto, Chandra Hamzah, Haryono Umar dan Mochamad Jasin. Kasus pembunuhan itu cukup membuat lembaga anti-korupsi tersebut limbung.
“Salah satu penyelidik mengatakan argonya baru jalan lagi. Dia meminta saya untuk mengulang kembali pengaduan kasus tersebut,” ujar Tilaar, menceritakan dirinya saat dimintai keterangan. “Ini membuat saya keberatan.”
Mungkin keterangan Tilaar menjadi penting. Surat YKPC ke KPK tertanggal 9 Juni 2009 setidaknya mengungkapkan bagaimana permintaan Andini Chaidir saat menelepon Tilaar. Menurut surat itu, KPK secara tidak langsung justru meminta nama-nama yang diduga bertanggung jawab dalam pengucuran dana talangan milik PT Caltex. Padahal, komisi anti-korupsi itu dapat melakukan penelusuran sendiri siapa saja pihak yang diduga terlibat.
Saya pun berusaha menemui Baihaki Hakim dan Effendi Situmorang, dua mantan pejabat PT Pertamina, yang memutuskan kebijakan kontroversial itu. Melalui anak terakhirnya, Fiona Baihaki, menyatakan ayahnya sendiri yang akan menghubungi saya terkait dengan wawancara masalah Prokespen. Saya memang meninggalkan identitas diri— nomor telepon beserta alamat surat elektronik—saat bertamu ke rumah Fiona, kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan pada Juli lalu. Ini adalah rumah yang sering dikunjungi pria berusia 68 tahun itu. Namun nihil. Baihaki tak pernah mengontak. Juga Effendi Situmorang— kini menjabat Komisaris PT Pertamina EP—menolak memberikan jawabannya atas masalah ini dalam sebuah surat elektronik awal September lalu. Dia menuturkan tidak akan berkomentar lagi karena kasus Prokespen sudah ditangani KPK.
Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah menjelaskan walaupun disertai lampiran bukti, audit investigatif hanya memberikan petunjuk kepada penyidik, bukan laporan final indikasi pidana korupsi. Menurut dia, kategori pidana tersebut hanya ditentukan penyidik sebagai penegak hukum sekaligus pengguna hasil audit.
“Meski sudah dinyatakan ada penyimpangan?” tanya saya.
“Hasil audit hanya membantu menghitung kerugian negara,” jawab Chandra, akhir Agustus lalu. “Penyidiklah yang menentukan bagaimana tindak pidana korupsi telah terjadi.”
Dan ini sudah hampir 7 tahun berlalu. Masa jabatan Chandra dan kawan-kawannya akan segera berakhir dalam 1 tahun ke depan. Mereka akan berkejaran dengan waktu. Juga dengan kasus-kasus besar lainnya. Bisa jadi kegeraman Tilaar kali ini benar-benar membuncah dan meledakkan emosi. Dengan kesimpulan memburuk, kian membumbung di kepalanya. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)
Friday, April 30, 2010
hibah panas "hamba allah"
Oleh Anugerah Perkasa
2.573 words
BILLY SINDORO tahu betul risiko saat memutuskan menjadi seorang Protestan pada usia 17 tahun. Dia diusir dari rumahnya di Jalan Pemuda 126-128, Semarang bersama lima saudaranya yang memilih jalan serupa. Selama 6 bulan, mereka tinggal di Gereja Kristen Muria Indonesia, masih dalam kawasan yang sama. Sindoro bersaudara akhirnya menempati sebuah rumah bekas gudang semen di Jalan Kapuran 45, Semarang. Tapi dari bekas gudang semen ini, kecintaan mereka terhadap Tuhan meluap.
“Di rumah inilah Tuhan bekerja dengan dahsyat, setiap hari dipenuhi anak-anak muda yang haus akan Tuhan. Ini adalah pekerjaan Roh Kudus,” ujar Ryanto Sindoro, kakak Billy, yang memutuskan menjadi pendeta.
Rumah itu kian ramai. Sejumlah remaja Protestan yang pulang sekolah, menyaksikan bagaimana penginjilan dikumandangkan. Bahkan ada yang sampai tidur menginap. Mereka ingin merasakan kehadiran Tuhan. Tak terkecuali sang remaja Billy yang kian gelisah melihat praktik agamanya. Puncaknya, dia pun memprakarsai kebaktian “Malam Oikumene 1979”, dengan mengumpulkan para pelajar SMA di Semarang. Ini adalah dua tahun setelah pengusirannya dari rumah. Oikumene dikenal sebagai upaya untuk mempersatukan aliran-aliran dalam agama Nasrani serta menyerahkan hidupnya kepada Tuhan.
“Saya merasakan kesedihan melihat gereja-gereja terpecah dan saling menghakimi,” kata Billy, dalam situs www.30yearswalkwithjesus.com.
Acara itu mendapat sambutan luas. Sekitar 400 remaja memadati Gedung Wisma Pandanaran pada 1-3 Maret 1979. Ada suara tangisan yang menyebar. Mereka ingin bertobat dan berserah diri. Kegiatan itu melahirkan sebuah perkumpulan yang bernama Persatuan Siswa-Siswi Oikumene atau Persisko.
Billy akhirnya lulus dari SMA Karang Turi Semarang dan melanjutkan kuliah ke Amerika dengan konsentrasi administrasi bisnis. Pada 1986, dia mulai meniti karir di LippoBank, yang dimiliki pengusaha Mochtar Riady, sekaligus pendiri Grup Lippo.Kelak, Billy menjadi “tangan kanan” Mochtar bersama dengan kakaknya Eddy Sindoro. Sindoro bersaudara, mengurus sektor keuangan dan riil milik korporasi raksasa itu.
Karir Billy melesat dengan pelbagai jabatan. Dari Direktur Pengelola PT AIG LippoLife, CEO Lippo Insurance, hingga Presiden Direktur PT Natrindo Telepon Seluler. Tetapi, ada fase yang tak akan pernah dilupakannya. Memimpin PT First Media Tbk. Baik Billy maupun perusahaan itu pernah terlibat masalah hukum. Bahkan, hingga mengirimnya ke penjara.
