Tuesday, February 13, 2007

dari jawa untuk jakarta

Oleh Anugerah Perkasa
1.214 words



SUDIR SANTOSO bukan orang yang besar di Batavia. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di Desa Gedong Winong, Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Terutama belakangan ini. Sudir menjabat sebagai kepala desa di tempat yang terpencil itu sejak tujuh tahun lalu. Namun, Sudir tak bisa dibilang kecil di desanya. Orang ini punya pengaruh.

"Kepala desa itu masing-masing punya konstituennya," ujarnya.

Sudir membuktikan ucapannya pekan ini. Ribuan kepala desa menyemut di depan gedung Departemen Dalam Negeri dan Mahkamah Agung di kawasan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Ada yel-yel yang diteriakkan. Ada orasi. Ada pula 'Cucak Rowo' milik musisi Didi Kempot dendang lagu. Sudir pun hadir di tengah mereka. Dalam unjuk rasa itu, dia memegang mikrofon. Suaranya menggema.

"Kami datang dengan tertib. Kami orang-orang desa, tapi ingin memberikan tuntunan, bukan tontonan," teriaknya di atas mobil dengan kap terbuka.

"Ya, ya setuju," ujar massa yang menyeruak. Rata-rata mereka memakai baju seragam warna hijau lumut. Semuanya gegap-gempita.

Sudir meneruskan orasinya, kadang-kadang memakai bahasa Jawa. Tuntutannya dua: masa jabatan kepala desa yang diperpanjang delapan hingga sepuluh tahun, dan mereka diperbolehkan ikut dalam partai politik. Alasannya, gaji minim serta aturan yang diskriminatif.

Para kepala desa itu tergabung dalam Persatuan Kepala Desa dan Perangkat Desa. Mereka menyebutnya Parade Nusantara, yang dipimpin oleh Sudir sendiri.

Menurut Sudir, aturan yang diberlakukan oleh pemerintahan Jakarta sangat diskriminatif. Pejabat negara boleh berpartai politik, sedangkan para kepala desa tidak sama sekali. Sudir menilai ini tak adil. "Bukankah aturan itu seharusnya berlaku umum, general?" tanyanya.

Parade Nusantara menilai Peraturan Pemerintah (PP) No. 72/2005 tentang Pemerintahan Desa menyudutkan orang-orang di desa. Dia beranggapan Pemerintah Jakarta lebih pintar dan lebih mengerti demokrasi dibandingkan massanya yang kebanyakan adalah pedagang, petani dan peternak. Tapi, urai Sudir, justru peraturan dari kota ini mematikan karir orang-orang di pelosok.

Peraturan ini memang menjadi masalah. Dalam pasal 44 disebutkan, para kepala desa hanya dapat menjabat selama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan. Ini dianggap bertentangan dengan UU No. 32/2004 soal Pemerintahan Daerah yang mengatur jabatan itu selama enam tahun dan dapat dipilih kembali. Lainnya, pasal 16 dalam aturan yang sama disebutkan kepala desa tak boleh menyentuh partai politik sama sekali.

Sudir mengatakan PP ini justru menimbulkan ketidakpastian ekonomi. Menurut dia, jika seorang kepala desa hanya digaji Rp600.000 setiap bulan, bagaimana dia melangsungkan kehidupannya lebih baik? Lalu, bagaimana jika nasib kepala desa yang masa jabatannya usai, tidak bisa mengikuti partai politik tertentu?

"Ini bicara soal karier. Seharusnya, jika peraturan itu adil, pejabat negara juga tak boleh berpartai. Ini kan tidak, Jusuf Kalla menjabat Wakil Presiden, tapi juga Ketua Umum Partai Golkar," tandasnya.

Parade Nusantara siang itu tak hanya unjuk kekuatan dari pelosok Jawa. Mereka juga menemui Mendagri M. Ma'ruf untuk tuntutan tersebut. Tak hanya itu, perwakilan mereka pun mendatangi Mahkamah Agung (MA), mendesak agar segera menyidangkan permohonan uji materiil PP No. 72/2005 yang diajukan Maret. Sudir dan kawan-kawan ingin segera melihat hasilnya.

Kepala Subdit Peninjauan Kembali dan Tata Usaha Negara MA, Abdul Manan mengatakan uji materiil peraturan yang diajukan oleh Parade Nusantara akan dijadikan prioritas karena memiliki dampak sosial yang luas pada pemerintahan desa. Targetnya, dua-tiga minggu sejak pekan ini.

"Majelisnya sudah terbentuk, mereka akan segera menyidangkan uji materiil itu," ujar Manan, setelah menemui perwakilan dari Parade Nusantara.

Ini melegakan walau sejenak. Menurut Sudir, jika majelis tidak mengabulkan permohonan mereka soal pasal-pasal bermasalah, MA harus mengeluarkan fatwa melarang semua pejabat beratribut partai politik, tanpa kecuali.

"Jika permohonan kami ditolak, para kepala desa akan kembali mendatangi MA. Kali ini lebih besar," ucapnya serius.

Dia juga mengingatkan orang-orang yang ada di Jakarta jangan melupakan desa sebagai tempat tinggalnya dulu. "Ma'aruf itu orang Tegal, Jawa Tengah. Jangan lupa dong setelah tinggal di Jakarta," ujarnya. Ini mirip falsafah kacang agar tak lupa kulitnya.

Terus, bagaimana para kepala desa itu datang beramai-ramai menggoyang Batavia?

Saya menanyakan hal ini kepada lulusan fakultas hukum Universitas 17 Agustus 1945, Semarang itu. Dia bilang tak ada yang membayar mereka sama sekali, termasuk dari PDIP-yang santer disebut-sebut sebagai partai yang mendanai gerakan itu.

"Bagaimana dengan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso?" tanya saya.
"Sepuluh rupiah pun saya tak menikmati dana dari Sutiyoso. Dia hanya menjadi tuan rumah yang baik, karena menyambut kami dari desa."
"Bagaimana Anda bisa pergi ke Jakarta?
"Mas, rekan-rekan saya dari desa itu punya ternak ayam, beserta telurnya. Sapi juga itu yang mereka jual untuk dijadikan ongkos."

Sudir menolak dikatakan menjadi orang bayaran dari siapapun. Megawati Soekarnoputri maupun Sutiyoso.

Untuk yang terakhir, ada dugaan muncul jika Gubernur DKI itu mengerahkan massa dari pelosok Jawa untuk menunjukkan kekuatan terkait soal megapolitan. Sutiyoso punya kecenderungan ingin memimpin megapolitan, dan bukan ditampuk oleh menteri dalam negeri.

Megapolitan adalah konsep yang menunjuk Jakarta sebagai pusat dan Bekasi, Bogor, Cianjur, Depok, serta Tangerang sebagai kota satelitnya. Administrasi pun akan diatur dari Jakarta. Rencananya, undang-undang itu akan rampung pada akhir 2006, waktu sebelum Sutiyoso melenggang turun dari kursi kekuasaan. Persoalannya, ada yang menganggap ini merupakan dominasi baru Jakarta. Dominasi pada kota-kota sekitarnya.

Kepala Humas Biro DKI Jakarta Catur Laswanto menolak mentah-mentah soal ini. Dia membantah Sutiyoso membiayai Parade Nusantara dalam soal megapolitan.

"Apa hubungannya? Para kepala desa itu kan kebanyakan dari Jawa Tengah, yang kaitannya tak ada sama sekali dengan megapolitan," ujarnya emosional.

Catur juga membantah jika Sutiyoso menyodorkan dirinya sendiri sebagai orang yang berkeinginan untuk memimpin konsep kota itu. Dia mengatakan, justru mantan Pangdam Jaya itu memberikan alternatif untuk memimpin megapolitan: menteri khusus, menteri dalam negeri atau gubernur Jakarta sendiri. Catur juga menolak bosnya berselisih dengan Ma'aruf soal kepemimpinan megapolitan.

"Tak pernah, tak pernah itu."

Sudir boleh berlega hati soal bantahan sokongan dana. Tak hanya itu, pandangan serupa pun disampaikan oleh peneliti LIPI Indria Samego terhadap usulan Parade Nusantara.

Menurut dia, walaupun gerakan ini menyangkut kesejahteraan kepala desa, tapi nuansa politik tetap ada di dalamnya. Indria menilai peraturan soal ini memang tak adil. Dia sepaham dengan Sudir, kepala desa dari Pati itu.

Pengamat itu mengatakan kepala desa saat ini memang mengalami pergeseran makna. Jika dahulu, mereka bekerja tanpa pamrih, namun sekarang tuntutan muncul karena desakan ekonomi yang menguat.

"Ini ditambah dengan mengecilnya jumlah tanah bengkok yang selama ini merupakan hak dari kepala desa," paparnya.

Tanah bengkok adalah tanah yang biasanya didapatkan oleh kepala desa karena jabatannya untuk dikelola. Luasnya bermacam-macam, tergantung kekayaan desa itu sendiri. Namun dengan dikeluarkannya UU tentang Pemerintahan Daerah, No. 5/1979, yang menyeragamkan bentuk desa-hingga di luar Jawa- di seluruh Indonesia, tanah ini makin lama makin menyusut.

"Bagaimana Anda bisa bertahan dengan gaji yang tetap, namun menginginkan jabatan kepala desa. Jabatan itu mahal," ujar Indria.

Soal partai politik, Indria pun segendang-sepenarian. Dia menginginkan adanya kebebasan para kepala desa untuk bergabung ke partai politik. Dia mengatakan kekhawatiran kalangan tertentu yang menganggap kepala desa bisa dijadikan alat politik untuk meraih massa adalah pikiran lama. Indria menyebutnya logika pikir versi Orde Baru. "Mereka harus diberi kebebasan. Tidak apa-apa mereka memilih partai tertentu."

Saat Orde Baru berkuasa, semua perangkat negara diharuskan memilih Golkar sebagai pilihan dalam pemilu yang diadakan lima tahun sekali. Golkar sendiri menjadi mesin politik paling efektif saat itu. Tak banyak pegawai negeri yang berani menolak instruksi tersebut. Tentu saja, perintah ini berasal dari orang nomor satu waktu itu, Soeharto.

Dua minggu menjadi waktu yang tak sebentar. Sudir masih saja di Jakarta, saat saya telepon malam itu. Dia bilang akan meninggalkan kota ini sesuai keperluan. Saya menduga dia ingin menunggu hasil dari MA, tapi mungkin juga kebutuhan lain.

"Sesuai kebutuhan saja, saya akan meninggalkan Jakarta." Dia tertawa setelah itu. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Monday, February 12, 2007

surat terakhir untuk mira

Oleh Anugerah Perkasa
1.046 words



BAGAIMANA PERASAAN bila suami yang dituduh teroris, ditahan, tiba-tiba dikabarkan melarikan diri dari penjara yang membekapnya selama tiga tahun? Mungkin Mira Agustina punya jawabannya.

"Saya hanya ingin Amerika [Serikat] membawanya ke pengadilan bila dia bersalah," ujar Mira, tegas.

Mira kelahiran Jakarta, tapi besar di Cisalada, Jawa Barat. Umurnya sekarang 27 tahun. Dia dikenal sebagai istri Umar al Farouq-gembong teroris yang diduga terlibat dalam pengeboman Natal 2000 di Jakarta.

Farouq juga disebut sebagai salah satu petinggi organisasi teroris internasional Al Qaeda di Asia Tenggara. Nama aslinya, menurut Mira, adalah Mahmud bin Ahmad Assegaf. Mira tak mengenal nama Al Farouq seperti yang dilekatkan pada suaminya itu.

Al Farouq alias Mahmud dikabarkan melarikan diri dari penjara Bagram di Afghanistan pada Juli. Berita ini disampaikan oleh International Commission for Red Cross (ICRC) pada Mira saat mendatangi perwakilan kantor tersebut di Jakarta, September lalu. Namun, dirinya tetap meyakini bahwa Mahmud tak pernah akan kembali ke Indonesia. Perempuan pemakai cadar itu juga tak mempercayai pemerintah AS soal suaminya: dia lolos atau diloloskan?

Tak ada yang berubah dalam Lebaran tahun ini bagi Mira. Mahmud tetap tiada di sisinya. Persis dua tahun silam. Al Gholia dan Al Hanun, masing-masing berusia lima dan empat tahun itu pun tak bertemu ayah tercintanya. Mereka kerap memanggil Mahmud dengan kata 'Abi'.

