Saturday, April 19, 2008

hutang BRI latief

Oleh Anugerah Perkasa
1.380 words



BAGAIMANA RASANYA punya hutang hampir Rp300 miliar, belum lunas sepuluh tahun lebih dan tak tersentuh hukum pula? Mungkin Abdul Latief punya jawabannya. Pria kelahiran Kampung Baru, Banda Aceh itu dikenal memiliki masalah hutang dengan beberapa bank. Dan jumlah fantastis kali ini, berasal dari PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk.

Latief pernah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja periode 1993-1998, kini berusia 68 tahun. Punya beberapa anak perusahaan di bawah bendera Alatief Corporation, yang saat ini harus mencicil kewajibannya, sekitar Rp281,13 miliar. Fasilitas kredit itu diperolehnya pada 1993, 1995 dan 1996 silam. Sesuai urutan waktu, perusahaan yang memperoleh pinjaman tersebut adalah PT Pasaraya Toserjaya, PT Pasaraya Nusakarya dan Alatief Corporation, yang belakangan menjadi perusahaan induk.

Mari melihat induknya lebih dulu.

Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester II/2006 menyebutkan perusahaan yang didirikan sejak 1994 itu harus melunasi hutang sekitar Rp98,42 miliar kepada Bank BRI. Ini sudah termasuk pinalti dan bunga kredit.

Mulanya, permohonan pinjaman sebesar Rp200 miliar diajukan perusahaan tersebut pada November 1996. Dana itu akan digunakan untuk menambah modal sejumlah anak perusahaan Alatief Corporation. Hampir setahun kemudian, Bank BRI menyetujui proposal tersebut dengan mengeluarkan Perjanjian Kredit Investasi dan Pemberian Jaminan (PKIPJ). Perseroan yang terletak di Kawasan Blok M, Kebayoran Baru Jakarta Selatan itu kemudian melakukan dua kali penarikan masing-masing Rp55,40 miliar pada Agustus 1997 dan Rp29,45 miliar pada Oktober 1997. Setelahnya, pencairan terhenti.

“Penarikan tak dapat direalisir karena perusahaan tidak memenuhi persyaratan,” ujar BPK. “Alatief Corporation tidak menyerahkan laporan keuangan tiga bulanan, tidak membebankan hak tanggungan atas tanah di Tangerang serta tidak adanya laporan keuangan konsultan independen.”

Latief bereaksi.

Dia mengajukan permohonan restrukturisasi kredit yang awalnya Rp200 miliar menjadi hanya Rp84,85 miliar. Bank BRI setuju dan dibuatlah tambahan PKIPJ pada 2000. Namun itu tak lantas membuat perusahaan itu memenuhi kewajibannya. Tiga tahun kemudian, status pinjaman berubah. Macet.

Sekarang soal dugaan pelanggaran perjanjian.

BPK menemukan permohonan Latief ke Bank BRI untuk mengizinkannya berekspansi di luar proyek kredit, yaitu mendirikan stasiun televisi: PT Lativi Media Karya (Lativi). Kompensasinya, dia akan mencicil Rp10 miliar lebih cepat. Namun kata iya tak pernah diberikan karena akhirnya hanya mampu membayar Rp5 miliar. Ini tak sesuai komitmen.

Pendirian Lativi awalnya mendapat dukungan kredit PT Bank Mandiri Tbk pada Oktober 2000. Latief meminjam sekitar Rp361,82 miliar untuk modal kerja dan investasi. Tetapi, itu tidak cukup. “Karena keterbatasan waktu studi, maka terdapat kesalahan dalam perhitungan,” demikian Latief, mengemukakan alasannya.

Masalahnya, Latief juga tak memenuhi kewajibannya pada bank tersebut sehingga restrukturisasi dilakukan pada Desember 2004. Dia akhirnya menjadi tersangka gara-gara pinjaman itu, dua tahun kemudian. Dugaan kerugian negara mencapai Rp400 miliar lebih.