PT First Media berdiri pada 1994 dengan nama pertama PT Broadband Multimedia. Awalnya, fokus bisnis perseroan adalah penyedia jasa televisi berbayar dengan merek dagang KabelVision. Pada 2000, perusahaan itu melakukan penawaran umum perdana untuk memperkuat struktur permodalannya sebanyak 20 juta lembar saham. Tujuh tahun kemudian, dia berganti nama PT First Media Tbk dengan bisnis andalan: televisi berbayar, layanan internet broadband hingga layanan komunikasi data melalui telekomunikasi digital. Billy memimpin perseroan sejak 2001-2005, namun terpilih kembali setelahnya hingga pertengahan 2008.
Masalah pertama, penunggakan pajak.
Ini bermula dari Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa Direktorat Jenderal Pajak yang mengirimkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar pada 14 November 2003. PT Broadband Multimedia belum membayar Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa sebesar Rp10,34 miliar. Tetapi, kekurangan tersebut langsung dilunasi.
Laporan keuangan PT Broaband Multimedia periode 2002-2005 menggambarkan keuntungan perusahaan yang turun naik. Pada 2002, perusahaan rugi sebesar Rp14 miliar, namun untung Rp10,66 miliar tahun berikutnya. Pada 2004, laba menukik tajam menjadi Rp3,55 miliar dan merangkak naik pada 2005, yakni Rp5,77 miliar. Apakah masalah pajak selesai sampai di sini? Tidak. Ini justru baru permulaan.
Pada April 2006, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus membentuk tim untuk memeriksa dugaan pelanggaran serupa. Tim tersebut diketuai Raden Handaru Ismoyojati, dengan dua anggota yakni Yudi Hermawan dan Agi Sugiono. Sedangkan perusahaan milik Grup Lippo itu menyewa jasa Abdul Asri Harahap dari kantor konsultan pajak AAH & Rekan, yang berkantor di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan. Walaupun dipimpin Handaru, pemeriksaan lebih banyak dilakukan bersama Yudi. Ini karena Asri dan Yudi berkawan semasa sang konsultan belum pensiun dari kantor pajak.
Dan dugaan tersebut tak keliru.
PT Broadband Multimedia ditemukan belum membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) periode 2004-2005. Rinciannya pada 2004 masing-masing PPN (Rp23,31 miliar), PPh Pasal 21 (Rp585,62 juta), PPh Pasal 23 (Rp576,62 juta), PPh Pasal 26 (Rp1,41 miliar), serta PPh pasal 4 (Rp18,59 juta). Ada pula surat tagihannya sebesar Rp4,31 miliar dan Rp45,40 juta.
Tahun berikutnya adalah PPN (Rp29,20 miliar), PPh Badan (Rp1,43 miliar), PPh Pasal 21(Rp902,03 juta), PPh Pasal 23 (Rp423,51 juta), PPh Pasal 26 (Rp1,63 miliar), serta PPh Pasal 4 (Rp31,42 juta). Surat tagihannya berjumlah Rp6,30 miliar dan Rp25,84 juta. Hingga jumlah total pajak beserta denda yang harus dibayar sebesar Rp70,24 miliar. Ini mengakibatkan laba bersih 2007 merosot menjadi Rp2,51 miliar dari Rp5,28pada 2006. Perseroan bahkan merugi hingga Rp101,72 miliar pada 2008.
“Saya langsung menyetujui jumlah [pajak] tersebut, karena sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penetapan itu telah benar,” ujar Asri Harahap, seperti kesaksiannya dalam dokumen putusan pengadilan.
Tugas Asri pun berakhir. Tetapi, hubungan tim pemeriksa beserta sang konsultan tak langsung berhenti. Kelak, mereka bertemu di Pengadilan Negeri Karawang, Jawa Barat. Mereka akan saling bersaksi tentang uang dolar yang diterima usai pemeriksaan pajak dirampungkan.
BAGAIMANA RASANYA punya uang US$500.000, disalurkan sebagian untuk pesantren namun ditangkap sesudahnya? Yudi Hermawan mungkin punya jawabannya. Setelah pemeriksaan pajak PT Broadband Multimedia, Yudi harus bolak-balik ke Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Karawang untuk mengurus uang dolar itu. Pada Maret 2007, dia membuka rekening deposito dan mengkonversinya menjadi Rp4,59 miliar. Ini jumlah jumbo bagi pegawai negeri golongan III A, yang menerima sekitar Rp10 juta setiap bulan.
Yudi juga aktif di Pengurus Cabang Muhammadiyah (PCM) Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat sejak 1999. Istrinya, Yani Rakhmawati bahkan menjadi Kepala Sekolah TK Aisyiyah IV, yang tak jauh dari rumah. Mereka tinggal di Dusun Sinarsari, Desa Kalangsari, Rengasdengklok. Keduanya dikaruniai lima orang anak.
Rapat PCM Rengasdengklok pada 7 April 2007 memutuskan untuk membuat sebuah pesantren. Yudi, yang baru saja diangkat sebagai Ketua PCM periode 2005-2010, menyampaikan ada dana untuk menyokong pembangunan. “Dari hamba Allah yang tak mau disebutkan namanya,” kata dia.
Dua hari setelahnya, Yudi kembali mendatangi BNI Cabang Karawang untuk menutup rekening dan memindahkan Rp4 miliar ke rekening baru dengan nomor 0121515195. Sebanyak Rp390 juta dimasukkan ke rekening nomor 0119609509 miliknya, dan sisanya ditarik tunai. Pada Juni 2007, uang Rp4 miliar beralih ke rekening nomor 0119609509 dan disebar ke sejumlah pihak. Dana itu diklaim milik PCM Rengasdengklok, tetapi dibagikan ke pihak yang tak berafiliasi dengan Muhammadiyah. Termasuk Agi Sugiono dan Raden Handaru Ismoyojati, tim pemeriksa pajak PT Broadband Multimedia. Juga Widiyanti, perempuan yang dikenalnya pada 2000 dan sempat “berkencan” beberapa kali.
