Monday, March 16, 2009

kabar buruk dari cempaka putih

Oleh Anugerah Perkasa
1.620 words




HAMPIR DUA jam Heru Maliksjah terlambat. Dia baru sampai di halaman Pengadilan Negeri Jakarta Timur, kawasan Ahmad Yani, pukul 14.00 pada awal Februari. Berjalannya sudah payah. Salah seorang keluarganya memapah untuk masuk ke ruang persidangan di lantai dua. Dia pun menunggu dengan wajah kuyu di sebuah kursi yang terletak di pojok gedung itu. Ruang sidang Candra, rupanya masih digunakan untuk perkara yang lain. Heru menyandarkan kepalanya. Menunggu.

“Banjir di mana-mana. Ini yang membuat terlambat,” ujar Tony Risman, salah seorang penasihat hukum Heru dari Firma Sirah & Partner. “Klien kami juga masih sakit.”

Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menahan Heru sejak Maret 2008 dalam kasus dugaan korupsi di tubuh Taspen yang melibatkan salah satu bank milik pemerintah, PT Bank Mandiri Tbk. Heru merupakan mantan Direktur Keuangan PT Tabungan Asuransi Pensiun atau Taspen periode 2002-2008. Badan usaha milik negara (BUMN) tersebut mengelola dana pensiun sekitar 4,08 juta pegawai negeri di Indonesia sejak dibentuk pada 17 April 1963. Persidangan atas dirinya dimulai pada April 2008.

Kasus itu bermula dari penempatan dana deposito milik Taspen untuk Bank Mandiri Kantor Kas Balai Pustaka, Rawamangun, Jakarta Timur pimpinan Agoes Rahardjo. Ada lima kali pengiriman dana yakni dua kali pada 15 November 2006 (masing-masing Rp10 miliar), 18 Desember 2006 (Rp30 miliar), 3 Januari 2007 (Rp30 miliar) dan 1 Maret 2007 (Rp30 miliar). Jumlah seharusnya mencapai Rp110 miliar, namun di catatan bank itu hanyalah Rp12 miliar. Kejahatan mulai terungkap, saat Taspen menerima rekening koran giro dari Bank Mandiri Kantor Cabang Pembantu Jatinegara Barat, Jakarta Timur. Ini adalah kantor yang membawahi kantor kas Balai Pustaka, Rawamangun. Masalahnya, Taspen tak pernah membuka rekening giro di sana.

Kasus ini pun masuk ke pengadilan pada September 2007.

Jaksa penuntut umum mendakwa Agoes telah bersama- sama dengan sindikat Agus Saputra dan Arken merugikan Taspen Rp98 miliar. Agoes terbukti mengambil uang milik Taspen yang akan didepositokan dalam lima kali pengiriman itu sehingga hanya berjumlah Rp12 miliar. Sisanya, disetorkan ke rekening giro atas nama Taspen yang dibuka sendiri oleh Agoes—bekerja sama dengan kelompok Agus dan Arken— di kantor kas Balai Pustaka, Rawamangun. Caranya dengan memalsukan tanda tangan Direktur Utama Taspen Achmad Subianto dan Direktur Keuangan Heru Maliksjah. Pemalsuan ini diuji di Laboratorium Kriminalistik Markas Besar Polisi Republik Indonesia.

Pengadilan Negeri Jakarta Timur akhirnya menghukum Agoes dengan hukuman 13 tahun penjara, namun menjadi 10 tahun di tingkat banding. Sementara sindikat Agus-Arken masing-masing divonis 7 tahun. Mereka dijerat dengan UU No.10/1998 tentang Perbankan. Sementara di pihak Taspen—selain Heru—, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta juga menjerat Mattius Nehrir, Asisten Manajer Divisi Investasi, yang akhirnya dibebaskan oleh pengadilan. Soal ini, keduanya didakwa dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Putusan Mattius itu membuat optimis,” ujar Tony pada saya. “Majelis hakim pasti akan memutus sesuai dengan harapan kami.”

Mungkin saja Tony tak menyadari, perkara Heru hanyalah salah satu masalah yang mencuat di tubuh pengelola dana pensiun itu. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam audit periode 2006 menemukan banyaknya kesalahan administrasi pada Taspen. Mulai pencatatan, investasi pada deposito hingga maraknya penunjukan langsung dalam pengadaan barang dan jasa. Dan masalah investasi, dahulu berada bawah direktorat keuangan yang dipimpin klien Tony, Heru Maliksjah.




SAMEGAWATI MEMBACA perlahan laporan pemeriksan BPK yang ada di depannya. Dia ingin mengecek ulang. Samegawati adalah Kepala Sub Auditoriat VII.D.2 Lembaga Keuangan Non Bank BPK yang ingin menunjukkan terjadinya kesalahan administrasi di Taspen. Ini mengungkapkan betapa rapuhnya pengawasan di BUMN itu, dengan sejumlah masalah. Saya menemuinya didampingi oleh Ketua Seksi BUMN Asuransi Paradon Napitupulu, di kantor BPK, kawasan Gatot Soebroto Jakarta Pusat.

