Tuesday, January 20, 2009

kpk menjelang pusaran pemilu

Oleh Anugerah Perkasa
1.070 words



ANTASARI AZHAR tahu betul cara memanfaatkan media. Lima kali tampil di depan forum dengan puluhan wartawan, lima kali pula dia berbicara soal pemberantasan korupsi. Momentumnya juga tepat, 9 Desember 2008. Tanggal itu—sejak 5 tahun lalu—diperingati sebagai Hari Anti Korupsi Intenasional. Forum Antasari bermacam-macam, mulai pidato di depan kalangan lembaga negara hingga konferensi pers dengan grup musik Slank. Dan hari itu betul-betul menjadi miliknya.

“KPK ingin memfokuskan pemberantasan korupsi di sektor layanan publik,” ujarnya dalam pidato. “Mengapa? Karena ini berdampak langsung bagi masyarakat. Reformasi birokrasi, tak sekedar peningkatan pendapatan saja.”

Suara Antasari kian jelas dalam ruangan itu. Setidaknya ada sepuluh perwakilan lembaga yang mendengarkan, a.l. Bank Indonesia, Departemen Agama, Departemen Keuangan, Kejaksaan Agung hingga Polisi Republik Indonesia. Mereka berkumpul pada acara Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi di Balai Kartini, Gatot Soebroto di Jakarta Pusat. Banyak yang hadir tepat waktu, banyak pula yang telat.

Antasari memang menjadi populer dengan pemberantasan korupsi. Sejak akhir 2007, dia memimpin lembaga antikorupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) generasi kedua, untuk periode 2007-2011. Dia tak hanya menyasar korupsi pada penggelembungan dana, melainkan juga kualitas pelayanan publik. Misalnya perilaku suap hingga pemerasan saat warga meminta jasa penyelenggara negara. Namun, untuk yang terakhir banyak sejumlah kalangan yang melakukan perlawanan.

“Kami kesulitan. Mereka tak mau kasih data,” ujar Antasari. “Tapi, KPK juga punya cara tersendiri mendapatkannya.”

Bentuk sinisme lainnya adalah muncul pertanyaan mengapa KPK justru mengurusi pelayanan publik, bukan sesuatu yang besar di depan mata: Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Antasari menjawab, KPK punya bidang Penindakan untuk mengawasi pesta demokrasi itu nanti. Sedangkan pelayanan publik, lebih ditangani bidang Pencegahan KPK.

Boleh jadi sinisme itu benar. Setidaknya, sejumlah aktivis pro-demokrasi serta organisasi profesi mulai mencemaskan potensi korupsi pada penyelenggaraan pesta besar tersebut. Mulai biaya Pemilu, pengadaan logistik hingga kesulitan audit untuk peserta Pemilu. Kemungkinan besar, tugas Antasari tak sekedar konferensi pers dan berpidato.




LEBIH SEBULAN sebelum Antasari merayakan hari Anti Korupsi Internasional, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) memperingatkan besarnya potensi penyelewengan dana penyelenggaraan Pemilu. Dibandingkan dengan dana pada Pemilu 2004—yaitu sekitar Rp4 triliun—, biaya yang diperlukan kali ini diperkirakan mencapai Rp20 triliun.

Koordinator Nasional JPPR Jerry Sumampow meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara transparan dapat membeberkan penggunaan dana kali ini. “Publik harus sungguh-sungguh mengawasi kinerja KPU,” urainya.

Keterangan Jerry bisa jadi mengingatkan kasus korupsi di KPU, 5 tahun silam. KPK jilid pertama pimpinan Taufiequrrachman Ruki berhasil membongkar kasus itu dengan bantuan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Khairiansyah Salman. Ini tak sekedar kasus penunjukan langsung logistik Pemilu namun juga soal penerimaan uang ‘terima kasih’ dari perusahaan, rekanan KPU. Korupsi terjadi pada pengadaan sejumlah barang untuk Pemilu yakni a.l. kotak suara, kertas suara dan tinta untuk para pemilih.

Siapa saja pelakunya? Mereka adalah sejumlah pejabat KPU yang nota bene berprofesi sebagai akademikus bidang hukum. Publik tentu masih ingat dengan Mulyana Wira Kusumah, Nazaruddin Sjamsuddin hingga Rusadi Kantaprawira. Mereka adalah dosen yang mengerti hukum namun terjerat kasus korupsi. Ketiganya telah dijatuhi vonis.

Soal barang-barang milik KPU, Arif Nur Alam, aktivis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) meminta BPK untuk melakukan audit aset milik KPU terdahulu. Menurut dia, publik belum mengetahui berapa nilai aset logistik pada Pemilu 2004, dan berapa besar pula kemungkinan untuk kembali digunakan.