Lantas, buat apa saja uang itu?
Agi mengaku uang tunai US$100.000 dari Yudi dipakai untuk kebutuhan online marketing, pengobatan orangtua dan kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, beberapa hari kemudian Yudi meminta agar US$2.500 dikembalikan, hingga total yang dimiliki hanyalah US$97.500. Handaru lain lagi. Dia menerima transfer Rp113 juta, sebanyak dua kali. Ini untuk cicilan mobil, biaya melahirkan istrinya hingga perpindahan dinas Jakarta -Semarang. Widianti juga cukup besar yakni Rp432 juta. Satu mobil Daihatsu Xenia dan rumah-toko seharga Rp225 juta akhirnya dimiliki. Saat bersamaan, Yudi mentransfer uang itu ke rekening istrinya untuk pembangunan pesantren.
Namun, langkah itu terhenti.
Pada Mei 2008, ketiga pegawai negeri tersebut dibekuk Kepolisian Daerah Jawa Barat dengan sangkaan praktik pencucian uang. Mantan Kepala Polisi Daerah Jawa Barat (Polda Jabar) Komjen Pol. Susno Duadji menyatakakan mulanya Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan mencurigai penempatan uang tambun di BNI Cabang Karawang.
“Saya meyakini ini adalah hasil suap, meskipun selalu disebut uang dari hamba Allah. Dan ini diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Susno kepada saya.
“Mengapa?”
“Suap terjadi di Jakarta. Ini bukan kewenangan Polda Jabar.”
Majelis hakim Pengadilan Negeri Karawang memang menemukan petunjuk soal sogok-menyogok. Dalam salinan putusan Yudi, disebutkan di antaranya adalah dolar milik Agi yang serupa dengan penempatan dana jumbo di BNI Cabang Karawang, terjadinya penerimaan uang setelah pemeriksaan selesai, hingga jumlah pajak kurang bayar yang segera disetujui. “Di pihak lain, terdakwa tidak dapat membuktikan asal-usul uang,” kata hakim Sirande Palayukan. “Uang itu berasal dari pemeriksaan PT Broadband Multimedia.”
Pada Februari 2009, Yudi Hermawan, Agi Sugiono dan Raden Handaru Ismoyojati akhirnya divonis masing-masing 8 tahun, 6 tahun dan 5 tahun. Majelis hakim Pengadilan Negeri Karawang menyatakan mereka terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang. Ketiganya langsung mengajukan langkah banding. Tujuh bulan sesudahnya, Pengadilan Tinggi Bandung mengurangi hukuman. Yudi dihukum 5 tahun, Agi menjadi 4 tahun sedangkan Handaru dibebaskan. Yudi meneruskan kasasi ke Mahkamah Agung.
Saya mengunjungi lokasi pembangunan Pesantren Al Bayan pada Maret lalu. Ini adalah lembaga pendidikan hasil rapat PCM Rengasdengklok 3 tahun silam. Bangunannya terletak di pinggir Jalan Raya Proklamasi, Dusun Sinarsari, satu lokasi dengan TK Aisyiyah IV. Pesantren ini mendekati rampung sejak dibangun pada Mei 2007. Semua jendela belum dipasang kaca. Rumput liar dibiarkan tumbuh. Batu bata merah pecah berserakan. Dan ada pula coretan tiga huruf kapital di dinding abu-abu : XTC!
BULAN SEPTEMBER tahun 2008 menjadi masa yang tak terlupakan bagi Billy Sindoro. Ini bukan masalah kerugian PT First Media, atau dua kasus pajak kurang bayar. Dia tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) usai memberikan uang Rp500 juta ke Mohammad Iqbal, anggota dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ada dugaan sogok terkait dengan keputusan KPPU menyangkut monopoli PT Direct Vision, anak usaha PT First Media. Dia akhirnya ditahan.
“Chaos, perasaan saya sesampainya di sini. Saya tidak mengerti apa yang telah terjadi,” ujar Billy kepada harian berbahasa Inggris The Jakarta Globe. Globe adalah anak usaha dari PT Star Pacifik Tbk yang juga berafiliasi dengan Grup Lippo.
PT Direct Vision merupakan perusahaan jasa telekomunikasi televisi berbayar melalui satelit sejak 2003. Sebesar 49% saham perseroan dimiliki PT Ayunda Prima Mitra dan 51% oleh Silver Concord Holdings Limited, perusahaan investasi asal British Virgin Island. Kepemilikan PT Ayunda Prima didominasi PT First Media.
Masalah suap ini berpangkal pada kerjasama Astro All Asia Network di Malaysia dengan Grup Lippo, melalui PT Direct Vision pada 2004. Keduanya menyepakati perjanjian setahun kemudian: Astro memasok program yang didistribusikan PT Direct Vision. Pada 2006, program pun diluncurkan. Ada Astro Citta. Astro Arena. Salah satu yang menjadi andalan, adalah Barclays Premier League (BPL) atau Liga Inggris yang membuka masalah dugaan monopoli.
Namun hubungan dua raksasa itu memburuk. Astro mengklaim belum menerima pembayaran sejak kerjasama dimulai. Grup Lippo mengaku tak pernah mendapatkan laporan keuangan dan undangan pemegang saham. Persengketaan pun masuk ke meja hijau. Sejak diluncurkan, PT Direct Vision memang mencatat pertumbuhan yang mengagumkan. Pada 2006, penjualan program diserap oleh 49.892 pelanggan dan meningkat menjadi 143.137 pelanggan di tahun berikutnya. Masing-masing pendapatan di tahun tersebut mencapai Rp9,97 miliar dan melonjak menjadi Rp28,62 miliar. Mungkin inilah yang membuat perusahaan itu mendapatkan perhatian khusus dari Billy.
“Direct Vision was his baby,” ujar Humphrey Djemat, penasihat hukum Billy kepada The Jakarta Globe.