“Terjadi kelalaian pencatatan. Itu mengapa BPK memberikan opini disclaimer,” ujarnya, pada November 2008.

Samegawati menjelaskan pada tahap awal saja, tim auditor menemukan kesalahan yang menimbulkan pertanyaan. Pada neraca keuangan per 31 Desember 2006, Taspen menempatkan dana dalam bentuk deposito, total Rp3.869.990.000.000, namun berdasarkan daftar penempatan dana justru hanya Rp3.869.290.000.000. Ada selisih Rp700 juta. Akhirnya, disepakati bahwa nilai yang digunakan adalah jumlah deposito berdasarkan daftar penempatan. Bukan neraca. Kesepakatan ini digunakan BPK, untuk mulai melakukan audit pada Januari 2007.

Auditor justru kemudian menemukan tidak adanya 62 bilyet deposito senilai Rp1,22 triliun dari total 189 bilyet saat cek fisik dilakukan. BPK lantas melakukan konfirmasi ke sejumlah bank, tempat penyimpanan deposito. Tapi, Samegawati menolak menyebutkan nama bank yang dimaksud. Laporan BPK menyebutkan dana deposito berjangka milik Taspen terdapat pada empat bank BUMN, lima bank swasta dan 14 Bank Pembangunan Daerah.

“Konfirmasi menunjukkan bahwa daftar deposito pada Taspen sudah sesuai dengan daftar yang dikirimkan oleh bank-bank terkonfirmasi,” demikian laporan BPK. “Kondisi tersebut menunjukkan pejabat terkait tidak mematuhi prosedur investasi”

Saat cek fisik kedua dilakukan auditor pada Mei 2007, BPK akhirnya menemukan ke 62 bilyet tersebut. BPK memang tak menelusuri lebih lanjut mengapa bilyet itu sempat tak ada dan kemudian muncul. BPK dalam hal ini, hanya melakukan audit secara umum atau general audit. Tetapi, Samegawati meyakini bahwa temuan-temuan inilah yang menguak lemahnya pengawasan internal manajemen Taspen. “Kami juga tak mengetahui apakah bilyet itu asli atau palsu. Mengapa itu ada pada Mei?” tuturnya.

Laporan BPK tak berhenti di sini.

Taspen pun dituding kerap melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan barang dan jasa. Mulai dari jasa rekrutmen, pengadaan teknologi informasi hingga konsultan bisnis. Dalam laporan BPK, Taspen melakukan penunjukan langsung sedikitnya tujuh kali untuk menunjang kegiatan operasional. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah, mekanisme tersebut diperbolehkan dengan syarat kondisi tertentu, misalnya terjadi bencana alam.
Jika tidak, maka harus dilakukan melalui pelelangan.

Saya menemui Achmad Subianto, mantan orang nomer satu di Taspen yang kini aktif sebagai Bendahara Dewan Pengurus Nasional Korps Republik Indonesia. Subianto tentu mengetahui mengapa penyimpangan justru terjadi saat dirinya memimpin. Sekedar catatan, audit BPK periode 2000-2001 menyatakan Taspen merupakan perusahaan yang sangat sehat. Subianto diangkat pada 2002 dan memimpin hingga 6 tahun kemudian.

“Pengadaan barang itu sudah sesuai prosedur. Tidak ada yang dilanggar,” ujarnya saat ditemui di Gedung Badan Pengawas Tenaga Nuklir, kawasan Gajah Mada Jakarta Pusat. “Dengar-dengar auditor BPK kurang dilayani dengan baik. Saya juga tak mengerti BPK mengapa begitu.”

Subianto menilai tim pengadaan barang dan jasa sudah mentaati prosedur yang kemudian dilaporkan ke dirinya. Dia juga membantah mekanisme kontrol internal Taspen sangat lemah.

Mari membandingkannya dengan laporan BPK. Pada Januari 2005, Taspen menunjuk jasa konsultan Haryanto Mangkusasono dengan nilai kontrak Rp432,43 juta untuk transformasi bisnis tahap pertama. Sedangkan tahap dua, Taspen pun menunjuk langsung PT Oviss Indonesia sebagai konsultan selanjutnya. Nilai kontraknya mencapai Rp546 juta. Jasa Haryanto kembali digunakan Taspen dalam rangka Taspen Excellence Award (TEA) dan Branch Operations Review (BOR) dengan kontrak Rp340,54 juta. TEA dan BOR merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja perusahaan dengan memberikan penghargaan.

Selain itu, Taspen juga menunjuk langsung PT Binaman Utama Pendidikan dan Pembinaan Manajemen untuk memberikan jasa rekrutmen pegawai Taspen pada 2006. Di tahun serupa, Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Manajemen juga ditunjuk untuk melakukan pelatihan kepemimpinan di lingkungan Taspen. Untuk keduanya, nilai kontrak sebesar Rp606,53 juta.

