Thursday, September 30, 2010

tebusan mahal prokespen

Oleh Anugerah Perkasa
3.130 words





KEGERAMAN HAMPIR meledakkan emosi Vincentius Albert Tilaar saat menyebut nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejak Desember 2003, kasus dugaan korupsi yang dia laporkan tak kunjung rampung. Selama hampir 7 tahun pula, Tilaar bolak balik datang ke kantor KPK. Dari kawasan Jalan Veteran, Jakarta Pusat hingga kini di Rasuna Said, Jakarta Selatan. Dari berkirim surat sampai dimintai keterangan. Dan selama masa itu, kesimpulan membumbung di kepalanya.

“KPK tidak bergigi membongkar kasus korupsi. Lembaga ini sengaja mengulur-ulur waktu,” kata dia pada Juli lalu.

Tilaar mungkin saja tidak keliru. Dia menyambangi lembaga pemberantas korupsi itu semenjak baru berdiri. KPK periode 2003-2007 dipimpin lima orang yakni Taufiequrrachman Ruki, Amin Sunaryadi , Erry Riana Hardjapamekas, Tumpak Panggabean dan Siradjudin Rasul. Tilaar sendiri pensiunan berusia 68 tahun dari PT Caltex Pacific Indonesia—kini PT Chevron Pacific Indonesia— raksasa eksplorasi minyak dan gas bumi asal Amerika Serikat. Dalam laporan itu, Tilaar mengatasnamakan Badan Pendiri Yayasan Kesehatan Pensiunan Caltex (YKPC) yang dibentuknya pada Maret 2002.

Awal kegusaran Tilaar bermula dari pengucuran dana penyelamatan PT Caltex sebagai salah satu Kontraktor Production Sharing (KPS). Ini akibat kegagalan PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri mengelola Proteksi Kesehatan Pensiunan (Prokespen), produk asuransi jiwa kumpulan untuk para pensiunan, macam Tilaar. Ada sepuluh KPS lain yang ikut, namun tetap didominasi PT Caltex. Jumlahnya mencapai 1.637 dari 2.297 pensiunan. Tak hanya bagi pensiunan, namun 6.279 pekerja aktif KPS—yang belum mencapai 56 tahun—pun tertarik dengan Prokespen. Program ini berjalan sejak 1992 namun disetop pada 2000 karena gagal membayar klaim. Jumlahnya kurang lebih Rp11 miliar, sementara perolehan premi selama 7 tahun hanya mencapai Rp2 miliar. Dana penyelamatan milik PT Caltex dan sepuluh KPS lainnya dikenal sebagai rescue fund atau rescue package.

“Prokespen tidak berkaitan dengan kegiatan eksplorasi. Ini hanya kontrak asuransi jiwa biasa dengan pensiunan sebagai tertanggung dan perusahaan sebagai pemegang polis,” kata dia.

Kegagalan Prokespen hanyalah satu masalah Tilaar. Masalah lain, adalah tentang masuknya dana penyelamatan ke dalam komponen pengembalian biaya eksplorasi atau cost recovery para KPS. Ini adalah jenis biaya yang dikembalikan pemerintah setelah wilayah kerja hasil eksplorasi pihak swasta berproduksi secara komersial. PT Caltex sendiri mengucurkan Rp18,96 miliar dari total dana penyelamatan seluruh pensiunan Rp41,1 miliar. Salah satunya untuk membeli premi baru dari perusahaan asuransi berbeda. Proses penyelamatan itu memakan waktu sepanjang 2001-2003. Dari pendataan kembali para pensiunan hingga pencairan dana.

Respon pertama KPK ditulis Erry Riana dalam suratnya kepada YKPC pada Januari 2004. KPK menyatakan akan mempelajari pengaduan itu dan menghubungi Tilaar jika ditemukan kemajuan. Namun jawaban itu tak memuaskan. Tilaar kembali mengadu ke Komisi Ombudsman Nasional—kini Ombudsman Republik Indonesia—yang akhirnya menyurati Menteri Negara BUMN dengan tembusan PT Pertamina.

