Tuesday, October 30, 2007

cakap kecap tabungan premi

Oleh Anugerah Perkasa
997 words

KESIBUKAN PERTAMA Adi Purnomo usai libur massal adalah menjawab surat-surat elektronik yang menumpuk. Hampir semuanya berkaitan dengan soal administrasi yang tertunda untuk direspon. Dari urusan antar-kantor regional di Singapura dan Kanada, hingga perbankan.

“Ini termasuk menjawab pertanyaan Anda,” ujarnya kepada saya, sambil tertawa. “Saya langsung full, hari ini.”

Adi bekerja di PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, sebagai Wakil Presiden Direktur sejak 1985, namun bergelut di sektor asuransi sejak 1976. Manulife Indonesia –anak perusahaan Manulife Financial Corporation yang berbasis di Toronto, Kanada—memutuskan untuk mengikuti cuti yang ditetapkan pemerintah pada 12-19 Oktober 2007 dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri yang jatuh pada 13-14 Oktober 2007. Senin pekan ini merupakan hari pertama aktif kembali.

Selain bekerja di perusahaan itu, sejak Mei Adi ditunjuk secara tak resmi sebagai Ketua Kelompok Kerja Asuransi yang mengurusi keikutsertaan asuransi dalam program Jaminan pemutusan hubungan kerja (PHK). Tugasnya, berdiskusi dengan pemerintah dan kalangan dunia usaha soal partisipasi industri tersebut.

Pemerintah, melalui Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sejak awal tahun menggarap rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Program Jaminan PHK guna menjamin pembayaran pesangon karyawan. Dalam rancangan tersebut, pengelola dana dimandatkan kepada tiga penyelenggara: PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), asuransi dan dana pensiun lembaga keuangan (DPLK).

Namun debat terakhir dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia pada Agustus diputuskan, metode penjaminan bukan melalui asuransi melainkan tabungan premi. Asuransi kerugian, tidak mau menanggung risiko pemecatan karyawan yang diakibatkan merger, pailit atau perubahan status perusahaan. Iuran pun ditetapkan 3% dari gaji, serta akan diinvestasikan.

“Program itu akhirnya difokuskan pada saving,” ujar Adi. “DPLK dan asuransi jiwa menjadi pengelola, sehingga perusahaan dapat melakukan pendekatan masing-masing. Kesiapan industri juga dilihat dari ketersediaan produk.”

Adi melihat secara umum industri asuransi jiwa siap untuk mengelola program Jaminan PHK. Menurutnya, sejumlah perusahaan sebenarnya sudah memiliki produk serupa dengan program yang akan diwajibkan tersebut, baik individual atau kumpulan. Selain itu, persoalan infrastruktur seperti tersedianya sistem informasi juga menjadi syarat utama. “Sangat penting bagi pekerja untuk melihat perkembangan dananya,” urai Adi.

Dia tak hanya menegaskan kesiapan industri asuransi jiwa. Namun Adi juga menginginkan tabungan premi akan dikelola oleh pengelola tak tunggal. Harus banyak pilihan untuk konsumen. Dengan demikian, lanjutnya, akan terjadi produk, harga dan pelayanan yang kompetitif.

Tapi, siapa yang menghembuskan isu monopoli pengelolaan sebelumnya?

Hotbonar Sinaga, adalah jawaban yang dapat dirunut. Pada Agustus, setidaknya dia menegaskan kembali Jamsostek sebagai institusi paling tepat untuk mengatur tabungan premi, sesuai dengan performa badan usaha milik negara (BUMN) tersebut. Pengalaman, jaringan pelayanan hingga basis data yang dimiliki, adalah keunggulan yang kian digaungkan.

Hotbonar adalah Direktur Utama Jamsostek sejak Februari 2007. Dia juga bukan orang baru di industri asuransi, karena sebelumnya aktif sebagai Ketua Dewan Asuransi Indonesia 2002-2005. Hotbonar menggantikan Iwan Pontjowinoto, komandan Jamsostek yang dipecat Kementrian Negara BUMN akibat pertikaian internal.

Dia justru mempertanyakan apakah lembaga lain sudah pantas untuk mengelola tabungan premi. Hotbonar ingin Jamsostek sendirian, walau diterjang rumor tak sedap soal transparansi dana kelolaan. Jamsostek dulu, menurut dia, lain dengan sekarang. “Kami kini lebih terbuka.”

