Wednesday, July 1, 2009

“Kuda-Kuda" Prabowo

Oleh Anugerah Perkasa
796 words



PRABOWO SUBIANTO tak hanya lantang berpidato, namun mahir pula membuat seorang reporter gugup saat mengajukan pertanyaan. Prabowo mempertanyakan apa dasar penanya menyebut dirinya punya kekayaan Rp1,5 triliun? Sang reporter pun menjawab: itu dari sumbernya.

“Anda cek lagi,” tukas Prabowo.
“Yang benar jadi berapa, Pak?”

Mantan komandan pasukan khusus itu tak menjawab. Dia mengoceh pentingnya kekayaan untuk berpihak pada rakyat kecil. Artinya, pemimpin harus kaya untuk menolong rakyat. Siang itu, pendukung Prabowo langsung bertepuk tangan. Berteriak senang, walapun hawa panas menyengat di Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang, Bekasi. Mereka antusias dengan jawaban Prabowo yang kian nyaring dari pengeras suara.

Pekan terakhir Mei 2009, Bantar Gebang menjadi saksi diam deklarasi Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto. Mereka “berkompromi” untuk maju sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden dari Partai PDI Perjuangan serta Partai Gerakan Indonesia Raya. Massa tumpah-ruah. Siaran langsung televisi menyiarkan baik pendukung keduanya maupun para wartawan saling berjejal. Sebenarnya pula, pertanyaan sang reporter gugup tak sepenuhnya keliru.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat Prabowo merupakan kandidat paling kinclong hartanya dibandingkan kedua pasangan lainnya: Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dan Jusuf Kalla-Wiranto. Kekayaan Yudhyono (Rp6,84 miliar dan US$246 ribu); Boediono (Rp22,06 miliar dan US$15 ribu); Kalla (Rp314 miliar dan US$2,66 ribu); Wiranto (Rp81,74 miliar da US$37,62 ). Bahkan Megawati pun hanya Rp256,44 miliar tanpa ada dolar. Bandingkan dengan Prabowo: Rp1,5 triliun dan US$7,57 juta.

Lembaga itu pun menurunkan tim untuk memverifikasi harta masing-masing calon pejabat negara itu. Lantas bagaimana dia memperoleh aset demikian besar?

Situs prabowosubianto.info bisa menjelaskan hal itu. Sedikitnya 17 perusahaan dimiliki oleh Prabowo diduga menyumbang besarnya pundi-pundi uang tersebut. Mulai dari sektor kehutanan, perkebunan, perikanan, pertambangan, hingga jasa.

Perusahaan-perusahaan itu adalah PT Batubara Nusantara Coal; PT Belantara Pusaka; PT Erabara Persada Nusantara; PT Gardatama Nusantara; PT Jaladri Swadesi Nusantara; PT Kaltim Nusantara Coal; PT Kiani Kertas atau PT Kertas Nusantara; PT Kiani Hutan Lestari; PT Nusantara Wahana Coal; PT Nusantara Kaltim Coal; PT Nusantara Santan Coal; PT Nusantara Berau Coal; PT Tanjung Redeb Hutani; PT Tidar Kerinci Agung; PT Tribuana Antarnusa; serta PT Tusam Hutani Lestari.

Kritik keras pun menghujani anak dari ahli ekonomi Sumitro Djojohadikusumo itu. Bagaimana orang yang demikian kaya bisa berpihak pada ekonomi rakyat kecil? Dari catatan KPK, Prabowo memiliki 80-an lebih ekor kuda, sepuluh mobil—di antaranya mobil mewah—serta perhiasan. Tapi dia tetap bersikeras.

“Yang paling penting adalah keberpihakan. Dan pemimpin harus kaya lebih dulu untuk menolong yang miskin.”




KAMI MENERIMA kunjungan Prabowo pada pekan terakhir Mei lalu. Gaya bicaranya tak berubah. Meledak-ledak. Dia juga menjelaskan visi “ekonomi kerakyatan” dengan mengkritik mazhab neoliberalisme di kantor kami, kawasan Karet Jakarta Pusat.

“Belum lagi habis soal neo-liberalisme, orang sudah ribut masalah kuda,” ujarnya kepada sekitar dua puluh wartawan Bisnis Indonesia. Kami sama-sama tergelak.

Kuda Prabowo memang jadi bola politik. Kabarnya, beberapa ekor pemamah biak itu berharga hingga Rp3 miliar. Namun ini dibantah oleh Fadli Zon, Sekretaris Tim Umum Pemenangan Mega-Prabowo, yang menyatakan 84 kuda itu hanya bernilai Rp5 miliar. Namun tak cuma soal ini. Kebiasaan kakak kandung pengusaha Hashim Djojohadikusumo itu dalam bermain polo, juga tak luput dari tudingan politik. Tentu, ini adalah olahraga super mahal. Kontras dengan visi “ekonomi kerakyatan” yang dikabarkannya selalu.

Tapi lupakanlah soal binatang itu.

Kritik paling keras justru meluncur dari peneliti cum aktivis George Junus Aditjondro. Dia menilai masuknya Prabowo ke kancah politik hanya membuat jelmaan baru Presiden Soeharto saat berkuasa selama 32 tahun lalu. Djojohadikusumo bersaudara itu dinilai menguasai “tanah-tanah pencetak dolar” yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Mereka menguasai: perkebunan kelapa sawit, teh, jagung, jarak, akasia, padi, dan aren, serta ratusan ribu hektare hutan pinus.

Seperti dikutip dalam artikelnya “Menyongsong Era Soeharto Jilid II”, Aditjondro memaparkan penguasaan bisnis yang dikelola keduanya. Di Aceh, Djojohadikusumo bersaudara itu menguasai konsesi PT Tusam Hutani Lestari, seluas 96.000 hektar; di Sumatra Barat dan Jambi, mereka memiliki perkebunan kelapa sawit seluas lebih dari 30.000 hektar di bawah PT Tidar Kerinci Agung.

Di Kalimantan Timur, mereka pun mengambil alih konsesi hutan PT Tanjung Redep yakni hutan tanaman industri seluas 290.000 hektar, konsesi hutan PT Kartika Utama seluas 260.000 hektar, PT Kiani Lestari seluas 260.000 hektar, serta perkebunan PT Belantara Pusaka seluas 15.000 hektar lebih.

Belum lagi lainnya. Di Pulau Bima, Nusa Tenggara Barat, kedua bersaudara itu memiliki budi daya mutiara serta perkebunan jarak seluas 100 hektar untuk bahan bakar nabati. Sedangkan di Kabupaten Merauke, Papua, mereka berencana membuka Merauke Integrated Rice Estate seluas 585.000 hektar. Di Papua, mereka juga mengeksplorasi blok gas Rombebai di Kabupaten Yapen dengan kandungan gas lebih dari 15 triliun kaki kubik.

Jadi, pertanyaannya, tulis Aditjondro, “bagaimana mencegah rezim mendatang tidak mengulangi kesalahan era Soeharto, waktu negara dikelola sebagai imperium bisnis?”

Aditjondro khawatir Prabowo hanyalah reinkarnasi Soeharto dengan pelbagai sebaran bisnisnya. Ini adalah pertanyaan yang terlupakan oleh kami, saya khususnya. Mungkin juga kekhawatiran itu kian tergerus saat Prabowo mulai mengibarkan panji “ekonomi kerakyatan” dengan poster besarnya di suratkabar dan iklan mahal televisi. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)