Untuk urusan hidup, Mira tak berdiam diri. Dia menafkahi anak-anaknya dengan membuka warung yang menjual kue kering dan memberikan kredit untuk kerudung serta kain kepada tetangga sekitar.

Namun, pada 2003 usaha ini terhenti. Sejak tahun lalu hingga Agustus, dia dibayar oleh sepupunya untuk mengasuh anak-anaknya di kawasan Pondok Gede Jakarta Timur.

Berita lolosnya Mahmud bikin heboh. Di hari kedua Lebaran pekan lalu, Mira datang ke dua stasiun televisi yang mengundangya untuk wawancara. Ada Anteve di Kuningan Jakarta Pusat dan Metro TV di Kedoya Jakarta Barat. Keduanya menanyakan hal yang sama, larinya Mahmud dari Bagram, Afghanistan.

"Pertama, saya mendapat telepon di telepon seluler saya, yang mengabarkan suami saya meninggal," ujar Mira siang itu pada program Cakrawala di Anteve.

Tapi dia tak percaya itu. Nomor telepon itu tak terbaca di layar dan langsung ditutup setelah menyampaikan kabar tersebut. Hingga kemudian dia menghubungi kantor ICRC yang memberikan surat terakhir Mahmud kepadanya. Surat itu tertanggal Juni tapi disampaikan oleh ICRC awal September.

Menurut Mira, Mahmud juga mengirimkan surat kepadanya April. Isinya seperti biasa, menyatakan keadaannya dalam kondisi baik dan tetap menyuruh kedua anaknya untuk shalat dan membaca Al Quran. Namun, dia curiga pada surat terakhir. Mengapa jenis tulisan suaminya berbeda?

Keanehan lain, kata Mira, terletak dalam paragraf terakhir di mana Mahmud selalu mengirimkan salam kepada keluarga besarnya. Kalimat itu sirna. Dalam dua wawancara pekan lalu, Gholia dan Hanun pun serta- merta diajak. Tangan-tangan kecil mereka terkadang memainkan kertas-kertas di meja studio.

"Abi lagi di Amerika," ujar Gholia, dengan celatnya.

Adiknya, Hanun terus merengek minta turun dari pangkuan Mira di studio Metro TV yang dingin. Virgie Baker, yang mewawancarai Mira tersenyum geli.

Tanggapan pun muncul beragam. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan kejadian ini membuat Indonesia akan lebih bersikap waspada lagi akan bahaya terorisme. "Tentu saja kita akan meningkatkan kerja keras memerangi terorisme," ujar Yudhoyono di sela-sela acara open house di rumahnya, Cikeas, Bogor.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Agung Laksono mengungkapkan kecurigaannya terhadap lolosnya al Farouq dari penjara super ketat itu. Menurut dia, apakah pelepasan itu disengaja atau tidak, belum diketahui pasti. Yang jelas, ujar Agung, bila Farouq lari ke Indonesia, maka pekerjaan pemerintah akan semakin menumpuk. Dia ingin klarifikasi dari pemerintahan Bush soal ini.

Pengacara Mira Agustina, Eggy Sudjana, mengatakan Mira mengabarkan perihal lolosnya Mahmud kepadanya Oktober lalu. Ini alasan teknis saja. Menurut dia, Mira tak punya uang berlebih untuk mendatanginya ke Jakarta usai dia menerima surat suaminya itu. Surat Mahmud, kata Eggy, dikirimkan dari Afghanistan.

Eggy mengungkapkan Mira pada tiga tahun silam sudah melapor ke pihak imigrasi untuk menanyakan mengapa Mahmud alias al Farouq begitu mudah dilepaskan untuk diperiksa oleh pemerintah Amerika. Dia menduga ada skenario besar oleh pemerintahan Bush.

"Seharusnya juga Departemen Luar Negeri dapat memberikan pelayanan perlindungan kepada Mahmud sebagai warga negara, terlepas dari dia teroris atau bukan," ujarnya pekan lalu.

Seperti yang diungkapkan Mira, dirinya menikah dengan Mahmud pada 1999. Mahmud mengaku orang Ambon keturunan Arab. Orangtuanya meninggal, dan kemudian diadopsi oleh keluarga Kuwait. Mahmud, ujar Mira, rajin membaca Al Quran dan sering pergi ke masjid untuk shalat bersama. Menurut Mira, Mahmud berbahasa Indonesia dengan logat Ambon.

Pada 2002, Mahmud alias al Farouq mengaku kepada dinas intelijen AS (CIA) bahwa dirinya mengenal Abu Bakar Ba'asyir sebagai salah satu petinggi Jemaah Islamiah. Aksi peledakan maupun agenda teror lainnya pun disokong dari Ba'asyir yang mendapatkannya dari Osama bin Laden, pemimpin puncak Al Qaeda.

Seperti yang dilansir oleh The Straits Times, pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) itu mendapatkan uang US$133.400 atau Rp1,2 miliar lebih. Mahmud juga diduga merencanakan pembunuhan kepada Presiden Megawati pada 1999 dan 2001-bersama-sama dengan Ba'asyir.

"Itu tidak benar. Uang itu juga tidak terbukti di pengadilan," ujar Fauzan al Anshari, Ketua Pusat Data dan Informasi MMI. Menurut dia, justru Ba'asyir saat ini menjadi tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen untuk bepergian ke luar negeri, bukan sebagai teroris seperti yang dituduhkan selama ini.

Fauzan mengatakan seharusnya pemerintah, dalam hal ini pihak kepolisian, berani mendatangkan Al Farouq untuk dikonfrontasi dengan Ba'asyir yang divonis penjara 2,5 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Maret lalu. Pengasuh pondok pesantren Al Mukmin-yang dikenal dengan Ngruki itu-minta kasasi namun akhirnya ditolak. Fauzan mengatakan Ba'asyir tak kenal al Farouq.

Lolosnya Al Farouq, lanjut dia, hanyalah sebuah skenario untuk menciptakan teror baru di Indonesia. Kemungkinan bila terjadi kembali peledakan di Indonesia, bukanlah Dr Azahari Husin ataupun Nurdin Mohammad Top yang dicari, melainkan Al Farouq. "Ini jelas sekali," ujarnya.

Diketahui, Azahari dan Nurdin Top disebut-sebut sebagai otak peledakan bom Bali 2002 dan Hotel JW Marriot setahun sesudahnya. Keduanya asal Malaysia dan terlibat dalam organisasi teroris Jemaah Islamiah yang sampai saat ini masih menjadi buronan.

Menurut Fauzan, lolosnya al Faruq tak masuk di akal. Mengapa seorang teroris yang dipenjara dengan penjagaan luar biasa dapat melepaskan diri?

Pertanyaan demi pertanyaan belum bisa dijawab. Pemerintah AS pun belum mengeluarkan pernyataan resminya soal ini. Kali ini tak hanya dunia internasional yang menunggu kabar di mana gerangan al Farouq, tapi Mira beserta dua anaknya yang mungil dan menggemaskan itu pun berbuat serupa. Dia tetap menunggu Mahmud di Cisalada.

"Bila ke Indonesia, pasti dia akan mencari saya." (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

pintalan-pintalan jihad

Oleh Anugerah Perkasa
999 words



SECARIK KERTAS ada di tangan Fauzan al Anshari siang itu. Tak berapa lama, Fauzan mulai dikerubuti wartawan. Ada kamera televisi yang menyorotnya. Alat perekam pun didekatkan ke bibirnya. Fauzan mulai membaca kertas yang dibawanya. Ini adalah catatan dari Abu Bakar Ba'asyir, pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)-di mana Fauzan terlibat di dalamnya. Saat ini, dirinya menjabat sebagai Ketua Pusat Data dan Informasi di lembaga tersebut.

"Ustad Abu mengutuk keras pemerintah Australia yang mencampuri sistem hukum di Indonesia," ujar Fauzan, lantang.

Kamis pekan lalu itu adalah hari pertama Lebaran November tahun ini. Fauzan dan beberapa anggota MMI menjenguk Ba'asyir yang batal mendapatkan remisi di lembaga pemasyarakatan Cipinang Jakarta Timur. Fauzan kecewa. Padahal dirinya dan yang lainnya berharap banyak atas hadiah itu. Jauh-jauh hari, Pemerintah Australia menentang keras rencana Pemerintah Indonesia untuk memberi remisi kepada narapidana kasus terorisme.

Perdana Menteri John Howard menyebutkan bila pengurangan hukuman diberikan kepada Ba'asyir, maka itu menyulut kemarahan abadi di negerinya. Ini pernyataan keras.

Ba'asyir divonis 2,5 tahun penjara awal Maret di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dia mengajukan kasasi, tapi ditolak. Ba'asyir adalah orang yang dituduh sebagai petinggi Jemaah Islamiah (JI), sebuah organisasi internasional yang dibentuknya di Malaysia 1996. Jemaah Islamiah punya hubungan kuat dengan Al Qaeda milik Osama bin Laden. Tujuan organisasi ini adalah menciptakan negara Islam di Asia Tenggara.

Nampaknya, Ba'asyir hanya menyalin cita-cita Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo yang memberontak untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 1950-an. Ba'asyir-bersama rekannya Abdullah Sungkar-membentuk Jemaah Islamiah usai merekrut beberapa orang yang ikut berjihad pada perang Afghanistan 1985-1995.

Jemaah Islamiah adalah organisasi yang kokoh sekaligus cair. Ini juga seperti hantu karena tak kasat mata. Berdasarkan riset Sidney Jones dari International Crisis Group (ICG), jaringan ini punya empat wilayah-dikenal dengan 'mantiqi'. Dan Indonesia adalah mantiqi II di mana target operasi jihad sering digelar.

Mari lihat kembali bom Bali 2002. Ada ledakan dahsyat. Ada luka mendalam. Pelakunya tiga bersaudara: Ali Ghufron, Amrozi dan Ali Imron. Plus Imam Samudra. Empat orang itu yakin mereka sedang berjuang di jalan yang benar. Nyawa taruhannya. Keempatnya alumnus pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah dan pernah ke Afghanistan untuk berperang. Kecuali Ali Ghufron-yang dihukum penjara seumur hidup, semuanya divonis mati.

Tragedi Bali menambah daftar panjang pengeboman di Tanah Air. Sebelumnya bom malam Natal 2000-yang mencuatkan nama Umar al Farouq, dan Atrium Senen 2001.

Setahun setelah Bali, ada ledakan di Jakarta. Hotel JW Marriot. 12 orang tewas. Pelakunya dihukum, namun pemeran utamanya masih buron. Ada Dr Azahari Husin dan Nurdin Mohammad Top. Dua nama ini juga diduga kuat menjadi otak peledakan bom Bali 2002. Belum lagi pencarian tuntas, bom kembali meledak di depan Kedutaan Besar Australia Kuningan Jakarta 2004 lalu. 11 orang tewas.

Terakhir, ledakan di Bali awal Oktober tahun ini. Ledakan tersebut menewaskan 22 orang dan memicu kemarahan dunia. Teror masih membahana. Pencarian dikerahkan untuk menangkap pelaku utama. Kali ini nama Azahari dan Nurdin Top tak lagi disemburkan pihak kepolisian.

Awal November, dunia kembali diguncang lolosnya Umar al Farouq dari penjara Bagram di Afghanistan. Farouq dikenal sebagai salah satu petinggi Al Qaeda di Asia Tenggara. Dia juga yang menyebutkan Ba'asyir sebagai petinggi Jemaah Islamiah. Farouq mengaku kenal Ba'asyir sebagai salah satu penyalur dana operasi peledakan bom Natal 2000.

Ini dibantah keras Ba'asyir. Suami dari Mira Agustina ini ditangkap pada Juni 2002 lalu dan langsung diserahkan ke Amerika. Umar al Farouq adalah alumnus Afghanistan sekaligus instruktur perang di Mindanao, Filipina.

Mengapa saat lolos Juli lalu, dinas intelijen Amerika tak mengabarkan ke Indonesia?

Ini pun menimbulkan keheranan di negara adidaya itu. Menurut Jaksa Agung Amerika Alberto Gonzales, masalah komunikasi antara keduanya harus segera diselidiki: Mengapa CIA tak berkabar ke Indonesia? Gonzales mengatakan kelambatan ini merupakan persoalan serius yang harus segera ditangani.