Direktur Operasional dan Pelayanan Jamsostek Ahmad Ansyori mengakui pemulihan citra BUMN itu masih terus dilakukan menyusul produk yang dikelolanya tak kasat mata. Dia menegaskan program jaminan sosial sangat memerlukan gambaran yang baik agar tak menimbulkan kesalahpahaman pada masyarakat terhadap lembaga tersebut.

Tapi, Ansyori juga punya alasan mengapa Jamsostek harus mengambil alih urusan ini. Pertama, perusahaan berskala kecil dan wilayah terpencil, tidak akan menjadi kecenderungan badan penyelenggara karena yang dipilih adalah sebaliknya.

Dia menyatakan program Jaminan PHK sangat sarat dengan urusan administrasi sehingga membutuhkan perhitungan upah yang terus berubah. Singkat kata, unit bisnis yang lebih besar akan menjadi favorit sang pengelola program. “Tak dapat dihindari,” urainya, “perusahaan padat karya dengan data elektronik, akan lebih mudah dikelola.”

Soal wilayah terpencil, Ansyori menilai tidak semua calon badan penyelenggara memiliki cabang hingga ke wilayah tertentu. Menurut dia, tempat-tempat semacam itu tidak akan tertangani dengan baik karena keterbatasan jumlah unit pelayanan dan bukan prioritas pengelolaan.

Namun itu tidak berlaku bagi Jamsostek. Dia menandaskan BUMN tersebut punya keunggulan jaringan lebih luas: delapan kantor wilayah, 118 kantor cabang serta kemudahan membuka unit pelayanan bila diperlukan embrio. Sebagai lembaga jaminan sosial, ungkapnya, kapasitas pendanaan juga lebih besar dibanding entitas bisnis lainnya.

Tentu saja, ada yang tak sepaham dengan Ansyori.

Bagi Ricky Samsico, Ketua bidang Investasi Asosiasi DPLK, kekhawatiran tersebut tidak cukup kuat dan berlebihan. Para pebisnis, tuturnya, justru akan melebarkan usahanya ke wilayah yang potensial dan bukan sebaliknya. Pasar yang terbuka, jauh lebih baik dibandingkan monopoli karena tersedianya beragam pilihan.

Pada September, Asosiasi DPLK menegaskan dukungan mereka terhadap finalisasi rancangan peraturan Program Jaminan PHK. Mereka menilai hal tersebut adalah solusi dalam soal ketenagakerjaan, terutama saat karyawan diberhentikan. Selain itu, asosiasi juga menyokong penuh soal pengelolaan yang dilakukan oleh pelbagai lembaga. Bukan satu pengelola. “DPLK sudah siap,” tegas Ricky, “sekarang bukan zamannya lagi monopoli.”

Dia menilai Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK)—selaku regulator—akan membuat peraturan yang memungkinkan terciptanya harmoni dana pensiun yang bersifat sukarela dengan program Jaminan PHK yang diwajibkan pemerintah. Dana pensiun diatur dalam UU No.11/1992 tentang Dana Pensiun.

Harapan Ricky tak sia-sia. Berdasarkan catatan Biro Dana Pensiun Bapepam-LK, hampir 2 juta tenaga kerja saja yang menjadi peserta dana pensiun dari sekitar 97 juta tenaga kerja aktif. Regulator melihat industri tersebut masih punya potensi pasar luas menyusul minimnya kepesertaan. Harmonisasi peraturan—termasuk partisipasi dana pensiun dalam program Jaminan PHK—menjadi agenda regulator dalam meningkatkan pertumbuhan.

Kesiapan lainnya datang dari Tri Joko Santoso, Wakil Presiden Direktur PT Asuransi Jiwa Panin Life Tbk. Dia menegaskan perseroan jauh-jauh hari telah memperkuat infrastruktur dan sumber daya manusia, khusus untuk program Jaminan PHK. “Sekarang,” tuturnya, “tinggal menunggu kapan peraturan tersebut diterbitkan.”

Namun tak semuanya serupa dengan Ricky maupun Santoso. Ada yang siap, ada pula yang belum paham benar.

Direktur Utama PT Asuransi Jiwa Eka Life Sugeng Wibowo mengaku belum mengerti secara detil soal RPP Program Jaminan PHK. Menurut dia, belum ada sosialisasi dari asosiasi maupun regulator. Mungkin ini cukup beralasan. Namun, sambil Sugeng menunggu sosialisasi bergulir, yang lain justru menanti, kapan peraturan tersebut diteken orang nomor satu Republik ini. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Thursday, October 4, 2007

kekalahan pertama muraoka

Oleh Anugerah Perkasa
1.049 words



KAMIS PEKAN lalu menjadi hari yang tak terlupakan bagi Revasatia Suhartono. Putusan atas gugatan Suhartono bersama 72 karyawan melawan manajemen di mana dia bekerja, The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd (BTMU) di Jakarta, akan dibacakan. Bersama lima orang rekannya, halaman gedung Pengadilan Hubungan Industrial, kawasan MT Haryono Jakarta Selatan, mulai dijajaki.