Menurut Ariffi Nawawi, Direktur Utama PT Pertamina periode 2003-2004, paket penyelamatan merupakan solusi untuk menghindari dampak sosial lebih serius setelah Prokespen bubar. Sebelas KPS dan Pertamina Badan Pembinaan dan Pengusahaan Kontraktor Asing (BPPKA) —saat itu adalah pelaku bisnis sekaligus regulator—akhirnya menyetujui paket tersebut untuk para pensiunan. Usai terbitnya UU Minyak dan Gas Bumi pada 2001, fungsi pengaturan Pertamina kemudian diamputasi, digantikan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas di bawah Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

“Pertamina BPPKA sebagai pemegang manajemen para KPS meminta persetujuan direktur utama Pertamina untuk mengalokasikan tambahan dana sebagai rescue fund sebesar Rp41,1 miliar,” ujar Ariffi dalam suratnya, Mei 2004. “Ini menjadi beban KPS sebagai tambahan remunerating dan benefit cost yang merupakan cost recovery.”

Ini pula yang dikecam habis-habisan oleh Tilaar.

Namun jawaban Ariffi dipakai untuk kembali menyurati KPK. Amin Sunaryadi, pimpinan komisi itu, membalas surat YKPC pada Agustus 2004 dengan menerangkan KPK sudah meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengaudit pengucuran dana penyelamatan PT Caltex. Entah curiga atau habis kesabaran, Tilaar menuduh BPKP dan KPK tidak serius menuntaskan kasus dugaan korupsi karena informasi tentang perkembangan kasus saling bertentangan. Ini ditulisnya melalui surat pembaca harian Bisnis Indonesia edisi 4 Juli 2006.

BPKP menjawabnya seminggu kemudian. Lembaga itu mengklaim pihaknya sulit untuk mengumpulkan data pihak terkait dan klarifikasi Direktur Utama PT Pertamina yang memakan waktu. Setahun berlalu, akhirnya jawaban yang ditunggu muncul. Audit investigatif BPKP menemukan dugaan penyimpangan pengucuran rescue fund melalui PT Caltex yang merugikan negara sebesar Rp15,14 miliar. Dalam surat pada September 2007, Deputi Bidang Investigasi BPKP Suradji mengatakan pihaknya bersepakat dengan KPK agar temuan itu ditindaklanjuti sesuai peraturan yang berlaku.

Masalahnya, periode KPK jilid I hampir berakhir pada Desember 2007. Lima orang pimpinan bahkan belum memutuskan status penyelidikan atas kasus pengaduan Tilaar. Ini yang menyebabkan pensiunan itu menuduh Erry Riana sebagai orang yang menghambat penanganan kasus di KPK. Alasannya, Erry adalah Komisaris PT Timah (Persero) Tbk periode 1996-2002, perusahaan pemegang 29,59% saham PT Tugu Mandiri. Tetapi, ini dibantah kemudian.

“Pimpinan hanya mendapat laporan atau memantau perkembangan penanganan,” kata Erry dalam surat elektroniknya kepada saya, Agustus lalu. “Kewenangan sepenuhnya ada pada tenaga fungsional profesional penelaah pengaduan masyarakat dan penyidik.”

Tilaar boleh saja menuding Erry punya konflik kepentingan. Juga melaporkan kasus itu ke Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung. Komisi Hukum DPR RI. Atau sejumlah media massa. Namun, tidak semua pensiunan setuju dengan apa yang dilakukan Tilaar di saat usia senja. Ada pula yang sangat mengenalnya, mengapa dia demikian meradang.





HADI SUTANTO tahu benar sejarah kegagalan Prokespen di tengah jalan, sebelum akhirnya dibubarkan. Dia bekerja di PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri selama 25 tahun, dan kini menjabat Wakil Presiden Direktur. PT Tugu Mandiri sendiri dimiliki Dana Pensiun Pertamina sebesar 51,99% saham, disusul PT Timah Tbk 29,59% saham, PT Tugu Pratama Interindo 17,19% saham dan Menteri Keuangan sebesar 1,23% saham.