Inspektur Jenderal Polisi Ansyaad Mbai, Kepala Desk Antiteror Polri, mengatakan pelarian Farouq menciptakan ancaman teror baru di Indonesia. Menurut dia kembalinya Farouq dapat memberikan energi segar bagi kegiatan terorisme di Asia Tenggara. "Dia adalah orang yang berbahaya," ujar Ansyad.

Hal berbeda diungkapkan oleh Ken Conboy, ahli keamanan dan penulis buku tentang Jemaah Islamiah. Menurut Conboy, Faruq tak akan kembali ke Asia Tenggara, melainkan ke Irak. Farouq memang berdarah Irak campuran. Hal ini, kata Conboy, membuat Farouq- yang diduga merencanakan pembunuhan mantan Presiden Megawati itu bertolak ke Irak dan melanjutkan perang di sana.

Amerika masih menyimpan satu tahanan. Hambali alias Ridwan Isamuddin. Nama kecilnya Encep Nurjaman. Hambali adalah petinggi Al Qaeda di Asia, yang menerima US$76.000 dari Khalid Shaikh Mohammed-mantan bosnya, untuk melakukan sejumlah serangan. Termasuk bom Bali 2002 dan Hotel JW Marriot. Hambali pernah ke Afghanistan pada 1980-an dan bertemu Abu Bakar Ba'asyir di Malaysia.

Pria kelahiran Sukamanah, Jawa Barat itu lebih banyak berurusan dengan masalah keuangan dan logistik yang disalurkan kepada sel-sel Al Qaeda. Dia juga yang memerintahkan Ali Ghufron untuk mengeksekusi bom di Bali 2002. Instruksinya: bom diledakkan di tempat berkumpulnya warga asing. Dan Bali adalah tempat yang tepat. Seperti yang dilansir Christian Science Monitor, peledakan ini disinyalir sebagai ajang balas dendam Hambali, yang gagal meledakkan bom di Kedubes Amerika di Singapura serta tebusan nyawa teman-temannya yang mati di Afghanistan. Hambali juga disebut sebagai 'anak kesayangan' Osama.

Agustus 2003, Hambali ditangkap di sebuah apartemen di Ayutthaya, Thailand. Dia tak sendiri, tapi bersama istrinya Noralwizah Lee Abdullah-yang saat ini dipenjara oleh pemerintah Malaysia. Pemerintah Amerika dan Thailand berjanji memberikan informasi atas penahanan orang yang merekrut ratusan militan itu kepada Indonesia. Ini tak jelas. Ini sama anehnya dengan kaburnya Al Farouq. Gelap-gulita.

Ini menarik. Saat Al Farouq menyusuri jalan untuk menggalang kembali kekuatan, ada kelompok-kelompok baru dari Jemaah Islamiah yang memisahkan diri. Hambali mungkin saja, salah satu instruktur dari mereka. Umumnya terdiri dari golongan muda yang lebih militan. Punya target yang lebih keras: warga Nasrani, negara Barat dan pemerintahnya. Berani bunuh diri demi keyakinan.

Rata-rata kelompok ini adalah hasil gemblengan Mindanao dan Afghanistan. Dua tempat yang diyakini sebagai lokasi latih paling radikal di dunia. Plus fatwa Al Qaeda 1998 lalu, membuat lengkap seseorang berubah menjadi orang untuk menyorongkan nyawanya demi sebuah keyakinan. Bisa jadi, bila al Farouq tak kunjung ke Indonesia, ada sekelompok pemuda yang rela meraih 'nirwana' itu. Tentu, dalam bentuk kematian.(anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Friday, February 9, 2007

look at me!

Oleh Anugerah Perkasa



I WAS born in Banjarmasin in southern Borneo in 1977. I grew up there, living with my parents and two siblings until finishing my high school in1996. It was time to leave. My parents sent me to Jogjakarta, a college town in central Java, to continue my education at the Universitas Islam Indonesia, one of the oldest colleges in Java. While studying psychology there, I began my love affair with journalism. I joined a student magazine called "Himmah" --in Arabic it literally means "spirit."

In 2001, I met Andreas Harsono, who was then the managing editor of the now defunct Pantau literary magazine. I loved that magazine. I love the way its writers and artists presented their works. I was falling in love with story after story published by that magazine.

One year later, I did a research and interviews on the Jogjakarta-based Majelis Mujahidin Indonesia. It is a radical Islamic organization led by Muslim cleris Abubakar Ba'asyir. My story was published by Pantau in December 2003.

In mid 2004, I finished my college and moved to Jakarta, taking an internship at Pantau. It was beginning its new phase as a media think tank.The magazine was already closed. I helped it organize some journalist workshops sponsored by Columbia University's Initiative for Policy Dialogueon globalization and labor coverage.

On February 14, 2005, I joined Bisnis Indonesia, Jakarta's largest business daily, working on its political desk for 18 months. My current beat is non-banking financial industries such as insurances, pension funds and multifinances.

My free time? I read books especially on journalism, liberalism and Islam. I also like to meet people who have pleasant personalities. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

cermin atjeh, cermin jakarta

Oleh Anugerah Perkasa
659 words



TENGKU KAMARUZZAMAN memijit tombol hitam di depannya. Mikropon menyala dan suaranya lebih keras. Dia menjawab pertanyaan. “Kami tak akan masuk hutan lagi. Senjatanya juga sudah diambil.”

Kamaruzzaman asli Lhokseumawe, Atjeh. Usianya 46 tahun. Sejak 2000, dia bergabung dengan Gerakan Atjeh Merdeka (GAM) dan sempat dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Saat ini bekerja di Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) pimpinan Kuntoro Mangkusubroto.

Kamaruzzaman membacakan pernyataan sikapnya di gedung MPR/DPR. Wartawan duduk dan bergerombol. Memotret. Mencatat. Blitz memendar di wajahnya beberapa kali.

Kamaruzzaman memulai tabuhan kesekian kalinya. GAM akan menolak semua hasil pembahasan rancangan undang-undang Pemerintahan Atjeh jika tak sesuai dengan perjanjian Helsinsky, Agustus 2005. Namun GAM tak bakalan angkat senjata. Diplomasi dan mekanisme politik akan ditempuh kali ini.

Bagaimana hasil pembahasan di Senayan?

Anggota Panitia Kerja (Panja) Ahmad Farhan Hamid mengatakan rancangan undangan pemerintahan Atjeh telah selesai dibahas. Menurut dia, sekitar 98% hasilnya disepakati kedua belah pihak, DPR dan pemerintah. Namun masih ada yang mengganjal. “Saat ini sudah diserahkan kepada tim perumus untuk menjadi substansi undang-undang.”

Farhan adalah legislator asal Fraksi Partai Amanat Nasional, dari Atjeh. Dulunya lulusan fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Farhan juga memimpin Forum Bersama (Forbes) yang menggiring rancangan peraturan pemerintahan Atjeh menjadi undang-undang.

Dia menyatakan sejumlah soal yang belum disepakati. Pengelolaaan minyak dan gas bumi oleh pemerintah Atjeh, jangka waktu Atjeh menerima dana otonomi khusus sebesar 2%, hingga desentralisasi urusan tanah dan pendidikan.

Soal pengelolaan minyak, Farhan punya alasannya. Ini memang bisnis besar. Menurut dia dan rekan-rekan Panja, sudah seharusnya Atjeh mengelola sumber daya alamnya yang semakin menipis. Mereka ingin Jakarta memahami Atjeh lebih baik. “Tinggal keikhlasan pemerintah,”ujarnya.

Kamaruzzaman bersikap sama. Dia mempertanyakan mengapa Atjeh tak dapat mengelola sumber daya alamnya sendiri. “Saya tak tahu apakah ini dipengaruhi kepentingan bisnis tertentu.”

Tapi, demikian Kamaruzzaman, ada yang lebih penting. GAM menginginkan kewenangan besar Atjeh untuk mengelola wilayahnya secara mandiri. GAM menolak kewenangan Jakarta untuk menetapkan perangkat norma yang dijadikan acuan berjalannya kekuasaan di Atjeh. Ini tertera pada pasal 7 ayat 3 rancangan peraturan tersebut. Menurut Kamaruzzaman, ini tak sesuai dengan substansi Memorandum of Understanding (MoU) dan memicu konflik baru. Kamaruzzaman menginginkan pasal itu dihapus

Soal ini Farhan tak sepaham.

Farhan mengatakan betapa pentingnya standar dan norma yang ditentukan Jakarta. Dia mencontohkan soal kesehatan, pendidikan dan industri. “Ini semacam kendali mutu,” demikian Farhan, “organisasi dunia pun ada yang mengurus soal ini.”

Aktivis Jaringan Demokrasi Aceh (JDA) Bivitri Susanti mengatakan pasal 7 memang menjadi semacam pasal kunci untuk pengelolaan kekuasaan di Aceh. Dia justru mewaspadai kemungkinan lebih banyaknya Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan untuk menyingkirkan kewenangan yang diatur. “Saya menghormati pendapat Bang Farhan,” ujarnya, “namun dari kata itu kelihatan sekali. Harus hati-hati.”

Dia melihat Jakarta masih punya kekhawatiran.

Bivitri punya contoh lain. Soal calon independen yang memiliki satu satu kali kesempatan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah. Bagi dia,calon independen penting bagi demokratisasi. Seharusnya, kesempatan itu bukanlah pertama dan terakhir. “Ini bukan pertarungan Jakarta versus Atjeh saja. Ada kalkulasi politik dari elit lainnya.”

Pada Maret, Lembaga Survey Indonesia (LSI) melakukan survai terhadap 77% pelbagai suku yang ada di Aceh terkait calon independen. Hasilnya, 64% responden setuju calon independen mengikuti pemilihan Gubernur, Walikota maupun Bupati. Ini jumlah dominan.

“Hasil survai itu menjadi indikator apakah rancangan peraturan itu nanti aspiratif atau tidak,” ujar Anis Baswedan, peneliti LSI. Dia mengatakan hasil riset tersebut justru menunjukkan keinginan masyarakat Atjeh agar semua kanal politik dibuka. Tanpa kecuali.

Anis juga menilai ada ketakutan baru terhadap munculnya kekuatan non-partai oleh para elit politik. Ada delegitimasi di sana. Walaupun demikian, urai dia, calon independen kemungkinan tak memenangkan pemilihan kepala daerah yang digelar nanti. “Belum tentu banyak yang memilih.”

Sebelumnya, Ketua Panja Sembiring Meliala mengatakan calon independen tak lagi diperlukan karena aspirasi dapat disalurkan melalui mekanisme kepartaian lokal maupun nasional. Dia juga membantah hasil rumusan itu tak menampung keinginan GAM.

Calon independen merisaukan Kamaruzzaman. Dia ingin ruang demokrasi dibuka selebar-lebarnya. Dia pun ditanya apakah dirinya ikut mencalonkan diri dalam pemilihan nanti. “Menurut Anda, bagaimana?” ujarnya, tertawa. Sehabis itu kepalanya menggeleng. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

menjelang detik terakhir

Oleh Anugerah Perkasa
983 words



OKTOBER 1965. Soenarno Tomo Hardjono membatalkan niatnya pergi ke kantor Pemerintah Daerah di Boyolali, Jawa Tengah. Soenarno bukan pegawai biasa. Jabatannya sebagai kepala divisi pembangunan membuat hari-harinya cukup sibuk. Namun pagi itu, kantor tak lagi menjadi tujuannya.

“Keponakan saya bilang saya mau dibunuh,” ujar Soenarno.

Soenarno tak membual. Keponakannya, Sri Widayani mengatakan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) didatangkan dari Jakarta untuk memburu simpatisan Soekarno. Terutama, yang diduga terlibat dalam gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain Soenarno, ada Bupati Boyolali, Suali yang juga menjadi target pasukan tersebut.

Suali tak beruntung. Dia mati dibunuh.

Soenarno panik. Dia lari ke Jawa Timur awal November 1965. Surabaya hingga Lamongan menjadi tempat persembunyiannya. Dan Jakarta, adalah lokasi terakhir. Soenarno kemudian tinggal di daerah Kranji, Bekasi sambil menjual baju kaos hingga roti bungkus.