“Jadwalnya jam 10, tapi mungkin giliran yang lain dahulu. Sidang sebelumnya, saya pernah menunggu hingga 05.30 sore,” ujarnya. Namun hari itu, Suhartono beruntung tak perlu menunggu persidangan hingga senja.

Suhartono adalah Ketua Serikat Pekerja Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ (SK-BTM) sejak 2004, selain sebagai Indonesia Corporate Marketing Officer di BTMU pada tahun ini. Dia bekerja di bank asal Jepang itu sekitar 17 tahun. Pada Juli, SK BTM menggugat BTMU, karena tak memenuhi hak karyawan akibat tak diberlakukannya Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2004-2006.

Sementara bank asal Jepang tersebut, dikenal sebagai salah satu lembaga keuangan beraset raksasa, sekitar US$1,7 triliun lebih, setelah merger dilakukan antara The Bank of Tokyo-Mitsubishi Ltd dengan UFJ Bank Ltd pada Juni 2005. Di Indonesia, kantor cabang BTMU berpusat di Mid-Plaza Building, Jendral Sudirman Jakarta Pusat, sementara anak cabangnya berlokasi di Surabaya dan Bandung.

Pukul 15.20 WIB. Sidang dimulai dan putusan dibacakan oleh majelis hakim pimpinan Heru Pramono. Di dalam ruang sidang, suara pengunjung nyaris senyap memperhatikan setiap ucapan hakim. Ada pula yang lalu-lalang.

Kini, lembaran kertas pada Saut Christianus Manulu, hakim anggota yang membacakan pertimbangan majelis, berganti ke tangan Heru. Dia membaca kalimat-kalimat akhir putusan setelah memperhatikan fakta yang terungkap di pengadilan selama Juli-September 2007.

“Mengadili, mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Menyatakan Perjanjian Kerja Bersama antara The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd dengan Serikat Pekerja The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd, berlaku untuk penggugat.”

Ada tepuk tangan. Ada pula yang mengucap syukur. Salah satu kuasa hukum SK BTM Indra Yana, tersenyum. Keputusan itu, mengharuskan manajemen BTMU memenuhi kewajibannya untuk memberlakukan PKB 2004-2006 yang selama ini tidak diterapkan pada SK BTM pimpinan Suhartono. “Ini adalah keputusan yang luar biasa,” kata Indra.

Majelis hakim juga memerintahkan penggugat, SK BTM untuk berunding ke pihak manajemen BTMU, selaku pihak tergugat mengenai besaran hak karyawan yang belum dipenuhi. Dalam gugatan, kalkulasi yang sudah dihitung adalah Rp10,52 miliar untuk 73 karyawan dan karyawati. Majelis berpendapat bahwa belum ada diskusi kedua belah pihak untuk menentukan besaran hak tersebut.

Usai sidang, sejumlah anggota SK BTM tertawa lepas. Mereka berkumpul. Ada yang diwawancarai reporter televisi swasta. Ada pula yang sibuk menelepon. Saya mewawancarai Indra dengan senyumnya yang tak berhenti, bersama wartawan media digital. Menurut dia, SK BTM akan segera mengabarkan putusan itu kepada manajemen sehingga hak karyawan selama dua tahun, segera terpenuhi.

Dalam rincian gugatan, tidak diterapkannya PKB 2004-2006 oleh manajemen, mempengaruhi pendapatan karyawan akibat tak dipenuhinya sejumlah hak. Ini terdiri dari pembayaran atas tunjangan pangkat dan fungsional, kenaikan upah karyawan berdasarkan indeks harga konsumen, providential fund (manfaat pensiun), tunjangan hari raya, tunjangan cuti tahunan serta pembayaran bonus.

“Jumlah yang digugat,” demikian Indra, “adalah jumlah minimal. Bisa saja, kalkulasi berikutnya lebih dari itu.”

Indra adalah advokat dari Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek), sebuah federasi serikat pekerja di level nasional. Sejak Juni 2007, dia bersama enam advokat lainnya mendampingi Suhartono untuk menggugat bank korporasi tersebut.

