Wednesday, June 13, 2007

cermin retak bank indonesia

Oleh Anugerah Perkasa
826 words



SURYANI IKA Sari memelototi lembaran kertas yang dipegangnya siang itu. Ada sekitar sebelas halaman. Paling atas tertulis “siaran pers” diikuti judul di bawahnya: KPK Umumkan Harta Dua Menteri. KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara independen yang bertugas memberangus praktik korupsi. Sekilas, halaman demi halaman itu tak melulu berisi narasi namun juga tabel data.

Suryani Ika—kerap dipanggil Ica—bekerja sebagai wartawati Koran Tempo lebih dari tiga tahun. Dia biasa meliput sektor keuangan, termasuk soal industri perbankan. Pada Jumat siang pekan lalu, kami bertemu di Gedung C Komplek Perkantoran Bank Indonesia, kawasan Jakarta Pusat untuk mewawancarai salah satu pejabat bank sentral tersebut. Ini biasa dilakukan usai ibadah salat Jumat.

"Bisa lihat kertas itu?" tanya saya. Dia mengangguk, tangannya menyerahkan.

Ada laporan harta kekayaan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Perindustrian Fahmi Idris. Ada juga tabel tingkat kepatuhan 105 instansi pusat dan 191 BUMN. Saya mulai memperhatikan. Ada tiga kategori untuk lembaga penyelenggara negara: di atas 90%, antara 50%-90% dan di bawah 50%.

Saya mulai melihat-lihat posisi lima teratas untuk instansi negara itu. KPK, Badan Metereologi dan Geofisika, Sekretariat Jendral DPR-RI, Mahkamah Konstitusi dan Sekretariat Presiden adalah lembaga yang bercokol di posisi tersebut. Tingkat kepatuhannya 100%.

Kertas mulai saya balik dan melihat tabel paling bawah. Dimulai dari urutan paling buncit: Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), LKBN Antara, Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata (BP-Budpar), Bank Indonesia.

Tunggu dulu. Bank Indonesia?

Saya tak yakin dan melihat kembali lembaran sebelumnya. Benar, Bank Indonesia (BI) termasuk dalam kategori di bawah 50% dalam soal kepatuhan. KPK menyebutkan, persentase untuk bank sentral itu hanya 16,47%. Ini berarti dari 85 pejabat BI yang wajib melapor tentang harta kekayaannya, hanya 14 orang saja yang memenuhinya.

Bank sentral itu sedikit lebih tinggi dibandingkan empat lembaga sebelumnya. Sebagai urutan terakhir, KON punya satu orang wajib lapor (WL) per 31 Mei 2007, namun hal itu belum dilakukan. Selanjutnya, KPPU dengan satu WL dan belum lapor, LKBN Antara dengan 10 WL dan belum lapor, serta BP-Budpar dengan 90 WL hanya 10 pelapor.

Tentu saja KPK memiliki dasar atas pengumuman itu. Berdasarkan Pasal 5 UU No. 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, disebutkan bahwa penyelenggara negara berkewajiban melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat, serta bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah meraih jabatan.

KPK juga menerbitkan keputusan No.07/KPK/02/2005, pada Februari 2005 tentang Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Lembar Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Ketentuan tersebut telah disosialisasikan sejak dua tahun lalu. Institusi pimpinan Taufiequrachman Ruki itu meminta para komandan lembaga untuk mengumumkan harta kekayaaan pejabatnya pada papan pengumuman resmi di kantor yang bersangkutan selama satu bulan berturut-turut.

"Apa mungkin BI memasang pengumuman tentang pejabatnya, terus ditempel gitu?" tanya seorang wartawan.

Direktur LHKPN KPK Muhammad Sigit menjelaskan memang tidak semua instansi memasang pengumuman tentang harta kekayaan pejabatnya di papan pengumumam resmi. Ada yang melaporkannya saja ke KPK. Tapi, demikian Sigit, sebenarnya pengumuman tetap harus dipasang selama sebulan penuh sejak instansi yang bersangkutan telah dikirimi KPK tentang laporan harta kekayaannya. “KPK juga terus memantau hal itu tanpa diketahui.”

