Sunday, June 15, 2008

kemenangan sri mulyani atau fadel?

Oleh Anugerah Perkasa
1.532 words



BAGAIMANA UPAYA Fadel Muhammad meyakinkan publik, dirinya tak lagi terbelit hutang negara? Langkah awal adalah memprotes menteri keuangan di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sebuah acara pada Februari silam. Juga dengan mengirimkan pers rilis ke kantor-kantor media massa. Intinya sama. Dia menolak tudingan Sri Mulyani Indrawati, sang menteri yang menyatakan dirinya sebagai obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada parlemen. Alasannya, kasasi Mahkamah Agung (MA) telah mencabut status pailitnya sejak 18 Oktober 2004.

"Data menteri keuangan tidak akurat," kata dia.

Fadel adalah Gubernur provinsi Gorontalo sejak Desember 2001-2006 dan terpilih kedua kalinya hingga 2011. Dia dikenal sebagai politikus asal Partai Golkar, dan pernah memiliki berbagai usaha di sektor keuangan. Di antaranya, punya saham mayoritas di PT Bank Intan dan PT Asuransi Jiwa Intan. Bank Intan merupakan salah satu bank penerima bantuan likuiditas bank sentral pada 1997, akibat tingginya rasio kredit macet dan likuiditas yang melorot. Hantaman krisis moneter saat itu ikut memperparah industri perbankan.

Awalnya, Bank Intan dimiliki Wim Kalona (55%) dan Subarjono (45%). Kantor pusatnya terletak di Jalan Matraman, Jakarta Timur dan memiliki sepuluh kantor cabang serta empat kantor cabang pembantu. Pada Juni 1995, aset bank tersebut meningkat 50,96% menjadi Rp222,64 miliar dibandingkan dengan periode serupa, Rp147,48 miliar. Namun, kredit macetnya juga menggelembung yaitu Rp172,40 miliar.

Soedradjad Djiwandono, Gubernur Bank Indonesia (BI) periode 1993-1998, mengatakan tingginya rasio non-performing loan atau kredit bermasalah menyebabkan sejumlah bank--saat itu berjumlah total 170 unit--tak memiliki kecukupan modal untuk membayar kewajibannya. Ini tak sehat dan musti ditutup. Dia menyampaikan kekhawatiran itu dua kali kepada Presiden Soeharto yaitu akhir 1996 dan April 1997. Seperti dikutip dalam sejumlah artikelnya pada www.pacific.net, sidang kabinet terbatas pada September 1997 akhirnya memutuskan untuk mencabut izin bank yang tak dapat diselamatkan melalui merger atau akuisisi namun tetap menjamin dana deposan.

Awalnya, Bank Intan terselamatkan.

BI menawarkan upaya ambil-alih kepada Fadel pada Maret 1996 dan disanggupi sekitar Juli 1997. Syarat-syarat pun diajukan. Investor baru harus setuju menerima sub-ordinated loan Rp100 miliar, ditambah dengan konversi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) Rp21,80 miliar dalam jangka waktu sepuluh tahun-kemudian direvisi- menjadi 15 tahun.

Selain itu, Fadel diminta menyetor modal Rp60 miliar dan dana untuk escrow account Rp10 miliar. "Juga harus menyetujui restrukturisasi non-performing loan dari pemilik lama," demikian bank sentral.

Akuisisi memang membuahkan hasil, tapi hanya sesaat. Bank Intan terkena pengaruh akibat dibekukannya 16 bank pada November 1997 sebagai upaya reformasi atas usulan Tim Indonesia pimpinan Widjojo Nitisastro, atas dukungan International Monetery Fund (IMF). Likuiditas bank itu menurun akibat penarikan dana besar-besaran. Kepercayaan warga terhadap bank menurun drastis. Imbasnya, Presiden Soeharto memberhentikan Soedradjad sebagai pimpinan bank sentral pada Februari 1998. Dia digantikan Sjahril Sabirin.

Likuditas Bank Intan merosot yaitu Rp22,7 miliar pada akhir 1997, padahal sebelumnya tersedia Rp312,9 miliar dua bulan sebelumnya. Kerugian per bulan melonjak sebesar Rp10,8 miliar dari sebelumnya hanya Rp1,8 miliar. Pinjaman bank sentral-yang diakui- sebesar Rp88,15 miliar akhirnya digunakan. BI kemudian menyatakan bank tersebut masuk kategori bank beku kegiatan usaha pada Maret 1999 dan berada dalam pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada Mei 1999.