Pengadaan barang pun tak ada bedanya.

Laporan BPK menyebutkan penunjukan langsung dilakukan pada PT Askomindo Dinamika untuk pengadaan sistem pendukung internet, senilai Rp326,99 juta. Auditor juga mensinyalir Taspen berupaya menghindari pelelangan dalam pengadaan local area network (LAN) dengan menggandeng tiga perusahaan yakni PT Nusantara Compnet Integrator, PT Limawira Wisesa dan PT Data Aksara Makna. Ketiganya masing-masing mendapat kontrak sebesar Rp85 juta, Rp402,70 juta dan Rp348,22 juta.

“Pekerjaan itu dapat dilakukan oleh rekanan yang sama, karena ada yang memiliki kompetensi di bidang itu,” demikian BPK. “Ini mengindikasikan ada upaya untuk memisah guna menghindari pelelangan.”

Subianto mengklaim bahwa dirinya tak secara langsung mengurusi hal ini. Menurut dia, ada delegasi-delegasi yang mengurusi masalah yang lebih teknis. Tender, lanjutnya, menjadi tanggung jawab koleganya dulu, Mohammad Bar’ie yang menjabat Direktur Operasional di Taspen.

“Saya sudah melakukan hal yang benar.”




PUKUL 09.05 di Kantor Pusat Taspen, Cempaka Putih, Jakarta Pusat medio Februari. Kursi-kursi sudah terisi penuh. Semua konter pelayanan juga sibuk. Ada yang membaca koran sambil menunggu. Berbincang. Tapi, ada pula yang diam saja. Semuanya menanti pengumuman operator yang menyebutkan nomor antrian. Suasana itu tak banyak berubah hingga satu jam kemudian.

“Memang begitu setiap hari,” ujar Faisal Rachman, Sekretaris Perusahaan Taspen. “Kami terus memberikan pelayanan.”

Walaupun demikian, dia mengakui terjadi ketidaktelitian administrasi di tempatnya bekerja. Taspen pun, lanjutnya, sudah menindaklanjuti rekomendasi BPK dengan memberikan sanksi kepada pejabat terkait. Sebanyak 12 pegawai yang dikenakan hukuman administratif terdiri dari Divisi Investasi, Sumber Daya Manusia dan Umum. Mereka semua diturunkan jabatan dan wewenangnya.

Kini, manajemen baru pimpinan Agus Haryanto membentuk task force untuk membenahi banyaknya kelalaian di tubuh Taspen. Faisal menuturkan pihaknya mengirimkan laporan hasil perbaikan secara berkala ke BPK. Dimulai dari Juli 2008, November 2008 dan diproyeksikan selesai pada Maret 2009. Perubahan juga dilakukan dalam struktur direktorat Taspen. Manajemen baru memutuskan perlunya Direktorat Investasi untuk mengontrol lebih baik soal dana kelolaan dan penempatannya. Intinya, manajemen melaksanakan apa yang menjadi rekomendasi BPK.

“Bagaimana dengan penunjukan langsung. Bukankah ini indikasi korupsi?” kata saya.

“Kami sudah menghukum semua orang yang terlibat. Semuanya.”

“Mengapa ini marak terjadi pada periode Subianto?”

“Saya no comment.”

Faisal mengaku dirinya dulu tak masuk dalam struktur jabatan. Ini yang membuatnya tak mau menanggapi pertanyaan. Dirinya hanya ingin memfokuskan pembenahan saat ini. Apalagi, sambungnya, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi jilid pertama Sjahruddin Rasul berdiri di jajaran Komisaris untuk membantu perbaikan. Gebrakan awal Rasul, adalah melakukan sosialisasi antikorupsidi Kantor Cabang Utama Medan, Sumatra Utara; dan Bandung, Jawa Barat.

“Di institusi manapun yang berkaitan dengan public service selalu ada tempat-tempat yang rawan korupsi,” ujar dia, seperti ditulis dalam situs resmi Taspen. “GCG bisa diplesetkan menjadi Greedy Corporate Governance jika di perusahaan tersebut terjadi korupsi.”

Seorang pensiunan Departemen Keuangan, Sufjan, mengaku tak mengetahui persoalan ketidaktelitian Taspen dalam pencatatan, investasi atau pun penunjukan langsung. Berbeda dengan perkara deposito Rp110 miliar, yang dibacanya dari media massa. Namun bagi dia, yang paling penting adalah pembayaran pokok pensiun bulanan tak tersendat. Jika pembayaran macet, bisa saja para pensiunan ribut, menanyakan ada apa dengan Taspen.

Dan, mungkin saja Sufjan benar. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

The story was published in Bisnis Indonesia March 3, 2009 with title 'Bau Tak Sedap di Taspen'.