Pada Mei 1977, Soenarno ditangkap. Selama satu setengah tahun, dirinya mendekam di penjara Salemba, Jakarta Timur. “Saya tak pernah diberitahu mengapa saya ditangkap. Mungkin mereka anggap saya PKI.”

PKI adalah kata yang sangat efektif dalam melegalkan penangkapan dan pembunuhan massal kala itu. Soeharto, yang menjabat sebagai Kepala Komando Strategik Angkatan Darat menyebut pembunuhan 1965 diinspirasi oleh para komunis. Pembunuhan dilakukan hingga mencapai angka jutaan orang. Tempat buruan saat itu adalah Bali, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Menurut Sunarno, kejadian itu membuat teman-temannya yang belajar di luar-negeri urung kembali karena ancaman ditangkap. Sunarno pun dicibir. Soal hidup, dia hanya menjual kulit kasur rajutannya di tempat yang sepi karena takut. Kelima anaknya—semuanya perempuan—hasil perkawinannya dengan Murti Sulistiyawati pun, tumbuh dengan kondisi psikis tertekan.“Mereka adalah anak-anak yang minder.”

Usai Soeharto lengser pada 1998, Soenarno dan beberapa rekan lainnya mendapatkan momentum untuk menuntut tanggung jawab Soeharto atas pelanggaran yang dilakukannya. Mereka mulai mengumpulkan data. Akhirnya pada April 2005, para korban stigma PKI melakukan gugatan class action kepada lima presiden. Dari Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri hingga Soesilo Bambang Yudhoyono. Gugatan ini ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Soenarno banding.

Soenarno punya harapan, walaupun dia pesimis atas proses hukum tersebut. Namun sekecil apa pun peluangnya, harus dicoba. Dalam usia 71 tahun, Soenarno tak sendiri.

Raharja Waluya Jati membenarkan pendapat ini. Usianya 37 tahun dan bekerja sebagai redaktur eksekutif di radio Voice of Human Right, Jakarta.

Jati adalah korban penculikan menjelang peristiwa Mei 1998. Pada masa itu, dirinya aktif di Partai Rakyat Demokratik (PRD) pimpinan Budiman Sudjatmiko. Dia beserta teman-temannya dicap ‘kiri’, sebutan negatif saat Soeharto berkuasa. Jati juga tak pernah tahu di mana dirinya dan rekan-rekannya disekap waktu itu sampai sekarang. “Bagaimana bisa tahu. Tidak ada rekonstruksi fakta.”

Dia menilai tak ada kemauan politik dari pemerintah untuk mengusut tuntas pelanggaran masa lalu oleh rezim Soeharto. Pemerintahan sekarang, urainya, masih dikuasai jaringan politik Orde Baru yang solid. Dia mencontohkan, bagaimana kasus korupsi Soeharto dihentikan dengan alasan hukum dan kemanusiaan. Ini adalah indikasi kuat bagaimana jaringan itu masih bekerja sistematis.

Pada 11 Mei, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) terhadap Soeharto karena alasan hukum. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh digugat banyak pihak. Kontroversi merebak. DPR ingin kasus ini dihentikan karena alasan kemanusiaan. Pimpinan MPR juga ingin kasus ini distop. Tapi penolakan menguat. Ada yang ingin kasus ini terus diusut hingga akhir: Soeharto sebagai komandan rezim.

Jati punya kekhawatiran. Ada proses pergeseran isu untuk memberikan pengampunan kepada Soeharto atas dosa masa lalunya. Salah satunya, lewat diterbitkannya SKPPP dan desakan sejumlah kalangan untuk menyudahi hal tersebut. Belum lagi vonis bebas atas pelaku pembunuhan pelbagai kasus macam Tanjung Priuk di Jakarta, Dili di Timor-Timur, dan Abepura di Jayapura. Kecurigaan Jati beralasan. “Ada semacam upaya pencucian dosa, padahal pelanggaran HAM itu kompleks.”

Menurut Jati, pemerintah sebenarnya sudah membuat perangkat hukum untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut. Ada UU No.39/1999 soal Hak Asasi Manusia, UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM hingga UU No.27/2004 soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

“KKR ini mengkhawatirkan.”
“Mengapa?”
“Calon anggotanya belum punya legitimasi politik, karena kebanyakan dari akademikus dan aktivis hak asasi. Belum ada representasi politik.”

Berdasarkan undang-undang, KKR bekerja untuk mencari fakta dan meminta keterangan siapa saja terkait pelanggaran hak asasi masa lalu. Institusi ini meniru Truth and Reconsiliation Commission (TRC) di Cape Town, Afrika Selatan pada 1995. Negara ini berhasil melakukan proses peradilan terhadap pelaku politik apherteid sejak 1948-1990-an. Ada yang dipenjarakan, ada pula yang dimaafkan. KKR di Indonesia belum muncul. Saat ini, 42 calon anggota sudah ada di tangan Presiden Yudhoyono, namun tak ada kejelasan.

Mantan anggota Komnas HAM Asmara Nababan menyatakan Soeharto sebagai pemimpin rezim harus bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakan yang dibuatnya dulu. Dia mencontohkan sejumlah kasus: diasingkannya ribuan orang ke Pulau Buru pada 1967, Penembakan Misterius pada 1983, Peristiwa Tanjung Priuk 1984, hingga Peristiwa Mei 1998. “Periksa pertanggungjawaban Soeharto sebagai rezim.”

Asmara ingin menggalang kembali kekuatan politik untuk mendesak pertanggunjawaban itu. Namun, tak banyak optimisme yang dimilikinya. “Ini tergantung Presiden Yudhoyono. Kemauan politik yang kuat dan tak memilih calon yang lucu-lucu untuk KKR. Jika tidak, kita tak punya harapan.”

Ada nada sinis dari seorang tua, Oey Hay Djoen. Oey pernah dibuang di Pulau Buru sejak 1967-1977. Usianya sekarang 80 tahun. Saat diasingkan, dirinya bertemu dengan sastrawan terkenal Pramoedya Ananta Toer, yang meninggal akhir April. Baik Oey maupun Pramoedya, sama-sama dicap komunis. “Aku ingin ada pengakuan salah lebih dulu dari Soeharto.”

Dia merasa, pemerintah sekarang ingin mewakili para korban seperti dirinya untuk memaafkan Soeharto. Oey menolak itu. Dia menganggap, korban atau keluarganya adalah pihak yang berhak mengiyakan permohonan maaf atau tidak. Bukan pemerintah.

Oey memang keras. Dia ingin pencabutan TAP MPR No.25/1966 soal Pelarangan Ajaran Komunisme dan Marxisme dan TAP MPRS No.33/1967 soal Pencabutan Kekuasaaan Pemerintahan Negara dari Soekarno, dilakukan setelah pengakuan itu. Dia ingin ada upaya koreksi dan rehabilitasi terhadap Soekarno dan faham marxis. Namun, ini tak sesederhana seperti yang dibayangkan.

Oey menilai proses pengadilan tak akan berjalan semestinya jika Soeharto tak mengakui apa yang telah dilakukannya. Oey mencibir alasan kemanusiaan dan ‘Bapak Pembangunan’ yang digaungkan. Yang diinginkannya adalah pengakuan.

“Kesempatan itu ada sekarang, mumpung dia masih hidup. Jika mati, dia akan selamanya dikutuk.” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

piutang panas jiwasraya

Oleh Anugerah Perkasa
1.019 words



RUANGAN LANTAI delapan itu masih sepi. Belum banyak pegawai yang datang dan berseliweran. 07.45 WIB. Namun Herris Simandjuntak sudah duduk dalam sebuah ruangan kecil. Dia menunggu. Pagi itu, mungkin menjadi pertemuan paling awal baginya.

Herris adalah orang nomor satu di PT Asuransi Jiwasraya, perusahaan asuransi tertua di Indonesia. Jabatan direktur utama diraihnya sejak lima tahun lalu. Orang yang ingin ditemuinya adalah Isa Rachmatawata, Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK). Tak jelas membicarakan apa, namun ada satu hal yang disinggung: Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Jiwasraya.

DPLK Jiwasraya tak menjadi soal jika tak ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal pinjaman yang diberikannya pada 2004 dan 2005. DPLK meminjamkan dana kelolaan Rp16,75 miliar kepada Koperasi Karyawan Jiwasraya (KKJ) dan PT Indra Karya. Masing-masing mendapat Rp16 miliar dan Rp750 juta.

DPLK sendiri adalah lembaga yang menggelar program pensiun iuran pasti, yaitu program dengan iuran peserta yang dikembangkan melalui penempatan investasi. Hasilnya dibukukan kepada rekening peserta sebagai manfaat pensiun.

“Semuanya sudah melalui prosedur internal yang berlaku. Saya hanya menandatangani, sesuai dengan peraturan,” ujar Herris, Desember lalu.

Herris bisa saja berpendapat demikian, namun tidak BPK. Menurut Laporan Hasil Pemeriksaan 2005, lembaga itu menilai pinjaman tersebut menyimpang dari peraturan yaitu Undang-undang No.11/1992 tentang Dana Pensiun.

Dalam pasal 31 ayat 3 UU No.11/1992 dinyatakan, tidak satu bagian pun dari kekayaan dana pensiun yang dapat dipinjamkan atau diinvestasikan kepada sekelompok orang. Dijelaskan orang yang dimaksud adalah a.l. pengurus, pendiri, mitra pendiri atau penerima titipan.

“Direksi Asuransi Jiwasraya tidak mematuhi ketentuan UU No.11/1992 tentang Dana Pensiun,” tulis laporan tersebut.

Kisah ini bermula dari permohonan pinjaman dari KKJ ke DPLK sebesar Rp16 miliar. Pengajuan ini dituangkan dalam surat bernomor 011/SRT/KKJJ/052004 pada Mei dan 017/SRT/KKJJ/062004 pada Juni. KKJ bermaksud mengadakan kendaraan operasional yang nantinya disewa Jiwasraya. Ada 84 unit mobil.

Dalam permohonan tersebut, skema angsuran dilakukan selama tiga tahun dengan tingkat suku bunga 12,50% per tahun. Selain itu, KKJ juga menjaminkan Berkas Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dan piutang sewa mobilnya.

Menurut Herris, pinjaman ini justru menguntungkan DPLK. “Dengan tingkat bunga lebih bagus, yield-nya lebih baik dibandingkan penempatan di deposito. Uang itu juga tidak kemana-mana.”
Surat itu juga menyatakan skema pembayaran yang dilakukan adalah Rp5 miliar untuk masing-masing akhir tahun pertama dan kedua. Sedangkan tahun terakhir berjumlah Rp6 miliar.

“Apakah ini sesuai dengan ketentuan undang-undang?”
“Saya tak memeriksa dokumen, apakah ini melanggar atau tidak.”

Herris tetap berpendapat uang tak akan menguap, karena hanya dibelikan kendaraan operasional untuk perusahaan yang dikomandoinya. Apalagi, lanjut dia, pinjaman dari Indra Karya sudah dikembalikan pada Desember 2005.

Pinjaman Indra Karya dicairkan ketika perseroan itu membutuhkan modal kerja Rp750 juta untuk proyek pengawasan pembuatan kolam retensi air hitam di Samarinda, Kalimantan Timur. Rencananya, perseroan itu akan menarik dana kepesertaannya jika permohonan ditolak.

Akhirnya, DPLK setuju meminjamkan uangnya. Syaratnya, bunga 13% dan jaminan berupa kontrak asli pekerjaan polder air hitam. Uang pun mengalir pada Agustus 2005.

Herris mengklaim dirinya tak mengetahui apakah benar ada ancaman dari perseroan konsultan konstruksi tersebut. “Saya tak tahu itu.”

Saya menghubungi Indra Karya soal ancaman tersebut. Melalui sekretaris direksi Triarti Mulyani dikatakan, Direktur Administrasi dan Keuangan perseroan Isbandi belum bisa memberikan tanggapan apa-apa atas pertanyaan yang saya ajukan melalui faksimili. Tapi dia mengungkapkan pertanyaan itu telah diketahui atasannya.

Saya juga mengkonfirmasi Direktur Operasional Jiwasraya Maman Abdurrahman soal itu. Melalui pejabat Humas perseroan, Wiwik Sutrisno mengatakan pihaknya tidak akan berkomentar lebih dulu karena kasus tersebut tengah ditangani Kejaksaan Agung. Ini mekanisme satu pintu, demikian sebut dia.