BPPN berdiri berdasarkan Keputusan Presiden No.27/1998 tentang Pembentukan BPPN, dengan tujuan menyehatkan industri perbankan akibat krisis moneter serta mengembalikan uang negara. Lembaga itu akhirnya dibubarkan pada 2004 di masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Akibat pembekuan, aktivitas manajemen Bank Intan otomatis terhenti. Fadel merasa diperlakukan sepihak, karena bank sentral tak memberikan jaminan sesuai janjinya hingga 2011. Walaupun, dia tetap menandatangani Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) pada Oktober 2000 dengan janji BPPN, mendapatkan auditor independen guna menghitung kembali hutangnya. Belakangan, janji itu kosong.

"BPPN dan BI telah wan prestasi," ujar Muchtar Luthfi.

Luthfi adalah pengacara yang ditunjuk sejak 2001 dan bekerja pada Firma Hukum MM & Rekan. Firma ini juga bertugas mengirimkan pers rilis ke kantor media untuk membantah tudingan Menteri Keuangan.

Akibat cidera janji, Fadel menggugat perdata BPPN dan BI di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2002. Dia menang pada Februari 2003. BPPN dan BI diputus untuk membayar tanggung renteng Rp23,50 miliar secara tunai dan sekaligus. Dua lembaga itu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Kasasi. Namun semuanya mentah. Peninjauan kembali kemudian ditempuh pada September dan Oktober 2006. Ini merupakan langkah hukum terakhir.

Keterangan itulah yang dibeberkan Sri Mulyani, sebagai wakil pemerintah pada rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI-membidangi masalah perbankan dan keuangan-pada Februari 2008. Perkara tersebut, hingga kini belum putus di tangan Mahkamah Agung (MA).

Maret lalu, saya menemui Obor Hariara, salah satu kuasa hukum pemerintah yang tergabung dalam Tim Kerja Penanganan Masalah Hukum. Jumlah anggotanya 15 orang. Obor menolak berkomentar karena ada himbauan untuk tak bicara kepada media. Termasuk jawaban atas pertanyaan, apakah pemerintah siap kalah dengan hasil upaya hukum terakhir itu.

Untuk urusan ini, Sri Mulyani tak sendiri.

Fadel juga bersiteru dengan PT Bank IFI dan ING Barings South East Asia Limited (ING Barings), bank asal Singapura di meja hijau terkait kasus hutang yang diperolehnya sekitar 1996. Artinya, terdapat tiga kreditur yang memberikan pinjaman dengan tujuan berbeda.

Luthfi mengatakan kasus Bank IFI dimulai saat bank tersebut memberikan fasilitas kredit Rp10 miliar untuk Fadel pada Desember 1996. Ini dipakai untuk modal kerja perusahaan. Presiden Komisaris Bank IFI Bambang Rachmadi adalah rekan bisnis Fadel dan berhubungan baik. Bambang dikenal sebagai pemilik PT Ramako GerbangMas yang punya lisensi restoran cepat saji McDonald di Indonesia.

Sementara itu, ING Barings memberikan pinjaman-salah satunya-ke perusahaan Fadel yaitu PT Bukaka Teknik Utama sebelum 1996. Pada awal 2000, dia mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sementara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat saat hutang terhadap dua bank tersebut jatuh tempo. Ini disetujui.

Tak hanya itu, Fadel juga menggugat perdata dua krediturnya dengan alasan perbuatan melawan hukum. Bank IFI dianggap menaikkan bunga pinjaman secara sepihak dan mengeksekusi agunan tanpa memperhatikan prosedur hukum. Gugatan tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Februari 2000.

"Ini melanggar kebiasaan bank itu," ujar Fadel. "dia juga tak beritikad baik ketika hutang jatuh tempo."

Pada Oktober 2000, majelis hakim mengabulkan permohonan tersebut dan mengharuskan Bank IFI membayar Rp13,69 miliar hingga putusan berkekuatan hukum tetap. Upaya banding dilakukan, namun ditolak Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada September 2001. Juga kasasi pada Maret 2003. Putusan terakhir menyebutkan, Bank IFI bukan lagi dianggap kreditur dan diharuskan membayar Rp1,95 miliar atasnya. Kalkulasi majelis adalah ganti rugi Rp19 miliar dikurangi hutang plus bunga Fadel ke bank itu Rp17,50 miliar.