Namun, hutang tersebut akhirnya lunas dengan aksi akuisisi konsorsium Capital Managers Asia Pte Ltd. (CMA) pada Maret 2007. Saham Lativi diambil alih oleh perusahaan konsultan investasi yang berbasis di Jakarta dan Singapura itu. CMA juga punya hubungan dekat dengan keluarga Bakrie―pemilik PT Cakrawala Andalas Televisi (antv)―dengan memiliki puluhan ribu lembar saham di televisi tersebut. Lativi pun beralih nama yaitu tv One pada 14 Februari 2008. BPK tetap menyatakan Latief melanggar perjanjian kredit dengan memperluas bisnis di luar kesepakatan.

Ini baru satu perkara.

Pada Februari 1995, Latief mendapat pinjaman Rp28 miliar dengan Perjanjian Kredit dan Pemberian Jaminan (PKPJ) Bank BRI. Ini diberikan untuk Pasaraya Nusakarya, yang berdiri sejak 1986 dan juga terletak di kawasan Blok M Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Restrukturisasi kredit dilakukan sebelum Bank BRI akhirnya menetapkan status kredit macet pada November 2003. Jumlahnya sekitar Rp38,30 miliar terdiri dari hutang pokok plus bunganya.

Dugaan pelanggaran terjadi ketika BPK menemukan Pasaraya Nusakarya memiliki fasilitas kredit bank lain, tanpa seizin kreditur pertama. Masing-masing pinjaman itu dikucurkan oleh PT Bank Bukopin Tbk, PT Bank Bumiputera Tbk, PT Bank Danamon Tbk, PT Bank Niaga Tbk, dan Standard Chartered.

“Selama hutang belum lunas, penerima kredit tidak boleh memperoleh pinjaman dalam bentuk apapun dari pihak lain baik modal kerja atau investasi tanpa persetujuan tertulis,” tegas BPK.

Penyampaian laporan keuangan perusahaan―salah satu persyaratan kredit―juga bermasalah. Direksi Bank BRI kepada BPK mengakui adanya beberapa versi laporan keuangan periode 2002/2001. Versi pertama menyatakan terjadi peningkatan aktiva tetap, namun tidak pada lainnya. Bank BRI memiliki contoh laporan keuangan lain pada 2000/2001 yang menunjukkan tidak terjadinya lonjakan aktiva tetap. Kejanggalan itu dipertanyakan untuk meyakini mana laporan yang benar. Namun Latief tak pernah meresponnya.

Berikutnya: Pasaraya Toserjaya.

Perusahaan itu―berdiri sejak 1981 dengan bisnis ritel― memperoleh kredit melalui pembiayaan sindikasi sebesar Rp376 miliar, yang dipimpin Bank BRI pada September 1993. Bank itu sendiri mengucurkan dana Rp115,60 miliar. Restrukturisasi dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada 1998, 2000 dan 2002, sebelum dinyatakan macet dua tahun kemudian.

Dugaan pelanggaran kali ini adalah penyaluran piutang Pasaraya Toserjaya terhadap perusahaan terafiliasi antara lain Pasaraya Nusakarya dan Alatief Corporation, yang baru berdiri. Masing-masing sebesar Rp12,15 miliar untuk pembayaran hutang pemasok dan Rp5,61 miliar untuk biaya operasional.

“Toserjaya mengalami kesulitan cash flow akibat menanggulangi kekurangan dana pada afiliasinya,” ungkap BPK.

Padahal, uang itu mulanya digunakan untuk pembayaran hutang pokok dan bunga terkait pelaksanaan perjanjian kredit. Penyaluran dana ke Pasaraya Nusakarya dan Alatief Corporation dinilai melanggar perjanjian yang menyatakan debitur tidak boleh memberikan pinjaman baru kepada siapa pun, termasuk pemegang saham selama hutang belum dilunasi. Khusus Bank BRI, pengembalian yang musti diserahkan berjumlah Rp144,41 miliar.

Persoalan ini menuntun saya untuk mengetahui mengapa pinjaman tetap diberikan pada kelompok Latief, yang belakangan diketahui bermasalah. Juga soal penetapan status kredit macet para perusahaan tersebut oleh Bank BRI pada 2003-2004. Namun mantan Direktur Pengendalian Kredit Bank BRI 2003-2006 Gayatri Rawit Angreni menolak memberikan jawaban dengan alasan tidak lagi menjabat posisi itu. “Sudah lupa itu, nanti tidak akurat,” ujarnya. “Ada orang yang lebih tepat menjawab hal tersebut.”