Pada September 2007, dugaan monopoli BPL PT Direct Vision diadukan PT Indovision, PT Telkomvision dan PT Indosat Mega Media ke KPPU. Berdasarkan situs resminya, pemeriksaan pendahuluan komisi dilakukan pada Januari-Maret 2008, dan diteruskan dengan pemeriksaan lanjutan hingga Juli 2008. Pada bulan ini pula, Billy Sindoro dan Mohammad Iqbal berkenalan. Mereka saling berkirim SMS.
Pertemuan awal memang membicarakan bisnis Grup Lippo. Tetapi menjelang putusan KPPU, Billy meminta Iqbal untuk memasukkan “injunction” agar Astro tetap bekerja sama dengan PT Direct Vision. Pada 29 Agustus 2008, KPPU menyatakan PT Direct Vision tidak terbukti memonopoli siaran BPL. Plus, memerintahkan Astro tidak menyetop kerjasamanya guna melindungi konsumen. Tapi ini tak diindahkan. Perusahaan dari negeri jiran itu kelak menghentikan pasokannya 2 bulan kemudian. Tetapi soal “injunction”, Billy ingin berterima kasih.
Keduanya membuat janji untuk kembali bertemu pada 16 September 2008 di Hotel Arya Duta, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka bertemu di kamar 1712 menjelang Maghrib. Setelah bercakap sebentar, sang komisioner berpamitan. Keduanya berjalan menuju lift. Billy mengantar. Sambil membawa tas hitam—yang diletakkan di lift kemudian— sesaat Iqbal hendak turun. Sesampainya di lantai dasar, penyelidik KPK langsung menyergap. Ada uang Rp500 juta di dalamnya.
“Ini hanya titipan dari orang di kamar 1712.”
Pada Februari 2009, majelis hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi menghukum Billy dengan vonis 3 tahun pidana penjara karena bersalah. Dia dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur sebelum akhirnya ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang. Peninjauan kembali ditempuh ke Mahkamah Agung, namun kandas. Pada 17 November 2009, majelis hakim tetap memvonisnya 3 tahun penjara. Billy terbukti menyuap. Persiteruan dua korporasi raksasa Indonesia-Malaysia terus berlanjut.
EMPAT PEKERJA sibuk memperbaiki ulang warna bagian depan Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang. Dua orang memegang tongkat pengecat, sisanya mengikis warna lama yang kusam. Di sisi kiri dan kanan pintu masuk ada papan pengumuman. Masing-masing adalah soal pelarangan untuk membawa senjata api saat berkunjung. Satunya, mengumumkan ancaman pidana korupsi kepada pemberi maupun penerima pungutan liar di tempat tersebut.
Saya ingin menemui Billy Sindoro awal Maret lalu. Telepon selular dan jaket harus dilepaskan dan dititipkan ke bagian penjagaan. Tangan kanan distempel. Salah seorang penjaga, Basirun mengatakan Billy rajin beribadah di gereja. Dia juga aktif mengajar. “Kalau istilah demonstrasi, Pak Billy adalah koordinatornya. Dia sering mengumpulkan orang-orang di sini,” ujarnya.
Namun Irwan Gunadi, asisten pribadi Billy, menunda rencana tersebut. Menurut dia, Billy ingin beristirahat siang itu. Dia menjanjikan untuk membicarakannya kemudian. Tetapi, seminggu setelahnya, nihil. Telepon dan SMS saya tak pernah dibalas. Wawancara ini menjadi penting untuk tahu bagaimana Billy memimpin sebuah perusahaan, namun bermasalah. Dari soal pajak hingga praktik suap. Mengapa soal pajak terulang dua kali? Kedua, bagaimana uang dolar mengalir ke petugas pajak?
Billy tampaknya menolak wawancara.
Presiden Komisaris PT First Media Peter Frans Gontha angkat bicara. Peter bergabung sejak 2000 dalam jajaran komisaris. Dia mengatakan perseroan tak pernah mengucurkan uang kepada petugas pajak. Pihaknya hanya memberikan biaya kepada konsultan sesuai ketentuan yang berlaku, bukan hadiah kepada tim pemeriksa. PT First Media diduga membayar Asri Harahap Rp5,84 miliar—untuk honorarium tenaga ahli— seperti tertuang dalam laporan keuangan periode 2007-2008.
“Perusahaan menunjuk konsultan pajak sehingga seluruh kewajiban telah dikuasakan,“ ujar dia dalam surat elektronik. “Dengan demikian, segala tindakan konsultan pajak dalam menjalankan pekerjaannya merupakan tanggung jawabnya.”
Maret lalu, saya mendatangi kantor konsultan pajak AAH & Rekan, kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan. Lokasinya berada di sebuah rumah-toko di pinggir jalan. Pukul 09. 00, Asri belum juga datang. Salah seorang pegawainya menelepon, usai saya menyampaikan maksud kedatangan dan kartu nama. Melalui telepon pula, Asri langsung menolak menjadi narasumber.
Asri adalah pensiunan Kepala Kantor Wilayah Pajak V Jakarta Direktorat Jenderal Pajak. Sejak 2002, dia mendapatkan izin untuk membuka jasa konsultasi. Saya mengenalnya ketika pernah menjadi pembicara soal korupsi dengan atribut Ketua Kelompok Kerja Jihad Melawan Koruptor BLBI. Selain itu, dia pernah menjabat sebagai Ketua Harian Presidium Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam. “Kalau laporan ini tidak proporsional, saya akan menggugat. Saya juga dulu wartawan,” ujarnya.
Untuk tahu bagaimana Billy Sindoro memimpin, saya mengunjungi Paul Montolalu. Paul adalah Direktur Pemasaran PT Broadband Multimedia pada 2001-2005 dan Presiden Direktur PT Direct Vision sejak 2006. Dia juga adalah orang dekat Billy. Kakak kandungnya, Liza Montolalu menikah dengan petinggi Grup Lippo itu hingga dikarunai tiga anak. Saat itu saya datang ke rumahnya, kawasan Lippo Karawaci, Tangerang namun ditolak. Alasannya ingin istirahat.