Sigit juga menginginkan peraturan yang lebih detil soal ini. Menurut dia, undang-undang yang dijadikan pijakan KPK belum menjelaskan secara komplit siapa saja yang berhak menyandang penyelenggara negara. Misalnya untuk pejabat setingkat Eselon II atau yang memberikan izin terhadap aktivitas tertentu. Dia mengungkapkan musti ada surat keputusan untuk itu.

“Siapa saja pejabat BI yang sudah melapor?” tanya saya.
“Gubernur BI sudah, Deputi Gubernur Senior juga sudah. Yang belum beberapa Deputi Gubernur.”

Saat ini, bank sentral tersebut memiliki enam Deputi Gubernur yang bertugas membantu Gubernur BI sebagai pemimpin dan wakilnya, Deputi Gubernur Senior. Dalam Rapat Dewan Gubernur yang biasanya digelar satu bulan sekali, para pejabat tersebut menetapkan kebijakan umum di bidang moneter di Tanah Air.

Mari kita lihat berapa anggaran yang digelontorkan negara untuk bank sentral itu. Untuk tahun ini, anggaran bidang sumber daya manusia dipatok Rp2,84 triliun atau meningkat Rp18 miliar dibandingkan 2006. Kenaikan gaji pun tak terelakkan, termasuk para Dewan Gubernur yang naik sekitar 3%-4%. Diperkirakan, gaji di tempat ini lebih baik dibandingkan instansi pemerintah lain macam Departemen Keuangan atau bank-bank yang diawasinya.

KPK sendiri tak sekedar mengingatkan. “Kami,” sambung Sigit, “ juga memberikan bimbingan teknis tentang bagaimana mengisi laporan kekayaan itu. Jumlah peserta biasanya melebihi kuota setiap bulannya.”

Sigit menguraikan kerjasama KPK dan setiap instansi pemerintah soal itu sebenarnya sudah diteken sejak November 2006. Para pejabat berjanji untuk membantu KPK dalam melakukan inventarisasi nama pejabat yang diklasifikasikan sebagai penyelenggara negara. Responnya, lanjut dia, cukup baik.

Siang itu saya dan sejumlah wartawan lain menemui Budi Mulya, yang baru saja selesai salat Jumat. Budi adalah Direktur Direktorat Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI. Pada hari sebelumnya, dia juga menggelar jumpa pers tentang penurunan suku bunga BI yang kini berada di level 8,50% dari sebelumnya 8,75%.

Budi mengatakan dirinya tidak mengikuti penuh hal tersebut. Tapi dia berjanji untuk mendiskusikan tingkat kepatuhan para pejabat BI dengan kalangan internal di bank sentral. “Saya tidak mengetahui itu, nanti saya akan diskusikan dengan kawan. Ada pertanyaan lain soal ekonomi?” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Friday, June 1, 2007

kapan multifinance melirik si kecil?

Oleh Anugerah Perkasa
1.071 words



TAK BANYAK hal yang dikerjakan Syaifuddin saat menjelang ibadah salat Jumat. Waktunya dihabiskan untuk duduk di belakang meja, di teras rumah. Namun, dia bukan penganggur. Di kawasan Pasar Kamis, Kampung Gelam Tangerang, Syaifuddin melayani pembeli dan sesekali menyuruh anak-buahnya melakukan sesuatu.

"Sekarang lagi sepi, bos. Berbeda dengan sebelum krisis," ujar dia.

Syaifuddin punya bisnis kecil limbah kayu sisa ekspor sejak 2002. Dia menjualnya per potong atau dibuat terlebih dulu sebagai bingkai. Langganannya, perorangan hingga perusahaan. Semua limbah itu dikumpulkan dari pabrik-pabrik yang beroperasi di Tangerang, yang berjarak sekitar 20 kilometer di sebelah barat Jakarta.

Kondisi sepi itu tak hanya berimbas pada kantongnya. Namun, pasokan limbah kayunya juga. Di depan rumahnya, terdapat gudang penyimpanan yang masih cukup lowong, akibat berkurangnya pembelian sampah pabrik itu. Ukurannya sekitar 15X12 meter dan terdapat sekat pembatas. Mulai dari bentuk kayu yang tak beraturan hingga lemari yang sudah tak terpakai, ada di sana.