Dia adalah Lenny Sugihat.

Lenny memulai karirnya di Bank BRI sejak 1981 dan pada Mei 2006 menempati posisi Direktur Administrasi Kredit dan Analisis Risiko Kredit. Dia adalah pengganti Gayatri. Namun dirinya menolak menjawab secara rinci.

“Mengapa restrukturisasi terus dilakukan pada Latief?”
“Itu mengikuti koridor Bank Indonesia, silakan cari di sana. Restrukturisasi itu ada aturannya, bukan hanya grup Latief tapi juga bakul jamu.”

Lenny menuturkan masalah tersebut sudah diserahkan pada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KPPLN) sejak Januari 2006. Dia tidak mau memberikan informasi bagaimana perkembangan terakhir penanganan piutang itu. Juga soal apakah bank tersebut akan mengucurkan kredit ke kelompok Latief di masa yang akan datang.

KPPLN merupakan lembaga yang bertanggung jawab pada Direktorat Jendral Kekayaan Negara (DJKN) Departemen Keuangan. Tugasnya secara umum adalah mengurus piutang negara dan lelang berdasarkan peraturan yang berlaku.

Saya menemui Direktur Piutang Negara Indra Rifa'i dan Kepala Sub Direktorat Piutang Negara I Etto Sunaryanto pada awal Desember 2007. Mereka menjelaskan pemanggilan terhadap jajaran direksi kelompok perusahaan Latief telah dilakukan, sejak resmi ditangani lembaga itu pada awal 2006. DJKN juga mengeluarkan satu kali surat paksa pembayaran terhadap Latief sekitar April-Mei 2006.

Pembayaran awal cair.

Program perpanjangan masa cicilan akhirnya diberlakukan pada Januari 2007 dan dibayar per tiga bulan mengingat jumlahnya yang cukup besar. Namun Etto mengatakan cicilan tersebut belum mencapai 50% tapi tak mau merinci berapa jumlah persisnya.

Sementara itu, Indra menambahkan jumlah hutang di atas Rp5 miliar diberikan batas waktu hingga 7 tahun. Ini pun bersyarat, seperti tidak terjadi gagal bayar pada cicilan pertama. Mengutip Latief, Indra mengungkapkan, perusahaan itu mencari investor baru yang bisa membayar hutang lebih cepat atau tidak sampai pada tenggat waktu. “Saya meyakini Latief akan bersikap kooperatif.”

Sayangnya, kesan itu belum saya dapatkan.

Akhir November 2007, saya mengirimkan surat permohonan wawancara berikut daftar pertanyaan ke Alatief Corporation. Sekretaris Latief, Ratna Wulansuri mengatakan dirinya berjanji untuk menghubungi saya jika bosnya―yang kala itu berada di Amerika Serikat― berkenan untuk diwawancarai. Namun saya kembali menunggu, karena Latief pergi ke kota Mekkah untuk beribadah haji, pertengahan Desember 2007. Ini dilakukan setelah dia kembali dari negara Paman Sam itu.

Saya pun mendatangi kantor Latief pada Januari dan Februari 2008 untuk mengetahui alasan di balik dugaan pelanggaran kredit. Tak berhasil. Tak hanya kantor, rumah mewahnya di kawasan Kalimalang Raya, Jakarta Timur juga disambangi. Hasilnya, dua petugas keamanan menghentikan niat saya tepat di depan pintu gerbang rumah. Mereka mengatakan tempat itu khusus untuk beristirahat. Lain tidak.

Mengirimkan pesan pendek ke telepon selular milik Latief adalah alternatif lain. Meneleponnya. Semua nihil. Mungkin saja dia ingin tutup mulut soal perkara tersebut. Ini yang membuat saya tak pernah mengerti alasan-alasan Latief mengenai hutangnya. Juga, seperti tak pernah tahu kapan Wulansuri memenuhi janjinya.(anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

It was published in Bisnis Indonesia with title 'Penyelesaian Utang Grup A. Latief di BRI, Sampai di Mana?' and divided into 2 series on 16th and 17th of April.