Ternyata, Paul pun “bermasalah” untuk menemui bekas bawahannya.
Seorang karyawan menudingnya pengecut, karena tak pernah berani muncul ke kantor sejak berhenti siaran. Ini dikenal dengan masa “black out”. Ada 6 bulan gaji yang tak dibayar. Karyawan yang batal menyekolahkan anaknya. Hingga tak punya ongkos kontrakan rumah.
“…Apakah kami harus mengemis untuk mendapatkan hak kami?”... salah satu bunyi surat elektronik internal.
“…Kami pasang badan dimarahi [pelanggan], diancam akan diserbu ke kantor…”
Surat resmi tertanggal 16 Desember 2009 oleh Eko Purwanto—kuasa hukum Paul— menyatakan semua negosiasi gaji diselesaikan melalui Firma Bahri, Purwanto & Rekan. Tawar-menawar itu tetap saja tak memuaskan. Kelompok karyawan pun menyurati pemilik Grup Lippo, Mochtar Riady dan James T. Riady, tetapi nihil. Perselisihan ini tampaknya dibawa ke pengadilan hubungan industrial. Negosiasi sudah buntu. Dan di balik riuh rendah itu, Billy Sindoro kian setia ke gereja, memanjatkan doa. Dia tahu betul apa risiko yang dihadapinya. Dari Malam Oikumene hingga ke penjara. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)
*It was published on April 29th with the same title but shorter version. This blog story is a more complete one.
2.573 words
BILLY SINDORO tahu betul risiko saat memutuskan menjadi seorang Protestan pada usia 17 tahun. Dia diusir dari rumahnya di Jalan Pemuda 126-128, Semarang bersama lima saudaranya yang memilih jalan serupa. Selama 6 bulan, mereka tinggal di Gereja Kristen Muria Indonesia, masih dalam kawasan yang sama. Sindoro bersaudara akhirnya menempati sebuah rumah bekas gudang semen di Jalan Kapuran 45, Semarang. Tapi dari bekas gudang semen ini, kecintaan mereka terhadap Tuhan meluap.
“Di rumah inilah Tuhan bekerja dengan dahsyat, setiap hari dipenuhi anak-anak muda yang haus akan Tuhan. Ini adalah pekerjaan Roh Kudus,” ujar Ryanto Sindoro, kakak Billy, yang memutuskan menjadi pendeta.
Rumah itu kian ramai. Sejumlah remaja Protestan yang pulang sekolah, menyaksikan bagaimana penginjilan dikumandangkan. Bahkan ada yang sampai tidur menginap. Mereka ingin merasakan kehadiran Tuhan. Tak terkecuali sang remaja Billy yang kian gelisah melihat praktik agamanya. Puncaknya, dia pun memprakarsai kebaktian “Malam Oikumene 1979”, dengan mengumpulkan para pelajar SMA di Semarang. Ini adalah dua tahun setelah pengusirannya dari rumah. Oikumene dikenal sebagai upaya untuk mempersatukan aliran-aliran dalam agama Nasrani serta menyerahkan hidupnya kepada Tuhan.
“Saya merasakan kesedihan melihat gereja-gereja terpecah dan saling menghakimi,” kata Billy, dalam situs www.30yearswalkwithjesus.com.
Acara itu mendapat sambutan luas. Sekitar 400 remaja memadati Gedung Wisma Pandanaran pada 1-3 Maret 1979. Ada suara tangisan yang menyebar. Mereka ingin bertobat dan berserah diri. Kegiatan itu melahirkan sebuah perkumpulan yang bernama Persatuan Siswa-Siswi Oikumene atau Persisko.
Billy akhirnya lulus dari SMA Karang Turi Semarang dan melanjutkan kuliah ke Amerika dengan konsentrasi administrasi bisnis. Pada 1986, dia mulai meniti karir di LippoBank, yang dimiliki pengusaha Mochtar Riady, sekaligus pendiri Grup Lippo.Kelak, Billy menjadi “tangan kanan” Mochtar bersama dengan kakaknya Eddy Sindoro. Sindoro bersaudara, mengurus sektor keuangan dan riil milik korporasi raksasa itu.
Karir Billy melesat dengan pelbagai jabatan. Dari Direktur Pengelola PT AIG LippoLife, CEO Lippo Insurance, hingga Presiden Direktur PT Natrindo Telepon Seluler. Tetapi, ada fase yang tak akan pernah dilupakannya. Memimpin PT First Media Tbk. Baik Billy maupun perusahaan itu pernah terlibat masalah hukum. Bahkan, hingga mengirimnya ke penjara.
PT First Media berdiri pada 1994 dengan nama pertama PT Broadband Multimedia. Awalnya, fokus bisnis perseroan adalah penyedia jasa televisi berbayar dengan merek dagang KabelVision. Pada 2000, perusahaan itu melakukan penawaran umum perdana untuk memperkuat struktur permodalannya sebanyak 20 juta lembar saham. Tujuh tahun kemudian, dia berganti nama PT First Media Tbk dengan bisnis andalan: televisi berbayar, layanan internet broadband hingga layanan komunikasi data melalui telekomunikasi digital. Billy memimpin perseroan sejak 2001-2005, namun terpilih kembali setelahnya hingga pertengahan 2008.
Masalah pertama, penunggakan pajak.
Ini bermula dari Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa Direktorat Jenderal Pajak yang mengirimkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar pada 14 November 2003. PT Broadband Multimedia belum membayar Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa sebesar Rp10,34 miliar. Tetapi, kekurangan tersebut langsung dilunasi.
Laporan keuangan PT Broaband Multimedia periode 2002-2005 menggambarkan keuntungan perusahaan yang turun naik. Pada 2002, perusahaan rugi sebesar Rp14 miliar, namun untung Rp10,66 miliar tahun berikutnya. Pada 2004, laba menukik tajam menjadi Rp3,55 miliar dan merangkak naik pada 2005, yakni Rp5,77 miliar. Apakah masalah pajak selesai sampai di sini? Tidak. Ini justru baru permulaan.