Bisnis itu bermula dari ayah Syaifuddin, Ayyub sejak 1995. Bedanya, usaha tersebut masih memberikan keuntungan cukup besar kala itu. "Setiap bulan," lanjut dia, "Omzetnya bisa mencapai Rp10juta - Rp15 juta, kalau lagi ramai."

Tapi tidak saat ini

Syaifuddin menyimpulkan sejak krisis moneter 1997, semuanya berubah. Banyak pabrik yang tak beroperasi lagi di Tangerang. Minim pasokan berarti minim pula pemasukan. Tujuh tahun setelah dirintis, Ayyub kemudian menyerahkan bisnis tersebut kepada dirinya sebagai anak tertua. Ini memang bisnis keluarga.

Kini, Syaifuddin mempekerjakan tiga orang dan semuanya masih punya hubungan famili. Setiap bulan, dia harus mengejar target penjualan hingga Rp8 juta. Padahal, modalnya sangat minim. Modal sendiri plus bantuan keluarga untuk membeli limbah kayu dari pelbagai pabrik, adalah andalannya dahulu.

Namun, sejak 2004 dia mendapatkan pinjaman dana tunai dari PT BFI Finance Indonesia Tbk sebesar Rp15 juta dengan menjaminkan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) Toyota Kijang kapsul 2003 miliknya. Modal kerjanya pun bertambah. Pelan tapi pasti.

"Saya masih ingin memperluas usaha ini," tegas dia.

BFI Finance adalah perusahaan pembiayaan yang berdiri sejak 1982. Fokusnya, penyaluran kredit untuk kepemilikan mobil bekas dan baru serta sewa guna usaha (leasing). Sejak 2004, perseroan itu memang menggarap segmen pebisnis dari sektor usaha kecil mikro dan menengah (UMKM). Tak hanya yang dicontohkan Syaifuddin, namun pembiayaan pun difokuskan pada mobil-mobil komersial.

Manajer BFI Finance Budi Munthe mengatakan sektor UMKM memberikan kontribusi sekitar 20% dari total pembiayaan tahun lalu yang mencapai Rp1,5 triliun. Menurut dia, nasabah-nasabah yang berasal dari sektor tersebut biasanya menggunakan mobil yang dibiayai perseroan sebagai alat untuk membantu bisnisnya. Misalnya untuk pedagang yang mengangkut buah dan sayurannya ke pasar atau untuk jasa perjalanan.

Namun, itu tidak cukup. Menurut Budi, rencana ke depan adalah bagaimana perusahaan pembiayaan juga dapat membantu membiayai peralatan produksi di sektor UMKM. Tidak sekadar mobil. "Memang ada arah ke sana, tapi infrastruktur dan dana masih belum ada."

Langkah itu memang masih ditunggu. Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Dennis Firmansjah memaparkan kontribusi perusahaan pembiayaan tidak sekadar membiayai mobil komersial yang kemudian memberikan pendapatan. Tapi, lanjut dia, lebih pada pembiayaan peralatan yang menghasilkan produk tertentu seperti garmen atau sepatu.

"Selain itu, faktor seperti berapa jumlah pekerja dan berapa lama bisnis itu beroperasi menjadi salah satu persyaratan untuk perusahaan pembiayaan sebelum membantu sektor UMKM."

Menurut Dennis, sejauh ini pemerintah belum secara formal mengajak APPI untuk memberikan kontribusi yang lebih besar di sektor UMKM. Sebaliknya, pihaknya pun belum berinisiatif mengajukan hal tersebut kepada instansi terkait.

Tak aneh jika lembaga keuangan bukan bank (LKBB)-termasuk perusahaan multifinance -memiliki angka kecil dalam penyaluran kredit ke sektor UMKM. Survei yang digelar Bank Indonesia (BI) tahun lalu memaparkan, modal sendiri merupakan sumber dana yang paling besar untuk pebisnis UMKM dalam menjalankan usahanya. Rata-rata jumlahnya melampaui separuh dari total sumber dana, yaitu 66%-92%.

Data itu juga menyebutkan LKBB menempati urutan ketiga sebagai instansi yang memberikan pinjaman ke pebisnis UMKM, sekitar 0,4%-3,9%, sedangkan perbankan menduduki posisi kedua yaitu sebesar 5,3%-26%.