Tak hanya Kejaksaan Agung yang direpotkan. Biro Dana Pensiun Bapepam dan LK pun bereaksi cepat. Ada pemanggilan yang dilakukan kepada pengurus dan akuntan publik DPLK. Pemeriksaan khusus pun digelar pada pertengahan Desember.

Menurut Kepala Biro Dana Pensiun Mulabasa Hutabarat, pihaknya ingin mengetahui lebih jauh bagaimana surat pengakuan hutang yang diterbitkan oleh KKJ maupun Indra Karya. Melanggar ketentuan atau tidak.

Namun Mulabasa belum mengetahui apakah pinjaman itu berakibat terjadinya kerugian negara. “Ini harus diperiksa lebih dulu dan dikonsultasikan dengan biro Hukum.”

Dalam surat Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.511/2002 tentang Investasi Dana Pensiun disebutkan, surat pengakuan hutang memang diperbolehkan menjadi instrumen investasi, selain 12 instrumen lainnya. Namun ada syaratnya.

Persyaratannya—seperti yang diatur dalam pasal 7—disebutkan a.l. jatuh tempo maksimal 10 tahun; jaminan penerbit minimal sebesar 100% dari nilai utang; badan hukum yang menerbitkan punya keuntungan dalam 3 tahun terakhir; dan tak berafiliasi dengan pengurus serta pendiri dana pensiun.

Untuk syarat terakhir, BPK menilai sudah terjadi konflik kepentingan.

DPLK Jiwasraya berdiri sejak Agustus 1993. Sesuai dengan ketentuan, yang menjadi pendiri dan pengurus DPLK adalah Jiwasraya sebagai badan hukum yang diwakili oleh jajaran direksinya. Sedangkan direksi dalam hal ini, juga menjadi dewan pembina KKJ yang didirikan pada April 2004 itu.

Untuk Indra Karya, mari kita lihat. Perseroan yang berdiri sejak 1972— baru saja merayakan ulang tahunnya ke-34 pada 20 Desember— telah menjadi peserta DPLK Jiwasraya sejak 2000. Sesuai UU Dana Pensiun, perseroan itu dikategorikan sebagai mitra pendiri sehingga pinjaman tersebut tak dapat dipertanggungjawabkan.

Ada bantahan lain dari Tardjo Akhmad Kosim. Kosim adalah mantan Kepala Divisi DPLK Jiwasraya 2002-2005. Jabatannya kini Regional Manager Jakarta I. Dia juga yang menandatangani perjanjian pengakuan hutang dari KKJ dan Indra Karya.

Senada dengan sang komandan, Kosim menyatakan pinjaman itu memiliki imbal yang menggiurkan dibandingkan penempatan di deposito. Pun, surat pengakuan hutang itu dinilainya tak menyimpang dari ketentuan.

“Kan cuma tiga tahun jangka waktunya. Selain itu, ada jaminan yang dimiliki masing-masing, jadi tidak melanggar ketentuan. Ini menguntungkan.”

Bagaimanapun Kosim siap dengan apa yang terjadi. Menurut dia, ini adalah konsekuensi jabatan yang pernah didapuknya. Kosim juga telah diperiksa Kejaksaan Agung pada pertengahan Desember terkait kasus tersebut.

Minggu akhir Desember, saya kembali bertemu Herris Simandjuntak dalam seminar ‘Optimalisasi Aset Properti BUMN’ di sebuah hotel mewah, Jakarta Pusat. Ada Menteri Negara BUMN Sugiharto yang membuka acara. Herris juga memberikan sambutannya.

Kami bersua saat dia mengantar sang Menteri ke lobi hotel. Pertanyaan soal DPLK saya lontarkan kembali. Herris menolak berkomentar dan bilang itu sudah selesai.

“Saya mau jawab kalau soal properti. Itu [kasus DPLK] sudah selesai,” ujarnya bergegas kembali ke ruang seminar.

Herris keberatan. Akhirnya dia masuk ruang seminar dan menutup kembali pintunya. Wiwik Sutrisno yang ada di belakangnya menyusul. Membuka dan menutup kembali pintunya. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

menunggu reinkarnasi jamsostek

Oleh Anugerah Perkasa
991 words



REKSON SILABAN baru saja keluar lift siang itu. Dia tak seperti buruh kebanyakan yang berpenampilan kumal. Setelannya rapi dan sepatu mengkilat. Rekson menghabiskan hampir dua jam rapat di kantor pusat PT Jamsostek, kawasan Gatot Soebroto Jakarta Pusat.

“Maaf , saya agak telat. Baru selesai membahas rencana revisi peraturan pemerintah soal kesejahteraan buruh,” ujar dia.

Rekson bukan orang baru di dunia perburuhan. Sejak 1992 dia bergabung di Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dan kini menjabat Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) 2003-2007. Belakangan ini, dia bolak-balik rapat hingga bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla awal Januari lalu menyangkut satu hal: pesangon buruh.

Mulailah Rekson mengambil contoh kasus soal PT Dong Joe, pabrik sepatu yang berlokasi di Tangerang, 20 kilometer barat Jakarta. Perusahaan itu hingga kini belum memenuhi kewajibannya membayar pesangon kepada lebih 6.000 karyawan sejak tak beroperasi lagi pada November 2006. Intinya, Rekson ingin cerita Dong Joe tak terulang.

Namun kabar gembira soal pesangon muncul di awal tahun. Pekerja, pengusaha dan pemerintah memutuskan sebuah metode baru untuk mendanai pesangon dengan dikelola lembaga khusus. “Ini penting karena buruh mendapatkan kepastian pembayaran.”

Sarjana ekonomi itu bercerita, orang nomor dua di republik ini pun setuju soal metode tersebut. Dia mengutip Kalla yang menyetujui perubahan itu demi kepentingan sebesar-besarnya pada buruh. Ada rencana perombakan. Soal kenaikan iuran maupun pendanaan pesangon.

Rekson menyebut nama Jamsostek untuk soal terakhir.

Menurut dia, jika Jamsostek mengelola pendanaan pesangon maka akan menguntungkan buruh. Ada jaminan pesangon dibayarkan. Selain itu, rencana perubahan perseroan itu menjadi Wali Amanat—tak lagi menjadi badan usaha negara—dinilai menguntungkan dengan adanya perwakilan buruh di lembaga tersebut.

Dalam draf amandemen UU No.3/1992 tentang Jamsostek dari Badan Legislatif per Maret 2006 disebutkan, Wali Amanat adalah wali pemegang amanat dana jaminan sosial yang terdiri dari unsur pekerja, pengusaha, pemerintah dan pakar yang bertugas menetapkan kebijakan serta mengawasi program jaminan sosial. Komposisi perwakilan itu masing-masing 4:3:2:2.

Namun Rekson melupakan satu hal. Pengalihan pendanaan pesangon berpotensi mengancam industri lainnya yang tengah berjalan. Namanya dana pensiun. Industri itu diatur dalam UU No.11/1992 tentang Dana Pensiun.

Ketua Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Nicky Theng, adalah salah seorang yang khawatir soal itu. Dia mengatakan pemindahan pendanaan oleh Jamsostek justru dapat mematikan dana pensiun. “Jika benar jadi dialihkan maka akan berpengaruh signifikan terhadap industri dana pensiun dan asuransi. Bahkan cenderung mematikan.”

Nicky menilai dana pensiun selama ini banyak dipakai perusahaan sebagai pengelola manfaat pensiun sekaligus pesangon. Manfaatnya pun persis apa yang disampaikan Rekson: efesien bagi perusahaan sekaligus memberikan rasa aman karena terjamin.

Nicky mengkritisi rencana itu. Pertanyaan demi pertanyaan muncul.

Seandainya pengalihan dilakukan, demikian Nicky, bagaimana perhitungan pesangon kemudian? Apakah dihitung setelah pengalihan dana iuran dilakukan atau termasuk sebelumnya? Apakah pemenuhan kewajiban itu untuk masa depan atau juga sekaligus masa lalu?

Dia ingin mekanisme pasar yang berlaku. Ada pemilahan produk terbaik. Ada ongkos yang efesien sesuai kemampuan perusahaan. Jika pendanaan pesangon dilakukan badan tunggal, dia tak hanya menjadi ancaman bagi industri lainnya namun juga ketiadaan tolok ukur di tingkat pelayanan.

Kekhawatiran Nicky dijawab Tjarda Muchtar, Direktur Operasional dan Pelayanan Jamsostek. Dia mengatakan Jamsostek sudah teruji hampir 30 tahun dalam mengelola iuran jaminan sosial tenaga kerja. Kekhawatiran itu, menurut Tjarda, sah-sah saja disampaikan.

“Kami dari berangkat dari nol, dari merangkak. Memupuk kepercayaan perusahaan dan pekerja. Hingga hari ini kami tak lapuk karena panas, tak lekang karena hujan. Orang boleh saja bilang apa.”

Perubahan Jamsostek memang belum masuk kotak final. Prosesnya masih menggelinding di Senayan, tempat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berkumpul. Jamsostek bisa saja menjadi pengelola pendanaan pesangon tergantung amandemen. Namun Tjarda menjawab diplomatis, tak ada satu pun perusahaan yang dapat menolak—walaupun tidak suka—jika Jamsostek ditunjuk sebagai pengelola iuran pesangon, berdasarkan undang-undang.

Di tangan Nurul Falah Eddy Pariang, nasib perseroan itu akan ditentukan. Nurul adalah Ketua Panitia Kerja Komisi IX DPR soal Jamsostek, dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Bersama politikus lainnya di komisi tersebut, Nurul menggodok bagaimana wajah Jamsostek baru.

Dia menyatakan ancaman Jamsostek ke industri dana pensiun masih terlalu dini. Saat ini, lanjut Nurul, panitia kerja masih dalam proses mendengarkan masukan dari semua pihak terkait revisi undang-undang tersebut. Termasuk rencana memanggil asosiasi DPLK.

Namun Nurul menyetujui satu hal. “Kalau soal pelayanan,” urai dia, “saya sangat sepakat Jamsostek belum memuaskan.”

Tak hanya dipanggil ke Senayan, Nicky dan beberapa praktisi asuransi pun diminta bertandang ke Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK), khususnya Biro Dana Pensiun. Ada diskusi yang digelar biro itu menanggapi sejauh mana pengaruh rencana revisi tersebut terhadap industri dana pensiun.

Kepala Biro Dana Pensiun Bapepam dan LK Mulabasa Hutabarat menjelaskan dirinya belum mengambil sikap lebih dahulu sebelum mendapatkan masukan dari pertemuan tersebut. Dia ingin tahu lebih dulu seberapa besar kekhawatiran Nicky—beserta praktisi dana pensiun lainnya—terhadap metamorfosa Jamsostek.

Wakil Presiden Jusuf Kalla angkat bicara. Dia menegaskan pendanaan pesangon dilakukan oleh perusahaan yang menang tender. Tak hanya Jamsostek, namun perusahaan asuransi lain pun boleh ikut. “Kecuali Jamsostek dapat nilai tertinggi,” timpal Kalla.

Namun Jamsostek sendiri bukan tak bermasalah.

Ada konflik internal yang menghangat. Pada pekan terakhir Januari, Dewan Komisaris Jamsostek menunjuk Andi Achmad Amin—menggantikan Iwan Pontjowinoto—sebagai pelaksana Direktur Utama setelah berulangkali mendapatkan protes atas kepemimpinannya.

Namun Kementrian Negara BUMN justru melakukan langkah lain dengan menunjuk Wahyu Hidayat sebagai pelaksana Wakil Direktur Utama dan menggeser Andi Achmad. Dalam surat penunjukan itu, Kementrian menilai dasar yang digunakan Dewan Komisaris tak cukup kuat dengan berlandaskan pada kekhawatiran semata. Artinya, kondisi Jamsostek tak disimpulkan kritis.

Penolakan ide Jamsostek pun meluncur dari Aliansi Buruh Menggugat (ABM), sebuah aliansi organisasi dengan 33 serikat buruh di dalamnya. Koordinator ABM Anwar Ma’aruf menyatakan perusahaan adalah lembaga yang harus menyediakan pesangon, bukan Jamsostek. Dia menganalogikan perusahaan sebagai negara, yang harus mengayomi warga.