Pada April 2006, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus membentuk tim untuk memeriksa dugaan pelanggaran serupa. Tim tersebut diketuai Raden Handaru Ismoyojati, dengan dua anggota yakni Yudi Hermawan dan Agi Sugiono. Sedangkan perusahaan milik Grup Lippo itu menyewa jasa Abdul Asri Harahap dari kantor konsultan pajak AAH & Rekan, yang berkantor di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan. Walaupun dipimpin Handaru, pemeriksaan lebih banyak dilakukan bersama Yudi. Ini karena Asri dan Yudi berkawan semasa sang konsultan belum pensiun dari kantor pajak.
Dan dugaan tersebut tak keliru.
PT Broadband Multimedia ditemukan belum membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) periode 2004-2005. Rinciannya pada 2004 masing-masing PPN (Rp23,31 miliar), PPh Pasal 21 (Rp585,62 juta), PPh Pasal 23 (Rp576,62 juta), PPh Pasal 26 (Rp1,41 miliar), serta PPh pasal 4 (Rp18,59 juta). Ada pula surat tagihannya sebesar Rp4,31 miliar dan Rp45,40 juta.
Tahun berikutnya adalah PPN (Rp29,20 miliar), PPh Badan (Rp1,43 miliar), PPh Pasal 21(Rp902,03 juta), PPh Pasal 23 (Rp423,51 juta), PPh Pasal 26 (Rp1,63 miliar), serta PPh Pasal 4 (Rp31,42 juta). Surat tagihannya berjumlah Rp6,30 miliar dan Rp25,84 juta. Hingga jumlah total pajak beserta denda yang harus dibayar sebesar Rp70,24 miliar. Ini mengakibatkan laba bersih 2007 merosot menjadi Rp2,51 miliar dari Rp5,28pada 2006. Perseroan bahkan merugi hingga Rp101,72 miliar pada 2008.
“Saya langsung menyetujui jumlah [pajak] tersebut, karena sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penetapan itu telah benar,” ujar Asri Harahap, seperti kesaksiannya dalam dokumen putusan pengadilan.
Tugas Asri pun berakhir. Tetapi, hubungan tim pemeriksa beserta sang konsultan tak langsung berhenti. Kelak, mereka bertemu di Pengadilan Negeri Karawang, Jawa Barat. Mereka akan saling bersaksi tentang uang dolar yang diterima usai pemeriksaan pajak dirampungkan.
BAGAIMANA RASANYA punya uang US$500.000, disalurkan sebagian untuk pesantren namun ditangkap sesudahnya? Yudi Hermawan mungkin punya jawabannya. Setelah pemeriksaan pajak PT Broadband Multimedia, Yudi harus bolak-balik ke Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Karawang untuk mengurus uang dolar itu. Pada Maret 2007, dia membuka rekening deposito dan mengkonversinya menjadi Rp4,59 miliar. Ini jumlah jumbo bagi pegawai negeri golongan III A, yang menerima sekitar Rp10 juta setiap bulan.
Yudi juga aktif di Pengurus Cabang Muhammadiyah (PCM) Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat sejak 1999. Istrinya, Yani Rakhmawati bahkan menjadi Kepala Sekolah TK Aisyiyah IV, yang tak jauh dari rumah. Mereka tinggal di Dusun Sinarsari, Desa Kalangsari, Rengasdengklok. Keduanya dikaruniai lima orang anak.
Rapat PCM Rengasdengklok pada 7 April 2007 memutuskan untuk membuat sebuah pesantren. Yudi, yang baru saja diangkat sebagai Ketua PCM periode 2005-2010, menyampaikan ada dana untuk menyokong pembangunan. “Dari hamba Allah yang tak mau disebutkan namanya,” kata dia.
Dua hari setelahnya, Yudi kembali mendatangi BNI Cabang Karawang untuk menutup rekening dan memindahkan Rp4 miliar ke rekening baru dengan nomor 0121515195. Sebanyak Rp390 juta dimasukkan ke rekening nomor 0119609509 miliknya, dan sisanya ditarik tunai. Pada Juni 2007, uang Rp4 miliar beralih ke rekening nomor 0119609509 dan disebar ke sejumlah pihak. Dana itu diklaim milik PCM Rengasdengklok, tetapi dibagikan ke pihak yang tak berafiliasi dengan Muhammadiyah. Termasuk Agi Sugiono dan Raden Handaru Ismoyojati, tim pemeriksa pajak PT Broadband Multimedia. Juga Widiyanti, perempuan yang dikenalnya pada 2000 dan sempat “berkencan” beberapa kali.
Lantas, buat apa saja uang itu?
Agi mengaku uang tunai US$100.000 dari Yudi dipakai untuk kebutuhan online marketing, pengobatan orangtua dan kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, beberapa hari kemudian Yudi meminta agar US$2.500 dikembalikan, hingga total yang dimiliki hanyalah US$97.500. Handaru lain lagi. Dia menerima transfer Rp113 juta, sebanyak dua kali. Ini untuk cicilan mobil, biaya melahirkan istrinya hingga perpindahan dinas Jakarta -Semarang. Widianti juga cukup besar yakni Rp432 juta. Satu mobil Daihatsu Xenia dan rumah-toko seharga Rp225 juta akhirnya dimiliki. Saat bersamaan, Yudi mentransfer uang itu ke rekening istrinya untuk pembangunan pesantren.
Namun, langkah itu terhenti.
Pada Mei 2008, ketiga pegawai negeri tersebut dibekuk Kepolisian Daerah Jawa Barat dengan sangkaan praktik pencucian uang. Mantan Kepala Polisi Daerah Jawa Barat (Polda Jabar) Komjen Pol. Susno Duadji menyatakakan mulanya Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan mencurigai penempatan uang tambun di BNI Cabang Karawang.
“Saya meyakini ini adalah hasil suap, meskipun selalu disebut uang dari hamba Allah. Dan ini diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Susno kepada saya.
“Mengapa?”