Padahal, Deputi Gubernur BI Aslim Tadjuddin memaparkan bahwa sektor UMKM merupakan sektor penting yang menyerap tenaga kerja secara masif setelah krisis ekonomi terjadi. Sehingga, tandas dia, harus ada strategi menyeluruh untuk lebih memberdayakan sektor tersebut.

"Salah satunya mendorong LKBB agar lebih berperan untuk menyalurkan kredit ke sektor pertanian dan perindustrian bagi UMKM," ujar dia pada awal Mei lalu.

Dua sektor itu memang paling minim. Survei BI menyatakan total penyaluran pinjaman lebih didominasi oleh sektor perdagangan dan jasa dibandingkan untuk kredit modal kerja (KMK) dan kredit investasi (KI). Pada 2005, kredit untuk sektor konsumsi itu mencapai Rp49,2 triliun sedangkan KMK dan KI masing-masing adalah Rp32,76 triliun dan Rp4,78 triliun.

Namun, pada 2006 distribusi kredit di sektor konsumsi mengalami penurunan sekitar 50% yaitu menjadi Rp24,09 triliun. Demikian pula KMK dan KI bagi pebisnis UMKM yang bergerak di bidang pertanian serta manufaktur yang menurun menjadi Rp29,7 triliun dan Rp4,59 triliun.

Salah satu contoh besarnya kredit di sektor perdagangan, diperlihatkan oleh PT Sahabat Multifinance. Menurut Direktur Utama Sahabat Multifinance Palgunadi Setyawan, sebesar 60% penyaluran kredit diperuntukkan bagi para pebisnis sektor tersebut. Misalnya untuk pedagang bakso atau yang ingin membuka usaha warung.

Sahabat Multifinance didirikan sejak 1999 dan memfokuskan bisnisnya pada pembiayaan modal kerja para pebisnis dalam skala mikro. Mungkin hal tersebut yang membuat International Finance Cooperation (IFC)-lembaga keuangan milik Bank Dunia-tertarik untuk menggelontorkan uang US$4,5 juta sebagai pinjaman kepada perseroan itu tahun lalu. Perusahaan tersebut kini memiliki 70.000 nasabah yang bergerak di sektor perdagangan maupun manufaktur.

Tentu, jumlah nasabah itu masih sangat jauh dibandingkan total pelaku usaha UMKM yang mencapai 44 juta unit usaha. Sahabat Multifinance hanyalah potret mini bagaimana perusahaan pembiayaan dapat menyokong pertumbuhan sektor bisnis berskala kecil. "Suatu saat, kami ingin memiliki nasabah hingga mencapai dua juta orang," timpal Palgunadi.

Lantas, bagaimana dengan tahun ini?

Wiwie Kurnia, Wakil Ketua APPI, memberikan sinyal bahwa kredit konsumsi-khususnya untuk pembelian produk otomotif maupun elektronik-akan meningkat pesat akibat tren pertumbuhan kredit. Dana yang dibutuhkan pun akan mencapai Rp130 triliun hingga akhir tahun. Kondisi tersebut sebenarnya tak berbeda jauh dari segi komposisi tahun lalu. Konsumsi tetap menjadi sektor yang dominan.

Data Biro Pembiayaan dan Penjaminan Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan pada 2006 menunjukkan, sebanyak lebih dari 50% perusahaan pembiayaan membiayai kredit konsumsi seperti pembelian produk otomotif dan elektronik.

Pembiayaan tahun lalu di sektor tersebut mencapai Rp57,7 triliun dari total penyaluran kredit multifinance yaitu Rp93,1 triliun. Tampaknya, belum ada ruang yang cukup besar untuk pembiayaan sektor si kecil. Belum ada ruang yang cukup pula bagi Syaifuddin.

Syaifuddin tahu bahwa bisnis limbah kayunya pasang-surut. Namun, dia lebih tahu modal yang diperolehnya dari pinjaman lembaga keuangan harus tetap dijaga kepercayaannya. "Tidak seperti modal sendiri yang bisa dipakai semaunya. Untuk yang ini, saya harus hati-hati." (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)