Friday, March 23, 2007

payung mahal sang buruh

Oleh Anugerah Perkasa
1.013 words
unpublished



PEKERJAAN BESAR Rusdi Muchtar semakin menumpuk saat menjelang pensiun. Sejak September 2006, dia mengkampanyekan Peraturan Gubernur No.82/2006 tentang Program Jaminan Kecelakaan Diri dan Kematian di Luar Jam Kerja (JKDK), bagi perusahaan-perusahaan yang berpusat di Jakarta. Ketentuan itu bersifat wajib.

“Untuk berbuat baik apa pun tantangannya akan saya lalui,” ujar dia.

Rusdi adalah Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta sejak Juli 2006. Berkarir di Departemen Tenaga Kerja sejak 1978, usianya kini menginjak 55 tahun. Bagi dia, JKDK adalah program yang menguntungkan pekerja. Rusdi ingin semua perusahaan yang berpusat di Jakarta menjadi peserta, tanpa kecuali. Namun itu tak mudah.

Program JKDK adalah asuransi perlindungan bagi pekerja atas risiko kecelakaan diri dan kematian di luar jam kerja. Bersifat wajib bagi perusahaan komersil maupun badan-badan sosial yang memberikan imbalan kepada pekerjanya. Program itu mengacu pada UU No.3/1992 tentang Jamsostek dan UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah.

“Secara legal program ini didukung peraturan yang sangat kuat,” ujar Rusdi. “Buruh juga tidak ada yang protes, karena menguntungkan.”

Dia mulai menerangkan latar belakang munculnya peraturan itu. UU Jamsostek membagi program jaminan sosial menjadi dua wilayah: di dalam dan di luar jam kerja. Jaminan sosial bagi pekerja di dalam jam kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah No.14/1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek, sedangkan untuk di Jakarta melalui Peraturan Daerah No.7/1989 soal Ketentuan Penyelenggaraan Kesejahteraan Pekerja di Wilayah DKI Jakarta.

Dari peraturan daerah itu, demikian Rusdi, kemudian lahir Keputusan Gubernur No.2/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Asuransi Kecelakaan Diri di Luar Jam Kerja dan Hubungan Kerja di Luar Jam Kerja di Wilayah DKI Jakarta. Belakangan disingkat AKDHK. “Waktu itu Apindo pun setuju.”

Apindo merupakan singkatan Asosiasi Pengusaha Indonesia, organisasi yang mewadahi para pengusaha. Dukungan Apindo terhadap AKDHK dinyatakan dalam salinan surat edaran untuk direksi perusahaan anggota Apindo pada November 1990. Rusdi mengutip isinya: Program itu menguntungkan hubungan industrial Pancasila dan kelangsungan perusahaan.

Tapi itu dulu. Apindo sekarang mengalami perubahan.

Pada awal Januari, organisasi tersebut mengajukan uji materiil terhadap ketentuan yang ditandatangani Sutiyoso akhir Agustus 2006 itu ke Mahkamah Agung. Mereka menilai legalitas program JKDK tak sah karena diatur dalam sebuah peraturan Gubernur. Bukan undang-undang khusus, macam Jamsostek.

Ketua Dewan Pengurus Nasional Apindo Sofjan Wanandi dalam nota keberatannya menjelaskan JKDK merupakan program yang bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya, UU No.2/1992 tentang Usaha Perasuransian. Sofjan mengutip pasal 1 ayat 3 yang mengatakan program asuransi wajib adalah program asuransi sosial yang berdasarkan undang-undang.

Menurut Sofjan, beban perusahaan membumbung akibat diwajibkannya program tersebut bagi pengusaha. Faktanya, sejumlah perusahaan telah memberikan program serupa dengan JKDK sebagai fasilitas tambahan. Jika pengusaha membayar keduanya, lanjut dia, maka biaya tinggi pun tak terelakkan.

Data statistik Dinas Tenaga Kerja Jakarta mencatat pertumbuhan program tersebut sejak 2001, saat otonomi daerah diatur dalam UU No.22/1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui menjadi UU No.32/2004. Peraturan itu menyebutkan, dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban mengembangkan sistem jaminan sosial.