“BPK harus masuk ke sana,” ujar Arif.

Dia menuturkan masih banyak barang-barang yang tersisa seperti kotak suara, dapat kembali dipakai untuk mencegah pemborosan. Tentu, KPU dalam hal ini dapat berhemat. Namun, lanjut Arif, semua masih kabur. Belum ada penjelasan dari lembaga penyelenggara Pemilu itu. Arif juga memperingatkan kembali potensi korupsi pada pengadaan logistik. Bukan tak mungkin modus lama—penunjukan langsung atau perusahaan palsu— tetap terjadi.

Kekhawatiran lainnya muncul dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI). Mereka menilai, potensi penyelewengan dana bisa muncul karena auditor independen tak dapat mengaudit dalam waktu yang ditentukan UU No. 10/2008 tentang Pemilu. Tenggat waktunya hanya 30 hari. Padahal, yang diaudit mencapai 20.000 entitas:partai politik dari tingkat kabupaten atau kota hingga pusat, serta peserta perseorangan. ICW dan IAPI menilai kemungkinan besar dana banyak tidak tercatat dan tak dilaporkan. Mereka juga menilai peraturan mengenai pedoman pelaporan, belum dibuat sempurna.

“KPK harus mengawasi potensi itu,” ujar Teten Masduki, Koordinator ICW dalam sebuah diskusi. “Dana yang dilaporkan ke KPU tak dapat diandalkan. Masih banyak yang beredar di luar itu semua.”




SAYA MENEMUI Antasari Azhar sebelum memberikan orasi ilmiah untuk Universitas Sahid di sebuah hotel kawasan Jendral Soedirman, Jakarta Pusat. Dia masih duduk di sebuah ruang tunggu, dan berbincang dengan pejabat kampus itu. Saya menunggunya beberapa saat sebelum konfirmasi dilakukan. Ini adalah dua hari, usai hari Deklarasi Lawan Korupsi dilakukan di KPK pada 9 Desember lalu.

Antasari mengatakan KPK juga memberikan fokusnya pada kegiatan itu. “KPK ingin para calon penyelenggara negara bersih dari suap,” tuturnya. “Kami akan melakukan pengawasan.”

Tentu ini upaya yang baik. Setidaknya, lembaga itu sudah menemui jajaran KPU untuk membahas rencana antisipasi masalah Pemilu 2009. Ini termasuk soal draf format laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Antasari mengakui, mencermati penyelenggaraan Pemilu merupakan kerja ekstra lembaga yang dipimpinnya. Mengapa? Ini tentu bukan tanpa alasan.

Data resmi KPK per Oktober 2008 menyebutkan, lembaga itu menerima 30.431 laporan dari masyarakat mengenai dugaan korupsi. Selama 2 tahun berturut-turut, KPK menerima rata-rata 6.000 laporan. Ada yang diteruskan ke penegak hukum lain dan lembaga yang berwenang, ada pula yang ditangani komisi antikorupsi itu. Urusan lainnya cukup banyak. Dari melakukan supervisi kasus-kasus di daerah, perbaikan pelayanan publik, penertiban barang milik negara, penanganan gratifikasi, penelusuran aset hingga pendidikan masyarakat. Ini belum ditambah dengan penelitian serta kegiatan penindakan kasus korupsi itu sendiri:penyelidikan atas 66 kasus, penyidikan 51 kasus, serta penuntutan 36 perkara pada tahun ini.

Tapi, itu seakan tak pernah cukup.

Bambang Eka Cahya Widodo dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencurigai uang hasil korupsi dan pencucian uang yang digelontorkan untuk partai politik. Menurut Bambang, kejahatan macam ini lolos pemantauan dari Pemilu 2004 sehingga kali ini tak ingin kecolongan. Dia menginginkan KPK turun tangan. Kecurigaan Bambang beralasan soal aliran dana. Korupsi lebih banyak yang tak terlihat. Pantauan ICW periode 2005-Juni 2008 menyebutkan, hampir 482 terdakwa kasus korupsi dibebaskan dari total 1.184 perkara di pengadilan umum.

“Bukankah tugas KPK lebih berat tahun depan?” kata saya, kepada Antasari.
“Bukan berat. Tapi kami akan lebih konsentrasi karena mereka calon penyelenggara negara.”

Wawancara terhenti, karena Antasari menunjuk jam tangannya, bersiap-siap memberikan orasi. Sambil mengucapkan terima kasih, saya mundur teratur. Antasari kembali bersalaman dengan pejabat kampus yang baru menghampiri. Tapi, reporter televisi lokal lagi-lagi meminta waktunya. Dan tentu saja, dengan kamera yang terpasang.(anugerah.perkasa@bisnis.co.id)