Langkah hukum ditempuh, setelah mediasi melalui Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Pusat pada Januari 2006, gagal. Isi anjurannya, agar PKB 2004-2006 diberlakukan kepada seluruh karyawan. Namun itu tak diindahkan Satoshi Ando, Manajer Umum BTMU. Ando bekerja di Jakarta sejak 2004 dan sekitar Juni 2007 digantikan oleh Takashi Muraoka, pengganti sekaligus mewarisi kasus tersebut.

Usai anjuran terbit, SK BTM juga menyampaikan empat kali surat kepada manajemen hingga April 2007, menuntut pemberlakuan peraturan serupa kepada semua karyawan. Ini pun nihil.

Tapi, mengapa manajemen bersikeras?

Kuasa hukum BTMU, Kemalsjah Siregar dari firma Kemalsjah & Associates menyatakan PKB yang disepakati merupakan peraturan yang dibuat antara manajemen dengan serikat pekerja Niaga, Bank, Jasa dan Asuransi (SP Niba) BTMU, organisasi pekerja yang berdiri 1978, jauh sebelum SK BTM. “PKB itu tidak berlaku bagi karyawan yang tidak terdaftar sebagai anggota.”

Manajemen BTMU menyatakan karena SK BTM bukanlah anggota SP Niba BTMU, maka organisasi tersebut tidak memiliki hak untuk menuntut apa yang tercantum di dalam PKB 2004-2006. Kalau ingin PKB berlaku bagi SK BTM, maka harus lebih dulu mengajukan permohonan untuk mengubah PKB antara manajemen dan SP Niba BTMU, yang awalnya bernama SP Unit Kerja Bank of Tokyo-Mitsubishi. SK BTM baru tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Pusat pada Maret 2005.

Di sisi lain, manajemen juga memberlakukan peraturan human resource policy (HRP), pedoman kepegawaian untuk karyawan yang tidak termasuk dalam SP Niba BTMU sejak 1 Juli 2005. Namun ini ditolak oleh SK BTM, karena mengabaikan hak yang tertera dalam PKB 2004-2006.

“Itu jelas,” ucap Suhartono, “HRP hanya mengatur hal-hal normatif, seperti jumlah hari kerja atau cuti. Hanya hal-hal umum.”

Menurutnya, HRP justru melanggar UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan karena seharusnya perusahaan hanya menerapkan satu peraturan, bukan mendua. Namun, manajemen tetap saja tak berubah.

“Mengapa Anda tidak bergabung ke serikat pekerja?” tanya saya.
“73 orang itu tidak boleh bergabung masuk. Karena itu kami membuat SK BTM,” ujar dia.

Persoalannya memang tak sederhana. Menurut Evrizon Anwar, Ketua SP Niba BTMU, manajemen memang tidak menginginkan semua karyawan masuk ke dalam organisasi buruh tersebut. Pada 2002, lanjutnya, bahkan beberapa orang hengkang dari serikat pekerja karena ditawari tunjangan dan jabatan sebagai professional officer, petugas yang memiliki otoritas untuk memutuskan transaksi perbankan. Saat itu manajemen dibawahi Tsutomu Nakagawa, yang bekerja selama 2000-2003, sebelum digantikan Satoshi Ando.

Namun, ada angan yang terbelah. Beberapa orang yang ditawari jabatan, justru tak mendapatkan apa yang dijanjikan manajemen. “Sehingga banyak yang kecewa,” lanjut Evrizon, “Sebagian mereka kemudian bergabung ke Suhartono.”

Kini perundingan tinggal mengintai waktu. Saya menghubungi Ghufron Halim, Wakil Manajer Umum BTMU melalui telepon selularnya malam itu. Tujuannya, ingin mengetahui apa yang ingin dilakukan Muraoka—sebagai atasannya—dan, kalau bisa, berapa jumlah yang ditawarkan untuk pembayaran hak-hak karyawan. Telepon diangkat.

“Ya,” ujarnya, suara berat itu membenarkan namanya. Saya mulai menerangkan identitas dan maksud menelepon. Tiba-tiba, Ghufron setengah berteriak.

“Halo. Halo, halo, halo.”
“Ya, Pak Ghufron,” ujar saya, agak keras. “Halo Pak?”
“Halo, halo, halo.”

Klik. Saya memutus hubungan dan memijit kembali nomer serupa. Suara beratnya, tak lagi terdengar. Telepon selular itu, mati.(anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

This article was translated in English and Japanese language for BTMU internal use. It was also submitted to its headquarter in Tokyo, Japan.