Tengok pada 2005. Jumlah pekerja yang mengikuti program tersebut adalah 327.757 orang dan meningkat menjadi 452.505 pada 2006. Sedangkan untuk jumlah perusahaan dari 3332 unit menjadi 4555 unit.

Sekretaris Jendral Apindo Djimanto menyebut JKDK sebagai pemerasan. Dia menilai ada kesalahan tafsir terhadap JKDK oleh regulator. Program itu lebih ditujukan pada pekerja sektor informal yang tak punya majikan macam tukang becak atau penjual bakso. Tapi, sambung Djimanto, peraturan itu justru diperuntukkan bagi pekerja dalam perusahaan sebagai syarat memperoleh perizinan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Dia menilai itu pemaksaan.

Djimanto menegaskan JKDK seharusnya mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor PER-24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaran Program Jamsostek bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja. Bukan memplesetkannya menjadi program wajib bagi buruh yang punya tuan.

“Bagaimana dengan dukungan AKDHK sebelumnya oleh Apindo?”
“Itu masih zaman Orde Baru. Sekarang situasi berubah, hukum berubah.”

Djimanto mengungkapkan dukungan itu muncul di saat belum munculnya UU Usaha Perasuransian dan UU Jamsostek. Upaya peningkatan kesejahteraan buruh, timpal dia, akan dilakukan pengusaha asalkan memiliki landasan hukum yang jelas dan proporsional.

Salah seorang praktisi bisnis asuransi umum—yang menolak disebut namanya— menyatakan sikap serupa dengan Apindo. Selain masalah legalitas, pengakuan salah seorang anak buahnya membuat dirinya keberatan dengan program JKDK. “Kami disuruh membeli polis yang berasal dari Bumida, bukan yang lainnya.”

Bumida atau Bumi Putera Muda adalah perusahaan asuransi umum yang berdiri sejak 1967 dan merupakan anak perusahaan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Menurut data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta, perseroan tersebut sudah menjadi mitra pemerintah daerah dalam program AKDHK sejak 1993. Lima perusahaan pun menyusul: Takaful Umum, Asuransi Ramayana, Tugu Mandiri, Astra Buana dan Bangun Askrida.

Praktisi bisnis itu meragukan kemampuan enam perusahaan tersebut. Dia mempertanyakan mengapa program itu tidak langsung diselenggarakan PT Jamsostek—yang disebutnya sebagai spesialis—dan bukan perusahaan swasta.

“Ini bukan masalah persaingan bisnis. Saya sempat ditawari ikut mengelola program itu, namun saya tolak,” ujar dia.

Soal iuran, berdasarkan peraturan, jumlah yang musti disetor bagi pekerja lepas dan borongan adalah 0,24%. Namun jika upah tidak tertera dalam kontrak, maka iuran yang disetorkan 0,12% dari nilai kontrak.

Rusdi Muchtar menyindir. Perusahaan tak akan bangkrut gara-gara membayar jumlah tersebut setiap bulannya. Dia pun mempersilakan perusahaan yang telah memiliki program serupa dengan JKDK tetap berjalan. Dia menganalogikan JKDK seperti sumbangan ke PT Jasa Raharja—yang menangani asuransi kerugian—oleh pemilik kendaraan bermotor. “Ada ancaman pidana jika tak mematuhi.”

Dugaan monopoli dijawab Direktur Utama Bumida Ahmad Fauzie Darwis, yang menegaskan tim pemasaran memang gencar memasarkan program tersebut. Fauzie mengakui pihaknya telah lama bekerja sama dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta sehingga tak heran diundang kembali.

Dia menyebut dugaan monopoli itu semacam rekomendasi yang diajukan. Setahu dia, Bumida selama ini memang tak pernah telat menyetorkan iuran Pendapatan Asli Daerah. Mungkin saja, imbuh Fauzi, ‘rekomendasi’ itu muncul akibat sikap konsisten tersebut. Pada 2006, Bumida memperoleh sekitar Rp9 miliar dari program tersebut.