Menurut Anwar, perubahan Jamsostek menjadi Wali Amanat juga belum menjamin kesejahteraan buruh, walaupun ada perwakilan buruh di dalamnya. Dia mencontohkan Dewan Pengupahan Nasional yang memuat tripartit selama ini. Buruh masih saja terpojok.

“Ini upaya menjinakkan buruh. Revisi undang-undang itu hanya semacam tukar guling antara pengusaha-Jamsostek. Pembayaran pesangon adalah uangnya buruh dan bukan pengusaha.” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

[t]eman-[t]eman [m]uchdi?

Oleh Anugerah Perkasa
2.151 words

BERKALI-KALI dia menghubungi seseorang melalui telepon selulernya. Gagal. “Pak Muchdi, akan ke sini. Mungkin dalam perjalanan,” ujar Mahendradatta, sambil menaruh telepon itu di dompet pinggangnya.

Mahendradatta, seorang advokat. Selama hampir 20 tahun dia menggeluti pekerjaan itu. Dirinya lahir di Solo, Jawa Tengah, besar di Jakarta. Namanya mencuat saat membentuk Tim Pembela Muslim (TPM), yang memberikan bantuan hukum kepada Imam Samudera atau Abdul Aziz dalam kasus Bom Bali 2001. Samudera adalah salah satu pelaku peledakan tersebut. Perjalanan TPM pun tak terhenti di titik itu saja. Kelompok pengacara ini terus dikenal karena membela orang-orang yang dicap fundamentalis. Dari Ja’far Umar Thalib, Abu Bakar Ba’asyir hingga Habieb Rizieq Shihab. Ketiganya berasal dari organisasi islam radikal: Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Front Pembela Islam (FPI).

Namun siang itu agak beda. Mahendradatta bersama tiga rekan lainnya, menunggu kedatangan orang yang sama sekali tak dikenal dalam aktivitas keislaman. Muchdi Purwopranjono. Muchdi, lebih dikenal sebagai mantan anggota Badan Intelijen Nasional (BIN) daripada kegiatan yang berbau agama. Awal Februari lalu, Mahendra bersama beberapa rekannya dari TPM, resmi menjadi kuasa hukum dari mantan Deputi V organisasi intelijen negara itu. Soal aktivitas keislaman, Mahendra menanggapi.

“Pak Muchdi sudah lama berkecimpung di Muhammadiyah. Tapi saya tak tahu persis, sejak kapan,” ujarnya.

Muhammadiyah organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, setelah Nahdlatul Ulama. Didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Kauman, Jogjakarta. Selain ulama cum politikus, pemimpinnya juga berasal dari dunia akademik macam Amien Rais dan Syafi’i Ma’arif. Saat ini, organisasi tersebut dinahkodai Dien Syamsuddin untuk lima tahun ke depan. Dien juga menjabat sebagai Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Siang itu, beberapa wartawan sudah mulai menunggu. Makin lama makin ramai. Ruangan depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terasa sesak. Mereka menunggu, apakah Muchdi jadi datang ke pengadilan untuk bertemu Ketua PN Jakarta Pusat, Cicut Sutiarso.

Tak berapa lama, Mahendradatta menjelaskan maksud kedatangannya bersama Luthfi Hakim, Muhammad Ali, dan Wirawan Adnan, kepada Cicut dalam ruang pertemuan yang sejuk. Tapi, minus Muchdi.

Menurut dia, Muchdi merasa sangat gerah dengan pemberitaan di media akhir-akhir ini. Namanya seringkali dikaitkan dengan kasus pembunuhan aktivis hak asasi, Munir pada September 2004. Mahendra mengatakan, kliennya bahkan tak mengenal Munir, apalagi bertemu.

Kasus Munir mencuat setelah pembunuhan terjadi dua tahun lalu, dalam sebuah perjalanan pesawat Garuda ke Amsterdam, Belanda. Dugaan awal dia diracun melalui arsenik, zat yang mematikan namun larut dalam air minum. Munir diduga kuat dibunuh melalui minuman yang diambilnya dalam perjalanan saat itu, segelas jus jeruk.

Penyelidikan pun dimulai. Pembunuhan itu dianggap sebagai pembunuhan konspiratif. Tersangka utamanya Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang juga menjadi salah satu penumpang dalam perjalanan itu bersama Munir. Tentu saja, Pollycarpus membantahnya. Namun, proses pengadilan tetap bergulir.

Pada 20 Desember 2005, Pollycarpus divonis 14 tahun penjara oleh majelis hakim yang diketuai oleh Cicut. Majelis justru memiliki pertimbangan lain. Bukan melalui minuman, pria asal Malang, Jawa Timur itu dihilangkan nyawanya, melainkan bakmie goreng. Dalam putusan itu juga disebutkan, sejumlah kalangan ikut membantu terjadinya pembunuhan tersebut. Majelis berpendapat: Pollycarpus bukanlah pelaku tunggal.

“Ini yang akan kami klarifikasi kepada ketua majelis, apakah dalam putusan itu disebutkan secara eksplisit bahwa Muchdi adalah orang yang harus segera diperiksa lebih lanjut atau tidak?” ujar Mahendradatta.

Mahendradatta mengatakan, ada opini yang dikembangkan oleh sejumlah kalangan, bahwa Muchdi adalah orang yang diduga kuat terlibat dalam kejahatan itu. Menurut dia, hal itu selalu dikembangkan melalui pemberitaan media massa. TPM, lanjutnya, tak ingin melawan ‘fitnah’ dengan memfitnah mereka kembali. Dia ingin melawan orang-orang itu dengan upaya hukum.

Pendek kata, Muchdi merasa sangat didzolimi.

Gayung bersambut. Cicut mengatakan, Muchdi bukanlah orang yang disebutkan dalam putusan itu. Juga intelijen. Dia mengharapkan semua orang menghormati putusan yang telah diambil oleh majelis.

“Ini kan belum selesai,” ujar Cicut, siang itu.

Ini memang kasus yang belum rampung. Pollycarpus sendiri mengajukan banding dan telah melaporkan majelis hakim ke Komisi Yudisial—
lembaga independen yang menyelidiki perilaku hakim dalam menjalankan kewenangannya—beberapa saat usai bacaan putusan digelar. Menurut Muhammad Assegaf, kuasa hukum Pollycarpus, pertimbangan hakim sangat aneh dan tak masuk akal karena memvonis tidak sesuai dengan fakta yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.

Seperti mendapat peluru baru, Mahendradatta bersama rekannya telah mempersiapkan gugatan terhadap orang-orang yang menjadi ‘opinion maker’ terhadap kliennya. Mereka sudah menyiapkan bahan berupa kliping berita, saksi dan bahan-bahan lainnya. Siapa yang digugat? Mulut mereka masih terkatup.

“Mengapa Anda membela Muchdi?” tanya saya.

Pria ini menjelaskan, timnya mengajukan persyaratan lebih dulu sebelum suaka diberikan. Ada dua syarat. Pertama, Muchdi ‘diinterogasi’ apakah dirinya benar-benar bersih dari kasus Munir atau tidak. Selanjutnya, apakah dia terlibat rekayasa penangkapan ustad-ustad dari pelbagai organisasi Islam tiga-empat tahun silam?

Pada 2002, Ja’far Umar Thalib dituduh menghasut dalam sebuah ceramah akbar kepada jamaatnya di Ambon, Maluku, untuk memusuhi pemerintah dan menentang otoritas yang sah. Dia kemudian ditangkap dan dijebloskan di Rutan Mabes Polri, namun bebas kemudian. Selain Ja’far ada Abu Bakar Ba’asyir, yang dituduh makar namun pengadilan membatalkannya. Ba’asyir hanya dikenai pasal soal pemalsuan surat imigrasi saat dirinya hengkang dari Indonesia pada 1985-an. Habib Rizieq lain lagi, walaupun hampir serupa dengan Ja’far, yang dikenai pasal penghinaan terhadap pemerintah. Kasus Rizieq maupun Ja’far terjadi pada saat Presiden Megawati Soekarnoputri berkuasa.

Mahendradatta mengajukan pertanyaan dan menjawabnya sendiri. Dia mengatakan Muchdi membantah semuanya. Alasannya? Mahendradatta tak bersedia merinci.

Dua syarat saja tak cukup. Pembelaan itu dapat sokongan kuat dari Ja’far Umar Thalib dan diakui Mahendradatta. Dia mengatakan pemberian rekomendasi Ja’far, adalah salah satu alasan lain, mengapa TPM membela Muchdi. Selain itu, tambahnya, sesama orang Islam harus memperkuat ukhuwah Islamiyah—yang secara literer diartikan syiar dalam agama Islam.

“Namun, saya memperlakukan Muchdi seperti klien lainnya,” ujarnya.
“Maksudnya?” tanya saya.
“Seperti klien lainnya, tak ada perlakuan khusus.”

Dalam temuan Tim Pencari Fakta (TPF), terungkap pembicaraan yang dilakukan melalui telepon selular milik Muchdi, kepada Pollycarpus, sebelum dan sesudah pembunuhan terjadi. Ini dilakukan sebanyak 15 kali. Muchdi menolak itu. Menurut dia, nomer telepon itu digunakan oleh beberapa orang yang dekat dengan dirinya.

“Siapa orang-orang itu?” tanya saya.
“Wah itu, cukup saya saja yang mengantongi. Ada tiga orang.”
“Ada pria dan perempuan?”
“Saya tak bisa menyebutkan itu. Ini buat defence saya.” Dia tertawa.

Awal Maret, Luthfie Hakim, salah seorang anggota TPM mengatakan pihaknya masih mengumpulkan sejumlah bahan terkait dengan gugatannya itu. Belum ada kemajuan.

Hendardi menjawab tantangan itu. Pria ini adalah salah satu anggota TPF yang dibubarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Juni 2005. Hendardi juga ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) di Jakarta. Menurut dia, sejak awal menangani kasus itu, dirinya sudah tahu risiko yang akan dihadapi.

Hendardi siap digugat.

Hendardi mengatakan, waktu itu TPF sudah melayangkan pemanggilan sebanyak empat kali kepada Muchdi, namun tak satu pun dibalas. TPF juga sudah melalui jalur BIN, sebagai protokol, namun kandas.

“Putusan itu menyebutkan Pollycarpus bukan pelaku tunggal. Ini bukan berarti Muchdi dapat dikesampingkan dan tak bisa diperiksa,” ujar Hendardi. Dia mempercayai adanya hubungan telepon itu terkait dengan mufakat jahat yang dilakukan.

Suciwati, janda mendiang Munir juga bersikap sama. Dia mengatakan kasus ini belum selesai dan pemerintah harus membentuk tim independen untuk menindaklanjutinya. Dia sudah bertemu Presiden dan para legislator di Senayan. Namun, tetap saja responnya lambat. Seperti gugatan yang tak kunjung tiba oleh TPM, penyelidikan lanjut oleh kepolisian pun diam di tempat.

****

DI KANTOR Pusat Dakwah Muhammadiyah, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, cukup ramai siang itu. Pengurusnya punya hajatan kecil, namun masalahnya besar: diskusi soal rancangan undang-undang haji. Ada Dien Syamsuddin, sang ketua. Dien membuka acara itu dan memberikan sambutannya.

Saya menemui Dien di ruangannya, untuk menanyakan soal Muchdi dan Muhammadiyah. Menurut Dien, Muchdi memang memiliki latar belakang keluarga yang dekat dengan organisasi pimpinannya sekarang. Namun Muchdi tak aktif secara formal. Dirinya juga tak masuk kepengurusan.

Dien mengatakan pihaknya tak pernah mengurusi persoalan hukum yang saat ini menimpa Muchdi. “Kami menyerahkannya kepada proses hukum yang berlaku. Saya juga tak mengikuti kasus tersebut.”

Lain Dien, lain Ja’far Umar Thalib. Menurut Ja’far, dirinya memberikan rekomendasi itu semata-mata kewajiban sesama umat Islam. Tak lebih. Namun dia mengakui, dirinya sudah mengenal Muchdi sejak lama. Ayahnya, Umar Thalib, saat menjabat ketua MUI Jawa Timur pada 1980-an sering berhubungan dengan Muchdi dalam pelbagai kasus yang terjadi di masa silam. Terutama soal pelarangan memakai jilbab bagi perempuan. Jalinan itu, demikian erat hingga terpilin sampai kini. Saat itu, Muchdi menjabat sebagai Kasdam Brawijaya, Jawa Timur.