“Suap terjadi di Jakarta. Ini bukan kewenangan Polda Jabar.”
Majelis hakim Pengadilan Negeri Karawang memang menemukan petunjuk soal sogok-menyogok. Dalam salinan putusan Yudi, disebutkan di antaranya adalah dolar milik Agi yang serupa dengan penempatan dana jumbo di BNI Cabang Karawang, terjadinya penerimaan uang setelah pemeriksaan selesai, hingga jumlah pajak kurang bayar yang segera disetujui. “Di pihak lain, terdakwa tidak dapat membuktikan asal-usul uang,” kata hakim Sirande Palayukan. “Uang itu berasal dari pemeriksaan PT Broadband Multimedia.”
Pada Februari 2009, Yudi Hermawan, Agi Sugiono dan Raden Handaru Ismoyojati akhirnya divonis masing-masing 8 tahun, 6 tahun dan 5 tahun. Majelis hakim Pengadilan Negeri Karawang menyatakan mereka terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang. Ketiganya langsung mengajukan langkah banding. Tujuh bulan sesudahnya, Pengadilan Tinggi Bandung mengurangi hukuman. Yudi dihukum 5 tahun, Agi menjadi 4 tahun sedangkan Handaru dibebaskan. Yudi meneruskan kasasi ke Mahkamah Agung.
Saya mengunjungi lokasi pembangunan Pesantren Al Bayan pada Maret lalu. Ini adalah lembaga pendidikan hasil rapat PCM Rengasdengklok 3 tahun silam. Bangunannya terletak di pinggir Jalan Raya Proklamasi, Dusun Sinarsari, satu lokasi dengan TK Aisyiyah IV. Pesantren ini mendekati rampung sejak dibangun pada Mei 2007. Semua jendela belum dipasang kaca. Rumput liar dibiarkan tumbuh. Batu bata merah pecah berserakan. Dan ada pula coretan tiga huruf kapital di dinding abu-abu : XTC!
BULAN SEPTEMBER tahun 2008 menjadi masa yang tak terlupakan bagi Billy Sindoro. Ini bukan masalah kerugian PT First Media, atau dua kasus pajak kurang bayar. Dia tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) usai memberikan uang Rp500 juta ke Mohammad Iqbal, anggota dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ada dugaan sogok terkait dengan keputusan KPPU menyangkut monopoli PT Direct Vision, anak usaha PT First Media. Dia akhirnya ditahan.
“Chaos, perasaan saya sesampainya di sini. Saya tidak mengerti apa yang telah terjadi,” ujar Billy kepada harian berbahasa Inggris The Jakarta Globe. Globe adalah anak usaha dari PT Star Pacifik Tbk yang juga berafiliasi dengan Grup Lippo.
PT Direct Vision merupakan perusahaan jasa telekomunikasi televisi berbayar melalui satelit sejak 2003. Sebesar 49% saham perseroan dimiliki PT Ayunda Prima Mitra dan 51% oleh Silver Concord Holdings Limited, perusahaan investasi asal British Virgin Island. Kepemilikan PT Ayunda Prima didominasi PT First Media.
Masalah suap ini berpangkal pada kerjasama Astro All Asia Network di Malaysia dengan Grup Lippo, melalui PT Direct Vision pada 2004. Keduanya menyepakati perjanjian setahun kemudian: Astro memasok program yang didistribusikan PT Direct Vision. Pada 2006, program pun diluncurkan. Ada Astro Citta. Astro Arena. Salah satu yang menjadi andalan, adalah Barclays Premier League (BPL) atau Liga Inggris yang membuka masalah dugaan monopoli.
Namun hubungan dua raksasa itu memburuk. Astro mengklaim belum menerima pembayaran sejak kerjasama dimulai. Grup Lippo mengaku tak pernah mendapatkan laporan keuangan dan undangan pemegang saham. Persengketaan pun masuk ke meja hijau. Sejak diluncurkan, PT Direct Vision memang mencatat pertumbuhan yang mengagumkan. Pada 2006, penjualan program diserap oleh 49.892 pelanggan dan meningkat menjadi 143.137 pelanggan di tahun berikutnya. Masing-masing pendapatan di tahun tersebut mencapai Rp9,97 miliar dan melonjak menjadi Rp28,62 miliar. Mungkin inilah yang membuat perusahaan itu mendapatkan perhatian khusus dari Billy.
“Direct Vision was his baby,” ujar Humphrey Djemat, penasihat hukum Billy kepada The Jakarta Globe.
Pada September 2007, dugaan monopoli BPL PT Direct Vision diadukan PT Indovision, PT Telkomvision dan PT Indosat Mega Media ke KPPU. Berdasarkan situs resminya, pemeriksaan pendahuluan komisi dilakukan pada Januari-Maret 2008, dan diteruskan dengan pemeriksaan lanjutan hingga Juli 2008. Pada bulan ini pula, Billy Sindoro dan Mohammad Iqbal berkenalan. Mereka saling berkirim SMS.
Pertemuan awal memang membicarakan bisnis Grup Lippo. Tetapi menjelang putusan KPPU, Billy meminta Iqbal untuk memasukkan “injunction” agar Astro tetap bekerja sama dengan PT Direct Vision. Pada 29 Agustus 2008, KPPU menyatakan PT Direct Vision tidak terbukti memonopoli siaran BPL. Plus, memerintahkan Astro tidak menyetop kerjasamanya guna melindungi konsumen. Tapi ini tak diindahkan. Perusahaan dari negeri jiran itu kelak menghentikan pasokannya 2 bulan kemudian. Tetapi soal “injunction”, Billy ingin berterima kasih.
Keduanya membuat janji untuk kembali bertemu pada 16 September 2008 di Hotel Arya Duta, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka bertemu di kamar 1712 menjelang Maghrib. Setelah bercakap sebentar, sang komisioner berpamitan. Keduanya berjalan menuju lift. Billy mengantar. Sambil membawa tas hitam—yang diletakkan di lift kemudian— sesaat Iqbal hendak turun. Sesampainya di lantai dasar, penyelidik KPK langsung menyergap. Ada uang Rp500 juta di dalamnya.