Perusahaan asuransi tersebut, awalnya dijanjikan memperoleh nasabah sedikitnya 20.000 orang oleh Pertamina BPPKA, selaku manajemen KPS. Target ini melenceng sangat jauh. Prokespen hanya diminati 6.279 pekerja aktif dan 2.297 pensiunan. Walaupun masa pertanggungan ditawarkan cukup lama, dari 56 tahun hingga maksimal 80 tahun, atau meninggal sebelum usia tersebut. Pertamina BPPKA saat itu dipimpin Sulaiman Zuhdi Pane, kini salah satu anggota komisaris PT Bumi Resources Tbk.

“Kami berpikir saat itu dijanjikan sekitar 20.000, tapi nyatanya tidak,” kata Hadi pada pertengahan Agustus lalu. “Kegagalan Prokespen juga disebabkan oleh melonjaknya biaya pengobatan dan pengaruh krisis moneter.”

PT Tugu Mandiri mula-mula membatasi pemberian maslahat kepada para pensiunan dengan mengurangi waktu rawat inap. Akhir 1998, muncul surat resmi yang menyatakan penghapusan jasa rawat jalan pada rumah sakit. Penundaan klaim pada September 1999. Goncangan keuangan perusahaan itu setidaknya dilihat dari rasio total hasil investasi terhadap manfaat dan klaim yang jauh menukik. Rp13 miliar berbanding Rp85,67 miliar pada akhir tahun itu. Dan Maret 2000, PT Tugu Mandiri sudah menolak seluruh pembayaran maslahat para pensiunan .

Kepanikan menjalar cepat.

Pada November 2000, pejabat sementara Kepala Pertamina BPPKA Herucokro Trimurdadi menerbitkan surat untuk membubarkan Prokespen pada akhir tahun. Program tersebut akan diubah menjadi asuransi kesehatan perorangan dengan nama Dana Kesehatan Pensiunan (Dakespen) pada Januari 2001. Tetapi usulan itu ditolak. Sebagian pensiunan melakukan demonstrasi di depan kantor PT Caltex, Pekan Baru. Ada pula yang memprotes terbitnya surat BPPKA—kemudian berganti menjadi Management Production Sharing (MPS) dan diambil alih fungsinya oleh Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas sejak 2002—yang tak punya kaitan dengan bisnis asuransi jiwa.

“Surat Pertamina yang membubarkan Prokespen merupakan tindakan melawan hukum, karena tak berwenang mengatur asuransi,” kata pensiunan Madjedi Hasan dalam satu surat elektroniknya, Mei 2001.

Madjedi –yang bekerja di PT Caltex selama 23 tahun—juga menghubungi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) untuk menjadi penengah. Perundingan kian alot. Direktorat Asuransi Departemen Keuangan, PT Pertamina, PT Caltex dan PT Tugu Mandiri akhirnya duduk satu meja dengan perwakilan pensiunan untuk menyelesaikan kegagalan Prokespen.

Kesepakatan awal muncul: membebaskan pensiunan memilih perusahaan asuransi lain. Konsekuensinya, diperlukan tambahan dana. Tilaar sering hadir dalam mediasi tersebut. Walaupun demikian, Pertamina MPS pada awalnya mengkhawatirkan pemberian dana itu akan menjadi soal tersendiri di masa yang akan datang. Direktur Pertamina MPS kala itu, Effendi Situmorang menuturkan dalam surat elektroniknya kepada Madjedi, persoalan ini lebih tepat diselesaikan oleh Direktorat Asuransi sebagai pihak yang berwenang menentukan kebijakan. Problem tersebut, bagi dia, lebih merupakan persoalan kewajiban PT Tugu Mandiri terhadap nasabahnya.

“Pemenuhan dana yang berasal dari KPS atas beban cost recovery, menurut pendapat saya tidak tepat, karena tidak ada hubungannya dengan operasi KPS,” tulis Effendi pada akhir Agustus 2001. “Hal ini akan menjadi temuan di kemudian hari.”

Pendirian Effendi berubah.