Fauzi ingin Bumida tetap serius di jalur itu. Dia tak ingin seperti perusahaan lain yang menganggap JKDK susah dikelola, karena lebih menargetkan pasar korporasi. Senada dengan Rusdi, dia juga menolak program itu terbelit masalah legalitas.

“Kalau bermasalah sejak dulu, mengapa tidak ada peraturan yang dicabut oleh Menteri Dalam Negeri atau direkomendasikan untuk dicabut. Soal uji materiil Apindo ke Mahkamah Agung, itu urusan pemerintah daerah. Bukan urusan Bumida.” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

mata air multifinance

Oleh Anugerah Perkasa
1.021 words
unpublished


KERIANGAN MENYEMBUL di wajah Ida Purwaningsih Lunardi sore itu. Dia tak sendiri. Sejumlah rekan kantornya juga merasakan hal yang sama. Usai pembeberan informasi publik soal obligasi, mereka berdiri berjejer. Ada kilatan lampu kamera. Ada kamera video yang merekam. Di ballroom hotel Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sebuah aksi korporasi baru saja usai.

Ida adalah orang nomor satu PT Federal International Finance (FIF)—
perusahaan pembiayaan sepeda motor khusus Honda—sejak 1998. Dia bukan orang baru di industri itu. Sejak 1972, Ida telah bekerja di salah satu anak perusahaan PT Astra International Tbk.

Obligasi atau surat utang adalah salah satu sumber dana di perusahaan pembiayaan untuk menjalankan bisnisnya. Kali ini, FIF menerbitkan obligasi senilai Rp800 miliar untuk mendanai penyaluran kredit hingga akhir 2007. Target mereka berkisar Rp10,54 triliun atau naik 10% dibandingkan 2006.

“Ini sesuai dengan perkiraan pertumbuhan otomotif sepeda motor tahun ini sekitar 5%-10%,” ujar Ida.

Tahun lalu, industri otomotif roda dua bergerak pelan. Data asosiasi industri sepeda motor Indonesia (AISI) menunjukkan penjualan sepeda motor hanya mencapai 4,47 juta unit atau turun hampir 12,6% dibandingkan penjualan 2005 yaitu 5,08 juta unit. Penurunan itu disebabkan sejumlah faktor, naiknya harga bahan bakar minyak dan tingginya suku bunga Bank Indonesia (BI).

Perusahaan pembiayaan pun kena imbasnya, tak terkecuali FIF. Piutang pembiayaan perseroan tahun lalu hanya mencapai Rp9,14 triliun. Ini jauh menurun dibandingkan total penyaluran kredit 2005, Rp14,28 triliun. Pembiayaan anjlok.

Tapi Ida punya harapan tahun ini.

Dia ingin penerbitan obligasi itu menjadi salah satu investasi yang baik dan aman bagi pebisnis lainnya. FIF ingin mencapai target 2007 dengan gemilang. Obligasi sendiri dipasang sebagai salah satu sumber dana selain pembiayaan bersama dengan sejumlah bank mitra.

“Secara kasar, obligasi sekitar 30% dan pembiayaan bersama bank mencapai 70%. Kerjasama dengan bank tak hanya pembiayaan, melainkan kredit sindikasi dan bilateral,” tutur dia.

FIF tak sendirian soal ini. Pada Januari lalu, PT Tunas Ridean Tbk menerbitkan obligasi Rp500 miliar untuk membiayai kredit mobil dan motor tahun ini sebesar Rp2 triliun. Dana yang dibutuhkan berkisar Rp1,8 triliun.

Menurut Direktur Tunas Ridean Miranti Andiyana, obligasi dipilih karena bunga yang ditawarkan lebih murah dibandingkan pinjaman domestik perbankan. Penurunan suku bunga BI, urai dia, tak serta merta membuat bank lokal menurunkan bunga kredit ke perusahaan pembiayaan.