Ini semacam balas budi? Alumnus perang Afghanistan itu tak membenarkan dan menyalahkannya.

Dirinya juga mengaku menghubungi Muchdi saat bentrokan terjadi antara Laskar Jihad dengan Batalyon Gabungan (Yon Gab) di Ambon, Maluku pada 2000. Bukan meminta bantuan militer. Bukan pula dana. Ja’far mengatakan, dirinya hanya ingin Muchdi menyampaikan pesan soal bentrokan tersebut ke jajaran TNI. Dia ingin Yon Gab tak bentrok dengan umat Islam—dalam hal ini, Laskar Jihad.

“Saya ingin dia menyampaikan soal bentrokan yang terjadi antara Laskar Jihad dengan Yon Gab ke jajaran TNI. Seujung rambut pun, saya tak pernah meminta bantuan untuk pelatihan militer, apalagi dana,” ujarnya.

Yon Gab adalah pasukan cadangan strategis untuk mengatasi perang yang membuncah di Maluku, saat itu. Anggotanya berasal dari Angkatan Darat, Laut dan Udara. Tahun itu, Yon Gab memang lebih banyak berhadapan dengan kelompok muslim, sehingga grup ini diasosiasikan memiliki kedekatan dengan kelompok Kristen. Pada November 2001, Yon Gab ditarik dan digantikan oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

Laskar Jihad sendiri adalah divisi paramiliter dari Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jama’ah (FKAWJ) yang berdiri sejak 1998. Ja’far juga menjabat sebagai ketua dewan pembina di organisasi itu. FKAWJ menjadi gerakan politik: mengkampanyekan syariat Islam ke seluruh aspek kehidupan.

Laskar Jihad merekrut anggotanya melalui pendirian pos-pos di pelbagai propinsi, untuk kemudian dikirimkan ke pelbagai wilayah konflik, salah satunya Maluku. Basisnya ada di Kaliurang, Jogjakarta. Mereka ingin berperang dengan kelompok Kristen, atas dugaan membunuh umat Islam untuk penguasaan wilayah dan membentuk negara Kristen. Laskar Jihad menyebut mereka ‘kafir harbi’.

Soal Munir, Ja’far tak percaya keterlibatan Muchdi dalam kasus itu. Demikian juga soal penangkapan ustad dari pelbagai organisasi islam. Menurutnya, tak ada qarinah atau indikasi awal untuk itu. Jika tak ada indikasi, demikian Ja’far, maka tak ada dugaan.

“Saya tak melihat sosok Muchdi dalam penangkapan itu,” tuturnya.

Saya pun menanyakan tentang intelijen. Pria ini tak percaya teori konspirasi. Menurutnya, dirinya hanya memakai analisa agama yang dianutnya, ketimbang teori-teori yang dianggapnya sampah. Dia juga menilai keanggotaan Muchdi, sebagai intelijen, tak menggugurkan keislamannya. Ja’far berkeyakinan setiap muslim yang meminta bantuan harus ditolong, tanpa kecuali. Tanpa terkait balas budi, apalagi keanggotaan intelijen.

Tapi tunggu dulu. Ada yang tak setuju dengan Ja’far soal ini. Ketua Departemen Data dan Informasi MMI, Fauzan Al Anshari meyakini operasi intelijen saat ini masih berlangsung untuk memecah belah umat Islam. Salah satunya, tutur Fauzan, saat kelompok Jamaah Islamiyah mencuat dalam pemberitaan media massa belakangan ini. Jamaah Islamiyah, menurutnya, adalah salah satu rekayasa dari intelijen itu sendiri. Berbeda dengan Ja’far, Fauzan sangat percaya teori ini.

“Bagaimana dengan TPM yang membela Muchdi?” tanya saya.

Dia sulit menjawab itu. Fauzan menghormati upaya Muchdi, namun tak memberikan sikapnya dengan gamblang. Dirinya juga tak mengenal sosok mantan agen intelijen tersebut. Organisasinya pun demikian, tak pernah berhubungan dengan Muchdi sama sekali. Soal ini pun, Fauzan telah memberitahukannya ke Abu Bakar Ba’asyir . Ba’asyir, masih dibela TPM dalam kasusnya. Soal Muchdi, Ba’asyir diam saja.

Namun Fauzan mengakui, banyak pertanyaan yang dilontarkan orang-orang sekelilingnya: mengapa Mahendradatta dan kawan-kawan membela mantan orang intelijen? Mengapa TPM justru membantu orang yang berasal dari lembaga, yang diduga kuat melakukan operasi melawan gerakan Islam?

“Terlepas dari yang tak terlihat, kami menghormati itu. Saya tak berada dalam posisi setuju atau tidak setuju. Juga ustadz Abu,” kata Fauzan.

Disandingkan dengan Ja’far, yang percaya aturan agama dibandingkan analisa politik, Fauzan meyakini seribu persen tentang operasi intelijen dari dulu hingga kini. Belum berhenti. Khusus soal Muchdi, dirinya menyerahkan hal itu kepada ketentuan hukum yang berlaku. Lain tidak. Namun, dia punya satu pesan bagi Mahendradatta dan rekannya.

“Pengacara yang jujur adalah pengacara yang mampu menunjukkan kesalahan kliennya. Tidak membelanya secara membabi buta,” tuturnya.

Fauzan tak sendiri. Ketua Dewan Pimpinan Pusat FPI Ahmad Sobri juga menyayangkan sikap Mahendradatta yang membela Muchdi dalam kasus Munir. Sama seperti Fauzan, Ahmad sangat percaya dengan operasi intelijen untuk memecah umat Islam. Muchdi, lanjutnya, hanya mencari dukungan politis dengan merangkul TPM yang selama ini dekat dengan organisasi Islam.

“Apapun celahnya, dia akan mencari dukungan sebanyak-banyaknya. Muchdi saat ini sedang tertekan karena kasus itu,” ujar Ahmad pada saya.

Front Pembela Islam adalah organisasi yang berdiri sejak Agustus 1998. Tujuan mereka satu, melaksanakan syariat Islam secara penuh ke setiap aspek kehidupan. Hampir mirip dengan MMI, yang juga memiliki tujuan serupa. FPI pun dikenal ‘garang’ dalam melakukan aksinya, terutama saat bulan Ramadhan tiba. Penutupan tempat hiburan macam kafe, diskotik hingga demonstrasi yang anarkis.

Soal intelijen, Ahmad mencontohkan kasus Abu Bakar Ba’asyir. Menurutnya, pendiri MMI itu adalah korban aksi intelijen dalam kasus yang dihadapinya saat ini. Tak hanya itu, dia juga menyebut peristiwa ‘Darul Islam’ pada 1980-an sebagai peristiwa manipulatif oleh agen intelijen. Ahmad menyesalkan, mengapa TPM yang dikenal sebagai pembela ‘korban intelijen’ malah berbalik arah. Organisasi intelijen, bagi Ahmad, sangat dikhawatirkan karena daya tembusnya yang apik. Tak kelihatan. Tak pula berseragam.

Dia mendukung Ba’asyir, tapi tidak Muchdi. Dan Ahmad percaya, ini adalah upaya Muchdi untuk memenangkan hati dan pikiran umat Islam. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

pulangnya sang pujangga

Oleh Anugerah Perkasa
794 words



DUKA DUNIA ada di penghujung April kali ini. Ada air mata yang tumpah. Meluap. Semua orang kehilangan Opa, yang telah membuat jatuh hati para penggemarnya. Namanya Pramoedya Ananta Toer.

Semilir duka itu berhembus dari Utan Kayu, Jakarta Timur. Pramoedya, Opa semua orang, telah menutup hidupnya di usia 81 tahun. Sangat tenang. Pada 08.55 WIB, sastrawan itu tak lagi mengucapkan kata ‘rokok’ dengan menggerakkan tangannya. Dia pun tak lagi mengucap ‘sampah’ untuk segera dikumpulkan dan dibakar. Ini adalah dua aktivitas Pram—panggilannya—selain menulis. Sikapnya juga tak pernah berubah. Bebal dalam penderitaan, sekaligus keras kepala.

“Papi minta pulang dan pasrah dengan apa pun yang akan terjadi. Dia tak mau lagi tinggal di rumah sakit,” ujar Tatiana Ananta Toer, sesaat sebelum membawa ayahnya kembali ke rumah di Utan Kayu dari Rumah Sakit Saint Corulus, Jakarta Timur. Tatiana adalah anak keempat dari perkawinan Pram dengan Maemunah Thamrin. Sedangkan dari isteri pertama, tiga anak.

Dari Maemunah, sastrawan itu memiliki lima anak. Empat perempuan dan satu pria. Mereka sangat kenal watak ayah mereka. Pram tak ingin konyol di rumah sakit. Dia ingin di rumah, dan berkumpul dengan orang-orang dekatnya.

“Orang yang keras,” ujar Tatiana.

Sore itu, para keluarga pun berunding dengan tim dokter. Saya menyaksikan bagaimana seorang Pram yang berkekuatan raksasa itu, terkulai. Tubuhnya kurus. Sejumlah selang kecil dari tabung infus dan obat diselipkan di balik kulit lengannya. Dia pun mendapat bantuan oksigen.

Kesepakatan dicapai. Dokter akan memindahkan Pram kembali ke rumahnya. Ranjang dorong dipersiapkan. Tandu juga tak ketinggalan. Saat pertama, saya melihat Pram dengan sangat dekat. Matanya terpejam. Ambulan pun bergerak ke Utan Kayu, saat hujan mulai turun rintik.

Kecemasan menyeruak malam itu. Tamu berseliweran. Selain kerabat dan warga sekitar, keluarga Ananta Toer itu mendapat dukungan dari pelbagai tokoh. Ada penulis. Sastrawan. Aktivis hingga artis, turut membesuk.

“Saya mengenal Pram lama. Jika Inggris punya Bernard Shaw, maka Indonesia punya Pramoedya,” ujar Oey Hay Djoen.

Oey mengenal Pram saat sama-sama diasingkan di Pulau Buru. Menurutnya, waktu itu dirinya mendapat nomer punggung 001, sedangkan Pram: 007. Oey bilang ini angka unik. Oey sendiri dikenal sebagai penerjemah Das Kapital milik Karl Marx. Pram, bagi Oey, adalah lawan sekaligus kawan dalam debat.

Selain Oey, ada pula para Pramis. Budiman Sudjatmiko, Yeni Rosa Damayanti, Mudji Sutrisno, hingga Rieke Diah Pitaloka. Yang belakangan dikenal sebagai artis sinetron dan aktif membela hak perempuan.

Tak hanya tangis yang meledak malam itu. Bunyi lafal surat Yasin pun dibacakan. Sahdu. Di kamar tempat Pram dirawat, dari anak, menantu hingga cucu berkumpul. Kritis. Ada yang sesenggukan, macam Angga Okta Rahman. Umurnya 13 tahun. Cucu dari Pram itu memakai baju merah dengan gambar wajah Opa kesayangannya.

Penulis buku ‘Bumi Manusia’ itu nafasnya satu-satu. Lemah sekali. Anak tertuanya, Astuti Ananta Toer menjerit. Si bungsu, Yudhistira Ananta Toer, hanya tertunduk. Dia tetap memegangi tangan kiri ayahnya. Mengusap jemarinya. Dia tahu, ayahnya tak akan menyerah begitu saja. Untung, masa-masa menegangkan lewat. Pram lebih teratur menghirup. Bahkan, dia minta rokok.

“Sedang dibeliin, Opa.”

Pram tenang untuk sementara. Tangannya bergerak-gerak lagi. Titi, secara bergantian, memegangi lengan ayahnya. Maemunah, mengusap-usap kepala suaminya. Dia ingin beban itu dibagi. Dia tahu, Pram kesakitan.

“Aggghh...”

Saya diserang kantuk hebat sekitar 01.15 dini hari. Untuk mengusirnya, kudapan pun dikunyah. Namun kantuk mengalahkan segalanya. Saya terbangun setelah satu jam lebih. Ada jeritan. Sebagian masuk ke kamar Pram. Tangis kembali meledak, melihat orangtua itu tersengal. Satu-satu. Semuanya berkumpul, termasuk Mujib Hermani, yang selama ini dikenal ikut menerbitkan karya-karya besar Pram.

Mujib memegang tangan kanan Pram. “Bung Pram, bangun Bung.”