Sebulan kemudian, dia meneken surat yang intinya menyetujui pemberian dana penyelamatan dan memberikan keleluasaan kepada para pensiunan untuk memilih produk asuransi lain. Ini tentu dengan persetujuan Direktur Pertamina periode 2000-2003, Baihaki Hakim, yang sebelumnya menjabat Presiden Direktur PT Caltex periode 1994-1999.

Baihaki sendiri mengakui tempatnya bekerja selama 3 tahun itu merupakan sarang korupsi serta rawan intervensi. Dalam bukunya The Lone Ranger: Lekak-Likuk Transformasi Pertamina, dia mengungkapkan hal tersebut biasanya terkait dengan Technical Assistance Contract (TAC) dan Joint Operating Body (JOB). Contohnya, masalah biaya dalam perjanjian atau kontrak yang tidak dilaksanakan dengan baik.

“Sudah jelas sesuai kontrak adalah beban kontraktor, tapi setelah diaudit menjadi beban Pertamina,” kata Baihaki. “Saya menduga pasti ada kolusi. Saya juga curiga ada hubungan terlalu mesra antara JOB dengan orang dalam.”

PT Pertamina tetap menyetujui paket penyelamatan itu sebagai bentuk apresiasi manajemen KPS untuk para pensiunan. Ini karena para perusahaan asing tersebut telah memberikan sumbangan besar bagi penerimaan negara di sektor minyak dan gas bumi. Riset organisasi Publish What You Pay Indonesia mencatat sebesar Rp80,46 triliun diperoleh negara pada akhir 2003, atau naik dibandingkan tahun sebelumnya, Rp77,48 triliun. Kesepakatan pun ditandatangani pada akhir Oktober 2001 oleh perwakilan 1.606 pensiunan. Termasuk Madjedi dan Tilaar.

Permufakatan itu mengatur soal penyaluran dana penyelamatan dan kerelaan pembubaran Prokespen. Di sisi lain, para pensiunan diminta tidak akan mengajukan tuntutan hukum kepada PT Caltex, PT Pertamina maupun PT Tugu Mandiri. Dana itu akan disalurkan kepada masing-masing peserta—melalui yayasan— dengan tiga pilihan produk di luar Dakespen. Mereka adalah milik PT Askes (Persero), PT Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dan PT Mitra Keluarga Piranti Sehat (MKPS).

Dua yayasan pun dibentuk pada November 2001 untuk penyaluran dana sebesar Rp18,96 miliar. Keduanya yaitu Yayasan Himpunan Pensiunan Caltex (YHPC) dan Yayasan Pensiunan Caltex Riau (YPCR).Tilaar sendiri menjabat sebagai ketua pengurus YHPC, Soemarman Wiriawidjaja menjabat bendahara, serta Madjedi pada badan pendirinya. Sedangkan YPCR dipimpin oleh Hariadi di Pekan Baru, Riau. Namun, ketegangan antara Madjedi dan Tilaar memuncak.

“Tilaar punya agenda sendiri,” kata Madjedi. “Dia membujuk para pensiunan menulis MKPS sebagai pilihan, walaupun sudah memilih sebelumnya. Ini yang menimbulkan kerancuan daftar pilihan dan terjadi pertentangan.”

Masalah tersebut berlangsung hingga akhir tahun. Tidak hanya antara Madjedi dan Tilaar, namun juga merambat ke PT Tugu Mandiri. Ini karena daftar pilihan peserta yang membingungkan akibat ditulisnya dua produk pilihan sekaligus, bukan satu. Badan Pendiri YHPC akhirnya mengambil sikap untuk mendinginkan suasana. Mereka ingin segala macam polemik dihentikan. Mereka juga membagi tugas hingga pencairan sisa nilai tanggungan beserta pembayaran premi rampung dikucurkan. Rinciannya adalah PT Askes di Jakarta (Rp2,06 miliar), PT Askes di Pekan Baru (Rp6,08 miliar), PT Bumiputera 1912 (Rp422,55 juta), PT MKPS (Rp1,57 miliar). Sedangkan untuk pensiunan yang akhirnya tetap memilih Dakespen adalah sebesar Rp7,69 miliar.