Instrumen obligasi memang diperkirakan lebih ramai tahun ini. Dimulai PT BCA Finance yang menerbitkan Obligasi II Rp500 miliar di awal 2007, Obligasi II PT Summit Oto Finance Rp1 triliun, Obligasi IV Tunas Finance Rp500 miliar dan terakhir FIF dengan Obligasi VII Rp800 miliar. Semuanya bergerak di sektor pembiayaan konsumen, yang asetnya mencapai Rp57,7 triliun pada 2006. Jumlah ini merupakan separuh lebih dari total aset industri pembiayaan.

Tentu, ada yang tak ingin melewatkan momen ini.

PT Wahana Ottomitra Multiartha (WOM) Finance juga berencana menerbitkan obligasi untuk mendanai pembiayaan sepeda motor Rp4,6 triliun pada 2007. Sekretaris Perusahaan WOM Finance Fenfira Tedja menjelaskan kondisi pasar yang kondusif membuat pihaknya mengeluarkan instrumen tersebut. “Diperkirakan terbit pada April nanti.”

Sebelumnya,WOM Finance telah mengeluarkan Obligasi II pada 2005 senilai Rp500 miliar. Perseroan itu dikenal sebagai perusahaan yang mengkhususkan diri untuk penyaluran kredit kepemilikan sepeda motor asal Jepang. Selain obligasi, WOM juga mendapatkan dana dari kredit bank sebagai sumber pendanaan lainnya.

Langkah serupa dilakukan PT Adira Dinamika Multifinace. Bedanya, pihak manajemen perseroan itu masih mempersiapkan penerbitan obligasi yang direncanakan keluar pada Juli 2007.

Direktur Keuangan Adira Multifinance Hafid Hadeli mengatakan obligasi akan digunakan sebagai salah satu sumber dana penyaluran kredit sepeda motor maupun mobil pada 2007 sebesar Rp10 triliun. Jumlah ini meningkat Rp1 triliun dibandingkan pembiayaan 2006 sebesar Rp9 triliun.

Tapi, berapa sebenarnya jumlah total obligasi tahun lalu?

Mari melihat data Biro Pembiayaan dan Penjaminan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Biro tersebut mencatat jumlah total obligasi yang diterbitkan pada 2006 adalah Rp10,1 triliun atau turun tipis dibandingkan akhir 2005, Rp10,2 triliun. Dibandingkan dua sumber dana lainnya, pinjaman dari bank domestik maupun asing, nilai total instrumen itu masih kalah jauh yaitu Rp33,2 triliun untuk kredit domestik dan Rp32 triliun untuk asing.

Ada yang menarik dari data tersebut. Pinjaman asing pada 2004-2005 menunjukkan angka yang melebihi pinjaman domestik. Pada 2004, pinjaman asing tercatat Rp24,8 triliun sedangkan lokal Rp24,1 triliun, pada tahun berikutnya adalah Rp31,4 triliun berbanding Rp29,7 triliun.

Sepanjang 2006 lalu, sejumlah perusahaan yang mendapatkan fasilitas kredit asing adalah a.l. PT BFI Finance, PT Indomobil Finance, Adira Multifinance, dan WOM Finance. Ada yang mendapatkannya sekali hingga tiga kali dalam periode yang sama.

Menurut Sekretaris Jendral Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Dennis Firmansjah mengatakan pinjaman asing dapat meningkat 15% pada 2007 menyusul semakin membaiknya kondisi makro Indonesia. Suku bunga yang ditawarkan pun lebih rendah dibandingkan bunga pinjaman bank lokal.

“Pinjaman asing juga memiliki tenor lebih panjang dibandingkan lokal,” timpal Dennis.

Presiden Direktur Adira Multifinance Stanley Setia Atmadja setuju soal itu. Pinjaman asing adalah salah satu bentuk kepercayaan investor luar negeri terhadap industri pembiayaan di Tanah Air. Dia menilai pasar pembiayaan masih sangat prospektif dan menjanjikan.

Lain pinjaman, lain pula kisahnya. Pinjaman dari bank domestik yang tahun lalu mencapai Rp33,2 triliun diperkirakan tetap dominan sebagai sumber dana perusahaan pembiayaan pada 2007. Untuk tahun ini, pertumbuhannya diprediksi mencapai 20%.