Pengadilan juga menyatakan ING Barings melakukan perbuatan melawan hukum pada Februari 2002. Dia tak bisa beracara di pengadilan karena terbukti surat kuasanya tak sah. Perusahaan tersebut menempuh banding, namun Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru menguatkan putusan sebelumnya pada Oktober 2002.

Perlawanan tak menyurut.

Usai kalah perkara perdata di tingkat pertama, Bank IFI menggugat pailit politikus itu pada November 2000. Ini dilakukan menyusul penolakan PKPU bank tersebut dan ING Barings. Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan itu pada 13 Maret 2001. Fadel-yang saat itu akan mengikuti pemilihan kepala daerah provinsi Gorontalo-kemudian menempuh peninjauan kembali namun ditolak majelis hakim, tiga bulan kemudian. Dia tetap pailit.

Hakim pengawas, pejabat yang ditunjuk untuk menangani masalah hutang-piutang, selanjutnya membacakan putusan guna penetapan jumlah pinjaman masing-masing kreditur. Ini dilakukan akibat terjadinya perselisihan soal berapa dana yang harus dicicil.

"Menyatakan dan menetapkan hutang Fadel Muhammad kepada Bank IFI seluruhnya adalah Rp40,29 miliar...menetapkan hutang terhadap ING Barings seluruhnya US$4,81 juta...menetapkan hutang kepada BPPN seluruhnya Rp93,28 miliar," ujar Putu Supadmi.

Fadel mengajukan kasasi atas penetapan tersebut dan menang pada November 2001. Tiga kreditur itu pun menempuh peninjauan kembali yang dikabulkan MA pada Januari 2002. Jumlah hutang tak berubah. Namun, ini tak membuatnya berhenti.

Dia memohon pencabutan kepailitan ke Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Oktober 2003. Alasannya, ketiga lembaga tersebut bukan lagi kreditur atas dirinya. Ini terbukti dengan diharuskannya Bank IFI membayar Rp1,95 miliar, tidak sahnya surat kuasa ING Barings di Indonesia, serta pembayaran tanggung-renteng Rp23,50 miliar oleh BPPN dan BI.

Awalnya, majelis hakim menolak permohonan itu pada Februari 2004. Namun Fadel memperoleh kemenangannya melalui putusan kasasi yang dibacakan pada 18 Oktober 2004. Inilah yang kemudian digunakan untuk menyanggah tudingan Sri Mulyani pada Februari silam. Dia sudah tak lagi pailit.

Bank IFI dan ING Barings tetap melawan.

Namun MA menghentikannya dengan menolak permohonan peninjauan kembali kedua perusahaan tersebut pada 23 Juni 2005. Kemenangan itu kemudian diumumkan melalui iklan pada sejumlah koran lokal dan nasional. Salah satunya Gorontalo Post edisi 6 September 2005.

"Kami juga memasang di Jakarta Post," ujar Luthfi. "Karena ING Barings berasal dari Singapura."

Saya menerima kopi iklan itu berikut pernyataan pers yang dikirimkan Luthfi ke faksimili Bisnis Indonesia. Isinya tentang penilaian ketidakakuratan data Menteri Keuangan yang dianggap mencemarkan nama baik kliennya . Dia punya data yang lebih baru.

Yang dimaksud adalah Penetapan Eksekusi pada perkara perdata. Penetapan itu diterbitkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 10 April 2007. Amarnya menyatakan menghukum BI dan BPPN secara tanggung renteng untuk membayar Rp23,50 miliar sekaligus dalam bentuk tunai. Sedangkan lainnya, berupa kutipan putusan kasasi Fadel pada 18 Oktober 2004, dan ditolaknya peninjauan kembali Bank IFI dan ING Barings, 23 Juni 2005.

Saya menanyakan bagaimana hubungan pribadi antara Fadel dan Bambang Rachmadi sebagai sesama pengusaha, usai bersiteru. Luthfi mengklaim relasi mereka kian memburuk. Keduanya tak pernah bertemu lagi sejak putusan terakhir oleh MA.

Dirinya-termasuk Fadel- kini tengah menunggu putusan dari lembaga tinggi negara itu soal peninjauan kembali perkara perdata yang diajukan menteri keuangan.

"Anda siap kalah?"
"Tipis kemungkinan mereka menang." (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)