Namun, Tilaar tak pernah puas.

Dia menulis surat atas nama YHPC ke Komisi Hukum DPR RI dengan tembusan ke mana-mana.Dari Direktorat Asuransi, YLKI hingga Indonesia Corruption Watch. Menurut Madjedi, Badan Pendiri YHPC sendiri justru tidak diberikan kopi suratnya. Tilaar tetap mempersoalkan keabsahan pemberian dana penyelamatan PT Caltex. Lainnya, Direktorat Asuransi, yang kala itu dipimpin Firdaus Djaelani, dituding mandul. Madjedi, sebagai Badan Pendiri YHPC, memberikan peringatan agar surat itu ditarik kembali sekaligus meminta maaf. Dia menilai koleganya itu sudah menyalahi wewenang.

“Yayasan hanya menjadi pemegang polis asuransi yang akan datang buat pensiunan. Kami tidak lagi mencampuri urusan Prokespen dan Tugu Mandiri,” ujar Madjedi. “Apabila teguran ini tidak diindahkan, yang bersangkutan akan dibebastugaskan.”

Tilaar pun akhirnya diberhentikan. Soemarman, sang bendahara, juga mengundurkan diri dari YHPC. Keduanya diganti masing-masing oleh Rumzy B. Rasyad dan Mubahar. Pada Maret 2002, Tilaar mendirikan Yayasan Kesehatan Pensiunan Caltex (YKPC) di mana Soemarman menjadi ketua pengurus. Tetapi masalah kian bertambah. Dalam sebuah surat elektronik untuk Madjedi, Soemarman mengatakan polis asuransi khusus PT MKPS telah dialihkan dari YHPC ke YKPC. Ada 104 pensiunan di sana, termasuk Suwahjuhadi Mertosono, mantan orang nomer dua di korporasi tersebut. Madjedi menilai pemindahan itu tidak lazim, karena bukan pihak yang termasuk dalam kesepakatan. Baginya, ini semacam kudeta. Pengkhianatan.

Dana sebesar Rp1,57 miliar pun berpindah tangan.

Tak hanya itu, Tilaar tiba-tiba mengajukan gugatan kepada PT Tugu Mandiri karena dituduh memotong 10% penyaluran dana penyelamatan. Langkah hukum ini dilakukan tiga kali berturut-turut sepanjang Juli 2002-Desember 2002 atas nama sejumlah pensiunan. Namun, sebagian dari mereka mencabut surat kuasa ketika baru mengetahui para tergugat adalah PT Tugu Mandiri, PT Caltex, dan PT Pertamina. Gugatan berujung kegagalan.

Semua langkah yang dilakukan Tilaar pupus. Bahkan dia bersama Soemarman dituding memakai sejumlah uang pensiunan yang disimpan YKPC. Ini untuk membayar ongkos pengacara, sedikitnya Rp35 juta. Juga gara-gara menolak menyerahkan sisa uang para pensiunan Rp329,18 juta untuk meningkatkan maslahat asuransi. Akibatnya, Soemarman diadukan Harman—salah satu peserta MKPS—ke Polisi Resor Jakarta Selatan pada 2003, dengan dugaan penggelapan. Tapi ini tidak ditindaklanjuti karena Soemarman memutuskan pindah ke Amerika Serikat. Dalam sebuah surat elektronik, pensiunan itu menolak menjawab wawancara saya.

Saya berkesempatan menemui Madjedi dalam sebuah wawancara di kantornya lantai 17 Graha Niaga, kawasan Jenderal Soedirman , Jakarta Pusat pada pekan terakhir Juni lalu.Rambutnya putih karena usia.Pakaiannya terkesan sederhana. Dia kini menjadi konsultan bidang perminyakan dan juga menjadi editor ahli di majalah Petrominer.

“Saya sudah menutup masalah itu. Ini sudah lama sekali,” kata pria berusia 76 tahun itu, saat wawancara dimulai. “Kesepakatan pada Oktober 2001 harus dipandang sebagai tonggak perdamaian.”