Ketua APPI Susilo Sudjono mengatakan dengan turunnya suku bunga BI di level 9% saat ini, pinjaman domestik akan tumbuh dan berdampak pada penurunan bunga konsumen oleh perusahaan pembiayaan. Selain itu, peningkatan tersebut dinilai menguntungkan perbankan karena melonjakkan likuiditas. Dia memaparkan data: suku bunga di awal 2006 menyebabkan sejumlah perusahaan pembiayaan lebih memilih pinjaman luar negeri daripada lokal.

Awal 2006, suku bunga BI memang bercokol di level 12,75%. Akibatnya penyaluran kredit perbankan ke sektor riil menjadi seret. Sepanjang tahun tersebut, terjadi tujuh kali penurunan suku bunga hingga mencapai 9,75% pada Desember 2006.

Namun penurunan suku bunga BI belum berpengaruh langsung pada perusahaan pembiayaan. Praktisi bisnis tersebut harus menunggu satu-dua bulan ke depan sebelum penurunan bunga konsumen dilakukan. Tak bisa otomatis. Nasabah pun belum bisa menikmati bunga rendah saat ingin membeli kredit sepeda motor atau mobil.

“Tergantung perbankan. Ini efek domino, semakin cepat bank menurunkan bunga, semakin cepat kami menyesuaikan,” tutur Presiden Direktur PT Trust Finance—
yang bergerak pada pembiayaan mobil—Muhammad Nashir. “Namun ini tidak berlaku bagi joint venture. Bunga yang ditawarkan biasanya lebih kompetitif dengan bank karena dana mereka lebih kuat.” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Friday, March 9, 2007

banjir dana sang meneer

Oleh Anugerah Perkasa
714 words



LEMBARAN KERTAS itu diletakkan Susilo Sudjono di meja bundar berwarna cokelat. Ini bukan kertas biasa. Di dalamnya berisi setumpuk peraturan baru soal perusahaan pembiayaan. Regulasi itu baru saja diterbitkan Departemen Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 84/2006 pada September 2006.

"Kami menyambut baik peraturan ini. Ada beberapa hal penting seperti soal pinjaman luar negeri, izin baru dan lain-lain," ujar Susilo sambil membolak-balik kertas tersebut di kantornya pada Oktober.

Susilo bukan orang baru di industri pembiayaan. Dia menjabat sebagai Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) untuk 2004-2007. Jabatan lainnya, Presiden Direktur PT Surya Artha Nusantara Finance, perusahaan yang membiayai peralatan berat dan merupakan kelompok usaha PT Astra International Tbk.

Susilo menunjuk Pasal 25 pada lembaran itu. Ini adalah soal pinjaman. Dalam peraturan tersebut dinyatakan perusahaan pembiayaan dapat mendapatkan pinjaman dari institusi nonbank minimal Rp1 miliar dengan tenor minimal satu tahun. Mekanisme ini disebut private placement.

Private placement merupakan penawaran saham terbatas institusional dari badan usaha dan merupakan langkah kebalikan dari penawaran saham ke publik. Instrumennya dapat berupa perjanjian utang maupun medium term note (MTN).

Jumlah pinjaman juga dibatasi maksimal 10 kali dan tidak dibatasi pinjaman dalam negeri berjumlah 10 kali, sedangkan luar negeri hanya lima kali, seperti aturan sebelumnya.
Menurut Susilo, PMK No.84/2006 dapat mendorong perusahaan pembiayaan meningkatkan pendanaannya dari luar negeri, terutama bagi perusahaan gabungan lokal-asing.

Pendanaan asing, dinilai menciptakan lahan investasi baru bagi industri pembiayaan. Dana yang terkumpul dapat disalurkan ke pelbagai bidang. Ada sektor riil. Ada sektor usaha kecil mikro menengah. Intinya, tambah Susilo, membantu memperbaiki kondisi ekonomi yang terpuruk pada 2006.