“Ini hanya titipan dari orang di kamar 1712.”
Pada Februari 2009, majelis hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi menghukum Billy dengan vonis 3 tahun pidana penjara karena bersalah. Dia dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur sebelum akhirnya ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang. Peninjauan kembali ditempuh ke Mahkamah Agung, namun kandas. Pada 17 November 2009, majelis hakim tetap memvonisnya 3 tahun penjara. Billy terbukti menyuap. Persiteruan dua korporasi raksasa Indonesia-Malaysia terus berlanjut.
EMPAT PEKERJA sibuk memperbaiki ulang warna bagian depan Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang. Dua orang memegang tongkat pengecat, sisanya mengikis warna lama yang kusam. Di sisi kiri dan kanan pintu masuk ada papan pengumuman. Masing-masing adalah soal pelarangan untuk membawa senjata api saat berkunjung. Satunya, mengumumkan ancaman pidana korupsi kepada pemberi maupun penerima pungutan liar di tempat tersebut.
Saya ingin menemui Billy Sindoro awal Maret lalu. Telepon selular dan jaket harus dilepaskan dan dititipkan ke bagian penjagaan. Tangan kanan distempel. Salah seorang penjaga, Basirun mengatakan Billy rajin beribadah di gereja. Dia juga aktif mengajar. “Kalau istilah demonstrasi, Pak Billy adalah koordinatornya. Dia sering mengumpulkan orang-orang di sini,” ujarnya.
Namun Irwan Gunadi, asisten pribadi Billy, menunda rencana tersebut. Menurut dia, Billy ingin beristirahat siang itu. Dia menjanjikan untuk membicarakannya kemudian. Tetapi, seminggu setelahnya, nihil. Telepon dan SMS saya tak pernah dibalas. Wawancara ini menjadi penting untuk tahu bagaimana Billy memimpin sebuah perusahaan, namun bermasalah. Dari soal pajak hingga praktik suap. Mengapa soal pajak terulang dua kali? Kedua, bagaimana uang dolar mengalir ke petugas pajak?
Billy tampaknya menolak wawancara.
Presiden Komisaris PT First Media Peter Frans Gontha angkat bicara. Peter bergabung sejak 2000 dalam jajaran komisaris. Dia mengatakan perseroan tak pernah mengucurkan uang kepada petugas pajak. Pihaknya hanya memberikan biaya kepada konsultan sesuai ketentuan yang berlaku, bukan hadiah kepada tim pemeriksa. PT First Media diduga membayar Asri Harahap Rp5,84 miliar—untuk honorarium tenaga ahli— seperti tertuang dalam laporan keuangan periode 2007-2008.
“Perusahaan menunjuk konsultan pajak sehingga seluruh kewajiban telah dikuasakan,“ ujar dia dalam surat elektronik. “Dengan demikian, segala tindakan konsultan pajak dalam menjalankan pekerjaannya merupakan tanggung jawabnya.”
Maret lalu, saya mendatangi kantor konsultan pajak AAH & Rekan, kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan. Lokasinya berada di sebuah rumah-toko di pinggir jalan. Pukul 09. 00, Asri belum juga datang. Salah seorang pegawainya menelepon, usai saya menyampaikan maksud kedatangan dan kartu nama. Melalui telepon pula, Asri langsung menolak menjadi narasumber.
Asri adalah pensiunan Kepala Kantor Wilayah Pajak V Jakarta Direktorat Jenderal Pajak. Sejak 2002, dia mendapatkan izin untuk membuka jasa konsultasi. Saya mengenalnya ketika pernah menjadi pembicara soal korupsi dengan atribut Ketua Kelompok Kerja Jihad Melawan Koruptor BLBI. Selain itu, dia pernah menjabat sebagai Ketua Harian Presidium Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam. “Kalau laporan ini tidak proporsional, saya akan menggugat. Saya juga dulu wartawan,” ujarnya.
Untuk tahu bagaimana Billy Sindoro memimpin, saya mengunjungi Paul Montolalu. Paul adalah Direktur Pemasaran PT Broadband Multimedia pada 2001-2005 dan Presiden Direktur PT Direct Vision sejak 2006. Dia juga adalah orang dekat Billy. Kakak kandungnya, Liza Montolalu menikah dengan petinggi Grup Lippo itu hingga dikarunai tiga anak. Saat itu saya datang ke rumahnya, kawasan Lippo Karawaci, Tangerang namun ditolak. Alasannya ingin istirahat.
Ternyata, Paul pun “bermasalah” untuk menemui bekas bawahannya.
Seorang karyawan menudingnya pengecut, karena tak pernah berani muncul ke kantor sejak berhenti siaran. Ini dikenal dengan masa “black out”. Ada 6 bulan gaji yang tak dibayar. Karyawan yang batal menyekolahkan anaknya. Hingga tak punya ongkos kontrakan rumah.
“…Apakah kami harus mengemis untuk mendapatkan hak kami?”... salah satu bunyi surat elektronik internal.
“…Kami pasang badan dimarahi [pelanggan], diancam akan diserbu ke kantor…”
Surat resmi tertanggal 16 Desember 2009 oleh Eko Purwanto—kuasa hukum Paul— menyatakan semua negosiasi gaji diselesaikan melalui Firma Bahri, Purwanto & Rekan. Tawar-menawar itu tetap saja tak memuaskan. Kelompok karyawan pun menyurati pemilik Grup Lippo, Mochtar Riady dan James T. Riady, tetapi nihil. Perselisihan ini tampaknya dibawa ke pengadilan hubungan industrial. Negosiasi sudah buntu. Dan di balik riuh rendah itu, Billy Sindoro kian setia ke gereja, memanjatkan doa. Dia tahu betul apa risiko yang dihadapinya. Dari Malam Oikumene hingga ke penjara. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)
*It was published on April 29th with the same title but shorter version. This blog story is a more complete one.
Subscribe to:
Posts (Atom)