Dia menilai Tilaar adalah orang yang kecewa dengan amblasnya gugatan hukum. Inilah yang mendorong dia untuk mencari modus baru: melaporkan talangan PT Caltex sebagai tindak pidana korupsi. Saya memberitahu Madjedi kemudian. Status pemberian dana penyelamatan memang masuk dalam ranah penyelidikan KPK. Itu berarti ada indikasi pidana korupsi yang ditemukan. KPK mengumumkan sederet kasus yang tengah diselidikinya ke Komisi Hukum DPR RI pada April 2010. Salah satunya soal dana yang dinikmati pensiunan PT Caltex, termasuk Tilaar.

Dia terkejut. “Tidak mungkin.”





SURAT BERLOGO burung Garuda itu ditandatangani Chandra Martha Hamzah pada akhir Agustus 2008. Chandra adalah Wakil Ketua Pimpinan KPK periode 2007-2011 dengan latar belakang advokat. Surat itu ditujukan kepada Ombudsman Republik Indonesia dengan perihal tertulis: dugaan penyalahgunaan keuangan negara oleh PT Pertamina dan PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri yang melibatkan kontraktor asing. Substansinya ada empat hal. Salah satunya, KPK menerima audit investigatif BPKP terhadap sepuluh KPS pada Mei 2008. Ini di luar PT Caltex.

Nama-nama kontraktor asing itu adalah antara lain PT Atlantic Richfield Company (Arco) Indonesia, PT American Overseas Petroleum (Amoseas) Indonesia, ConocoPhillips Indonesia, ExxonMobil, PT Kondur Indonesia, Santa Fe Energy Resources, Mobil Oil Indonesia, Total E&P Indonesie, Unocal Indonesia dan Virginia Indonesia Co. (Vico).

“Seluruh laporan audit tersebut,” kata Chandra, “sedang ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.”

BPKP menyatakan modus pembebanan subsidi sepuluh KPS tersebut tidak sama sekali berbeda dengan PT Caltex. Dia hanya berbeda dari sisi waktu. Audit investigatif sepuluh perusahaan itu dikerjakan sangat cepat dibandingkan dengan PT Caltex—yang memakan waktu 3 tahun—yaitu hanya 8 bulan. Dari September 2007 hingga Mei 2008. Khusus PT Caltex, BPKP menemukan indikasi keterlibatan pada lima orang. Namun, Direktur Investigasi BUMN dan BUMD BPKP Eddy Mulyadi menolak membeberkannya. Dia mengatakan dirinya terikat dengan peraturan. BPKP hanya menyerahkan audit investigatif tersebut kepada KPK, sebagai penegak hukum sekaligus peminta laporan.

“Saya tidak boleh ngomong. Ini berdampak bagi penegak hukum.”

“Sudahkah ada indikasi kerugian negara?” tanya saya.

“Sudah. Secara general kasusnya sama.”

Tetapi Eddy tak mau memerinci jumlah indikasi kerugian negara. Dia menerangkan hasil laporan audit investigatif bukanlah sesuatu yang bersifat final. Penegak hukum harus menemukan dahulu sebuah peristiwa secara lengkap: siapa berbuat apa. Dan inilah yang masih dilakukan KPK. Namun bagi Tilaar, pengalaman terakhir di gedung komisi itu sungguh tidak menyenangkan. Ini terkait dengan permintaan keterangan.

Saya menemui Tilaar dalam sebuah wawancara pertengahan Juli lalu. Dia menceritakan bagaimana mulanya Andini Chaidir—salah satu penyelidik KPK—meminta dirinya hadir untuk diklarifikasi pada 12 Juni 2009. Tanpa undangan resmi, hanya melalui telepon empat hari sebelumnya. Padahal, KPK pernah menyuratinya untuk diminta keterangan dengan tanda tangan Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, Junino Jahja pada 2006 silam. Demikian pula BPKP yang memeriksanya pada Mei 2005. Lembaga itu menggunakan surat resmi yang diteken pejabat harian Kepala Tim Audit Investigatif BPKP, Yudi Rianto.

Tilaar tetap bersedia datang.