Tangan Pram dipeganginya. Jemarinya diusap. Saya melihat, orangtua itu masih sadar. Matanya bergerak ke kanan, ke kiri. Mengerang. Kepalanya diusap oleh Maemunah. Titi juga terus menangis. Ini adalah masa kritis ketiga sejak di rumah sakit, sebelum dipindahkan malam itu. Dari 02.40-03.30 pagi, lafaz ‘Laa Ila Haa Ilallah’ diucapkan ke telinga Pram. Sesekali berhenti. Semua orang membaca dengan keharuan.

Pramoedya mulai membaik, pagi itu. Tapi, sementara saja.

Beberapa jam kemudian, adalah saat yang tak terlupakan bagi keluarga Ananta Toer. Pram menghembuskan nafas terakhirnya. Dada saya sesak. Angga menyembunyikan tangisnya di balik bantal. Cucunya yang lain, Aditya Ananta Toer, terisak di ruang tamu. Maemunah pun menangis. Setyaning Ananta Toer, membaca surah Yasin dengan lambat. Dia sesenggukan. Matanya sembab dan merah. Waktu saat itu seperti terhenti.

14.40. Tempat Pemakaman Umum Karet, Jakarta Pusat. Peti mati sang pujangga mulai diturunkan ke liang lahat. Ada tabur bunga. Ada lagu ‘Darah Juang’ dan ‘Internasionale’ yang digaungkan. Diiringi, duka yang mendalam.

Saya melihat Goenawan Mohammad, wartawan cum sastrawan, juga hadir di tempat itu. Dia sibuk menelepon. Goenawan mengaku tak mengenal Pram secara pribadi. Pram, baginya, sudah terkenal sejak dirinya belum apa-apa.

“Saya tak mengenal dia. Tapi, Pram adalah orang yang mengagumkan.”

Perlahan, kuburan itu mulai ditinggalkan. Orang-orang pulang. Nisan kayu itu terpancang, di tengah bebungaan. Hujan pun deras. Pramoedya menyinggahi tempat terakhirnya, bumi manusia. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

hak yang terserak

Oleh Anugerah Perkasa
1.241 words



PENJARA TAK lagi menyeramkan bagi Lukas Tumiso. Dimulai dari 1965, Lukas mulai meringkuk di terali besi. Awalnya di penjara Korem Baladika Jaya, Malang, Jawa Timur. Dia dituding sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) karena aktivitasnya.

“Organisasi yang saya ikuti tak ada kaitannya dengan PKI,” ujarnya.

Lukas adalah seorang guru salah satu sekolah dasar di Gresik, Jawa Timur. Usianya 25 tahun saat mengajar. Dia juga bergabung dengan Persatuan Guru Non-vak Sentral (PG Non-vak Sentral), sebuah organisasi profesi waktu itu. Dia membantah organisasi tersebut turunan PKI. Tapi, demikian Lukas, beberapa anggotanya memang bergiat di partai tersebut.

Tudingan itu tak menimpa Lukas dengan PG Non-vak Sentralnya saja. Selain mengajar, dia juga kuliah di fakultas Hukum Universitas Res Publica, Surabaya dan masuk Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia. Di sini pun, dia mengalami tuduhan serupa.

Lukas diamankan. Ini istilah saja. Maksudnya, seseorang yang ditangkap aparat karena tudingan tertentu. “Justru saya menjadi tidak aman,” ujarnya, tergelak pada saya.

Dia dimintai keterangan dari sore hingga malam, kemudian dijebloskan ke penjara Korem. Itu tak lama. Setelah dipindah, dia kemudian meringkuk di rumah tahanan tentara selama 2 tahun. Pada 1967, Lukas kemudian dibawa ke penjara Kali Sosok, Surabaya.

Di sini penderitaaan dimulai.

Lukas hanya mendapat jatah nasi segenggam dan kol bekas sebanyak dua kali sehari. Tak hanya nasi dan kol, tapi dicampur gabah. “Sebenarnya bukan masalah ruangan penjara, tapi penyiksaan di sana.”

Ada istilah yang tak dilupakannya. “Dibon,” ujar Lukas, “artinya diperiksa, dan artinya disiksa.”

Lukas mengatakan setiap tahanan yang diperiksa akan distrum atau kuku jempol kakinya dicongkel. Akibatnya, dia tak memiliki kedua kuku jempol kaki yang tumbuh sempurna. Penyiksaan model ini paling gampang dilakukan. Jempol kaki hanya diletakkan persis di bawah kaki meja dan seorang aparat berdiri di atasnya. “Dia enak saja loncat-loncat.”

Dua tahun sesudahnya, Lukas mendekam di penjara Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah dengan tuduhan yang sama. Air di sana sulit. Ini yang membuatnya dan para tahanan lain diserang penyakit kudis. Tak hanya itu, kutu celana pun menggerayangi karena jarang sekali mandi.

Soal makanan pun, Lukas dan rekannya harus pintar-pintar bertahan hidup. Cuma gula plus ikan asin yang diperolehnya. Untuk protein, sambungnya, para tahanan Nusakambangan berburu kelelawar yang hidup di goa-goa di sana.

“Tapi kalau ketahuan penjaga, kami disuruh merangkak sambil telanjang,” ujarnya.

Pada Agustus 1969, Lukas dipindahkan ke Pulau Buru, Maluku bersama puluhan tahanan lainnya. Lukas masuk kelompok pertama yang datang ke tempat itu. Ini termasuk masa paling sulit. Awalnya, Lukas dijanjikan makanan baik, tapi tidak pada kenyataannya. “Kami makan bulgur [makanan kuda] yang tak bisa dicerna. Saat dikeluarkan bentuk [kotoran] persis dengan yang dimakan sebelumnya.”

Di Pulau Buru, Lukas mengalami penyiksaan bertubi-tubi. Diawali dengan membabat alang-alang dengan tangan kosong di siang bolong. Punggungnya melepuh, telapak tangannya luka. Lahan itu kemudian dijadikan area bercocok tanam yang juga mereka garap.

Tak cukup, para tahanan politik itu pun diperintahkan menebang kayu untuk keperluan penjaga dan keluarganya. Ada yang untuk lemari pakaian, mainan anak-anak hingga papan cuci bagi isteri penjaga. “Pokoknya kami diperas habis.”

Beruntung, satu gereja berbaik hati memberikan 18 ekor sapi sebagai tambahan tenaga penggarap. Lukas dan tahanan lainnya tak harus bekerja setengah mati lebih lama. Saking senangnya, sapi-sapi itu dirawat dengan sangat baik. Para tahanan itu pun memberikan nama yang berasal dari bahasa asing: Cicilia, David, Goliath, dan Rebecca.

Lukas memperlakukan sapi layaknya tahanan politik di sana. Mungkin lebih, jika dilihat dari perawatan ekstra yang mereka berikan. Para tahanan itu justru lebih bingung jika seekor saja sapi saja sakit dan tak bekerja. “Kami sudah hapal. Kalau Goliath sakit, rame-rame datang ke kandangnya,” ujarnya.

Pada 1979, Lukas pulang. Dia masuk kelompok terakhir yang diangkut kembali ke Jakarta. Lukas kembali mengajar, sekaligus menjadi supir truk pengangkut materil bangunan. Dia tahu kebenaran susah diungkap. Tapi, Lukas masih punya harapan agar pelanggaran hak asasi yang menimpanya menjadi perhatian publik. “Setidaknya,” tuturnya, “masyarakat tahu bahwa Soeharto itu trouble maker.”

Pada 2005, Lukas dan beberapa kawan melakukan class action kepada lima Presiden terkait masa lalunya di penjara. Upaya itu digagalkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka banding. Namun, upayanya tak sebatas itu saja.

Setelah UU No.27/2004 soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) diterbitkan, Lukas punya harapan kasus yang menimpanya terselesaikan. Persoalannya, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono belum memutuskan siapa saja 21 calon anggota KKR yang akan diuji para legislator di Senayan, untuk menjalankan kewenangan lembaga tersebut.

Undang-undang itu sendiri dinilai bermasalah. Dalam pasal 27 disebutkan, korban pelanggaran hak asasi akan mendapatkan rehabilitasi dan kompensasi saat proses amnesti diberikan. Ini yang membuat Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan—sejumlah organisasi gabungan yang memberikan bantuan hukum kepada korban pelanggaran hak asasi—mendaftarkan uji materiil undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka terdiri dari LBH Jakarta, Imparsial, Elsam, Kontras, Solidaritas Nusa Bangsa dan Lembaga Pengabdian Hukum Yaphi.

Rehabilitasi dan kompensasi, demikian Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan, adalah hak yang harus dipenuhi oleh negara kepada korban. Bukan hak yang didapatkan setelah pemberian amnesti.

Dua pakar internasional soal pelanggaran hak asasi lebih keras lagi. Menurut Prof. Paul van Zyl dari Columbia University, tidak ada pemberian amnesti bagi pelanggaran hak asasi. Bagi dia, sejumlah negara yang punya masalah dengan konflik—kecuali Afrika Selatan—tak memberikan amnesti bagi pelaku pelanggaran hak asasi. “Indonesia sudah meratifikasi konvensi internasional soal ini,” ujarnya saat menjadi ahli dalam sidang pengujian undang-undang tersebut di Mahkamah Konstitusi, awal Juli.

Van Zyl justru menganggap Indonesia tak mematuhi standar internasional dalam mengeluarkan undang-undang soal pelanggaran hak asasi. “Indonesia,” urai van Zyl, “telah gagal.”

Sedangkan Prof. Douglass Cassel dari Northwestern University mengatakan, undang-undang tersebut tak berhasil mendorong negara untuk melakukan investigasi dan membuka tabir kejahatan masa lalu. Tak ada reparasi bagi korban dan keluarganya. Tak ada penuntutan, apalagi hukuman bagi sang pelaku.

Cassel menekankan negara memiliki tanggung jawab untuk membuka kejahatan masa silam. Tujuannya, agar publik paham dan praktik serupa tak terulang kembali di kemudian hari.

Suara tak kalah keras dari Beny Kabur Harman, legislator asal Fraksi Partai Demokrat. Beny adalah anggota Komisi III DPR RI yang membawahi urusan hukum. Dia menilai Presiden Yudhoyono tak berani memilih anggota KKR karena kedekatannya dengan sejumlah mantan pejabat militer kini.

“Presiden juga melanggar undang-undang,” urainya.

Maksud Beny, UU No.27/2004 mengamanatkan KKR terbentuk 6 bulan setelah peraturan itu diterbitkan. Namun, hampir 2 tahun tak ada sinyal dari orang nomor satu tersebut soal ini. “Presiden,” tuturnya, “dapat diimpeach karena tuduhan tak menjalankan undang-undang.”

Mantan Direktur LBH Jakarta Uli Parulian Sihombing menyatakan Presiden Yudhoyono tak menganggap pelanggaran hak asasi masa lalu sebagai sebuah prioritas. Padahal, tutur Uli, masalah ini penting bagi korban agar tidak semakin berlarut-larut.

“Undang-undang ini juga hasil kompromi politik. Dalam hal ini, pelaku sangat diuntungkan,” tegasnya.

Uli melihat pemberian amnesti—karena pengakuan disampaikan dan pengampunan diberikan—adalah salah satunya. Undang-undang tersebut, dinilainya, menutup sama sekali upaya hukum yang ditempuh lebih lanjut jika para korban tak merasa puas atas putusan KKR.

Dalam pasal 1 ayat 9 disebutkan bahwa amnesti adalah pengampunan yang diberikan Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Selain itu, pasal 44 menyatakan pelanggaran hak asasi yang berat dan telah diselesaikan oleh Komisi, tak dapat lagi diajukan ke Pengadilan hak asasi manusia Ad Hoc. “Undang-undang ini,” urai Uli, “tak memiliki efek jera sama sekali.”

Namun, dia bersama organisasi gabungan lainnya sudah siap dengan segala risiko saat mengajukan permohonan uji materiil. Mereka akan hormati apapun putusan MK nantinya.

Uli punya harapan besar, demikian juga Lukas. Bercampur geram, dia mengatakan pada saya, Indonesia justru menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa sejak Mei lalu, saat pelanggaran hak asasi di negeri sendiri tak kunjung rampung penyelesaiannya. “Sama saja pemerintah cuci muka dengan air liur.” (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)