Mekanisme private placement juga menjadi sumber pendanaan alternatif. Bagi Sekretaris Jendral APPI Dennis Firmansjah peraturan tersebut merupakan cita-cita lama yang ingin diwujudkan. Tak lagi tergantung pada pemberian kredit perbankan.

"Kami selama ini seperti anak tiri perbankan. Peraturan ini sangat positif, dan merupakan cita-cita sejak lama," ujar Dennis belum lama ini.

Tak heran Dennis berkata demikian. Pendanaan perusahaan pembiayaan memang selama ini didominasi bank dalam rangka memperluas penyaluran kredit. Sumber dana lainnya melalui pasar modal. Dengan lahirnya PMK No.84/2006, demikian Dennis, perusahaan pembiayaan dapat menggali sumber dana alternatif.

Lain private placement asing lain pula pinjaman asing. Data Departemen Keuangan pada Desember 2006 menunjukkan pinjaman luar negeri hanya mempunyai selisih sekitar Rp1 triliun dibandingkan lokal yaitu Rp32 triliun berbanding Rp33,2 triliun.

Pada 2004 justru pendanaan asing justru mencapai Rp24,8 triliun sedangkan lokal hanya Rp24,1 triliun. Tahun berikutnya juga meningkat: asing Rp31,4 triliun dan lokal Rp29,7 triliun.

Sekretaris Perusahaan PT Wahana Ottomitra Multiartha (WOM) Finance Fenfira Tedja mengatakan pinjaman tersebut tak sekadar menguntungkan perusahaan pembiayaan dari tingkat bunga pinjaman yang rendah, namun juga soal perluasan jaringan.

Dia tak sekadar bicara. WOM beberapa kali mendapatkan pinjaman asing selama 2006 untuk mencapai target pembiayaan kredit kepemilikan sepeda motor. Ada dari International Finance Corporation (IFC) US$20 juta, Deutsche Investitions und Entwicklungsgesellschaft mbH (DEG) US$25 juta, serta sindikasi enam institusi keuangan asing US$66 juta.

Bahkan untuk tahun ini, dia memperkirakan, pendanaan asing justru akan lebih besar dan semakin kompetitif dalam pemberian bunga. Dia mengakui memang lembaga keuangan luar negeri sangat ketat dalam melihat portofolio perusahaan pembiayaan. "Uji kelayakannya hingga enam bulan."

Mantan Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Ngalim Sawega membenarkan pendanaan asing akan lebih besar lagi, karena bank lokal terbentur pada batas maksimum pemberian kredit (BMPK).

Tak cukup hanya itu. Menurut Ngalim, kecilnya proporsi pemberian kredit bank atau pemodal lokal terhadap perusahaan pembiayaan juga dilandasi ketidakpercayaan. Ini justru menguntungkan kreditor asing. Apalagi, lanjut dia, kebutuhan dana perusahaan pembiayaan semakin lama semakin bertambah.

Ngalim juga bicara soal private placement-yang menjadi pendanaan alternatif-tahun depan. Harapannya, perusahaan pembiayaan dapat memberikan bunga murah kepada konsumen dalam penyaluran kreditnya saat memakai mekanisme itu.

Namun, harapan saja tak akan pernah cukup.

Keluhan datang dari Sekretaris Perusahaan PT Mandala Multifinance Poedji Goesarianto. Mereka ingin memakai mekanisme tersebut tahun ini. Mereka tahu bahwa regulator pun mendukung langkah perseroan. Masalahnya, tutur Pudji, belum adanya peraturan yang jelas mengenai instrumen private placement beserta pajaknya.

Mandala pun telah ambil ancang-ancang. Poedji menjelaskan perseroan itu sudah mendekati sejumlah dana pensiun karena kesamaan jenis investasi yang bersifat jangka panjang. Namun, dia bungkam soal dana pensiun mana saja yang diajak kerja sama.

Ini tak hanya dirasakan oleh Poedji. Direktur Keuangan PT Adira Multifinance Hafid Hadeli mengungkapkan pihaknya masih mengkaji apakah perseroan akan memakai mekanisme tersebut atau tidak.

"Semuanya," tutur Hafid, "masih dipersiapkan." (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)