Namun masalah muncul. Tilaar yang didampingi anaknya tak dizinkan masuk karena tak membawa undangan. Dia pun menyebutkan nama Andini Chaidir, tetapi tak membawa hasil. Petugas penjaga tamu mengklaim tak mengenal nama itu. Keributan terjadi ruang lobi. Tapi akhirnya Tilaar diizinkan naik ke lantai 7.

“Kami diberitahu bahwa alasan sulitnya bertemu dengan para pejabat KPK adalah alasan keamanan. Ini mengingat banyaknya kawan maupun musuh KPK sendiri,” ujar Tilaar.

Tahun lalu memang menjadi masa yang sulit dilupakan KPK. Pada Mei 2009, mantan Ketua KPK Antasari Azhar ditahan kepolisian karena dituduh terlibat dalam pembunuhan mantan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Ini gara-gara Nasrudin memergoki Antasari berduaan dengan caddy golf, Rani Juliani—istri ketiga Nasrudin— di kamar hotel. Antasari berlatar belakang jaksa. Dia terpilih menjadi ketua komisi dengan mengalahkan kandidat lainnya: Bibit S. Rianto, Chandra Hamzah, Haryono Umar dan Mochamad Jasin. Kasus pembunuhan itu cukup membuat lembaga anti-korupsi tersebut limbung.

“Salah satu penyelidik mengatakan argonya baru jalan lagi. Dia meminta saya untuk mengulang kembali pengaduan kasus tersebut,” ujar Tilaar, menceritakan dirinya saat dimintai keterangan. “Ini membuat saya keberatan.”

Mungkin keterangan Tilaar menjadi penting. Surat YKPC ke KPK tertanggal 9 Juni 2009 setidaknya mengungkapkan bagaimana permintaan Andini Chaidir saat menelepon Tilaar. Menurut surat itu, KPK secara tidak langsung justru meminta nama-nama yang diduga bertanggung jawab dalam pengucuran dana talangan milik PT Caltex. Padahal, komisi anti-korupsi itu dapat melakukan penelusuran sendiri siapa saja pihak yang diduga terlibat.

Saya pun berusaha menemui Baihaki Hakim dan Effendi Situmorang, dua mantan pejabat PT Pertamina, yang memutuskan kebijakan kontroversial itu. Melalui anak terakhirnya, Fiona Baihaki, menyatakan ayahnya sendiri yang akan menghubungi saya terkait dengan wawancara masalah Prokespen. Saya memang meninggalkan identitas diri— nomor telepon beserta alamat surat elektronik—saat bertamu ke rumah Fiona, kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan pada Juli lalu. Ini adalah rumah yang sering dikunjungi pria berusia 68 tahun itu. Namun nihil. Baihaki tak pernah mengontak. Juga Effendi Situmorang— kini menjabat Komisaris PT Pertamina EP—menolak memberikan jawabannya atas masalah ini dalam sebuah surat elektronik awal September lalu. Dia menuturkan tidak akan berkomentar lagi karena kasus Prokespen sudah ditangani KPK.

Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah menjelaskan walaupun disertai lampiran bukti, audit investigatif hanya memberikan petunjuk kepada penyidik, bukan laporan final indikasi pidana korupsi. Menurut dia, kategori pidana tersebut hanya ditentukan penyidik sebagai penegak hukum sekaligus pengguna hasil audit.

“Meski sudah dinyatakan ada penyimpangan?” tanya saya.

“Hasil audit hanya membantu menghitung kerugian negara,” jawab Chandra, akhir Agustus lalu. “Penyidiklah yang menentukan bagaimana tindak pidana korupsi telah terjadi.”

Dan ini sudah hampir 7 tahun berlalu. Masa jabatan Chandra dan kawan-kawannya akan segera berakhir dalam 1 tahun ke depan. Mereka akan berkejaran dengan waktu. Juga dengan kasus-kasus besar lainnya. Bisa jadi kegeraman Tilaar kali ini benar-benar membuncah dan meledakkan emosi. Dengan kesimpulan memburuk, kian membumbung di kepalanya. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)